|||
MUHAMMAD BIN IBRAHIM BIN ABDUL LATHIF (ALU ASY-SYAIKH) |||
Merupakan keturunan (cucu) dari Muhammad bin Abdul Wahab. Didalam kitabnya,
beliau tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati namun beliau
menyetujui bahwa orang lain yang membaca al-Qur’an untuk orang yang menjelang
mati adalah perkara masyru’ :
القراءة على الميت سواء كان في المسجد أو
عند القبر أو في البيت ثم عمل طعام بعد الختمة وبعد الوفاة بثلاثة أيام يوزع على
الفقراء من الأمور المبتدعة. وأما القراءة المشروعة فهي ما كان قبل الموت وعند
الاحتضار كقراءة سورة "يس" أو " الفاتحة" أو "
تبارك" أو غير ذلك من كتاب الله
“Membaca
al-Qur’an untuk mayyit sama saja baik di masjid, atau disamping kubur atau di
rumah, kemudian membuat makanan setelah khataman dan setelah wafatnya mayyit
selama 3 hari untuk dibagikan kepada orang-orang faqir maka itu termasuk
perkara bid’ah, adapun membaca al-Qur’an yang masyru’ adalah sebelum
meninggal dunia dan disamping orang yang menjelang mati seperti membaca
Yasiin atau surah al-Fatihah atau Tabarak atau surah-surah al-Qur’an lainnya”
[1]
|||
KOMISI FATWA KERAJAAN BANI SAUD |||
Lajnah Daimah atau lengkapnya al-Lajnah
ad-Daimah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’ merupakan komisi fatwa kerajaan
Arab Saudi, semacam “MUI” yang ada di Indonesia. Terkait pembacaan al-Qur’an
untuk orang mati, Lajnah ad-Daimah dalam berbagai fatwanya tidak menyetuji
amalan tersebut dan menyatakan tidak sampai. Diantaranya adalah sebuah jawaban
dari pertanyaan ke-3 dari fatwa no. 2634 yang anggotanya Syaikh
Abdullah Qu’ud, Syaikh Abdur Razaq sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz
bin Abdullah bin Baz sebagai ketua.
ج3: أولا: إذا قرأ إنسان قرآنا ووهب ثوابه للميت فالصحيح أنه لا
يصل إليه ثواب القراءة؛ لأنها ليست من عمله، وقد قال تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ
لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} وإنما هي من عمل الحي، وثواب عمله له، ولا
يملك أن يهب ثواب قراءة لغيره
“Jawaban
: apabila seorang manusia membaca al-Qur’an dan memberikan pahalanya untuk
orang mati, maka yang shahih sesungguhnya pahala bacaan al-Qur’an itu tidak
sampai, karena bukan amalnya, dan sungguh Allah telah berfirman {dan
sungguh tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakannya} sebab itu termasuk
amal orang yang hidup dan pahala amalnya baginya, pahala bacaan al-Qur’annya
tidak bisa dimiliki oleh orang lain”.
||| PENUTUP |||
Demikianlah apa
yang bisa penulis sampaikan, kurang lebih kami mohon maaf yang sebesar-besarnya
atas segala khilaf yang berasal kekurangan al-faqir, dan sebagai kesimpulan :
· Kegiatan tahlilan atau amalan-amalan
yang ada didalam tahlilan tidak ada satupun yang bertentangan dengan syariat
dan kaidah-kaidah madzhab Syafi’i. Bahkan kebijaksanaan ‘ulama begitu nampak
dalam penerapannya pada kegiatan tahlilan.
· Motivasi memberi makan didalam
tahlilan hendaknya adalah untuk bershadaqah yang pahalanya untuk mayyit agar
memperoleh pahala kesunnahan bershadaqah, atau dalam rangka menghormati tamu
bukan motivasi lain yang tidak dianjurkan oleh syariat. Harta yang digunakan
adalah harta yang halal bukan terlarang. Makanan yang berasal dari harta yang
halal, maka halal untuk dimakan.
· Adanya kegiatan tahlilan yang kurang
sehat yang terjadi pada lingkungan yang kurang paham mengenai maksud, tujuan
serta penerapannya, bukanlah “dalih” untuk melarang tahlilan, sebaliknya hal
itu harus diperbaiki agar sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
· Tidak semua perkata baru atau bid’ah
jatuh pada status hukum haram. Bahkan, para ulama telah memberikan contohnya
dalam kitab-kitab mereka tentang adanya perkara baru (bid’ah) yang hanya jatuh
pada status hukum makruh dan ini banyak tersebar dalam kitab-kitab mereka.
· Ulama hanya berbeda dalam penyebutan
perkara yang dimanakan bid’ah, sebagain menyebutnya sebagai bid’ah, sebagian
tidak, namun esensinya sama.
· Aliran Wahhabiyah dengan aqidahnya
mujassimah atau musyabbihah maka termasuk dalam kategori bid’ah yang haram
(bid’ah muharramah).
Semoga dengan
semua ini bisa memberikan informasi berimbang mengenai komentar para ulama Ahl
Sunnah wal Jama’ah demikian juga komentar dari yang tidak menyetujui
CATATAN KAKI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar