FITNAH-FITNAH KEJI KAUM SALAFI & WAHABI
Pembahasan-pembahasan
sebelum ini sebenarnya telah memberi gambaran yang cukup memadai tentang adanya
fitnah-fitnah keji yang dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi di dalam
fatwa-fatwa mereka terhadap amalan-amalan kaum muslimin yang sering mereka
tuduh sebagai bid'ah.
Namun begitu, perlu kiranya kami menyebutkannya lebih khusus agar setiap orang
bisa mengetahui keburukan ajaran mereka dengan jelas, lalu terhindar dari
dakwah sesat mereka.
Secara umum
fitnah-fitnah mereka hanya berkisar antara tuduhan bid'ah,
sesat, syirik, atau kufur.
Tuduhan "menambah-nambahi agama",
"membuat-buat syari'at", "mengkultuskan Rasulullah Saw. atau
para wali", "amalan sia-sia dan tidak ada pahalanya",
"mengikuti tradisi dan menolak kebenaran", adalah contoh
fitnah yang sering mereka lontarkan di dalam buku-buku mereka.
Di antara
fitnah-fitnah yang mereka lontarkan di dalam buku Ensiklopedia
Bid'ah (kumpulan fatwa-fatwa para ulama Salafi & Wahabi), adalah sebagai berikut:
1. Syaikh
Abdul Aziz bin Baz berkata: "Lebih
dari itu, pada umumnya, di sebagian negara, acara-acara peringatan maulid ini –selain
bid'ah- tak lepas dari kemunkaran-kemunkaran. Misalnya, ikhtilath (campur-baur) antara
pria dan wanita, pemakaian lagu-lagu dan bunyi-bunyian, minum-minuman yang memabukkan dan membuat
tidak sadar, serta kemunkaran lainnya. Kadangkala terjadi juga hal yang lebih
besar daripada itu, yaitu perbuatan syirik akbar karena ghuluw (sikap berlebihan)
terhadap Rasulullah Saw. atau para wali, berdo'a atau beristighatsah kepada beliau,
meminta pertolongannya, mempercayai bahwa beliau mengetahui hal-hal yang ghaib,
dan
bermacam-macam kekufuran lainnya
yang biasa dilakukan orang banyak dalam acara peringatan maulid Nabi Saw. atau
selain beliau yang mereka sebut sebagai wali." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 11).
Di dalam
buku kecil yang dibagi-bagikan kepada jamaah haji setiap tahun, Hirasatu at-Tauhid atau
terjemahnya Menjaga
Tauhid, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, disebutkan: "…kemunkaran-kemunkaran, seperti
bercampurnya lelaki dan perempuan (bukan mahram), pemakaian lagu-lagu dan
bunyi-bunyian, minum-minuman
yang memabukkan, ganja, dan lain
sebagainya …" (Menjaga
Tauhid/ Hirasatu at-Tauhid, 2004, hal. 12)
2. Ia juga
berkata: "Semua ini tidak lain karena ia
merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan pensyari'atan sesuatu yang tidak
diizinkan Allah, serta
merupakan tasyabbuh (penyerupaan-red) dengan musuh-musuh Allah dari golongan
Yahudi dan Nasrani yang
menambah-nambahi agama mereka dan mengada-ada apa yang tidak diizinkan
Allah." (Ensiklopedia
Bid'ah, hal. 8).
3. Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata: "Sesungguhnya
seorang mubtadi' (pelaku amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah-red) meyakini bahwa Islam itu kurang, dan bahwa
bid'ahnya itu sebagai penyempurna agama ini." (Ensiklopedia Bid'ah, hal. 41).
4. Ia juga
berkata: " Sebagian kaum sufi ada yang terjerumus
dalam bid'ah yang keji, di antaranya adalah mereka membawa anak-anak lelaki
tampan yang masih kecil (belum baligh), dan mereka melakukan sodomi, kemunkaran
dan kekejian terhadap mereka, dan
setelah itu mereka mengklaim taat beragama, dan istiqamah, padahal perbuatan
dan akhlak mereka seperti itu!" (Ensiklopedia
Bid'ah, hal. 144).
5. Syaikh
Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: "Dalam
hadis ini (latattabi'unna sunana man kaana qablakum-red) dijelaskan bahwa tasyabbuh dengan orang kafir adalah suatu hal yang mendorong kaum Bani
Israil dan sebagian umat Nabi Muhammad Saw. untuk meminta permintaan buruk, yaitu menuntut Nabi Musa untuk membuatkan
bagi mereka tuhan-tuhan berhala yang dapat mereka sembah dan mencari berkah
darinya. Dan ini pulalah yang terjadi sekarang ini,
di mana sebagian kaum muslimin senang meniru-niru kaum kuffar dalam praktek
bid'ah dan kesyirikan, seperti perayaan hari kelahiran dan maulid, menjadikan hari-hari atau minggu-minggu
tertentu untuk suatu kegiatan ritual khusus, menyelenggarakan pertemuan dan
perayaan keagamaan, perayaan hari-hari peringatan, mendirikan patung-patung dan bermacam
berhala kenangan, serta
menyelenggarakan pesta makan dan berbagai bid'ah jenazah serta membangun
kuburan, dan lain-lainnya." (Ensiklopedia
Bid'ah, hal. 85).
6. Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: "…maka
ketahuilah bahwa siapa pun yang berbuat suatu bid'ah (perkara baru yang mereka
tuduh bid'ah-red) di dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid'ahnya itu, selain merupakan
kesesatan juga sebagai suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman
Alah Swt., yang artinya, "Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu
agamamu …" Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan
bahwa Islam belum sempurna, sebab ada
amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah,
belum terdapat di dalamnya." (Ensikopedia
Bid'ah, hal. 23).
------
Tuduhan-tuduhan
di atas lebih pantas
disebut sebagai fitnah, karena di samping tidak didukung oleh
data yang jelas dan akurat, juga tidak berdasar pada kenyataan yang sebenarnya.
Kaum Salafi & Wahabi seperti mereka ini selalu memandang amalan orang dari
sudut pandang sendiri, sehingga apa yang mereka pahami sungguh jauh berbeda
dari pemahaman pelaku amalan itu sendiri. Pantas saja kalau orang yang berdo'a
menghadap kuburan bisa mereka cap musyrik
(melakukan syirik/menyekutukan Allah),
sebab mereka menganggap orang itu meminta kepada kuburan atau kepada orang yang
ada di dalam kubur tersebut, dan penilaian seperti ini bisa muncul semata-mata
karena zhahirnya orang itu berdo'a menghadap kuburan. Tapi kenapa para malaikat yang jelas-jelas
bersujud kepada Nabi Adam As. tidak mereka hukumi musyrik, padahal secara zhahir mereka bisa saja
dianggap menyembah Nabi Adam As.? Sungguh bila kaum Salafi
& Wahabi bisa memahami kasus malaikat & Nabi Adam As itu dengan baik,
niscaya mereka akan mampu memandang secara jernih untuk kasus-kasus yang lain,
seperti: Mengusap kuburan, mengusap Ka'bah, berdo'a menghadap kuburan,
memanggil nama orang yang sudah meninggal, dan lain sebagainya, yang secara
zhahir bisa saja dianggap syirik.
Syirik itu
letaknya di dalam hati dan erat kaitannya dengan keyakinan. Apa yang ada di
dalam hati tidak mungkin diketahui kecuali bila diungkapkan dengan
pernyataan-pernyataan lisan. Adapun perbuatan, meski juga dapat merupakan ungkapan
hati, namun tidak selalu bisa dihukumi dengan hanya melihat zhahirnya perbuatan
tersebut, kecuali bila maksud perbuatan itu dijelaskan dengan lisan. Mencium
tangan orang 'alim,
orang shaleh, atau orang yang lebih tua usianya saat bersalaman dengan mereka,
tidak mungkin bisa langsung dianggap syirik sebelum diketahui bahwa maksudnya
adalah menuhankan (mengkultuskan) orang tersebut.
Ternyata,
sikap mencium tangan itu dilakukan bukan dalam rangka mengkultuskan seseorang,
melainkan hanyalah sebuah ungkapan penghormatan atau pemuliaan yang sudah lazim
dilakukan banyak orang sebagai adat di masyarakat. Sama halnya dengan perbuatan
Rasulullah Saw. mencium hajar aswad
yang tidak mungkin dihukumi syirik semata-mata karena zhahir perbuatannya,
sebagaimana juga orang yang shalat dan bersujud di depan Ka'bah tidak dapat
serta-merta dianggap menyembah Ka'bah hanya karena ia menghadap kepadanya saat
bersujud di dalam shalatnya.
----------
Tentang
fitnah-fitnah di atas, kita perlu mengajukan kepada kaum Salafi & Wahabi
beberapa pertanyaan tentangnya, agar mereka dapat memahami dan memikirkan ulang
kenapa mereka tega mengungkapkan pernyataan-pernyataan berbau fitnah tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
1. Di
manakah dan siapakah di antara pelaku peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. yang
menghisap ganja atau menghidangkan minuman yang memabukkan pada acara tersebut?
2. Benarkah latar belakang diadakannya
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. adalah untuk meniru Yahudi dan Nasrani,
kitab tarikh (sejarah) mana yang menyebutkannya?
Pantaskah dianggap sama, umat Islam memperingati kelahiran seorang Nabi dan
Rasul, sementara Nasrani merayakan kelahiran "anak tuhan"? Bukankah
puasa 'Asyura (10 Muharram) dilakukan oleh Rasulullah
Saw. karena meniru perbuatan orang-orang Yahudi di Madinah?
3.
Apakah ikhtilath (berbaur)
antara laki-laki dan perempuan di acara Maulid itu sama buruk dengan ikhtilath yang terjadi saat
acara konser musik atau dangdutan? Bukankah di Masjidil Haram khususnya di
areal thawaf juga terjadi ikhtilath antara laki-laki dan
perempuan, dan itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw.? Apakah dengan
begitu ibadah thawaf
jadi buruk dan terlarang?
4. Manakah dari amalan-amalan berikut ini yang
dikategorikan sebagai kemunkaran dan kekufuran di dalam acara Maulid:
Membaca dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an, berzikir, bershalawat,
bersilaturrahmi, menuntul ilmu, mendengar nasihat, mendengarkan pembacaan
riwayat kelahiran Nabi Muhammad Saw., memuliakan dan menyanjung beliau,
berkumpul dengan orang-orang shaleh, berdo'a, dan berbagi rezeki?
5. Siapakah
yang menganggap atau meyakini bahwa agama itu masih kurang dan belum sempurna?
Dan siapakah yang berniat menyempurnakannya dengan melakukan amalan yang
dituduh bid'ah seperti Maulid atau
tahlilan?
6. Sufi
manakah yang mereka tuduh telah tega melakukan sodomi terhadap anak laki-laki
yang tampan, apakah Syaikh Abu Yazid al-Busthomi, Syaikh Jalaluddin Rumi,
Syaikh Ahmad at-Tijani, Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Abul-Hasan
asy-Syadzili, ataukah hanya segelintir orang fasik yang berpura-pura menjadi
sufi? Pantaskah tindakan bodoh segelintir orang fasik yang menamakan diri
mereka sebagai sufi dijadikan dasar untuk menganggap sesat ilmu tasawuf dan seluruh kalangan sufi terutama mereka yang telah
disebutkan di atas?
7. Siapakah
yang berniat menghujat agama dengan melakukan kegiatan Maulid, tahlilan, atau
lainnya?
Kiranya
pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat mereka jawab dengan dalil terperinci dan
dengan mengajukan data yang akurat tentang tokoh atau pelaku yang mereka
tuduhkan itu. Sebab kalau tidak, tuduhan-tuduhan mereka bukan cuma fitnah keji,
tetapi juga penipuan besar! Dan anehnya, pernyataan-pernyataan jahat seputar
acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. seperti di atas, masih terus disebarluaskan,
dan buku yang memuatnya dicetak berulang-ulang dan dibagikan secara cuma-cuma,
terutama kepada jama'ah haji setiap tahunnya. Lebih aneh lagi, kok masih ada
saja yang percaya, setuju, lalu mengikuti ajarannya.
Yang
mungkin membuat mereka berpendapat sedemikian, adalah sikap mereka dalam
memahami amalan orang lain yang selalu dinilai dari sudut pandang sendiri,
ditambah lagi objek penilaian mereka seringkali adalah kalangan awam yang tidak
mengerti dalil, atau bahkan "oknum" fasik yang menikmati maksiat
kegemarannya di balik topeng tasawuf atau amalan Maulid. Ketahuilah, kekeliruan amalan orang awam
karena kebodohannya, atau keburukan suatu amalan karena kefasikan pelakunya,
sama sekali tidak dapat dijadikan dasar atau alasan untuk menggenarilisir (memukul
rata) setiap amalan sejenis sebagai amalan yang buruk dan sesat.
Jika kita pernah diberi obat yang keliru oleh seorang dokter sehingga penyakit
kita bertambah parah karenanya, pantaskah pengalaman itu membuat kita
menganggap bahwa seluruh dokter sama buruknya dengan "oknum" dokter
tersebut? Atau jika ada berita tentang seorang "oknum" tukang bakso
yang menggunakan daging tikus dalam membuat baksonya, pantaskah jika kemudian
kita berfatwa bahwa makan bakso yang mana saja haram hukumnya tanpa terkecuali
karena menganggap semua tukang bakso sama-sama menggunakan daging tikus?
Jawabnya, tentu tidak.
Mungkin,
peribahasa yang paling pantas untuk menggambarkan cara pandang kaum Salafi
& Wahabi dalam menilai amalan orang lain, adalah: "Kambing di seberang laut dikira
macan, serigala di pelupuk mata dikira domba".
Akhirnya,
setiap orang (termasuk kaum Salafi & Wahabi) hendaknya bertanya, kebaikan
apakah yang terdapat di dalam sebuah ajaran agama seperti Salafi & Wahabi
yang banyak mendasari ajarannya dengan tuduhan dan fitnah? Pantaskah ajaran
seperti itu diikuti atau bahkan dianggap sebagai yang terbaik, paling lurus,
dan paling sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau? Hanya
orang berakal sehatlah yang dapat menjawabnya dengan benar!
FITNAH
TERHADAP ASY'ARIYYAH
DAN
MISTERI AHLUSSUNNAH
WAL-JAMA'AH
Asy'ariyyah
adalah
sebutan bagi sebuah faham atau ajaran aqidah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul-Hasan Ali al-Asy'ari
(Lahir dan wafat di Basrah tahun 260 H- 324 H.). Para pengikutnya sering
disebut dengan Asy'ariyyuun
atau Asyaa'irah
(pengikut mazhab al-Asy'ari). Abul-Hasan Ali Al-Asy'ari, yang kemudian dikenal
sebagai pelopor aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah, memiliki garis keturunan
(garis ke-10) dari seorang Sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal keindahan
suaranya dalam membaca al-Qur'an, yaitu Abu Musa al-Asy'ari. Beliau lahir 55
tahun setelah wafatnya al-Imam Syafi'I, dan Abul-Hasan al-Asy'ari adalah
pengikut Mazhab Syafi'i.
Pada
mulanya, beliau beraqidah Mu'tazilah karena berguru kepada seorang ulama
Mu'tazilah yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba'i (Wafat 295H.). Setelah menjadi pengikut Mu'tazilah selama
+ 40 tahun, beliau bertobat lalu mencetuskan semangat beraqidah berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis
sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta para
ulama salaf (seperti Imam Malik, Imam Syafi'I, Imam Ahmad, dan lain-lainnya).
Dalam
mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini, terdapat pula seorang ulama yang
sejalan dengan al-Asy'ari, yaitu Syaikh Abu
Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand Asia Tengah pada
tahun 333 H). Meskipun paham atau ajaran yang mereka sampaikan itu sama atau
hampir sama, namun al-Asy'ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak
pengikutnya, sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah lebih
sering disebut dengan al-Asyaa'irah (pengikut al-Asy'ari) atau
al-Asy'ariyyun.
Ahlus-Sunnah
wal-jama'ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu'tazilah yang
cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur'an atau Hadis. Banyak keyakinan
Mu'tazilah yang dianggap oleh al-Asy'ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih
buruknya, ketika Mu'tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah
al-Ma'mun, al-Mu'tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak
ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama
yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu'tazilah itu
adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ajaran
al-Asy'ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah) ini kemudian berhasil
meruntuhkan paham Mu'tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka
dengan al-Qur'an dan Hadis serta dalil-dalil 'aqly (akal) sebagaimana
dicontohkan oleh para salafush-shaleh.
Pada masa
berikutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ini dianut dan disebarluaskan oleh
ulama-ulama besar seperti Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq
al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain
al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403
H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.),
'Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227
H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat
1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.
Karya-karya
tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam,
sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah itu menjadi paham para ulama dan umat
Islam mayoritas di berbagai negeri seperti: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya,
Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina,
Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon,
Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar daerah Sovyet, dan
Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat "I'tiqad
Ahlussunnah Wal-Jama'ah" karya KH. Siradjuddin Abbas,
diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).
Para Ulama
pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali) adalah penganut
aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Ajaran
aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama
untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw., Isra' Mi'raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan
pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang
shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya
didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur'an dan Hadis serta Atsar para
Sahabat Rasulullah Saw.
Belakangan,
Asy'ariyyah sering dipisahkan
penyebutannya dari Ahlussunnah
Wal-jama'ah, hal seperti ini telah dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di
dalam pembahasan fatwa-fatwanya yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya,
yaitu kaum Salafi & Wahabi. Akan tetapi, antara pandangan Ibnu Taimiyah dan
kaum Salafi & Wahabi di masa belakangan tentang Asy'ariyyah
terdapat perbedaan. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah
aqidah para ulama salaf
(yaitu para Shahabat Rasulullah Saw. dan para ulama yang hidup di 3 generasi
pertama masa Islam + 300 H.), bukan monopoli sebuah kelompok saja seperti Asy'ariyyah. Artinya, Ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa para Shahabat Rasulullah Saw., para tabi'in, ulama
madzhab yang empat, dan siapa saja yang berpedoman kepada al-Qur'an, as-Sunnah,
serta ijma' ulama salaf, adalah Ahlussunnah
Wal-jama'ah (lihat Majmu'
Fatawa Ibni Taimiyah, Dar 'Alam al-Kutub, juz 3, hal. 157).
Secara
tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui Asy'ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama'ah terutama pada pendapat-pendapat yang ia
anggap sejalan dengan prinsip al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijma' ulama salaf. Sedangkan kaum Salafi & Wahabi
belakangan lebih cenderung menganggap Asy'ariyyah sebagai aliran sesat yang bukan termasuk Ahlussunnah Wal-jama'ah.
Pembahasan-pembahasan
Kaum Salafi & Wahabi ini kemudian mengarahkan umat untuk menganggap bahwa Asy'ariyyah hanyalah kelompok
aliran ilmu kalam (ilmu pembicaraan)
yang tidak ada hubungannya dengan nama Ahlussunnah
Wal-Jama'ah. Ilmu kalam mereka anggap sebagai hasil
pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan logika yang didasari oleh
pemikiran filsafat, dan dengan keadaan seperti itu ia banyak dikecam oleh para
ulama salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap
kelompok-kelompok ahli kalam diarahkan kepada Asy'ariyyah
sedangkan para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy'ariyyah yang baru muncul
setelah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka sebenarnya yang mereka
kecam adalah aliran-aliran aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan sudah
berkembang di saat itu, seperti: Qadariyyah,
Jabbariyyah, Khawarij, Syi'ah, dan Mu'tazilah.
Pendek
kata, Asy'ariyyah menurut kaum Salafi
& Wahabi adalah bukan Ahlussunnah
Wal-Jama'ah, melainkan aliran bid'ah
yang harus dijauhi. Perhatikanlah fatwa-fatwa ulama Salafi & Wahabi berikut
ini:
Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata:
"Kemudian
muncul juga kelompok yang lain, dan mereka menyebut dirinya Asy'ariyah. Mereka
mengingkari sebagian sifat Allah dan menetapkan sebagian yang lain. Mereka
menetapkan sifat-sifat tersebut berdasar kepada akal. Maka tidak diragukan lagi
bahwa hal itu merupakan bid'ah dan perkara baru dalam agama Islam" (Ensiklopedia
Bid'ah, hal. 140).
Syaikh
Muhammad bin Musa Alu Nashr berkata:
"Tetapi,
apakah Asya'irah dan Maturidiyah itu Ahlussunnah, ataukah mereka termasuk Ahli
Kalam? Hakikatnya, mereka ini termasuk Ahli Kalam. Mereka bukan termasuk
Ahlussunnah, walaupun mereka ahlul-millah, ahli qiblah (umat Islam).
Dikarenakan al-Asya'irah dan Maturidiyah itu menyelisihi Ahlussunnah
Wal-Jama'ah" ( lihat Majalah As-Sunnah, edisi
01/tahun XII, April 208, hal. 35).
Ungkapan di
atas adalah sebuah fitnah dan penipuan besar terhadap Asy'ariyyah, sebab tidak
seorang pun dari ulama yang menyatakan hal seperti itu kecuali kaum Salafi
& Wahabi.
Aqidah
Ahlussunnah Wal-Jama'ah memang bukan hanya milik Asy'ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang berpegang kepada
al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat beliau adalah
termasuk Ahlussunnah
Wal-Jama'ah, baik
sebelum Asy'ariyyah
muncul atau
sesudahnya. Akan tetapi, aqidah (keyakinan)
Ahlussunnah Wal-Jama'ah seperti itu belumlah tersusun secara rapi dan masih
terpencar-pencar di masa ulama salaf, mengingat pada masa itu para ulama
menghadapi cobaan berat dari penguasa yang beraqidah Mu'tazilah (lihat I'tiqad
Ahlussunnah Wal-Jama'ah, KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah,
Jakarta, hal. 16).
Barulah
pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy'ari yang menyusun aqidah
Ahlussunnah Wal-Jama'ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja
keras menyebarluaskannya di kalangan umat sebagai suatu rumusan yang rapi
sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu'tazilah. Dengan sebab
itulah maka Abul Hasan al-Asy'ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin
Ahlussunnah Wal-Jama'ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya'irah secara otomatis
termasuk Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ
بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج.
2، ص. 6)
"Apabila
disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya'irah (para
pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu
Manshur al-Maturidi" (Ithaf Sadat al-Muttaqin,
Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6. Lihat I'tiqad
Ahlussunnah Wal-Jama'ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17).
وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في
جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا
بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1
ص: 38)
"Adapun
hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah
disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan
Al-Asy'ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki
dengan Asya'irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari)" (Al-Fawakih
ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415,
juz 1, hal. 38).
كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري
وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)
"Begitu
pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu
Manshur al-Maturidi" (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1
hal. 103)
وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية
أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور
الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي
العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)
"Dan
Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran
tentang Ahlussunnah Asya'irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah
orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup
orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu
Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Hasyiyah
Al-'Adwi, Ali Ash-Sha'idi Al-'Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz
1, hal. 105).
والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم
أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على
مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)
"Dan
yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah, dan mereka adalah
para pengikut Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu
'anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)" (Hasyiyah
At-Thahthawi 'ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi,
Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Pernyataan
para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi &
Wahabi terhadap Asy'ariyyah
adalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di
satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan) Asy'ariyyah
dari daftar kumpulan Ahlussunnah
Wal-Jama'ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan
diri sebagai kelompok Ahlussunnah
Wal-Jama'ah yang sebenarnya.
Boleh
dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di
dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy'ariyyah, malah hubungan ini
seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi
& Wahabi lah yang menolak adanya hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu
aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul
Hasan al-Asy'ari sudah lebih dulu menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut
jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi muncul, apalagi masa hidup
beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama salaf.
Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama'ah bagi Asy'ariyyah dan "pemimpin
Ahlussunnah Wal-Jama'ah" bagi Abul Hasan al-Asy'ari, hanyalah sebagai
suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau dalam
menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah serta perjuangan beliau dalam
mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu'tazilah masih
berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy'ariyyah
atau Maturidiyyah
adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sebab
baik Abul Hasan al-Asy'ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa
yang sudah diyakini oleh para ulama salaf yang bersumber kepada
al-Qur'an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya
menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.
Di saat
para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah merasa berbahagia dengan mengakui diri
sebagai pengikut ajaran Asy'ariyyah,
kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan
memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama'ah yang tidak ada
hubungannya dengan Asy'ariyyah.
Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah
tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan
para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta
atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku
sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah dengan
hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan keadaan ini
berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.
Sebagai
contoh, kaum Salafi & Wahabi boleh saja mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang
tidak ada hubungan sejarah dengan Asy'ariyyah,
tetapi asal tahu saja, ternyata tidak seorang pun ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah
yang berfatwa atau berpendapat seperti mereka bahwa memuji dan menyanjung
Rasulullah Saw., bertawassul dengan beliau setelah wafatnya, dan bertawassul
dengan para wali atau orang shaleh yang sudah meninggal adalah sebuah sarana
kemusyrikan. Jadi, siapakah yang lebih pantas disebut Ahlussunnah Wal-Jama'ah, kaum
Salafi & Wahabi yang memahami aqidah para ulama salaf dengan caranya
sendiri sehingga berbeda kesimpulan dengan para ulama salaf itu, ataukah para
pengikut Asy'ariyyah yang menerima
ajaran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke generasi
melalui para guru dan kitab-kitab mereka?
-------
Dari buku materi darul mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar