BERDALIL
SECARA SERAMPANGAN
|
Setelah membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi menyangkut
tuduhan mereka tentang bid'ah, kita dapat mengetahui bahwa keberadaan
dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan pemahaman
anti bid'ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa dalil-dalil tersebut
semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah tertentu, sedangkan
fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah seperti memberikan rincian yang tidak
pernah disebutkan oleh dalil. Para ulama saja tidak berani melakukan hal itu
sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci, sehingga mereka hanya
berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk membolehkan suatu perkara
atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat digunakan untuk segala macam
perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun yang berhubungan dengan
urusan dunia.
Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun tidak dapat
dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya secara harfiyah
(tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya lagi dengan dalil-dalil lain yang mungkin
mengarahkan maknanya. Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan sangat gegabah,
karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori memahami dan
meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau pada
akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.
Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi & Wahabi
juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung pendapat-pendapat
mereka tentang tuduhan bid'ah. Sepertinya, hal itu mereka lakukan agar
kesan "salah" pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan bid'ah
tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan. Namun lagi-lagi dengan
cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah kegagalan memahami
dalil-dalil pokok bid'ah. Dengan kata lain, maksud hati ingin
memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa daya pemahaman yang
keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan mereka. Mengapa
begitu?
Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung itu bukan
pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka memahami
dalil yang serba harfiyah (tekstual). Mau tahu buktinya? Mari kita ambil
beberapa contoh.
1. Dalil tentang tuduhan
"menambah-nambahi agama" yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid'ah.
" …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu
..." (QS. Al-Maidah: 3)
Agama Islam memang sudah sempurna, siapa pun orang Islamnya tahu itu.
Melakukan amal kebajikan adalah perkara yang diperintahkan di dalam agama,
meski bentuk kebajikannya tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. dan para
shahabat beliau, yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip kebajikan menurut
agama.
Bagi kaum Salafi & Wahabi, umat Islam yang mengadakan acara peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, tawassul, dan
lain sebagainya dituduh telah "menganggap agama Islam ini masih
kurang" alias belum sempurna sehingga mereka tega "menambah-nambahi
agama", bahkan dengan begitu mereka dituduh telah menganggap Rasulullah
Saw. berkhianat dalam menyampaikan agama. Sungguh keji tuduhan ini!
Sesungguhnya, tidak seorang pun dari para ulama dan umat pelaku Maulid atau
tahlilan itu berniat menambah-nambahi agama, apalagi sampai menuduh Rasulullah
Saw. berkhianat. Sungguh hal itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak
mereka, yang ada hanyalah pikiran-pikiran tentang mengupayakan peluang amal
kebajikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dengan begitu
diharapkan setiap orang yang ikut serta dalam acara-acara tersebut mendapatkan
pahala, ampunan, rahmat, dan pengkabulan do'a dari Allah Swt.
Format acara yang memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. atau
para shahabat beliau hanyalah suatu wadah yang dibuat secara kreatif untuk
melaksanakan amalan-amalan yang sesungguhnya diperintahkan oleh Rasulullah Saw.
sendiri, seperti: Bersilaturrahmi, berzikir, bershalawat, mendo'akan orang
meninggal, bersedekah, mendengar nasihat atau ilmu, memupuk kecintaan dan
pengagungan kepada Rasulullah Saw., berdo'a, berbagi rezeki, dan memelihara
keimanan serta ketakwaan. Bisa dibayangkan, tanpa acara-acara kreatif seperti
itu, apa jadinya keadaan umat Islam di zaman belakangan ini yang nota bene
perhatiannya kepada akhirat sangat rendah; cintanya kepada dunia sudah
menguasai pikirannya; ditambah lagi acara-acara dunia dan maksiat sudah dikemas
jauh lebih kreatif dan menarik.
Kreasi kebajikan yang digagas oleh para ulama itu pun tidak pernah diklaim
sebagai "tambahan atas kekurangan agama", melainkan hanya sebagai
kegiatan keagamaan yang ditradisikan sebagai adat atau budaya yang dilaksanakan
dalam rangka syi'ar agama. Jadi tuduhan kaum Salafi & Wahabi adalah
tuduhan berlebihan yang diada-adakan dan tidak ada kenyataannya, sedangkan ayat
di atas hanyalah pernyataan dari Allah tentang kesempurnaan Islam, bukan berisi
tuduhan menambah-nambahi agama!
2. Dalil
tentang tuduhan "membuat-buat syari'at".
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? …" (QS. Asy-Syuuraa:
21).
Senada dengan tuduhan "menambah-nambahi agama", ayat ini
digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh pelaku Maulid, tahlilan,
zikir berjama'ah, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain-lainnya sebagai
"pembuat syari'at" yang "tidak diizinkan Allah".
Ada tiga hal yang semestinya mereka sadari tentang tuduhan tersebut:
a. Para ulama tidak pernah menganggap bahwa amalan-amalan tersebut sebagai
bagian dari ibadah mahdhah atau syari'at kecuali bila benar-benar ada
dalil yang menunjukkannya, melainkan hanya sebagai adat atau kebiasaan baik
yang mengandung maslahat. Di sinilah pangkalnya kenapa kaum Salafi & Wahabi
menuduh demikian, karena mereka selalu menganggap amalan "berbau
agama" sebagai "ibadah", di mana ibadah tidak boleh dilakukan
kecuali bila ada dalil yang memerintahkannya.
b. Ayat di atas jelas-jelas menyebut "sembahan-sembahan selain
Allah" yang menunjukkan adanya indikasi "syirik", dan memang
ayat ini ditujukan oleh Allah untuk orang-orang musyrik Jahiliyah penyembah
berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah.
Adalah sangat keterlaluan bila para ulama dan umat Islam yang melakukan
amalan seperti Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya dituduh mempunyai "sembahan-sembahan
selain Allah" yang telah mensyari'atkan kepada mereka amalan-amalan tersebut.
Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi ini bisa dengan seenaknya menuduh
saudaranya yang muslim sebagai orang-orang musyrik yang tidak mau menerima
syari'at Allah lalu malah mengambil syari'at tuhan selain Allah, padahal mereka
jelas-jelas mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji?
c. Kaum Salafi & Wahabi juga menuduh amalan-amalan tersebut sebagai
amalan "yang tidak diizinkan Allah". Pertanyaannya, dari mana
mereka tahu bahwa amalan tersebut tidak diizinkan Allah, padahal ayat itu tidak
menyebut perincian jenis atau macamnya? Tidak cukupkah mereka menipu umat
dengan mengatasnamakan tuduhan mereka dengan firman Allah? Sungguh
terlalu! Lagipula, para ulama tafsir sudah menjelaskan, bahwa "yang
tidak diizinkan Allah" itu maksudnya adalah syirik (menyembah berhala
atau menyembah selain Allah), mengingkari pembangkitan di hari Kiamat, atau
keyakinan-keyakinan Jahiliyah lainnya.
3. Dalil tentang tuduhan
"Beragama Tradisi" atau "Fanatik Terhadap Tokoh Bid'ah"
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".
"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah:
170).
Ayat ini termasuk dalil pamungkas yang digunakan kaum Salafi & Wahabi
untuk menyudutkan orang-orang yang mereka tuduh sebagai pelaku bid'ah. Di dalam
buku Ensiklopedia Bid'ah hal. 84 disebutkan begini, "Bila mereka
diajak untuk mengikuti Kitab al-Qur'an dan Sunnah, dan diajakmeninggalkan
apa yang mereka kerjakan yang bertentangan dengan keduanya (al-Qur'an dan
as-Sunnah) mereka berdalil (berargumen) dengan madzhab-madzhab mereka dan
dengan pendapat guru-guru, orang tua dan nenek moyang mereka."
Orang awam akan terhenyak mendengar ayat ini, lalu mereka akan membenarkan
penjelasan kaum Salafi & Wahabi, kemudian mengikuti pendapat mereka.
Padahal lagi-lagi mereka telah melakukan penipuan yang sangat fatal, yaitu:
a. Ayat tersebut di atas berbicara tentang orang-orang kafir atau
musyrikin penyembah berhala yang tidak mau diajak untuk hanya menyembah kepada
Allah dengan alasan mengikuti keyakinan para leluhur dan nenek moyang mereka
dalam menyembah berhala. Keterangan seperti ini bisa didapat di dalam kitab
tafsir yang mana saja, dan itu berarti para ulama tafsir tidak ada yang berbeda
pendapat tentang maksud ayat ini. Hanya kaum Salafi & Wahabi yang mengarahkan
maksud ayat itu kepada umat Islam yang mereka tuduh sebagai ahli bid'ah,
padahal penafsiran mereka yang semacam inilah yang lebih pantas disebut bid'ah.
b. Kaum Salafi & Wahabi, dengan penafsiran ayat di atas, bukan hanya
memfitnah orang-orang muslim yang dituduh melakukan bid'ah saja, tetapi juga
sekaligus memfitnah guru-guru dan pendahulu mereka atau nenek moyang mereka
yang muslim lagi shaleh yang mengajarkan amalan-amalan kebaikan seperti Maulid,
tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya berdasarkan prinsip
ajaran Islam. Para guru dan pendahulu yang alim dan shaleh itu mereka anggap
sebagai orang-orang yang "tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk", padahal ratusan bahkan ribuan jilid "kitab
kuning" dalam berbagai cabang ilmu agama telah mereka hasilkan dan telah
menjadi hantaran petunjuk bagi banyak orang dari zaman ke zaman.
Salahkah bila seorang muslim ditanya, "Kenapa kamu mengadakan tahlilan
atau Maulid?" lalu ia menjawab, "Karena kami mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh guru-guru kami dan orang-orang tua kami sejak dahulu",
sedangkan yang mengikuti dan yang diikuti sama-sama muslim dan sama-sama
memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah kebaikan yang tidak bertentangan
dengan prinsip Islam? Sungguh, hanya orang berpikiran picik saja yang
menganggap sama antara orang muslim yang mengikuti jejak pendahulunya yang
muslim dengan orang kafir atau musyrik yang mengikuti pendahulunya yang kafir
atau musyrik juga.
c. Dengan mengajukan ayat di atas sebagai dalil, kaum Salafi &
Wahabi seolah mendeklarasikan diri sebagai orang-orang yang mengikuti "
apa yang telah diturunkan Allah", sedang selain mereka tidak.
Seharusnya mereka bertanya, apakah Allah menurunkan perintah untuk menyamakan
orang muslim dengan orang kafir atau musyrik? Mereka juga seharusnya bertanya,
apakah mereka benar-benar tidak mengikuti guru-guru dan pendahulu mereka dalam
keterlaluan sikap mereka itu??!
Bila ternyata Allah tidak menurunkan perintah-Nya untuk menyamakan muslim
dengan kafir atau musyrik, dan bila sikap yang keterlaluan itu tidak pernah
dicontohkan oleh para guru dan pendahulu mereka, maka ajaran siapakah yang
mereka ikuti sehingga mereka merasa paling benar dan selain mereka dianggap
salah atau sesat? Selama ini, sebagaimana sudah diketahui secara umum, tidak
ada yang mengajarkan arogansi seperti itu dalam hal apapun selain iblis, saat
ia berkata "Aku lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan aku dari
api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. Shaad: 76).
4. Dalil tentang tuduhan "Mendahului
Allah dan Rasul-Nya"
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui" (QS. Al-Hujuraat: 1)
Ayat ini sering dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh
bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.,
tahlilan, ziarah para wali, dan lain sebagainya telah "mendahului Allah
dan Rasulullah Saw." dalam menetapkan suatu amalan di dalam agama. Dalam
bahasa lain, telah berbuat lancang, karena mengadakan sesuatu amalan yang
belum diperintahkan oleh Allah atau Rasulullah Saw.
Penggunaan dalil tersebut sepertinya tepat, padahal secara logika sangat
tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, mana mungkin disebut mendahului sedangkan
yang didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi sampai hari
Kiamat (wahyu al-Qur'an sudah tidak turun, dan Rasulullah Saw. sudah wafat)?
Bisa disebut mendahului apabila ada suatu masalah yang ditanyakan kepada
Rasulullah Saw., lalu ada orang yang berani angkat suara untuk menjawabnya di
saat beliau belum menjawabnya; atau Rasulullah Saw. membuat suatu keputusan
atau pilihan, lalu ada orang yang mengusulkan agar keputusan atau pilihan itu
diganti; atau ada orang yang melakukan suatu amalan sebelum waktunya padahal
waktu pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Allah atau Rasulullah Saw seperti:
Menyembelih hewan kurban sebelum shalat 'Ied, shalat fardhu sebelum
waktunya, dan lain-lain. Intinya, disebut mendahului, bila proses pensyari'atan
masih berlangsung di mana wahyu masih turun dan Rasulullah Saw. masih hidup,
atau bila ketentuan amalan syari'at yang telah ditetapkan waktunya dilakukan
sebelum waktunya tiba.
Lebih fatal lagi kalau tuduhan "mendahului Allah dan Rasul-Nya"
ini diartikan bahwa orang-orang yang melakukan peringatan Maulid atau tahlilan
sudah melakukan kegiatan tersebut padahal Allah atau Rasulullah Saw. belum
menetapkan perintah atau hukumnya. Itu berarti ada pemahaman seolah-olah wahyu
masih diharap akan turun dan Rasulullah Saw. masih akan bersabda, hanya saja
didahului oleh orang-orang itu. Bukankah proses pensyari'atan sudah selesai,
dan bukankah Islam sudah disempurnakan sehingga tidak akan mungkin lagi turun
syari'at baru dari Allah atau dari Rasulullah Saw. dalam hal menyuruh atau
melarang? Jadi tuduhan "mendahului" ini ngawur, tidak pada tempatnya,
terlalu dipaksakan, dan sangat mengada-ngada.
5. Dalil tentang
tuduhan "Berlebihan Dalam Urusan Agama".
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا
هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد)
Rasulullah Saw. bersabda: "Jauhilah oleh kalian akan ghuluw
(berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum
kalian dengan sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama" (HR.
Ahmad).
Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang
yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya
sebagai pelaku "ghuluw" (berlebihan) dalam beragama. Sisi
"berlebihan" yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa
tidak cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para
shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut
mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan
antara "amalan bernuansa agama" dengan "amalan di dalam
agama".
Para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan-amalan tersebut
sesungguhnya tidak pernah menganggapnya bagian dari agama atau syari'at,
melainkan hanya sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan
dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal
shaleh tidak ada kata "berlebihan", sebab rumusnya di dalam agama, "Sesungguhnya
Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS.
At-Taubah: 120). Jadi, "semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin
besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan". Orang yang banyak
berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau
orang yang banyak melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan
"berlebihan di dalam agama", sebab semuanya itu diberi pahala sesuai
dengan amalannya.
Para ulama hadis menafsirkan kata "ghuluw" (berlebihan)
pada hadis di atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas.
Konotasinya –sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan
melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang
sebenarnya mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di
dalam hadis tersebut dengan ungkapan "telah binasa orang-orang sebelum
kalian".
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika
diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri dengan
banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail dari sapi itu.
Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan dengan
peristiwa melontar Jamratul-'Aqabah di Mina, saat Rasulullah Saw.
menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu melontar, yang
tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil
atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah Saw.
berkata, "Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian
melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan)
di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab
ghuluw di dalam agama."
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang "berlebihan di
dalam agama", apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan
kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi & Wahabi
yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya
sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh dengan
vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!
Perhatikanlah vonis-vonis "berlebihan" yang sering
dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan,
tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka
berkata: "Tidak ada pahalanya!", "sesat!",
"sia-sia", "musyrik!", "kafir!", "masuk
neraka!", "tidak ada dalilnya!", "menambah-nambahi
agama!", "mengada-ngada!", "haram!", "jangan
bergaul dengan ahli bid'ah!", dan lain sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang
mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan "Quburiyyun",
bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang
senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan "Abdun-Nabi"
(hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar
telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh
Dari Al-Qur'an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan
Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw.
mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya
dengan kalimat-kalimat tersebut?
***********
Pembahasan di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak
keserampangan di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi
dalam berfatwa tentang bid'ah. Sikap serampangan itu bukan hanya
menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari
alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka
anggap sebagai bid'ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan
dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan musyrik
penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara mereka yang muslim.
Lihatlah satu contoh lagi dalil yang sering mereka gunakan untuk menghukumi
orang-orang yang biasa berziarah kubur para shalihin dan para wali yang sering
mereka juluki dengan Quburiyyun, atau orang-orang yang bertawassul
kepada Allah melalui para wali atau dengan jaah (kemuliaan) mereka, yang
dengan itu mereka anggap orang-orang itu telah mengambil "perantara"
dalam berdo'a atau beribadah kepada Allah sebagaimana para penyembah berhala
(lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 212), seperti yang difirmankan Allah
sebagai berikut:
"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya" . Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar." (QS. Az-Zumar: 3).
Benarlah sebagian ulama (seperti Syaikh Ibnu 'Abidin al-Hanafi dan yang
lainnya) yang menganggap kaum Salafi & Wahabi ini sebagai bagian dari
kelompok "Khawarij" yang dianggap sesat oleh seluruh ulama, di mana
salah satu cirinya adalah seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari:
باب قتل الخوراج والملحدين بعد إقامة الحجة عليهم وقول
الله تعالى {وما كان الله ليضل قوما بعد إذ هداهم حتى يبين لهم ما
يتقون} وكان ابن عمر يراهم شرار خلق الله وقال إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في
الكفار فجعلوها على المؤمنين (صحيح البخاري، دار ابن كثير، اليمامة بيروت، ج. 6، ص.
2539)
Bab Membunuh kelompok Khawarij dan Mulhidin (kafir/menyimpang) setelah
menegakkan hujjah (argumen) atas mereka. Dan firman Allah ta'ala: "Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi
petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus
mereka jauhi" (QS. At-Taubah: 115). Dan adalah Ibnu Umar Ra. memandang
mereka sebagai seburuk-buruknya makhluk Allah, dan ia berkata,
"Sesungguhnya mereka menelusuri ayat-ayat yang turun mengenai orang-orang
kafir, lalu mereka jadikan (terapkan) ayat-ayat itu atas orang-orang
beriman." (lihat Shahih al-Bukhari, Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah Beirut,
juz 6, hal. 2539).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar