Merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw
Sebagai seorang
mukmin, pengungkapan rasa syukur dan kegembiraan atas nikmat yang diterima
adalah suatu keharusan. Karena dengan itulah nikmat yang diterima akan terus ditambah oleh Allah SWT. Firman
Allah SWT:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا (يونس: 58)
“Katakanlah
(Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah
mereka.” (QS. Yunus: 58).
Begitu
pula dengan kelahiran seseorang ke alam dunia merupakan nikmat tidak terhingga yang harus disyukuri. Sebagaimana Rasulullah J mensyukuri hari
kelahirannya
dengan berpuasa. Dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِّ D أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيّ َ(رواه مسلم، 1977)
“Diriwayatkan dari Abu
Qatadah al-Anshari D, bahwa Rasulullah J pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan
dan wahyu diturunkan
kepadaku.” (HR.
Muslim [1977]).
Walaupun dengan tata
cara yang berbeda, tetapi apa yang dilakukan Rasul dan perayaan maulid yang
dilaksanakan oleh umat Islam saat
ini mempunyai esensi yang sama. Yakni bergembira dan bersyukur atas kelahiran
Rasulullah J sebagai suatu nikmat yang amat besar. [1]
Sekitar lima abad yang
lalu Imam Jalaluddin al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid
Nabi J. Di dalam al-Hawi li al-Fatawi beliau
menjelaskan:
“Ada sebuah pertanyaan
tentang perayaan Maulid Nabi J pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya
menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan
apakah orang
yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa
semula perayaan Maulid
Nabi J, yaitu manusia berkumpul, membaca
al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi J sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian
menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih.
Semua itu termasuk bid’ah
hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi J, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas
kelahiran Nabi Muhammad J yang mulia.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz I, hal.
251-252).
Bahkan
hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah, sebagai-mana dikutip
oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki:
“Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang yang
melaksanakan perayaan Maulid Nabi J akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang,
adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan adakalanya juga
dilakukan sebagai
ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi J. Allah SWT akan memberi pahala kepada
mereka atas kecintaan mereka
kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, hal. 399)
Perintis Peringatan Maulid Muhammad J
Imam Jalaluddin al-Suyuthi mengatakan bahwa
orang yang pertama kali
mengadakan perayaan Maulid Nabi J adalah penguasa
Irbil, Raja Muzhaffar Abu Sa’id al-Kukburi bin Zainuddin Ali bin Buktikin,
seorang raja yang mulia, luhur dan
pemurah. Beliau merayakan Maulid Nabi J yang mulia pada bulan Rabi’ul Awal dengan perayaan yang meriah.” (Al-Hawi li
al-Fatawi, juz I, hal. 252).
Beliau adalah seorang raja yang shaleh dan
bermadzhab Ahlussunnah. Terkenal sangat pemurah dan baik hati.
Beliau adalah seorang yang
rendah hati, baik budi, seorang sunni (termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jama‘ah) dan
mencintai fuqaha dan ahli
hadits. Beliau wafat tahun 630 H pada usia beliau 82 tahun.” (Tahdzib Siyar
A‘lam al-Nubala‘, juz III, hal. 224).
Membaca Shalawat kepada Nabi, Keluarga dan Sahabat Nabi J
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad J merupakan ibadah yang sangat terpuji. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الأحزاب: 56)
“Sesungguhnya Allah SWT dan para
malaikat-Nya membaca shalawat
kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian membaca shalawat disertai salam
kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56).
Jelas sekali ayat ini menyuruh umat Islam untuk membaca shalawat
kepada Nabi J di
manapun dan kapanpun saja. Tujuannya adalah
untuk mengagungkan sekaligus mengharap barokah Nabi J.
Demikian pula membaca shalawat kepada
keluarga dan sahabat Nabi J juga dianjurkan. Allah SWT berfirman:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (التوبة: 103)
“Berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketentraman bagi jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS.
al-Taubah: 103).
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Hafizh Ibnu
Katsir mengatakan bahwa maksud firman Allah SWT (wa shalli ‘alaihim)
artinya berdoalah dan minta ampunlah kamu untuk mereka. (Tafsir Ibn Katsir,
juz II, hal. 400).
Dalam sebuah hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ كَانَ النَّبِيُّ J إِذَا أَتَاهُ
قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلاَنٍ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
(رواه البخاري، 1402)
“Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata,
"Rasulullah J jika diberi sedekah oleh suatu kaum, beliau
berdoa “Ya Allah mudah-mudahan Engkau mencurahkan shalawat kepada keluarganya”. Dan ketika ayahku memberikan sedekah kepada
Rasulullah J, beliau juga berdoa “Ya Allah mudah-mudahan
Engkau memberikan shalawat-Mu
kepada keluarga Abi Aufa”. (HR. al-Bukhari [1402]).
Begitu pula dengan hadits Nabi J:
عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ J رَفَعَ يَدَيْهِ وَهُوَ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ (رواه أبو داود،
4511)
“Diriwayatkan dari Qais
bin Sa’ad bin Ubadah bahwa Nabi J mengangkat kedua tangannya sembari berdoa,
Ya Allah,
jadikanlah kesejahteraan dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa’ad bin Ubadah.” (HR. Abu Dawud [4511]).
Menjelaskan hadits ini, sekaligus
menegaskan tata cara membaca shalawat kepada sahabat dan keluarga nabi, al-Imam
al-Hafizh al-Sakhawi mengatakan:
“Abu al-Yumn bin Asakir berkata, “Satu golongan mengatakan (tentang membaca shalawat kepada
selain para nabi) bahwa hal tersebut boleh secara mutlak (baik bersamaan dengan shalawat kepada nabi ataupun tidak). Hal
itu adalah apa yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari ketika mengawali dengan ayat yaitu wa shalli
‘alaihim (hendaklah kamu membaca
shalawat untuk mereka). Lalu beliau mengaitkannya dengan hadits yang
membolehkannya secara mutlak dan menambahkan hadits yang
membolehkannya secara tab’an (bersamaan dengan shalawat kepada
Nabi). Ini terjadi setelah beliau
menjelaskan bab apakah boleh membaca shalawat kepada selain Nabi J baik secara mandiri maupun ikut pada shalawat kepada
Nabi. Maka
masuk pada kategori selain Nabi Muhammad J para Nabi yang lain, para malaikat dan
orang-orang mukmin.” (Al-Qawl al-Badi’
fi al-Shalah ‘Ala al-Habib al-Syafi`, hal. 55).
Mencintai Keluarga dan Sahabat Nabi J
Di dalam kitab ‘Allimu Awladakum
Mahabbata Ali Bait al-Nabiy
dijelaskan bahwa yang tergolong ahlul-bait adalah
Sayyidatuna Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyinina Husain –radhiyallahu
‘anhum. Mereka semua termasuk ahlul-kisa’ yang disebutkan dalam hadits.[2]
Begitu pula istri-istri Nabi merupakan
keluarga Nabi
berdasarkan keumuman ayat al-Qur’an,[3]
serta manthuq (arti tersurat) hadits yang menerangkan tentang anjuran membaca shalawat kepada Nabi J, istri dan keluarga beliau”.[4]
(‘Allimu Awladakum Mahabbata Ali Bait al-Nabiy, hal. 18).
Sedangkan sahabat nabi adalah orang yang
pernah bertemu Nabi Muhammad J ketika beliau masih
hidup walaupun sebentar,
dalam keadaan beriman dan mati dengan tetap membawa iman. (Al-Asalib al-Badi’ah, hal. 457).
Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal-Jama’ah,
mencintai keluarga dan sahabat Nabi J, sekaligus memberikan penghormatan khusus kepada mereka
merupakan suatu keharusan.
Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut:
Pertama, mereka adalah generasi terbaik Islam.
Menjadi saksi mata dan pelaku perjuangan Islam.
Bersama Rasulullah J menegakkan agama Allah SWT di muka bumi. Mengorbankan harta bahkan nyawa untuk
kejayaan Islam. Allah SWT
meridhai mereka serta
menjanjikan kebahagiaan
di surga yang kekal dan abadi. Firman Allah SWT:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزاب:
33)
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ta’atilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. al-Ahzab: 33).
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة: 100)
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. al-Taubah: 100).
Kedua, Rasulullah J sangat mencintai keluarga dan sahabatnya. Dalam banyak
kesempatan, Rasulullah selalu memuji para keluarga dan sahabatnya. Melarang
umatnya untuk menghina mereka. Beliau J bersabda:
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِي قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J ، إِنَّنِيْ تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِيْ أَهْلُ بَيْتِيْ (رواه الترمذي ، 370)
“Dari Abi Sa’id
al-Khudri ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian
dua wasiat, Kitabullah (al-Qur’an) dan keluargaku.” (HR. al-Tirmidzi [370]).
Dan sabda Rasul J:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه مسلم، 4610)
“Dari Abu Hurairah D. berkata, Rasulullah J bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabat, janganlah kalian
mencaci sahabatku! Demi Dzat
Yang Menguasaiku, andaikata salah satu diantara kalian menafkahkan emas sebesar
gunung Uhud, maka (pahala nafkah
itu) tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya dari (nafkah) mereka”. (HR. Muslim [4610]).
Dari
sinilah, mencintai keluarga dan sahabat Nabi adalah mengikuti teladan
Rasulullah J yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari mencintai Nabi J.
Ketiga, Tuntunan dan teladan ini
juga diberikan oleh keluarga dan sahabat Rasul sendiri. Di antara mereka
terdapat
rasa cinta yang mendalam. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan
menghormati.[5]
Hal ini dibuktikan dari ungkapan-ungkapan mereka:
1. “Dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha,
“Sesungguhnya Abu Bakar
berkata, “Sungguh kerabat Rasulullah J lebih aku cintai daripada kerabatku sendiri”. (HR. al-Bukhari [3730]).
2. ”Dari Ibnu Umar D, dari Abi Bakar D, beliau berkata, ”Perhatikanlah Nabi
Muhammad J pada ahlul-bait-nya” (HR.
al-Bukhari [3436]).
3. “Dari Wahab al-Suwa’i, ia berkata,
“Sayyidina Ali D pernah
berkhutbah kepada kami. Beliau bertanya, “Siapa orang yang paling mulia setelah
Nabi Muhammad J? Aku
menjawab, “Engkau wahai Amirul Mukminin”. Sayyidina Ali D berkomentar, “Tidak, hamba yang paling mulia setelah nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar.” (Al-Syafi, Juz II, hal. 428).
4. “Ketika
sahabat Umar dimandikan dan dikafani, Sayyidina Ali D masuk, lalu berkata, “Tidak ada di atas
bumi ini seorangpun yang lebih
aku sukai untuk bertemu Allah SWT dengan membawa buku catatan selain dari yang terbentang di
tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Ma’ani al-Akhbar, hal. 117).
5. Dari 33 putra Sayyidina Ali D tiga di antaranya diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dari 14
putra Sayyidina
Hasan D dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan
Umar, dan di antara 9 putra Sayyidina Husain D dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan
Umar. Pemberian nama
ini tentu saja dipilih dari nama orang-orang yang menjadi idolanya, dan tidak mungkin diambil dari
nama musuhnya. (Al-Hujaj al-Qath’iyyah, hal. 195).
6. Bagi
Ahlussunnah Sayyidina Ali D adalah seorang imam yang mulia dan harus dijadikan panutan. Sayyidina Ali D adalah seorang pemberani dan sekali-kali bukanlah seorang pengecut. Sebagai pemimpin
pasukan, di antara sekian
banyak peperangan yang dilakukan pada zaman Rasul J, beliau selalu menjadi pahlawan yang tak terkalahkan. Karena itu tidak
mungkin beliau bersikap penakut dan
pura-pura atau taqiyah apalagi mengajarkannya. Di samping itu, Sayyidina
Ali D adalah sosok yang bersih hatinya dan jauh
dari sifat pendendam. Sikap dan
perilaku beliau telah membuktikan bahwa beliau bukan jenis manusia yang di
dalam hatinya penuh dengan dendam kesumat,
karena itu tidak mungkin beliau mengajarkan mengumpat dan mencaci maki orang
yang dicintai Rasulullah J dan dihormati oleh
beliau sendiri seperti Sayyidina Abu Bakar D, Sayyidina Umar D, Sayyidina Utsman D, Sayyidatuna ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-
dan lain sebagainya.
Inilah beberapa alasan yang melandasi
keharusan mencintai keluarga dan sahabat Nabi J. Sudah tentu kecintaan dan penghormatan yang diberikan adalah secara berimbang. Tetap berpedoman pada prinsip tawassuth,
tawazun dan i'tidal. Jauh dari cinta dan fanatisme buta.
Mahallul-Qiyam (Berdiri Ketika Membaca
Shalawat)
Berdiri untuk menghormati sesuatu
sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang, orang berdiri untuk menghormati benda mati. Misalnya,
setiap kali upacara
bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain,
ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya
dikumandangkan, maka seluruh peserta upacara diharuskan
berdiri. Tujuannya
tidak lain hanya untuk menghormat bendera merah putih dan mengenang jasa para
pejuang bangsa.
Maka demikian pula dengan berdiri ketika
membaca shalawat.[6]
Itu adalah salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad J, sebagai hambah Allah SWT
yang paling mulia. Nabi J bersabda:
عَن أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J لِلأَنْصَارِ، قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ
(رواه مسلم ، 3314)
“Dari Abi Sa’id Al-Khudri beliau berkata,
“Rasulullah J bersabda pada sahabat Anshar, “Berdirilah
kalian untuk tuan kalian atau
orang yang paling baik di antara kalian.” (HR. Muslim [3314]).
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki
menyatakan bahwa Imam al-Barzanji di dalam kitab Maulid-nya yang
berbentuk prosa menyatakan, “Sebagian para imam ahli hadits yang mulia itu menganggap baik (istihsan) berdiri
ketika disebutkan sejarah kelahiran Nabi J. Betapa beruntungnya
orang yang mengagungkan Nabi J, dan menjadikan hal itu sebagai puncak tujuan hidupnya.”
(Al-Bayan wa al-Ta‘rif fi
Dzikra al-Mawlid al-Nabawi, hal. 29-30).[]
[1] Inilah hakikat perayaan Maulid
Nabi J yang dilakukan di tengah
masyarakat. Yakni pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya
Nabi Muhammad J. Diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan
keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi J untuk
diteladani.
[2] “Dari Ummi
Salamah – radhiyallahu ‘anha, “Setelah turun ayat (QS. al-Ahzab 33) “sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan
dosa kamu hai ahlul-bait (anggota keluarga Rasulullah B). Dan dia hendak
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Maka Rasulullah J menutupkan kain kisa’-nya (selimutnya) di
atas Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, seraya berkata, “Ya Allah mereka adalah
ahli baitku. Maka hapuskanlah dari
mereka dosa dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. (HR. al-Tirmidzi [2139].
[3] Yakni
firman Allah SWT “Nabi itu lebih utama bagi orang mukmin daripada diri
mereka sendiri. Dan Istri-istri Nabi adalah ibu mereka” (QS. al-Ahzab: 6).
[4] “Dari Abu Humaid al-Sa’idi D ia bertanya kepada Rasulullah J bagaiamana cara kami
membaca shalawat kepadamu?. Rasulullah J menjawab: Bacalah, “Ya Allah
mudah-mudahan engkau selalu mencurahkan shalawat kepada
Muhammad, istri dan anak cucunya.” (HR. al-Bukhari [2118]).
[5] Indahnya
persahabatan yang terjalin di antara mereka bahkan
telah diabadikan dalam al-Qur'an yang artinya, "Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat
mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (QS. al-Fath: 29).
[6] Jika
dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormat Nabi
Muhammad J lebih layak dilakukan sebagai ekspresi dari bentuk
penghormatan. Bukankah Nabi Muhammad J adalah manusia teragung yang
layak untuk lebih dihormati dari pada yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar