Hadiah Pahala Untuk Ahli Kubur
Ibnu Taimiyyah
mengatakan dalam kitab Fatawa-nya, “Sesuai dengan kesepakatan para imam bahwa
mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, membaca
al-Qur’an, ataupun ibadah maliyah
seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.” (Hukm al-Syari’ah
al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 36).
Mengutip dari kitab Syarh
al-Kanz, Imam al-Syaukani juga menyatakan bahwa seseorang boleh
menghadiahkan pahala perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah,
bacaan al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan
baik lainnya, dan pahala perbuatan tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama Ahlussunnah. (Nail
al-Awthar,
juz IV, hal. 142).
Ada banyak dalil
al-Qur’an atau hadits yang menjelaskan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (الحشر: 10)
“Dan
orang–orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami,
ampunilah kami dan orang-orang
yang mendahului kami (wafat) dengan membawa iman. Dan janganlah Engkau memberikan kedengkian
dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10).
Dalam sebuah hadits shahih
disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ J فَقَالَ، يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم ،1672)
“Dari
‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi J, “Ibu saya meninggal dunia secara mendadak
dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu
ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas
namanya?” Nabi J menjawab, “Ya”.” (HR. Muslim, [1672]).
Hadits tersebut di atas menegaskan bahwa
pahala shadaqah itu sampai kepada ahli
kubur. Sementara di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa shadaqah tidak
hanya berupa harta benda saja, tapi juga dapat berwujud bacaan dzikir seperti
kalimat la ilaha illallah, subhanallah, dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits
shahih berikut ini:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ J قَالُوا لِلنَّبِيِّ J يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ
أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ
بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً (رواه مسلم،
1674)
“Dari Abu Dzarr D, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi J,” Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya
bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat.
Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta
mereka. Nabi J menjawab, “Bukankah Allah SWT telah
menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap
satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah,
setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim [1674]).
Ayat dan hadits-hadits
di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa
menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah, Ukhuwwah Islamiyyah itu tidak terputus
karena kematian. Maka menolong ahli
kubur dengan do’a dan shadaqah yang diwujudkan dalam bentuk Tahlilan dan
sebagainya itu pahalanya akan sampai
kepada mereka. Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah yang sama sekali tidak meyakini sampainya hadiah pahala kepada orang
yang telah meninggal dunia baik berupa do’a ataupun yang lain. (Lihat, al-Ruh,
hal. 117)
Seseorang yang beriman ketika sudah ada
hadits shahih yang menyatakan sampainya
pahala kepada orang yang telah meninggal dunia tentu tidak akan ragu lagi untuk
meyakininya.
Dalil-dalil inilah
yang dijadikan dasar oleh para ulama tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an,
tasbih, tahlil, shalawat yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia.
Begitu pula dengan sedekah dan amal baik lainnya.
Mengenai sebagian
riwayat Imam al-Syafi’i D yang mengatakan
hadiah pahala itu tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal dunia, Syaikhul
Islam Zakariyya
al-Anshari -salah seorang tokoh utama dalam madzhab al-Syafi’i-, menyatakan bahwa yang
dimaksud oleh pendapat Imam al-Syafi'i itu adalah apabila tidak dibaca di hadapan mayit serta
pahalanya tidak diniatkan sebagai hadiah, atau berniat tetapi tidak membaca doa
sesudah bacaan al-Qur’an tersebut. (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyyah fi Ma’tam
al-Arba’in, hal. 43).
Kesimpulan ini
dimunculkan karena ternyata Imam al-Syafi’i D pernah berziarah ke makam Imam Layts bin Sa’ad kemudian
beliau mengkhatamkan al-Qur’an. Lalu beliau berkata, “Saya berharap semoga
perbuatan seperti ini
tetap berlanjut dan senantiasa dilakukan.” (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan dalam kesempatan lain Imam
al-Syafi’i D menyatakan “Disunnahkan membaca sebagian
ayat al-Qur’an di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca al-Qur’an
sampai khatam.” (Dalil
Al-Falihin, juz VI, hal. 103).
Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Imam
al-Syafi’i D di makam Imam Layts bin Sa’ad, sekaligus
mengukuhkan kebenaran perbuatan Imam al-Syafi’i D tersebut, Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip sebuah hadits yang menjelaskan tentang tata cara
melakukan ziarah kubur, yang menegaskan bahwa pahala bacaan tersebut bermanfaat
kepada si mayit, juga kepada orang yang membacanya.
“Al-Zanjani meriwayatkan sebuah hadits
marfu’ riwayat Abi Hurairah,
“Barangsiapa memasuki komplek pemakaman, lalu membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-hakumuttakatsur, kemudian berdoa “Aku
menghadiahkan
pahala apa yang aku baca dari firman-Mu kepada ahli kubur muslimin dan
muslimat, maka semua ahli kubur itu akan membantu ia di hadapan Allah SWT di
hari kiamat”. Dan Abdul Aziz
murid Imam al-Khallal meriwayatkan sebuah hadits marfu’ dari Anas, “Barangsiapa yang masuk pemakaman, kemudian membaca
surat Yasin, maka Allah SWT akan meringankan dosa-dosa ahli kubur itu, dan ia
akan mendapatkan kebaikan sebanyak ahli kubur yang ada ditempat itu.” (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Mawt, hal. 75).
Kaitannya dengan
firman Allah SWT:
وَأَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39)
“Dan
bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. al-Najm: 39).
Ibnu Qayyim
al-Jawziyyah mengutip pendapat Abi al-Wafa bin ‘Aqil al-Hanbali yang
menjelaskan jawaban yang paling baik tentang ayat ini, bahwa manusia dengan
usahanya sendiri dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia
akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama. Maka semua teman, keturunannya dan
keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian
menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu
pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh,
hal. 143).
Dari sini maka kita
harus yakin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya,
karena dengan izin Allah SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud.[1]
Jika Allah SWT telah
mengabulkan doa yang dipanjatkan itu, lalu siapakah yang berani mengatakan pahala al-Qur’an serta dzikir itu tidak sampai kepada orang yang meninggal
dunia? Pasti pahala bacaan tersebut akan sampai kepada ahli kubur yang dimaksud.
Talqin
Ada dua jenis talqin yang dianjurkan dalam
Islam.
a. Talqin saat sakarat al-maut.
Yakni mentalqin orang yang akan meninggal
dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan, dan hal itu disunnahkan.
Berdasarkan Hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya:
عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ J لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لا إلَهَ إِلا
اللهُ (رواه مسلم، 1523)
“Dari Abi Sa'id al-Khudri, Rasulullah J bersabda, "Talqinkanlah orang yang akan mati di antara kamu dengan
ucapan la ’ilaha illa Allah”.(HR. Muslim [1523]).
Sekelompok pengikut Imam al-Syafi‘i
menganjurkan agar bacaan tersebut
ditambah dengan ucapan Muhammad Rasulullah J. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak
perlu ditambah dengan bacaan tersebut. (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal. 83).
b. Talqin saat pemakaman jenazah.
Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar
menjelaskan bahwa
membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah.[2]
Didasarkan pada sabda Nabi J yang diriwayatkan
oleh Abi Umamah:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ D قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا
رَسُوْلُ اللهِ J أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ J فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لِيَقُلْ:
يَافُلاَنُ ابْنُ
فُلاَنَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَسْتَوِى قَاعِدًا.
ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكّ رَضَيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَّا وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ.
وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ.
فَقَالَ رَجُلٌ
يَارَسُوْلِ اللهِ فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ إِلىَ أُمِّهِ حَوَّاءَ:
يَافُلاَنُ بْنُ حَوَّاء (رواه الطبراني في المعجم الكبير ، 7979، ونقله الشيخ محمد بن عبد
الوهاب في كتابه أحكام تمني الموت ص 9 بدون أي تعليق)
“Dari Abi Umamah D, beliau berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah J memperlakukan orang-orang yang wafat di
antara kita. Rasulullah J memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia,
lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu di
antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai fulan bin fulanah”. Orang yang
berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya.
Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai fulan bin
fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang
berada di atas kuburan itu berucap lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, maka si mayit berucap,
“Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu.
Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini).” (Karena itu)
hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu
engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha
menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam
sebagai agamamu, Muhammad sebagai
Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir
saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di
muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata,” Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah J, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab, “(Kalau seperti itu)
dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai fulan bin Hawa.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip
hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam
Tamanni al-Mawt hal. 9 tanpa ada komentar).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits
tentang talqin ini termasuk hadits
dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a‘mal, hadits ini
dapat digunakan. [3]
Kaitannya dengan Firman Allah SWT:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ (فاطر: 22)
“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali
tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22).
Yang dimaksud dengan kata man fi
al-qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah
orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima
dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati
mereka yang mati. (Tafsir al-Khazin, juz V, hal. 347).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang
yang beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan
kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan
kebiasaan Rasulullah J apabila berziarah ke kuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur
tidak mendengar salam Rasulullah J, tentu Rasulullah J melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin. Wallahu
A’lam.
Ziarah Kubur
Pada masa awal Islam, Rasulullah J memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur,
karena khawatir
umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Setelah akidah umat Islam kuat, dan tidak ada
kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah J membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Rasulullah J bersabda:
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J : قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِى زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة َ)رواه الترمذى، 974)
“Dari
Buraidah, ia berkata, Rasululllah J bersabda, “Saya pernah
melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam
ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat.”
(HR. al-Tirmidzi
[974]).
Kemudian kaitannya dengan hadits Nabi J yang secara tegas menyatakan larangan perempuan berziarah kubur:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ J لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُور (رواه احمد،
8095)
“Dari Abu Hurairah D bahwa sesungguhnya Rasulullah J melaknat wanita yang berziarah kubur.” (HR. Ahmad [8095]).
Menyikapi hadits ini ulama
menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan berziarah baik bagi laki-laki dan perempuan. Imam
al-Tirmidzi menyebutkan dalam
kitab al-Sunan:
“Sebagian Ahli ilmu
mengatakan bahwa hadits itu diucapkan sebelum Nabi J membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah J membolehkannya, laki-laki dan perempuan
tercakup dalam kebolehan itu.” (Sunan al-Tirmidzi, [976]).
Ketika berziarah, seseorang dianjurkan
untuk membaca al-Qur’an atau
lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah J:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتاَكُمْ يس (رواه أبو داود، 2714)
“Dari Ma‘qil bin Yasar D, ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Bacalah surat Yasin pada
orang-orang mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud [2714]).
Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah
kubur itu memang dianjurkan.
Terlebih jika yang diziarahi itu adalah makam para wali dan orang shaleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah ke makam
para wali pada waktu tertentu
dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan
perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawi al-Kubra, juz II, hal 24).
Berziarah ke makam para wali dan
orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para ulama salaf. Di
antaranya adalah
Imam al-Syafi'i Z mencontohkan berziarah ke makam Laits bin
Sa'ad dan membaca al-Qur'an sampai khatam di sana (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64).
Bahkan diceritakan
bahwa Imam Syafi’i Z jika ada hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah.
Seperti pengakuan
beliau dalam riwayat yang shahih:
“Dari Ali bin Maimun, berkata, "Aku
mendengar Imam al-Syafi'i berkata, "Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan
berziarah mendatangi makamnya setiap hari. Apabila aku memiliki hajat, maka aku
shalat dua rakaat,
lalu mendatangi makam beliau, dan aku mohon hajat itu kepada Allah SWT di sisi
makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul." (Tarikh Baghdad, juz 1, hal. 123)
Menyuguhkan Makanan Kepada Orang Yang Ta’ziah
Menyuguhkan makanan
kepada orang yang bertakziah hukumnya boleh, berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ J أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
(رواه البخاري، 11)
“Dari
Abdullah bin Amr D, “Ada seorang
laki-laki bertanya pada
Nabi J, “Perbuatan apakah yang paling baik?”
Rasulullah J menjawab, “Menyuguhkan makanan dan
mengucapkan salam, baik kepada
orang yang engkau kenal atau tidak.” (HR. al-Bukhari [11]).
Juga didasarkan kepada
hadits Nabi J:
عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ J فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ J وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَتِهِ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ J يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ
قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِيْ شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ J أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى (رواه أبو داود، 2894، والبيهقي في دلائل النبوة انظر مشكاة المصابيح، 5942)
“Diriwayatkan
oleh Ashim bin Kulayb dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia
berkata, “Saya pernah melayat bersama Rasulullah J dan di saat itu saya melihat beliau
menasehati penggali kubur seraya bersabda,“Luaskan
bagian kaki dan kepalanya”. Setelah
Rasulullah J pulang, beliau diundang oleh seorang
perempuan
(istri yang meninggal). Rasulullah J memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau
datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah J mulai makan lalu diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan
mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini
diambil dengan tanpa izin pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas
menemui Rasulullah J sembari berkata,
“Wahai Rasulullah J saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’,
(suatu tempat penjualan kambing),
untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui
tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka
saya menyuruh menemui isterinya
dan ia pun mengirim kambingnya pada saya. Rasulullah J kemudian bersabda, “Berikan makanan ini
pada para tawanan.” (HR. Abu Dawud [2894] dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah,
[Lihat: Misykat al-Mashabih [5942]).
Berdasarkan hadits
inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi berkata, “Hadits ini menunjukkan kebolehan
keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan
itu disuguhkan kepada para fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu
ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.” (Al-Bariqah
al-Muhammadiyyah, juz III, hal. 235, dan lihat juga al-Masail al-Muntakhabah, hal. 49).
Mengenai keputusan Rasulullah J memberikan makanan kepada para tawanan itu tidak dapat dijadikan
alasan mengharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah J menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang
yang akan dimintai ridhanya atas
daging itu belum ditemukan sedangkan makanan
itu takut basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah J memberikan makanan
tersebut kepada para tawanan. Dan isteri
mayit pun telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut. (Bulugh al-Umniyyah
hal. 219).
Tradisi Tahlilan
Berkumpul untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang
telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam
Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah J, namun kegiatan tersebut
dibolehkan karena tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya
bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil,
tahmid,
tasbih
dan semacamnya. Karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial
merupakan perwujudan dari tuntunan Rasulullah J.
Imam al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya
dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir dan doa itu adalah
perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak
pernah dilaksanakan pada masa Rasul J. Begitu pula tidak
ada larangan untuk menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada
orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang
didasarkan pada hadits shahih seperti, hadits ”Bacalah surat Yasin
kepada orang mati di antara kamu”. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut
dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di
Masjid atau di rumah. (Al-Syaukani, al-Rasa’il al-Salafiyyah, hal. 46).
Kesimpulan al-Syaukani
ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi J. Di antaranya adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ
الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ
عِنْدَهُ (رواه مسلم ، 4868)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri D, ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum
sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat,
dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan
hati dan memujinya di hadapan makh-luk yang ada di sisi-Nya.” (HR. al-Muslim [4868]).
Kaitannya dengan
pendapat Imam al-Syafi’i D:
“Dan aku tidak senang
pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah
beban.” (Al-Umm, juz I, hal. 318).
Perkataan Imam
al-Syafi’i D ini sering dijadikan dasar melarang acara
tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang
tersebut. Padahal
apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam
adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan
kesedihan keluarga yang ditinggalkan. (Al-Munjid, 2)
Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i D adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak
terima terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah SWT. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di
dalamnya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga lebih tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis
al-dzikr.
Bagi sohibul musibah, tahlilan itu
merupakan pelipur lara dan penghapus duka
karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang
tahlil, maka tuan
rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah
bersedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit.
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi
tahlilan mempunyai
manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat.
Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyah
Surakarta didapat kesimpulan
bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan.
Di samping itu tahlil juga
merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang
bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta
mendatangkan ketenangan jiwa.[4]
Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan
Dalam setiap
pelaksanaan tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang
yang mengikuti tahlilan. Selain
sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal
dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang
turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia.
Dilihat dari sisi
sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada
orang lain adalah perbuatan yang
sangat terpuji. Sabda Nabi J:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ J فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ قَالَ طِيبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ (رواه احمد، 18617)
“Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah J kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul,
apakah Islam itu?” Rasul J menjawab, “Bertutur
kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]).
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada
masa Rasulullah J, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan
pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا (رواه الترمذي، 605)
“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah J, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia,
apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah J menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata,
“Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan
mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. Tirimidzi [605]).
Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas
mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah
memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca
al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan
sampai kepada mayit tersebut.
Sebagaimana pahala puasa dan haji.” (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 142).
Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan
dengan usaha untuk memberikan
penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda
Rasulullah J:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
(رواه مسلم، 5559)
“Dari Abi Hurairah D, ia berkata, “Rasulullah J bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah
SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada
Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak
bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]).
Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan
bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah
seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.
Hanya saja,
kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak
boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan. Berhutang ke sana ke mari
atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang
lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi
seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.
Lain
halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat
memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan
menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan
istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai
suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga
yang telah meninggal dunia.
Dan yang
tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat
di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari
upacara tahlil itu yang menyimpang dari
ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh
bijaksana.
Pelaksanaan Tahlil Selama Tujuh Hari.
Syaikh
Nawawi al-Bantani -seorang ulama mutaakhkhirin-, menjelaskan penentuan
sedekah pada hari-hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat saja (al-’Adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. "Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah
untuk mayit pada hari ke tiga dari
kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta
seratus hari. Setelah itu dilakukan
setiap tahun pada hari kematiaanya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.” (Nihayah al-Zain, hal. 281).
Bahkan
Imam Ahmad bin Hanbal D, dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah
selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah, karena merupakan salah satu
bentuk doa untuk mayit yang sedang diuji di dalam kubur selama tujuh hari.
Sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Hawi li
al-Fatawi:
“Berkata
Imam Ahmad bin Hanbal, Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan
kepada kami, ia berkata, al-Asyja’i meriwayatkan kepada
kami dari Sufyan, Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama
tujuh hari
di dalam kubur mereka. Maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang
meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal
178 ).
Lebih jauh, Imam al-Suyuthi menilai hal
tersebut merupakan perbuatan sunnah yang
telah dilakukan secara turun temurun
sejak masa sahabat.
“Kesunnahan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari
merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga
sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang
jelas, kebiasaan itu tidak pernah
ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi J sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari
ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat J).” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal.
194)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang
penentuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan
[1] Sebagaimana
diyakini oleh ulama salaf seperti Imam al-Syafi’i D dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta ulama yang datang kemudian semisal Ibnu Taymiyyah,
Ibnu al-Qayyim, al-Syaukani, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan
sebagainya.
[2] Ini adalah
pendapat sekelompok ulama serta mayoritas ulama Syafi‘iyyah. Ulama yang
mengatakan kesunnahan ini di antaranya
adalah al-Qadli Husain dalam Kitab Ta‘liq-nya, murid beliau yang
bernama Abu Sa‘ad al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam Abu
al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, al-Imam Abu al-Qasim al-Rafi‘i, dan
lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir pendapat ini dari kalangan
Syafi`iyyah.” (Al-Adzkar al-Nawawiyyah, hal. 206).
[3] Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani menegaskan bahwa sekalipun hadits tentang talqin itu
merupakan hadits dha‘if, namun dapat diamalkan dalam rangka fadlail
al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits itu
masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni usaha seorang mukmin
untuk memberi (dan membantu) saudaranya, serta untuk memperingatkannya karena
peringatan itu akan dapat bermanfaat kepada orang mukmin. (Majmu‘ Fatawi wa
Rasa’il, hal. 111).
[4] Lebih jelas
lihat: (Sumber Konflik Masyarakat
Muslim NU-Muhammadiyah: Perspektif Keberterimaan Tahlil, diterbitkan oleh
Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 257-259).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar