Senin, 02 Oktober 2017

Kaidah al-Yaqinu Laa Yuzalu bi asy-Syak



 Kaidah al-Yaqinu Laa Yuzalu bi asy-Syak
الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
“ keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan”
1.Dasar Pengambilan
وَحَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَىْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“ Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, lalu timbul keraguan, apakah sesuatu tersebut keluar dari perutnya atau tidak, maka janganlah keluar dari masjid sehingga ia mendengarkan suara atau mencium bau”. ( HR. Muslim )
إذا شك أحدُكم فى صلاتِهِ فلم يدرِ كمْ صلى ثلاثا أم أربعا فليطرح الشكَّ وليبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ
“Apabila salah seorang diantara kamu ragu dalam mengerjakan shalat, tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah pada apa yang diyakini ( yang paling sedikit).” ( HR, Turmidzi )
2.Uraian Kaidah
Yang dimaksud dengan yakin adalah:
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر أو الدليل
sesuatu yang menjadi tetap baik dengan penganalisaan atau dengan adanya dalil”.
            Maksudnya, seseorang boleh meyakini sesuatu apabila ada bukti yang telah ditetapkan oleh panca indera atau dalil. Misalnya, orang yang hadas dari wudlunya, dapat diyakini hadasnya itu dengan keluarnya angin dari dubur yang dapat dirasakan oleh kulit, dapat didengar suaranya oleh telinga dan dapat dicium baunya oleh hidung. Jadi apabila tidak ada bukti batal, maka ia tetap dalam wudlunya.
            Begitu juga seseorang yang ragu dalam jumlah rakaat shalat, apakah ia telah melaksanakan tiga atau empat rakaat, maka yang yakin adalah yang sedikit jumlahnya, karena yang sedikit itu yang paling meyakinkan , sedangkan yang banyak masih diragukan.
            Sedangkan yang dimaksud dengan syak adalah :
الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت وعدمه مع تساوى طرفي الصواب والخطاء دون ترجيح أحدهما على الأخر
 yaitu pertentangan antara tetap dan tidak-nya, dimana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat ditarjihkan salah satunya”.
            Menurut para Fuqoha, dhon ( dugaan) dan keraguan ( syak) mempunyai arti yang sama. An-Nawawi mengatakan : “ ketahuilah bahwa, menurut sahabat-sahabat kami yang dimaksud syak adalah dalam hal air, hadats, najis, sakit, dan sebagainya. Syak merupakan ketidak pastian antara ada dan tidaknya sesuatu, baik dua sisi yang tidak pasti itu sama atau hanya salah satunya saja yang unggul”.
Sedangkan Ulama Ushul fiqih membedakan antara syak dan dhon, yaitu : “ jika ketidak pastian ( taroddud) pada dua sisi itu sama, maka itulah syak. Tetapi jika salah satunya saja yang unggul, maka sisi yang unggul itu adalah dhon, dan sisi yang tidak unggul itu adalah fantasi ( wahm )”.
            Syak menurut Syaikh Imam Abu Hamid al-Asfirayni ada tiga macam;
a.       Keragu-raguan yang berasal dari barang haram
b.      Keragu-raguan yang berasal dari mubah, misal; ada air yang berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkin terlalu lama tergenang, maka air itu dianggap suci,karena pada dasarnya air itu suci
c.       Keragu-raguan terhadap sesuatu yang tidak diketahui asalnya atau keragu-raguan yang pangkalnya diragukan, misal; bekerja sama dengan seseorang yang mempunyai modal yang sebagian halal dan haram, antara modal yang haram dan yang halal itu sulit untuk dibedakan. Menurut pendapat ulama hukumnya makruh.

3.Cabang-cabang Kaidah
الأصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
yang menjadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan sebelumnya “.
Kaidah ini diambil dari hadits
الأصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حتّىَ يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ
Pada asal-nya sesuatu itu tetap menurut adanya, sehingga terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”.
            Maksud dari kaidah ini adalah keadaan dimasa lalu masih dianggap berlaku sampai ada yang mengubahnya. Jadi, bila seseorang ragu terhadap hukum suatu perkara, maka harus dikembalikan pada hukum yang telah ada, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini, kecuali bila sudah ada ketentuan baru yang mengubahnya. Misalnya, bila telah terjadi perselisihan antara dua orang dalam hal pelunasan hutang piutang, apakah sudah dilunasi atau belum, maka hutang tersebut dianggap tetap ada, karena belum ada bukti pelunasan. Dan hal itu dapat berubah apabila ada bukti-bukti baru atas pelunasan hutang tersebut.
--------------
ألأصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Hukum dasar adalah kebebasan seseorang dari tanggung jawab”.
            Kaidah ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa ia lahir dalam keadaan bebas belum mempunyai tanggungan apapun, makhluk suci yang tidak terbebani oleh dosa waris atau dosa akibat perbuatan orang tuanya. Untuk itu para Ulama berpendapat bahwa anak buangan yang ditemukan orang dipandang anak merdeka, bukan anak budak, sebab kemerdekaannya itu menjadi asal. Sebagaimana hadits Nabi Saw
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِه أوْ يُنَصِّرَانِه أو يُمَجِّسَانِه
semua anak dilahirkan atas dasar kesucian ( dari segala dosa ) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanya-lah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, nasrani, atau majusi “. ( HR. Abu Yazid, at-Thabrani, dan al-Bayhaqi dari al-Aswad bin Sari’ )
            Dan berdasarkan Firman Allah Swt
{أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} [النجم: 38]
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.
Contoh lain, Ahmad mengadukan Rizal, bahwa Rizal berhutang kepadanya Rp.100.000, tetapi pengaduan tersebut tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang Rizal ( yang diadukan ) menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, berdasarkan kaidah ini pengaduan Ahmad tertolak.
----------------
الاصْلُ الْعَدَمُ
Asal dari segala Hukum adalah tidak ada”.
Contohnya: jika terjadi perselisihan dalam hal kerja-sama aqad Mudlorobah ( bagi hasil) , yaitu A memberikan modal kepada B Rp.1000.000 dengan perjanjian laba dibagi bersama, kemudian tiba-tiba A menuduh B telah mendapatkan laba dan dihabiskan sendiri, tetapi tuduhan si A tersebut tanpa ada buktinya dan si B menyangkal tuduhan itu. Maka penyelesaiannya menurut kaidah ini yang dibenarkan adalah adalah B yang menyatakan belum ada keuntungan. Sebab pada dasarnya adalah tidak ada.
-----
الأصْلُ فِي الأشْيَاءِ الإبَاحَةِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”
            Kaidah diatas menurut Imam Syafi’i, sedangkan menurut Hanafi adalah sebaliknya
الأصل فِي الأشْيَاءِ التحريم حتى يدلَّ الدليلُ على الإباحة
“ segala sesuatu pada dasarnya adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan kebolehannya “
            Apabila dicermati kaidah tersebut yang lebih absah adalah kaidah yang dicetuskan oleh imam Syafi’i, karena kaidah tersebut sesuai dengan asas filosof tasyri’ Islam, yakni tidak memberatkan dan tidak banyak beban. Menurut imam Syafi’i , Allah itu maha bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu lalu mengharamkan atas hamba-Nya. Beliau berpegang kepada dalil
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا } [البقرة: 29]
Dia-lah Allah yang menciptakan segala yang ada dibumi untukmu”.
ما أحل الله في كتابه فهو حلال و ما حرم فهو حرام و ما سكت عنه فهو عافية فاقبلوا من الله العافية فإن الله لم يكن نسيا
“ Apa yang telah dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang telah diharamkan oleh Allah adalah Haram, sedang yang tidak disinggung adalah dimaafkan, maka terimalah kemaafan itu sebagai ( karunia ) dari Allah, sesungguhnya Allah tidak lupa akan sesuatu. “
            Walaupun kedua kaidah itu bertentangan, namun dapat dikompromikan, yakni meletakkan dan menggunakan kedua kaidah itu sesuai dengan proposinya. Kaidah pertama lebih tepat digunakan untuk masalah mu’amalah dan kedunian, sedang kaidah kedua untuk masalah ibadah. Misalnya anjing haram dimakan sedangkan ikan halal dimakan, karena keduanya telah jelas nashnya, sedangkan untuk makanan yang tidak ada nash-nya maka kaidah yang cocok adlah kaidah yang pertama yakni makanan itu halal. Untuk masalah ibadah tidak boleh melakukan kecuali apabila ada perintah, hal ini sesuai kaidah :
الأصْلُ فِى الْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُومُ دَلِيْلٌ عَلَى الأمْرِ
Hukum asal dalam lapangan ibadah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”.
            Kaidah di ata ini diambil dari firman Allah Swt, surat al-Syura ayat 21
{أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} [الشورى: 21]
“ Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang menyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah”.
            Kaidah di atas juga senada dengan kaidah
الأصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيْفُ وَ الإتْبَاعُ
Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang telah ditetapkan”.
            Jadi dalam hal ibadah, apa yang telah ditetapkan itulah yang seharusnya dilakukan, misalnya jumlah rakaat shalat maghrib 3 rakaat, maka tidak boleh ditambah ataupun dikurangi, tetap 3 itu yang dibenarkan.
CATATAN:
IBADAH MAHDHOH DAN GHOIRU MAHDHOH
Ibadah Mahdhah terbagi menjadi dua:

1) Ibadah Mahdhah Muqayyad:

Ibadah murni HUBUNGANNYA ANTARA SEORANG HAMBA DG ALLOH Swt. yang ketentuan cara pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Syara’, baik waktu pelaksanaannya, tempat, jumlah, dan detail pelaksanaan yang lain dan akhirnya pelaksanaan Ibadah semacam ini bersifat Tauqify, dan tidak boleh kita berinofasi terhadap ibadah semacam ini, semisal dengan Mengurangi jumlah putaran Thawaf dalam Haji, atau menambahkan jumlah Rakaat dalam salat, atau menambah jumlah mustahiq zakat dari delapan yang telah digariskan. Terhadap jenis Ibadah ini berlaku baginya Kaidah:

الأصل في العبادات التوقيف

“Asal pada ibadah-ibadah adalah tauqif.”
2) Ibadah Mahdhah Muthlaqoh:
Ibadah murni HUBUNGANNYA ANTARA SEORANG HAMBA DG ALLOH yang sumber dalilnya bersifat ‘Am (umum) dan tidak dijelaskan Tekhnis (cara) pelaksanaannya, semisal Baca Al Qur’an, berdzikir. terhadap tekhnis pelaksanaan ibadah semacam ini kita bebas mengaktualisasi tekhnis pelaksanaannya, baik waktu, tempat, sendiri atau berjama’ah, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syara’. Semisal membaca al qur’an atau berdzikir di kamar mandi (WC) atau tempat-tempat kotor yang lain.
Ibadah Ghairu Mahdhah yakni setiap pekerjaan yang hukum asalnya Mubah namun kemudian bisa bernilai Ibadah bergantung pada MAQASHID atau tujuan dari pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Untuk pekerjaan jenis ini berlaku baginya kaidah:

الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على تحريمه

“Asal dari segala sesuatu itu Mubah, sampai ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya.”
Selanjutnya, jenis amal semacam ini dapat kita klasifikasikan dalam dua bagian :
Pertama :
Jenis amalan yang yang dapat bernilai Ibadah ditinjau dari niat atau tujuannya, contoh: PEMBERIAN UANG KEPADA ORANG LAIN, pemberian tersebut bisa menjadi Shadaqah Sunnah, Bisa menjadi Hibbah tanpa nilai Ibadah, Bahkan bisa dikategorikan Money Politic jika diberikan dengan maksud agar dipilih menempati jabatan tertentu.
Jadi jika ada dalil yang mengharamkan pemberian uang untuk money politic maka pemberian uang dengan maksud demikian dianggap terlarang.
Kedua :
Amalan atau pekerjaan yang Nilainya apakah ia termasuk Ibadah atau bukan, bergantung pada amalan berikutnya yang menjadi Maqashid-nya dimana pekerjaan ini hanya berfungsi sebagai WASILAH penghantar atau sarana untuk dapat dilaksanakannya amalan yang dimaksud. Amalan jenis berlaku baginya kaidah LIL WASA-IL HUKMUL MAQASHID di mana hukumnya bergantung pada amaliah yang menjadi MAQASHID atau MAUSUL ILAIH.
Contohnya mempelajari Ilmu Tajwid, ia menjadi wajib mengingat tuntutan membaca al qur’an dengan tartil (sesuai qaidah tajwid) adalah wajib. Kewajiban ini berhubungan erat dengan kaedah dalam disiplin Ilmu Ushul Fiqih pada Fasal MA LAA YATIMMUL WAJIB ILLAA BIHI FAHUWA WAJIB.
Contoh lain adalah membeli air pada dasarnya adalah mubah (boleh dibeli, boleh tidak, dan tidak berpahala). Namun ketika seseorang mau shalat fardhu tetapi tidak ada air di sisinya melainkan harus membeli dan ia memiliki kesanggupan untuk membeli air maka hukum membeli air di sini menjadi wajib dan berubah menjadi amalan yang berpahala serta dihitung sebagai ibadah ghairu mahdhah. Pada kasus tersebut, membeli air merupakan wasilah, sedangkan wudhu/ shalat adalahmaqsud. Karena wudhu shalat fardhu itu syarat sah shalat fardhu tersebut maka membeli air juga dihukumkan wajib jika mampu.
..
lihat
http://www.facebook.com/notes/syamsul-muallim/asalnya-ibadah-adalah-ketetapan-dari-rasulullah-saw/1712660565630199/?refid=21&_ft_
-
Wallahu A'lam


----------------
الأصْلُ فِي كُلِّ حَادِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
“ asal setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat”.
            Contoh; seorang dokter mengoperasi seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada dalam kandungannya, lalu operasi tersebut berhasil dengan selamat. Setelah ada satu minggu bayi itu meninggal, maka dokter tidak dapat dituntut pertanggung jawabannya. Sebab kematiannya belum tentu karena dokter itu, bisa jadi karena sebab lain yang lebih dekat dengan kematiannya.
---------------------
مَنْ شَكَّ اَفَعَلَ شَيْأً اَمْ لاَ فَالأصْلُ أنَّهُ لَمْ يَفْعَلْ
" barang siapa yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka pada dasarnya dianggap belum melakukannya".
            contoh: seseorang ragu sudah berwudlu atau belum, maka yang dimenangkan adalah belum berwudlu. sebab asalnya ia belum berwudlu.
            contoh lain: A mengadukan bahwa B telah berhutang kepadanya Rp:1.000.000 ,. kemudian B mengatakan bahwa hutang itu telah dilunasinya, tetapi B tidak mempunyai bukti pembayarannya, maka yang dimenangkan dalam kasusu ini adalah A, yaitu B masih berhutang dan belum dilunasi.
-----------------
مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَشَكَّ في الْقَلِيْلِ أو الْكَثِيْرِ حُمِلَ على الْقليل
" Jika seseoramg telah yakin berbuat sesuatu, tapi ia ragu tentang banyak sedikitnya maka yang dihitung adalah yang sedikit".
            contoh; bila seseorang sedang shalat dhuhur ragu tentang jumlah rakaatnya sudah mendapatkan empat atau tiga, maka yang dimenangkan menurut kaidah ini adalah tiga, karena yang sedikit itulah yang telah diyakini.
---------------
الأصْلُ في الْكَلاَمِ الْحَقِيْقَةُ
" hukum asal dalam memahami kalimat adalah makna hakikat".
            maksud dari kaidah ini adalah, makna kalimat pertama harus makna hakikatnya atau makna sebenarnya / makna fi'ilnya. apabila terjadi suatu perselisihan didalam menafsirkan atau mengartikan suatu kalimat yang memungkinkan untuk diartikan menurut majaz ( makna metafor ) atau hakikat (  makna harfiah) , maka yang dijadikan pedoman adalah penafsiran menurut arti hakikat lafadh itusendiri.
misalnya, seseorang mengatakan : " aku akan mewakafkan sebagian hartaku ini untuk anak si Ahmad". maka dalam hal ini perkataan " anak " harus diartikan anak dalam arti yang sebenarnya ( riil ), bukan berarti cucu dan sebagiannya.
---------------
الأصْلُ في الأبْضَاعِ التَّحْرِيمُ
"hukum asal tentang seks adalah haram".
oleh karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan seks adalah haram, kecuali ada sebab yang memperbolehkannya, misal dengan akad nikah. misalnya, Si A ingin menikahi wanita dari kampung Tulung sari, tetapi di kampung ini ada salah satu wanita yang muhrim dan bukan muhrimnya. maka dalam hal ini, si A tidak diperbolehkan menikahi wanita dari kampung Tulung sari tersebut hingga jelas siapa muhrimnya di kampung ini.
4. Teori Berbalik
dalam hubungannya dengan teori komprehensip mayor
الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
seperti itu, dalam realitasnya, ditemukan adanya teori komprehensip yang menjadi kebalikannya, yaitu
الْيَقِيْنُ قَدْ يُزَالُ بِالشَّكِّ
" yakin itu terkadang bisa dihilangkan dengan suatu keyakinan ".
akan tetapi teori kebalikan ini hanya tertentu dalam beberapa kasus sebagaimana pandangan Imam Abil Abbas ahmad al-Qosshi, yaitu ragu-ragu dalam hal-hal sebagai berikut
1)      kasus masa habisnya keringanan mengusap muzah, dimana bagi musafir selama 3 harisedang orang mukim selama sehari semalam
2)      kasus keragu-raguan dalam menentukan apakah niat mengusap muzah tersebut dalam keadaan mukim atau musafir
3)      kasus takbirotul ihromnya seorang musafir dengan niat qoshor dibelakang imam yang tidak diketahui apakah imamnya orang mukim atau musafir. hal ini qoshornya tidak sah.
4)      kasus kencingnya binatang didalam air yang banyak, lalu airnya berubah dan tidak diketahui secara pasti apakah perubahan itu disebabkan air kencing atau lainnya, maka air itu dihukumi najis
5)      kasus status wajib mandi setiap kali akan shalat wajib bagi wanita yang sedang terkena penyakit istihadloh yang pandai membedakan mana darah lemah dan mana pula darah yang kuat, tetapi ia ragu-ragu dalam hal keterputusan darah yang keluar dari vaginanya
6)      kasus orang yang pakaian atau badannya kejatuhan najis, tapi ia tidak tahu posisi mana yang terkena maka semua pakaian atau badannya harus disucikan
7)      kasus adanya musafir yang ragu-ragu apakah ia sudah sampai pada negara yang menjaditujuannya atau belum, maka ia tidak boleh melakukan rukhsoh
8)       kasus adanya keragu-raguan seorang musafir tentang apakah ia berniat mukim atau tidak, maka ia tidak boleh melakukan hukum rukhsoh untuk mengqoshor shalat
9)      kasus wudlunya wanita istihadloh dan keadaan vaginanya selalu keluar basah-basahseperti kencing, lalu ia ragu apakah ia sudah berhadats atau belum, lalu ia melakukan shalat dengan kesucian yang diduganya, maka shnya tidak sah
10)  kasus orang bertayammum, lalu ia melihat sesuatu yang ia sendiri belum mengerti secara jelas apakah yang dilihat itu embun atau air, maka hukum tayammumnya batal, sekalipun dalam kenyataannya yang dilihat itu embun
11)  kasus orang melemparkan anak panah kebinatangan buruan, lalu binatang itu lari dan menghilang , lalu ia menemukannya dalam keadaan sudah menjadi bangkai dan ia ragu-ragu apakah yang mengenai binatang tersebut anak panahnya atau batu yang mengenainya atau lainnya, maka hukum memakan dagingnya haram, begitu juga ketika ia melepaskan binatang anjing untuk memburunya.
dalam kaitannya dengan teori berbalik اليقين قد يزال بالشكّ tersebut, imam Abu Zakariyya Yahya dan imam Subkiy menambahkan beberapa masalah yang bisa dimasukkan kedalam teori tersebut, diantara
Ø  kasus ketika ada manusia yang ragu-ragu dalam masalah waktu habisnya shalat jum'at, maka berdasarkan teori ini mereka para jamaah tidak boleh melakukan shalat jum'at, tetapi harus melakukan shalat dhuhur.

           




1 komentar:

Al yaqinu mengatakan...

Penjelasan Al Yaqinu La Yuzalu Bi Syak ini sangat membantu para thalibul ilmi dalam mempelajari kaidah fikih

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...