GELAR
SAYYID BAGI NABI MUHAMMAD SAW
MUKADIMAH
Dalam tinjauan bahasa, kata
سَيِّدٌ berasal dari سَيْوِدٌ (wazan فَيْعِلٌ ) dengan fi’il
madhi سَادَ .
Huruf واوdiganti dengan huruf ياء (1) lalu diidghamkan. Kata Sayyid memiliki
beberapa pengertian yang antara lain; (I) orang yang memiliki banyak pengikut,
(II) orang yang paling unggul diantara kaumnya, (III) orang yang menjadi rujukan
dalam urusan-urusan penting masyarakat dan (IV) orang yang memiliki pribadi
luhur dan bijak.(2) Selain itu dalam tradisi arab Sayyid merupakan panggilan
seorang budak pada majikannya.
Rasulullah SAW adalah
seseorang memiliki kepribadian luhur dan bijaksana. Beliau menjadi tempat
curahan hati para umatnya, beliau melebihi raja bagi mereka. Maka tidak
berlebihan bila gelar Sayyidina (tuan kami) dilekatkan pada nama Rasulullah SAW.
Justru sangat aneh bila ada orang yang berasumsi bahwa menyematkan gelar
Sayyidina adalah haram. Apalagi menganggap-nya sebagai bid’ah yang dapat
menyebabkan kekufuran seperti asumsi sebagian pihak dewasa ini, dengan dalih
bahwa Nabi SAW sendiri melarang para sahabat memanggil-nya dengan sebutan
Sayyid.(3)
TINJAUAN
HUKUM PENYEMATAN GELAR SAYYID BAGI NABI SAW
1. Penyematan Gelar Sayyid
Bagi Nabi Muhammad SAW
Para ulama telah sepakat
(ijma’) atas keabsahan penyematan gelar Sayyid bagi Nabi Muhammad SAW. Bahkan
menurut asy-Syarqawi kata Sayyid telah menjadi nama bagi Nabi Muhammad SAW.(4)
Beliau sendiri telah berulang kali menyebutkan gelar Sayyid di hadapan para
sahabatnya. Beliau bersabda:
أَنَا
سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
“Aku adalah Sayyid
(Pemimpin) manusia di hari kiamat.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
سَيِّدُ
وَلَدِ أَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ اْلقَبْرُ
وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ أَنَا
“Aku adalah Sayyid
(Pemimpin) keturunan Nabi Adam di hari kiamat, orang pertama yang kuburannya
terbuka, orang pertama yang memberi syafa’atnya diterima.’ (HR.
Muslim)
أَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ أَدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ وَلَافَخْرَ وَبِيَدِيْ لِوَاءُ
اْلحَمْدِ وَلَافَخْرَ وَمَامِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ أَدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا
تَحْتَ لِوَاءِيْ
“Aku adalah Sayyid
(Pemimpin) keturunan Nabi Adam di hari kiamat dan bukan bangga diri dariku, dan
tiada sorang nabi pun di hari itu, Adam dan selainnya, melainkan di bawah
benderaku.” (HR.
at-Turmudzi)
Maksud sabda Nabi SAW di
atas adalah mengisahkan nikmat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya dan agar
umat Islam mengetahui derajat beliau disisiNya. Tidak ada seorang pun makhluk
yang menyamai atau mengungguli keagungan derajat Nabi Muhammad SAW setelah
derajat Allah Yang Maha Agung. Selain Allah SWT, semuanya dibawah kepemimpinan
Rasulullah SAW, baik didunia mau-pun diakhirat. Meskipun dalam Hadits-hadits di
atas hanya disebutkan kepemimpinan Nabi SAW pada hari kiamat saja, bukan berarti
bahwa diselain hari kiamat ada yang mengunggulinya. Namun lebih disebabkan pada
hari kiamat kepemimpinan beliau sangat dibutuhkan oleh seluruh manusia. Tidakkah
Allah SWT sendiri menyebut Nabi Yahya dengan gelar Sayyid?
فَنَادَتْهُ
اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ أَنَّ اللهَ
يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىْ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَسَيِّدًا وَحَصُوْرًا
وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Kemudian Malaikat (Jibril)
memanggil Zakariya, sedang ia sedang berdiri melakukan shalat di mihrab
(katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang
putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah SWT, menjadi
ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan
orang-orang saleh.”. (Ali
Imran: 39)
2. Menambah Lafadz
Sayyidina dalam Shalat
Seperti pendapat yang telah
disampaikan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Barinya, penambahan
dzikir ghair al-ma’tsur (bukan anjuran langsung dari Nabi SAW) dalam shalat di
perbolehkan, selama tidak bertentagan dengan dzikir al-ma’tsur. Begitu pula di
perbolehkan menambahkan gelar Sayyidina sebelum nama akhir. Yaitu saat membaca
shalawat ibrahimiyyah. Bahkan penambahan itu lebih utama, sebagaimana hemat para
ulama semisal Syaikh Izzuddin bin Abdissalam, Imam ar-Ramli, Imam al-Qulyubi,
Imam asy-Syarqawi dari madzhab Syafi-’iyah, Imam al-Hashkafi dan Imam Ibn
‘Abidin dari kalangan Hanafiyah, serta Imam an-Nafrawi dari Malikiyah, meskipun
penambahan Sayyidina tersebut memang tidak ma’tsur dari Nabi SAW.(5) Sebab,
dengan demikian berarti seseorang telah melaksanakan perintah membaca shalawat
sekaligus mengikrarkan pengakuannya atas keagungan derajat Nabi Muhammad SAW dan
Nabi Ibrahim AS. Penambahan tersebut tidak pula bertentangan dengan penghormatan
kepada beliau yang merupakan tujuan pembacaan shalawat. Dalam Nihayah al-Muhtaj
Imam ar-Ramli menerangkan:
وَاْلأَفْضَلُ
اْلإتْيَانِ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ إِبْنُ ظَهِيْرَةِ وَصَرَّحَ بِهِ
جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَىْ الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيْهِ أَلْإِتْيَانُ بِمَا أَمَرَنَا
بِهِ وَزِيَادَةُ اْلأَخْبَارِ بِاْلوَاقِعِ الَّذِيْ هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلْ
مِنْ تَرْكِهِ
“Dan
lebih utama membaca (shalawat ibrahimiyah saat shalat) dengan lafadz Sayyid,
seperti hemat Ibn Dhahir dan dijelaskan (pula) oleh segolongan ulama serta
difatwakan oleh asy-Syarih (Jalaluddin al-Mahalli). Sebab dengan menambahkannya
berarti telah melaksanakan hal yang diperintahkan kepada kita dan menambah
pengungkapan (pengakuan keagungan derajat Nabi Muhammad SAW dan Nabi Iibrahim
AS) yang merupakan suatu etika. Maka menambah gelar Sayyidina lebih utama dari
pada meninggalkannya.”(6)
Andaikan memang Nabi SAW
memerintahkan pembacaan shalawat tersebut tampa penambahan, bukan berarti kita
tidak boleh menambahkannya. Sebab, selama perintah tersebut bukan perintah
wajib, maka etika mesti diprioritaskan. Para ulama menyebutkan:
إِعَارَةُ
اْلأَدَبِ خَيْرٌ مِنْ امْتِثَالِ اْلأَمْرِ
“Menjaga
etika lebih baik dari pada mengikuti perintah.”
Terbukti, jauh-jauh hari
para sahabat lbih mementingkan etika kepada Nabi Muhammad SAW dari pada
mengikuti perintahnaya. Seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang tidak mau
menghapus tulisan Rasulullah SAW dalam naskah Perdamaian Hudaibiyah, meskipun
diperintahkan. Saat itu Nabi SAW memerintahkan Ali:
امْحُ
رَسُوْلُ اللهِ قَالَ لَا وَاللهِ لَا أَمْحُوْكَ أَبَدًا
“Hapuslah
(nama) Rasulullah. “Ali menjawab: “Demi Allah SWT saya tidak akan menghapusmu
selamanya.”
(HR.
Bukhari)
Dalam kesempatan lain
Sayyidina Abu Bakar memilih mundur dan mempersilahkan Nabi SAW mengimami shalat,
meskipun telah diperintah meneruskan oleh beliau. Rasulullah SAW
bersabda:
يَا
أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ فَقَالَ أَبُوْبَكْرٍ مَا
كَانَ لِابْنِ أَبِيْ قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Wahai
Abu Bakar! Apakah yang mencegahmu untuk tetap (menjadi imam shalat) saat aku
perintahkan?,” Lalu Abu Bakar menjawab: “Tidaklah bagi Ibnu Abi Quhafah (Abu
Bakar) berhak mengimami shalat di hadapan Rasulullah SAW.” (HR.
Bukhari).
Begitu pula penambahan
gelar Sayyidina di dalam shalat. Kendati Nabi SAW tidak mengajarkannya secara
langsung, namun lebih utama dilakukan.
Meskipun begitu, sering
muncul pertanyaan apakah penambahan tersebut tidak membatalkan shalat? Bagai
mana dengan Hadits Nabi SAW yang menyatakan larangan beliau agar tidak
menyebutnya Sayyid di dalam shalat? Maka jawabannya adalah penambahan Sayyidina
tidak membatalkan shalat dan Hadits tersbut adalah Hadits yang tidak berdasar
alias palsu. Imam ar-Ramli menegaskan:
وَأَمَّا
حَدِيْثُ لَاتُسَيِّدُوْنِيْ فِى الصَّلَاةِ فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَا
لَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِيِّ اْلحُفَّاظِ وَقَوْلُ الطُّوْسِيِّ إِنَّهَا مُبْطِلَةٌ
غَلَطٌ
“Dan
sementara Hadits : “Jangan kalian sebut Sayyid diriku di dalam shalat!” adalah
Hadits batil yang tidak mempunyai dasar, seperti yang di utarakan oleh sebagian
ahli Hadits mutaakhirin. Dan asumsi ath-Thusi: “Niscaya tambahan Sayyidina itu
membatalkan shalat.” adalah salah(7)
3. Pemahaman Hadits
السَّيِّدُ اللهُ
Argumen pokok yang sering
dijadikan dalil larangan penyebutan Sayyid bagi Nabi Muhammad SAW adalah Hadits
riwayat Abu Dawud berikut ini:
عَنْ
مُطَرَّفٍ قَالَ أَبِيْ انْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِيْ عَامِرٍ إِلَى رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا فَقَالَ
السَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً
وَأَعْظَمُنَا طُوْلًا فَقَالَ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَوْبَعْضِ قَوْلِكُمْ
وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ
“Dari
Mutharrif ia berkata: “Ayahku pernah berkata: “Aku pergi bersama utusan Bani
Amir menuju ke (kediaman) Rasulullah SAW, kami berkata: “Engkau adalah Sayyid
kami. Lalu beliau bersabda: “Yang Sayyid hanayalah Allah SWT yang memiliki
keberkahan lagi luhur.” Kami barkata: “Dan kami hanya mengutamakan derajatmu dan
mengagungkan anugrahmu.” Beliau berkata: “Berkatalah kalian dengan apa yang
kalian katakan atau sebagiannya dan jangan sampai syaitan menjerumuskan
kalian.” (HR.
Abu Dawud)
Dalam memahami Hadits
tersebut para ulama berpendapat bahwa Nabi SAW tidak melarang beliau dipanggil
dengan sebutan Sayyidina dengan larangan tahrim (pengharaman). Hal ini ditinjau
dari dua kajian.
Pertama, kata السَّيِّدُ
اللهُ pada Hadits tersebut hanyalah penjelasan Nabi SAW tentang siapa yang
berhak menyandang sebutan Sayyid secara hakiki dan mutlak tanpa batas. Yang
mengatur segala urusan mahluknya.(8) Hadits tersebut tidak menafikan makna
Sayyid yang lainnya seperti yang telah disebutkan di awal bab yang bisa pula
disandang oleh Nabi SAW. Artinya, gelar ini layak disandang oleh Allah SWT atau
pun mahlukNya, seperti kata الرَّبُّ (yang memiliki kekuasaan). Allah SWT
berfirman:
وَقَالَ
لِلَّذِيْ ظَنَّ أَنَّهُ نَاجٍ مِنْهُمَا اذْكُرْنِيْ عِنْدَ رَبِّكَ فَأَنْسَىهُ
الشَيْطَانُ ذِكْرَ رَبِّهِ فَلَبِثَ فِى السِّجْنِ بِضْعَ سِنِيْنَ
“Dan
Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinay akan selamat diantara mereka
berdua: “Terangkanlah keadaanku kepada tuan-mu!” Maka syaitan manjadikan dia
lupa menarangkan (kadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah Yusuf dalam
penjara beberapa tahun lamanya.” (QS.
Yusuf: 42)
وَقَالَ
اْلَملِكُ ائْتٌوْنِيْ بِهِ فَلَمَّاجَاءَهُ الرَّسُوْلُ ق ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ
فَسْئَلْهُ مَابَالُ النِّسْوَةِ الَّتِىْ قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي
بِكَيْدِهِنَّ عَلِيْمٌ
“Dan
Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepeda
Yusuf, berkatalah Yusuf: “Kembalilah kepada Tuanmu dan tanyakanlah kepadanya
bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya
Tuhanku maha mengetahui tipu daya mereka.”(QS.
Yusuf:50)
Yang dikehendaki oleh Nabi
Yusuf AS dengan mengatakan rabb jelaslah bukan
rabb yang berarti “Tuhan”, akan
tetapi rabb
yang berarti
tuan, sebagaimana dikatakan رَبُّ الدَّارِyang berarti tuan rumah. Demikian pula
sebutan Sayyid. Dalam surat Ali Imran Allah SWT menghormati Nabi Yahya AS dengan
sebutan Sayyid, ia berfirman:
فَنَادَتْهُ
اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ أَنَّ اللهَ
يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىْ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَسَيِّدًا وَحَصُوْرًا
وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Kemudian Malaikat (Jibril)
memanggil Zakariya, sedang ia sedang berdir melakukan shalat di mihrab
(katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang
putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah SWT, menjadi
ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan
orang-orang saleh.”
(Ali
Imran: 39)
Meskipun muatan maknanya
hampir sama, sebutan Sayyid disandang oleh Rasulullah SAW jelas tidak sepadan
dengan sebutan Sayyid
yang disandang
Allah SWT. Gelar Sayyid bagi Nabi SAW
disematkan
atas kepemimpinannya bagi umat dengan derajat kenabian dan kerasulannya,
sementara bagi Allah SWT atas penguasaannya dijagat raya.(9)
Kedua, kalau pun ada kesan
larangan Rasulullah SAW dalam Hadits diatas, yang tersurat dalam teks
قُوْلُوْا
بِقَوْلِكُمْ أَوْبَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ
(berkatalah dengan ucapan
kalian atau sebagai ucapan kalian dan jangan biarkan setan menjerumuskan
kalian), itu pun disebabkan beliau tidak ingin dipuji secara berlebihan alias
muncul dari ketawadlu’an yang beliau miliki dan
disebabkan pula oleh kekhawatiaran beliau atas kesalah pahaman Bani Amir dalam
memahami arti Sayyid. Sebab, mereka masih mu’allaf
yang belum
lama masuk Islam. Beliau khawatir mereka memahami makna Sayyid yang beliau
sandang atas kemuliaan derajat Nabi dan Rasul sederajat dengan Sayyid yang ada
dalam kultur mereka sebelumnya. Yakni kesayyidan yang diperoleh karena
sebab-sebab duniawi yang selalu mereka agung-agungkan. Lebih jelasnay, dengan
ucapan tersebut seakan-akan beliau bersabda: “Bertutur katalah dengan bahasa
yang dipakai orang-orang yang seagama dengan kalian (agama Islam) dan panggilah
aku Nabi dan Rasul sebagaimana Allah SWT menyebutku dalam kitabNya. Jangan
kalian menyebutku sebagai Sayyid sebagaiman kalian menyebut para pembesar kalian
(sebelum masuk Islam). Jangan kalian samakan aku dengan mereka karena aku tidak
sama dengan seorangpun di antara mereka. Sebab, mereka tidak lebih rendah dari
kalian dalam hal-hal duniawi, dan sesungguhnya aku menjadi Sayyid kalian atas
kenabian dan kerasulan. Maka sebutkan aku sebagai Nabi dan Rasul, atau hindari
ebagian perkataan kalian (itu) dan bersikaplah sederhana didalamnya tanpa
berlebihan atau hindarilah panggilan Sayyid dan katakanlah Nabi dan
Rasul...”demikian penafsiran as-Suyuthi.(10)
Kendati begitu, mengingat
larangan tersebut disebabkan ketawadlu’an beliau dan kekhawatiran
atas kesalah pahaman para sahabatnay, maka pada hakikatnya beliau tidak melarang
penyebutan gelar Sayyid pada dirinya. Terbukti beliau sendiri memberi suri
tauladan dalam penghormatan pada orang-orang terpandang dengan penyebutan gelar
Sayyid, sebagaimana sanjungan beliau beliau pada cucunya, Hasan bin
‘Ali:
إِنَّ
ابْنِيْ هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ
عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ
“Sungguh
anakku ini adalah Sayyid, semoga Allah mendamaikan di antara dua golongan besar
dari orang-orang Islam dengannya.” (HR.
Bukhari)
Begitu pula pengakuan
beliau pada Sa’d bin Mu’adz :
قُوْمُوْا
إِلَى سَيِّدِكُمْ
“Berdirilah
pada Sayyid kalian.” (HR.
Bukhari)
Tidak ketinggalan para
sahabat pun mencontohnya, semisal do’a shalawat Ibn Mas’ud, pelayan setia
Rasulullah SAW:
اللَّهُمَّ
اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِاْلمُرْسَلِيْنَ
وَإِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ
“Ya
Allah, limpahkanlah shalawat, rahmat dan berkahmu pada pemimpin para utusan,
pemimpin orang-orang yang bertaqwa dan pamungkas para Nabi.” (HR.
Ibnu Majjah)
Bahkan Sahl bin Hunaif
memanggil Nabi SAW dengan berseru
يَا
سَيِّدِيْ
“Wahai
tuanku!”(HR. Abu
Dawud)
Begitu pula pujian
Sayyidina ‘Umar kepada Sayyidina Abu Bakar dan Bilal :
أَبُوْ
بَكْرٍ سَيِّدُنَا وَأَعْتَقَ سَيِّدَنَا يَعْنِىْ بِلَالًا
“Abu
Bakar adalah tuanku dan memerdekakan tuanku (Bilal).” `
Perlu kita renungkan,
apakah layak kita memanggil ayah dan ibu kita langsung dengan namanya? Apakah
pantas kita menyebut guru-guru kita dengan namanya secara langsung, tanpa
mencerminkan penghormatan kepada mereka? Tidakkah Alla SWT berfirman
:
لَاتَجْعَلُوْا
دُعَاءَ الرَّسُوْلِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
“Janganlah
kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu
kepada sebagian yang lain.” (QS.
An-Nur: 63)
Tidakkah dalam al-Qur’an
Allah SWT selalu menghormati beliau dengan gelar kenabian dan kerasulannya tanpa
menyebut langsung namanya?
Oleh sebab itu, Hadits
diatas tidak bisa dipahami sebagai larangan penyebutan Sayyid kepada beliau.
Pengakuan langsung Nabi SAW atas kesayyidannya, persetujuan kepada para sahabat
atas panggilan Sayyid kepadanya dan ijma’ para ulama merupakan dasar
yang kokoh atas keabsahan penyematan gelar Sayyid baginya. Wallahu
a’lam.
==============================
(1) Dalam gramatika arab,
sangat dihindari peletakan wawu dengan ya’ dalam satu kata, sehingga wawu harus
diganti dengan ya’.
(2) Sulaiman al-Bujairami,
op. Cit., Juz I, hlm. 36.
(3) Shalih bin Fauzan,
“I’anah al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid”, Juz IV, hlm. 51. CD al-Maktabah
as-Syamilah.
(4) Saulaiman al-Bujairami,
loc. Cit. Dan Wuzarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah bi al-Kuwait,
“al-Mausu’ah al-Fiqhiyah”, Juz XI, hlm. 347. CD al-Fiqh al-Islami.
(5) Wuzarah al-Auqaf wa
as-Syu’un al-Islamiyah bi al-Kuwait, loc. Cit.
(6) Ar-Ramli, Nihayatul
al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003, Juz I, hlm. 530.
(7) Ar-Ramli, Nihayatul
al-Muhtaj, Bairut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003, Juz I, hlm. 530
(8) Muhammad al-Qari, op.
Cit., Juz IX hlm. 115 – 116.
(9) Muhammad al-Qari, op.
Cit., Juz IX hlm. 115 – 116, al-Munawi, Faid al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tt,
Juz IV, hlm. 152.
(10) Al-‘Adzim Abbadi, ‘Aun
al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Juz XIII, hlm.
162.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar