BAGIAN I
Pemahaman Aswaja
1. Tiga Sendi Utama Ajaran Islam Islam adalah agama Allah SWT yang diturunkan untuk seluruh manusia. Di dalamnya terdapat pedoman dan aturan demi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ada tiga hal yang menjadi sendi utama dalam agama Islam. Yakni Iman, Islam dan Ihsan. Dalam sebuah hadits diceritakan: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ Z قَالَ، بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ Tذَاتَ يَوْمٍ اِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَيُرَى عَلَيْهِ اَثَرُ السَّفَرِ وَلاَيَعْرِفُهُ مِنَّا اَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ اِلَى النَّبِيِّ T فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ اِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ اَخْبِرْنِى عَنِ اْلإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ T: اَلإِسْلاَمُ اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ اِنِ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ ؟ قَالَ: اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرَ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ ؟ قَالَ: اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ لِى يَا عُمَرُ اَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ ؟ قُلْتُ اَللهُ وَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ، قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ اَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ (رواه مسلم “Dari Umar bin al-Khaththab Z, berkata: “Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah T, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi T sambil menempelkan kedua lututnya pada lutut Nabi T. Sedangkan kedua tangannya diletakkan di atas paha Nabi T. Laki-laki itu bertanya, “Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam”. Rasulullah T menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan ramadhan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya”. Laki-laki itu menjawab, “Kamu benar”. Umar berkata, “Kami heran kepada laki-laki tersebut, ia bertanya tapi ia sendiri yang membenarkannya”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku tentang Iman”. Nabi T menjawab “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan qadar (ketentuan) Allah yang baik dan yang buruk”. Laki-laki itu menjawab, “Kamu benar”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku tentang Ihsan.” Nabi T menjawab, “Ihsan adalah kamu menyembah Allah SWT seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat. Kemudian Rasulullah T bertanya kepadaku, “Wahai Umar siapakah orang yang datang tadi?” Aku menjawab, “Allah SWT dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Lalu Nabi T bersabda, “Sesungguhnya laki-laki itu adalah Malaikat Jibril AS. Ia datang kepadamu untuk mengajarkan agamamu”. (HR. Muslim: 9). Dari sisi keilmuan semula ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun dalam perkembangan selanjutnya para ulama mengadakan pemisahan, sehingga menjadi bagian ilmu tersendiri. Bagian-bagian itu mereka elaborasi sehingga menjadi bagian ilmu yang berbeda. Perhatian terhadap Iman memunculkan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Perhatian khusus pada aspek Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan ilmu fiqh atau ilmu hukum Islam dan penelitian terhadap dimensi Ihsan melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq. (Pemikiran KH. Achmad Siddiq, hal. 1-2). Namun demikian, meskipun telah menjadi ilmu tersendiri, dalam tataran pengamalan kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan. Tidak terlalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam, atau sebaliknya. Misalnya orang yang sedang shalat, dia harus mengesakan Allah disertai keyakinan bahwa hanya Dia yang wajib disembah (iman), harus memenuhi syarat dan rukun shalat (Islam), dan shalat harus dilakukan dengan khusyu’ dan penuh penghayatan (ihsan). Allah SWT berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. (البقرة: 208) “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208). 2. Pengertian Aswaja Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut. 1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. 2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah T. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi T, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi T. (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245). 3. Al-Jama’ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah T pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakr Z, Umar bin al-Khaththab Z, Utsman bin Affan Z dan Ali bin Abi Thalib Z). Kata al-Jama’ah ini diambil dari sabda Rasulullah T: مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَة َ(رواه الترمذي 209 والحاكم 1 / 77-78 وصححه ووافقه الحافظ الذهبي). “Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)”. (HR. al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi). Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan: فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ Tوَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ T فِي خِلاَفَةِ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. (الغنية لطالبي طريق الحق، ج 1 ص 80). “Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah T (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama‘ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi T pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 80). Lebih jelas lagi, Hadlratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut: أَمَّا أَهْلُ السُّنَةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيْ T والْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ . “Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi T dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.” Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi T dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya. Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf. Yakni: 1. Dalam bidang teologi (akidah/tauhid) tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. 2. Dalam masalah fiqh terwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali. 3. Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam al-Ghazali. 3. Karakter Tawassuth, Tawazun dan I’tidal Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri aswaja, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah T dan para sahabatnya. Yaitu: 1. Al-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah SWT: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْداً (البقرة: 143) “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.” (QS. al-Baqarah: 143). 2. Al-Tawazun, (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli). Firman Allah SWT: لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِاْلقِسْطِ (الحديد: 25) “Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. al-Hadid: 25). 3. Al-I’tidal (tegak lurus). Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ، وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى اَنْ لاَتَعْدِلُوْا، اِعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة: 8) “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8). Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh (toleransi). Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT: فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طه :44) “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44). Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz III, hal. 206). Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Akidah. a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli. b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam. c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir. 2. Syari'ah a. Berpegang teguh pada al-Qur'an dan Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qoth'i). c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni). 3. Tashawwuf/Akhlak a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu. c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros). 4. Pergaulan Antar golongan a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing. b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda. c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai. d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam. 5. Kehidupan bernegara a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa. b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah. d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik. 6. Kebudayaan a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama. b. Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal. c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). 7. Dakwah a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT. b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas. c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. (Lihat Khitthah Nahdliyyah, hal. 40-44,) 4. Perumus Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Bidang Akidah Sebagaimana penjelasan yang telah lalu, bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah merupakan Islam murni yang langsung dari Rasulullah T kemudian diteruskan oleh para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Yang ada hanyalah ulama yang telah merumuskan kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran Rasulullah T dan para sahabatnya yang murni itu. Dalam hal ini, ulama yang merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Mengutip dari Imam Thasy Kubri Zadah (901-968 H/1491-1560 M), Dr. Fathullah Khulayf dalam pengantar Kitab al-Tauhid karangan Imam al-Maturidi mengatakan, “Bahwa pelopor gerakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, khususnya dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab al-Hanafi, sedang yang lain dari golongan Madzhab al-Syafi’i. Seorang yang bermadzhab al-Hanafi itu adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Madzhab al-Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi T dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri.” (Kitab al-Tauhid, hal. 7). Nama lengkap Imam al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H/874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi T yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan salah seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w. 304 H/916 M). Awalnya Imam al-Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah. Namun setelah beliau mendalami ajaran Mu’tazilah, terungkaplah bahwa ada banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Karena itu beliau meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, sesuai dengan tuntunan Rasul T dan teladan para sahabatnya. Pengikut beliau berasal dari berbagai kalangan. Para muhadditsin (ahli hadits), fuqaha’ (ahli fiqh) serta para ulama dari berbagai disiplin ilmu ikut mendukung serta menjadi pengikut Imam al-Asy’ari. Di antara para ulama yang mengikuti ajaran beliau dalam bidang akidah adalah al-Hafizh al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M) pengarang al-Sunan al-Kubra dan lain-lain, al-Hafizh Abu Nu’aim (336-430 H/948-1038 M) pengarang Hilyah al-Auliya’, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) pengarang Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khaththabi (319-388 H/932-998 M) pengarang Ma’alim al-Sunan, al-Hafizh Ibnu al-Sam’ani (506-562 H/1112-1167 M), al-Hafizh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (499-571 H/1102-1176 M) pengarang Tarikh Dimasyq dan Tabyin Kidzb al-Muftari, Imam al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M) pengarang Riyadh al- Shalihin, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (793-852 H/1391-1448 M) penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari serta kitab Bulugh al-Maram, Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) pengarang Tafsir al-Qurthubi, Imam Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1566 M) pengarang kitab al-Zawajir, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (826-925 H/1423-1520 M) pengarang kitab Fath al-Wahhab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya. Sedangkan dari kalangan ahli tashawwuf terkenal yang menjadi pengikut akidah al-Asy’ari adalah Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (376-465 H/987-1075 M) pengarang al-Risalah al-Qusyairiyyah, dan Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M). (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 291). Bahkan para habib yang merupakan keturunan Rasulullah T sejak dahulu sampai sekarang juga mengikuti akidah Imam al-Asy’ari. Sebagaimana diakui oleh seorang sufi kenamaan yang bergelar lisan al-‘alawiyyin, yakni penyambung lidah habaib, al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (1044-1132 H/1635-1720 M). (Uqud al-Almas, hal. 89) Imam al-Asy’ari tidak hanya meninggalkan ajaran melalui murid-murid beliau yang sampai kepada kita. Tetapi beliau juga meninggalkan sekian banyak karangan. Di antara karangan beliau yang sampai kepada kita adalah kitab al-Luma’ fi al-Raddi ‘ala Ahl al-Zayghi wa al-Bida’, Risalah Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam dan lain-lain. Tokoh Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama beliau adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid, dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944 M. Beliau adalah seorang yang menganut madzhab Imam Abu Hanifah. Maka wajar, jika kebanyakan ajaran yang beliau usung masih merupakan bagian dari madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan pijakan Imam al-Maturidi adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, juz I, hal. 173). Murid-murid beliau yang terkenal ada empat orang, yakni Abu al-Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail (w. 340 H/951 M) yang terkenal sebagai Hakim Samarkand. Lalu Imam Abu al-Hasan Ali bin Sa’id al-Rastaghfani. Kemudian Imam Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa al-Bazdawi (w. 390 H//1004 M). Dan yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhari (w. 373 H/983 M). Di antara tulisan Imam al-Maturidi yang sampai kepada kita adalah kitab al-Tauhid yang di-tahqiq (diedit) oleh Dr Fathullah Khulayf dan kitab Ta’wilat Ahlussunnah. Usaha serta perjuangan dua imam ini dan para muridnya telah berhasil mengokohkan keimanan kita dan membuktikannya secara rasional tentang adanya Tuhan, kenabian, mukjizat, hari akhir, kehujjahan al-Qur’an dan as-Sunnah, dan lain-lain dari golongan yang mengingkarinya. Sehingga ulama lain seperti para fuqaha (ahli fiqh) dan muhadditsin tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama. ( Imam al-Ghazali al-Mustashfa, hal. 10-12) 5. Wali Songo Penyebar Aswaja di Indonesia Sebuah realitas yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia sejak dulu hingga sekarang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dengan mengikuti madzhab al-Syafi’i dalam bidang fiqh. Sudah barang tentu mereka mendapatkan faham tersebut dari ulama dan para dai yang mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika orang yang menyebarkan agama Islam tidak menganut faham Aswaja sementara yang diajak adalah penganut setia faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Di sisi lain, semua sepakat bahwa dai yang menyebarkan agama Islam ke Nusantara khususnya di pulau Jawa adalah Wali Songo. Karena itu dapat dikatakan bahwa Wali Songo adalah penganut ASWAJA, kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk ke Indonesia dan merubah faham keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu. Mengenai para sunan itu, Prof. KH. Abdullah bin Nuh mengatakan bahwa kata sunan adalah sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh dai Islam di Jawa. Nasab mereka bersambung sampai kepada Imam Ahmad al-Muhajir. Dan berdasarkan apa yang diajarkan oleh mereka, dapat dipahami bahwa mereka semua adalah ulama pengikut madzhab al-Syafi’i dan sunni dalam dasar dan akidah keagamaannya. Mereka kemudian lebih terkenal dengan sebutan “Wali Songo.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 174). Ada beberapa bukti bahwa Wali Songo termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh menjelaskan: “Jika kita mempelajari perimbon, yakni kumpulan ilmu dan rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), maka di sana kita akan mendapatkan banyak nama dan kitab yang menjadi referensi utama para dai sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana juga memuat masalah akidah dan fiqh dengan susunan yang bagus sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wa-Jama’ah dan madzhab Imam al-Syafi’i Z … Dari sini, menjadi jelas bahwa para dai yang sangat terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar Wali Songo itu termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 182). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986 M). Ia menjelaskan beberapa tokoh yang menyebarkan madzhab al-Syafi’i di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Yakni Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri dan lainnya. Bahkan Sunan Giri merupakan lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis sejak abad 15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu Nusantara melalui kekuatan politik dan militernya, maka Sunan Giri menjadi pemersatu melalui ilmu dan pengembangan pendidikannya. (Sejarah Kebangkitan Islam, hal. 286-287). Bukti lain yang menegaskan bahwa Wali Songo penganut faham Aswaja adalah ritual keagamaan yang dilaksanakan secara turun temurun, tanpa ada perubahan, di masjid-masjid besar yang didirikan oleh Wali Songo, semisal Masjid Sunan Ampel Surabaya, Masjid Demak dan sebagainya. Semua merupakan cerminan dari ritual ibadah yang dilaksanakan oleh golongan Aswaja. Misalnya adzan Jum’at dikumandangkan dua kali. Pada bulan Ramadhan dilaksanakan shalat tarawih secara berjamaah dua puluh rakaat sebulan penuh, kemudian antara setiap dua rakaat diselingi pembacaan taradhdhi kepada khalifah yang empat. Selanjutnya sebelum shubuh dibacakan tarhim sebagai persiapan melaksanakan shalat subuh. Tarhim adalah bacaan yang di dalamnya berisi doa-doa kepada semua umat Islam termasuk juga taradhdhi kepada khalifah yang empat. Sudah tentu hanya orang-orang yang memiliki faham Aswaja yang melaksanakan hal tersebut. Sehingga semakin menegaskan bahwa Wali Songo adalah penganut faham Aswaja. 6. Hadits tentang Perpecahan Umat Islam (Hadits al-Iftiraq) Yang dimaksud hadits al-iftiraq adalah sabda Nabi T yang menjelaskan tentang perpecahan umatnya menjadi tujuh puluh tiga golongan. Yakni sabda Nabi T: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ T إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه الترمذي: 2565) “Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah T bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, “Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Nabi T menjawab: “Dia adalah golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.” (HR. al-Tirmidzi [2565]) Mayoritas ulama menyatakan bahwa hadits ini dapat dijadikan pegangan, karena diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi T. Seorang ahli hadits, Syaikh Muhammad bin Ja’far al-Hasani al-Kattani menegaskan bahwa sabda nabi yang menjelaskan tentang umatnya yang akan menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu di surga dan tujuh puluh dua masuk neraka, diriwayatkan melalui jalur Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Z, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Umar, Abi al-Darda’, Mu’awiyah, Ibn Abbas, Jabir, Abi Umamah, Watsilah, Awf bin Malik dan Amr bin Awf al-Muzani –radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua meriwayatkan bahwa satu golongan yang akan masuk surga, yakni al-Jama’ah (yang menjaga kebersamaan dan persatuan). (Al-Kattani, Nazhm al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, hal. 58). Lebih lanjut, al-Hafizh al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir, mengutip dari pendapat beberapa ulama, menyatakan bahwa menurut al-Hafizh Zainuddin al-‘Iraqi (725-806 H/1325-1403 M), sanad-sanad hadits ini sangat bagus. Imam al-Hakim juga meriwayatkannya dari berbagai sumber, kemudian berkomentar, bahwa sanad-sanad yang ada dalam hadits ini dapat dijadikan sebagai hujjah (pegangan dalil). Bahkan al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mutawatir”. (Al-Hafizh al-Manawi, Faidh al-Qadir, Juz II, hal. 21). Dengan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits al-iftiraq dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah. Dan dari hadits inilah istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah (aswaja) dimunculkan.[] BAGIAN II Seputar Persoalan Bid’ah 1. Pemahaman Bid’ah Al-Imam Sulthanul Ulama Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M) mengatakan: اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِى عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ J. (قواعد الأحكام فى مصالح الأنام: جزء 2 ص 172) “Bid‘ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah J”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz II, hal. 172). Cakupan bid’ah itu sangat luas sekali, meliputi semua perbuatan yang tidak pernah ada pada masa Nabi J. Oleh karena itulah sebagian besar ulama membagi bid’ah menjadi lima macam: 1) Bid‘ah wajibah, yakni bid‘ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain. Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadits Nabi J secara sempurna. 2) Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’, seperti bid’ah paham Jabariyyah, Qadariyah dan Murji’ah. 3) Bid‘ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah J, misalnya, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh, mendirikan madrasah dan pesantren. 4) Bid‘ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan. 5) Bid‘ah Mubahah, seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. (Qawa‘id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz, I hal, 173 ). Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni 1. Bid’ah Hasanah. Yakni perbuatan baru yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dalam keadaan tertentu sangat dianjurkan. Masuk kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina Umar bin al-Khatthab D tentang berjama’ah dalam shalat tarawih yang beliau laksanakan: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ . (رواه البخاري: 1871، ومالك في الموطأ: 231) “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah).” (HR. al-Bukhari [1871] dan Malik dalam al-Muwaththa’ [231] ). 2. Bid’ah Sayyi’ah. Yakni perbuatan baru yang secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini adalah bid’ah muharramah dan makruhah. Inilah yang dimaksud sabda Nabi J: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم: 243) “Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah J bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak.” (HR. Muslim, [243]) Pembagian ini juga didasarkan pada sabda Nabi J: عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ J مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء (رواه مسلم ، 4830) “Dari Jarir bin Abdillah, Rasulullah J bersabda, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barangsiapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.(HR. Muslim, [4830]). Dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan). 2. Hadits tentang Semua Bid’ah adalah Sesat Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi J: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J قَالَ، اَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه، 45) “Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah J bersabda, “Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan ajaran syara’). Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ibn Majah [45]) Dalam hadits ini, Nabi J menggunakan kata kullu, yang secara tekstual diartikan seluruh atau semua. Sebenarnya, kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian, seperti firman Allah SWT: وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ) الأنبياء: 30) “Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (QS. al-Anbiya’: 30). Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah SWT: وَخَلَقَ الْجَآنَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ (الرحمن: 15) “Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala.” (QS. al-Rahman: 15). Contoh lain adalah firman Allah SWT: وَكَانَ وَرَاءَ هُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا (الكهف: 79) “Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu.” (QS. al-Kahfi: 79). Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Khidhir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khidhir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khidhir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi sebagian saja. Demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah J masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan al-Qur’an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh di bulan Ramadhan, penambahan bacaan dzikir dalam ibadah shalat, penambahan bacaan dalam talbiyah ketika menunaikan ibadah haji dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah J. Kalau kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dan diridhai Allah SWT. Bahkan di antara mereka mendapat jaminan sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi J tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu. Ini sebagai bukti nyata bahwa kata kullu yang ada pada hadits itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang hanya bid’ah yang secara nyata akan merusak ajaran agama Islam.[] BAGIAN III Sistem Bermadzhab 1. Sumber Hukum Islam Dalam menyelesaikan persoalan hukum, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama, kemudian didukung dengan ijma’ dan qiyas. Empat dalil ini yang harus menjadi rujukan setiap Muslim dalam mengambil suatu keputusan hukum. Imam al-Syafi`i D dalam kitabnya al-Risalah menegaskan. “Seseorang tidak boleh mengatakan ini halal atau ini haram, kecuali ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan mengetahui dalil itu didapat dari al-Qur’an, hadits, ijma’ atau qiyas.” (Imam al-Syafi’i, al-Risalah, hal. 36). Pedoman ini dipetik dari firman Allah SWT: يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللهَ وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. وَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فىِ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِااللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء: 59) “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul serta Ulil-Amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisa’: 59). Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa, “Perintah untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulil-Amri, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulil--Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum Muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur’an dan hadits) dan ijma’.” (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 21). Ketika memutuskan suatu persoalan hukum, empat dalil ini digunakan secara berurutan. Artinya, yang pertama kali harus dilihat adalah al-Qur’an. Kemudian meneliti hadits Nabi J. Jika tidak ada, maka melihat ijma’ ulama. Dan yang terakhir adalah menggunakan qiyas para fuqaha. Hirarki (urutan) ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Imam Saifuddin Ali bin Muhammad al-Amidi (551-631 H/1156-1233 M) menjelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam bahwa yang asal dalam dalil syar’i adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah SWT sebagai musyarri’ (pembuat hukum). Sedangkan urutan kedua adalah sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan hukum Allah SWT dalam al-Qur’an. Dan sesudah itu adalah ijma’, karena ijma’ selalu berpijak pada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas selalu berpedoman pada nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan Ijma’. (Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz I, hal 208). Dari sini dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada al-Qur'an dan hadits. Masih ada ijma’ dan qiyas yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam al-Qur'an dan hadits sebagai dalil utama. Al-Qur'an Al-Qur’an adalah: اَللَّفْظُ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ J لِلإِعْجَازِ بِسُوْرَةٍ مِنْهُ اَلْمُتَعَبَّدِ بِتِلاَوَتِهِ (السيوطي، الكوكب الساطع، 1/69) “Al-Qur’an adalah lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad J sebagai mukjizat dengan satu surat saja, dan merupakan ibadah apabila membacanya”. (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz I, hal 69). Allah SWT menjamin bahwa al-Qur'an terjaga dari berbagai upaya tangan-tangan kotor yang ingin merubah untuk menyisipkan walau hanya satu huruf. Sebagaimana firman Allah SWT: إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر: 9) “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr: 9). Secara keseluruhan al-Qur’an terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Hal tersebut telah diuji dengan menggunakan metode ilmiah oleh para ahli filologi (ahli tentang manuskrip) dunia. Dr Muhammad Mushthafa al-A’zhami mengutip keterangan dari Prof. Hamidullah: Universitas Munich (Jerman) telah mendirikan dalam abad yang lalu sebuah Lembaga Penelitian al-Qur’an. Sesudah beberapa generasi, tatkala direkturnya yang sekarang, Prof. Pretzell datang ke Paris pada tahun 1933, beliau menceritakan pada saya bahwa mereka telah mengumpulkan empat puluh dua (42) ribu salinan al-Qur’an dari salinan yang berbeda, sebagian lengkap, sebagian lainnya berupa fragmen-fragmen, sebagian asli, kebanyakan foto-foto yang asli dari segala penjuru dunia. Pekerjaan secara terus menerus membandingkan setiap kata dari setiap salinan al-Qur’an itu untuk mengetahui apakah ada variasinya (perbedaannya). Tak lama sebelum Perang Dunia Kedua, sebuah laporan awal dan percobaan diterbitkan, sehingga tentu saja menyalin kekeliruan dalam naskah al-Qur’an, tetapi ternyata tidak terdapat variasinya (tidak ada yang berbeda). Selama perang berlangsung, lembaga ini kena bom dan semuanya binasa, direktur, personalia, dan perpustakaan. (Mukjizat al-Qur’an, hal. 57). Sunnah Sumber hukum Islam yang kedua adalah al-Sunnah, yakni: مَااُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ J مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْر (المنهل اللطيف في اصول الحديث الشريف: 51) “Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi J, baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi J”. (Al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hal. 51). Sunnah terbagi menjadi tiga. 1. Sunnah Qawliyyah. Yakni semua ucapan Nabi J yang menerangkan tentang suatu hukum, seperti perintah Nabi J untuk berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan (ru’yah). 2. Sunnah Fi‘liyyah. Yaitu semua perbuatan Nabi J yang terkait dengan hukum, seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan. 3. Sunnah Taqririyyah. Yaitu pengakuan Nabi J atas apa yang diperbuat oleh para sahabat, seperti pengakuan Nabi J pada seorang sahabat yang bertayammum karena tidak ada air. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal. 105). Kitab-kitab yang mencatat al-Sunnah itu banyak sekali. Namun tidak semua dapat dijadikan pedoman dan standar. Karena itulah para ulama membagi kitab-kitab hadits pada tiga tingkatan besar. 1. Kitab-kitab yang hanya memuat hadits mutawatir, hadits shahih yang ahad (tidak sampai pada tingkatan mutawatir, karena diriwayatkan oleh sedikit orang), serta hadits hasan. Misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik. 2. Kitab-kitab yang muatan haditsnya tidak sampai pada tingkatan pertama. Yaitu kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang diyakini tidak mudah memasukkan sembarang hadits dalam kitab-kitab mereka, namun masih ada kemungkinan hadits yang mereka tulis masuk pada kategori dha’if. Misalnya adalah Jami’ al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Mujtaba al-Nasa’i. 3. Kitab hadits yang banyak memuat hadits dha‘if, namun kebanyakan para perawinya tidak diketahui keadaannya, apakah tergolong fasiq atau tidak. Contoh untuk golongan ketiga ini adalah Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad al-Thayalisi, Musnad ‘Abd bin Humaid, Sunan al-Baihaqi, al-Thabarani, al-Thahawi dan Mushannaf ‘Abdurrazaq. 4. Kitab-kitab yang banyak mengandung hadits dha‘if, seperti kitab hadits karya Ibn Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dan lain-lain. Jenis keempat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena kebanyakan sumber mereka adalah orang-orang yang kurang dapat dipercaya, karena selalu mengedepankan hawa nafsunya. (Dr. Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, hal. 116-117). Salah satu keistimewaan hadits Nabi J adalah bahwa hadits Nabi J telah dilengkapi dengan berbagai macam ilmu untuk menjaga kemurniannya. Para ulama salaf yang telah memberikan pagar-pagar beton yang kokoh dan tak mungkin bisa dijebol oleh siapapun juga untuk menjaga kemurnian hadits nabi. Al-Sunnah telah dilengkapi dengan berbagai perangkat ilmu seperti musthalah al-hadits, ‘ulum al-rijal, al-jarh wa al-ta’dil, ‘ulum naqd al-matn dan sebagainya. Oleh karena itu betapapun banyak upaya untuk melemahkan keimanan umat Islam pada sunnah Nabi J, tetapi usaha tersebut tidak menampakkan hasil bahkan menuai kegagalan. Ijma’ Ijma’ adalah: اَمَّا اْلإِجْمَاعُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ عُلَمَاءِ اَهْلِ الْعَصْرِ عَلَى حُكْمِ الْحَادِثَة (الورقات في أصول الفقه: 44) “Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu.” (Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, hal. 44). Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dalam kitab Tanqih al-Fushul Fi al-Ushul (hal. 82), dalil lain yang menunjukkan keberadaan ijma’ dalam hukum Islam adalah firman Allah SWT وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء: 115) “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. al-Nisa’: 115). Contoh ijma’ adalah kesepakatan para sahabat tentang adzan dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh di bulan Ramadhan dan semacamnya. Para ulama membagi ijma’ menjadi dua macam, yakni: 1. Ijma’ sharih. Terjadi ketika para imam mujtahid menyampaikan pendapatnya. Dan ternyata pendapat mereka sama. 2. Ijma’ sukuti. Yakni ketika sebagian mujtahid menyampaikan hasil ijtihad, tetapi yang lain diam, dan tidak menyampaikan pendapatnya. Dalam hal ini diam berarti setuju. (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 23). Qiyas Al-Imam Ibnu al-Hajib al-Maliki (570-646 H/1174-1249 M) menjelaskan definisi qiyas, sebagai berikut: قَالَ اِبْنُ الْحَاجِبٍ: هُوَ مُسَاوَاةُ الْفَرْعِ اْلأَصْلَ فِي عِلَّةِ حُكْمِه (الخضري بك، اصول الفقه: 289) “Ibnu al-Hajib mengatakan, “Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (far‘) kepada asal karena ada (kesamaan) illat (sebab) hukumnya.” (Al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, hal. 289). Dalam kitab Tanqih al-Fushul fi al-Ushul (hal. 89), dijelaskan bahwa dalil qiyas adalah firman Allah SWT: فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي اْلأَبْصَارِ (الحشر: 2) “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. al-Hasyr: 2). Contoh qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan Jum’at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan perintah untuk meninggalkan jual-beli pada saat-saat tersebut, yang secara langsung dinyatakan dalam al-Qur’an, yakni firman Allah SWT: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَ (الجمعة: 9) “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari jum‘at, maka bergegaslah kamu untuk dzikir kepada Allah (mengerjakan shalat jum‘at) dan tingggalkanlah jual-beli.” (QS. al-Jumu‘ah: 9). Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa slogan sebagian kelompok “kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah”, adalah sekedar klaim dari pengusung slogan tersebut agar mereka tampak sebagai kelompok yang paling islami. Padahal kenyataannya madzhab yang empat dan para pengikutnya juga menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum utama. Baru ketika tidak ditemukan nash secara tersurat maka digunakan ijma’, qiyas dan metode istinbat yang lain. Kalau kita terpaku hanya kepada teks al-Qur’an ataupun as-Sunnah saja kita tidak akan menemukan teks yang secara jelas menetapkan keharaman narkoba. Maka kemungkaran akan semakin merajalela. Jadi disamping menggunakan al-Qur’an ataupun as-Sunnah sebagai sumber hukum utama, kita juga harus menggunakan sumber-sumber yang lain seperti ijma’, qiyas, dan lain sebagainya. 2. Masalah Hadits Dha‘if Secara umum hadits itu ada tiga macam. Pertama, hadits shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung kepada Rasulullah J, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, akidah dan lainnya. Kedua, hadits hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah hadits shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi hadits shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana hadits shahih. Ketiga hadits dha‘if, yakni hadits yang bukan shahih dan juga bukan hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi hadits hasan. Hadits dha‘if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha‘if-annya. Hadits semacam ini disebut hadits hasan li-ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq. Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa hadits dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fadha’il al-a‘mal (yaitu masalah yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir, dan hukum). Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan hadits dha‘if jika berkaitan dengan fadha’il al-a‘mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat al-Qur’an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits dha‘if tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, hal. 251). Lebih jauh Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: اِنَّ ضَعِيْفَ الْحَدِيْثِ يُقَدَّمُ عَلَى رَأْيِ الرِّجَالِ (مجموع فتاوى ورسائل: 251) “Sesungguhnya hadits dha‘if itu didahulukan dari pada pendapat seseorang.” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, hal. 251). Namun begitu, kebolehan mengamalkan hadits dha’if ini harus memenuhi tiga syarat: 1. Bukan hadits yang sangat dha‘if. 2. Masih sejalan dengan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal dalam agama Islam. Tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya. 3. Tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan hadits dha‘if, tetapi dilaksanakan dalam rangka ihtiyath (berhati-hati dalam masalah agama). 3. Pengertian Ijtihad Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) menjelaskan definisi ijtihad sebagai berikut: اَلإِجْتِهَادُ بَذْلُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ (السيوطي، الكوكب الساطع: 2/479) “Ijtihad adalah usaha seorang faqih (seorang ahli fiqh) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (persumtif).” (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz II, hal. 479). Ijtihad adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan al-hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum (prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur’an, al-hadits, ijma’, qiyas serta dalil yang lainnya. Proses ijtihad sudah ada sejak Rasulullah J masih hidup. Dalam sebuah hadits dinyatakan: عَنْ مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَ لاَ آلُوْ. قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ T عَلَى صَدْرِهِ وَقَالَ اَلْحَمْدُ للهِ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ (رواه أحمد، 2000، وأبو داود 3119، والدارمي ، 168). “Diriwayatkan dari Mu‘adz bin Jabal D bahwa pada saat Rasulullah J mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Bagaimana cara kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu sebuah masalah?” Dia menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah.” Nabi J bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitabullah?” Mu‘adz menjawab, “Maka dengan sunnah Rasulullah J.” Nabi J bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam sunnah ?” Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Lalu Mu‘adz berkata, “Maka Rasulullah J menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah diridhai Rasulullah J.” (HR. Ahmad [20000], Abu Dawud [3119) dan al-Darimi [168]). Begitu pula saat ini. Proses ijtihad harus terus dilakukan karena persoalan kehidupan terus berkembang yang membutuhkan jawaban dari sisi agama. Dalam konteks inilah Imam al-Hafizh Taqiyyuddin Ibnu Daqiq al-‘Id al-Qusyairi (625-703 H/1235-1303 M) mengatakan: لاَ يَخْلُو الْعَصْرُ عَنْ مُجْتَهِدٍ اِلاَّ اِذَا تَدَاعَى الزَّمَانُ وَقَرُبَتِ السَّاعَةُ (مجموعة سبعة كتب مفيدة: 67) “Setiap masa tidak akan vakum dari seorang mujtahid, kecuali apabila zaman telah kacau atau kiamat telah dekat.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 67). Hanya saja, karena sangat terkait dengan usaha mencari hukum Islam, maka ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ijtihad harus dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli dan telah memiliki syarat sebagai mujtahid. Sabda Nabi J: عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ J يَقُوْلُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ (رواه البخاري ، 6805، ومسلم، 3240، والترمذي، 1248، وأبو داود، 3101، والنسائي، 5287، وأحمد، 17148). “Diriwayatkan dari Amr bin al-‘Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah J bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika ia memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya).” (HR. al-Bukhari [6805], Muslim [3240], al-Tirmidzi [1248], Abu Dawud [3101], al-Nasa’i [5287] dan Ahmad [17148]). Selain menegaskan legalitas ijtihad dalam Islam, hadits ini juga mengisyarakatkan kriteria orang yang dapat berijtihad (mujtahid), bahwa ia haruslah seorang hakim (ahli hukum). Prof. KH. Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa redaksi hadits tersebut menggunakan kata al-hakim (seorang ahli hukum), bukan kata al-rajul (seseorang secara umum). Hal ini menunjukkan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang ahli hukum. Dengan kata lain, jadilah ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, ‘berijtihad’ terlebih dahulu, baru menamakan dirinya ahli hukum. (Prof. KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hal. 162). Adapun syarat-syarat ijtihad adalah: 1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. Yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk di dalamnya harus mengetahui asbab al-nuzul (latar belakang turunnya al-Qur‘an), nasikh-mansukh (ayat yang mengganti atau yang diganti), mujmal-mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-‘am wa al-khash (kalimat yang umum dan khusus), muhkam-mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya. 2. Memiliki ilmu yang luas tentang hadits Nabi J, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti asbab al-wurud (latar belakang munculnya hadits) dan rijal al-hadits (sejarah para perawi hadits). 3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (ijma’). 4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum. 5. Menguasai Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharf, balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum). 6. Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-‘alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyat (tersier atau keindahan). 7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum. 8. Mempunyai niat serta akidah yang benar. Dengan kata lain, tujuannya bukan mengejar dan mencari pangkat serta kedudukan duniawi. Namun niatnya murni karena Allah SWT, ingin mencari hukum demi kemaslahatan seluruh manusia. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh hal. 380-389). Dari pencapaian pada syarat ini, juga didasarkan pada kualitas individu setiap mujtahid, maka muncullah tingkatan imam mujtahid, yakni: 1. Mujtahid muthlaq/mustaqil, yaitu seseorang yang melakukan ijtihad dengan cara menciptakan sendiri kaidah istinbath (cara menggali) hukum. Masuk dalam kategori ini adalah imam madzhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah al-Nu‘man bin Tsabit (80 H-150 H/699-767 M) pendiri madzhab Hanafi, Imam Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/713-795 M) pendiri madzhab Maliki, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150–204 H/767-819 M) pendiri madzhab Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (164–241 H/781-855 M) pendiri madzhab Hanbali. 2. Mujtahid muntasib, yakni seseorang yang melakukan penggalian hukum dengan menggunakan metode dan kaidah istinbath imamnya (mujtahid mutlaq). Seperti, Imam al-Muzani dan al-Buwaithi dari madzhab Syafi’i, Imam Muhammad bin al-Hasan (132-189 H/750-805 M) dan Imam Abu Yusuf (113-182 H/731-797 M) dari madzhab Hanafi. Golongan ini disebut pula dengan Mujtahid muthlaq ghair al-mustaqil (mujtahid mutlak yang tidak mandiri). 3. Mujtahid muqayyad, yaitu orang yang menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya, seperti Imam al-Karkhi (w. 482 H/1089 M), al-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M), al-Bazdawi (w. 390 H/1004 M), Abi Ishaq al-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M) dan lain sebagainya. 4. Mujtahid madzhab/fatwa, yaitu mujtahid yang mengikuti metode dan cara istinbath hukum imamnya, juga produk hukum dari imamnya. Dia hanya menyeleksi pendapat imamnya, mana yang shahih dan yang lemah. Misalnya, Imam al-Ghazali dan al-Juwaini dari madzhab Syafi’i. 5. Mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang melakukan seleksi dalam madzhab tertentu, dengan memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau paling sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakatnya. Contoh mujtahid dalam tingkatan ini adalah Imam al-Rafi’i (557-623 H/1162-1226 M) dan Imam al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal, 30. dan Dr. al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, I, 47-48). 4. Seputar Taqlid Sebagaimana pembahasan lalu, bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah mencukupi syarat untuk melakukannya. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut, mereka harus bertaqlid kepada para imam mujtahid. Mengenai definisi taqlid, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri. (Al-Buthi, al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 69). Dari definisi ini dapat diketahui bahwa taqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun selama pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk-beluk dalam menentukan suatu hukum, masih masuk dalam kategori seorang muqallid. Karena itu dia masih wajib bertaqlid. (Mathlab al-Iqazh fi al-Kalam ‘ala Syai’in min Ghurar al-Alfazh, hal. 87). Taqlid adalah sesuatu yang pasti dilakukan setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti orang yang bersedekap di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, dia tentu melakukannya walaupun masih belum meneliti dalilnya, apakah shahih ataukah tidak. Jika di kemudian hari dia tahu argumentasinya, maka berarti dia telah keluar dari taqlid a‘ma (taqlid buta) yang tercela itu. Namun demikian dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid, karena tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail. Setidaknya, dalam cara mengambil suatu kesimpulan hukum, ia masih mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu. Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambilnya dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat, dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri. Membebani ‘awam al-muslimin (masyarakat kebanyakan) dengan ijtihad sendiri-sendiri, jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap orang pada bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda. Sedangkan yang menekuni ilmu agama tidak banyak. Bagi yang “tidak sempat” mempelajari ilmu agama, ia harus bertanya dan mengikuti orang-orang yang paham tentang masalah agama. Al-Qur’an sudah menyatakan agar ada sekelompok orang yang menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman: وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَآفَّةً فَلَوْلاَنَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فىِ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ (التوبة: 122) “Tidak seharusnya semua orang mukmin berangkat ke medan perang. Mengapa tidak berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan untuk mempelajari dengan mendalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan (pelajaran) kepada kaumnya apabila mereka sudah kembali. Mudah-mudahan mereka waspada.” (QS. al-Taubah: 122). Sahabat Nabi J adalah orang-orang yang terpilih. Meskipun begitu, kualitas keilmuan mereka tidak sama, dan tidak semua mereka menjadi mujtahid. Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian lain bertanya dan mengikuti apa yang difatwakan sahabat yang lain. Dan Rasulullah J mengutus beberapa sahabat ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam serta menyelesaikan semua persoalan yang terjadi, baik dalam bidang ibadah dan mu’amalat, sosial kemasyarakatan, menjelaskan halal-haram dan semacamnya. Lalu penduduk di daerah itu mengikuti apa yang difatwakan para sahabat tersebut. Beberapa hujjah ini semakin membuktikan bahwa taqlid merupakan sunnatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, ataupun diperjuangkan untuk dihapus. Apalagi sebenarnya, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta (a‘ma) yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti atau berusaha untuk mengetahui dalilnya, karena itu akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam. Sedangkan taqlid-nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada ‘memaksakan’ diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Hanya saja, dalam bertaqlid ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Bahwa bertaqlid haruslah kepada madzhab yang empat yang dapat dijadikan pedoman (al-madzahib al-mu'tabarah). Sementara di sisi yang lain, tidak diperkenankan mencampuradukkan satu madzhab dengan madzhab yang lain (talfiq). 5. Madzhab Secara bahasa madzhab berarti jalan. Dalam pengertian istilah, KH Zainuddin Dimyathi mendefinisikan madzhab sebagai berikut: اَلْمَذْهَبُ هُوَ اْلأَحْكَامُ فِيْ الْمَسَائِلِ الَّتِيْ ذَهَبَ وَاعْتَقَدَ وَاخْتَارَهَا اْلإِمَامُ الْمُجْتَهِدُ (الإذاعة المهمة فى بيان مذهب أهل السنة والجماعة: 18) “Madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” (Al-Idza’ah al-Muhimmah, hal. 18). Dari definisi ini madzhab adalah hasil ijtihad para ulama untuk mengetahui hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Oleh karena itu, membicarakan madzhab tidak akan lepas dari ijtihad. Madzhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath‘i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya. Dalam sejarah Islam, madzhab fiqh yang berkembang sangat banyak. Namun yang diakui dan diamalkan oleh ulama golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah hanya empat madzhab saja. Ada beberapa faktor yang melandasinya. a. Kualitas individu dan keilmuan mereka sudah terkenal dan diakui oleh seluruh umat Islam. b. Keempatnya merupakan mujtahid mutlak mustaqil. c. Mempunyai murid yang secara konsisten menulis dan mengajarkan madzhab imamnya. d. Di antara mereka terdapat hubungan intelektual. 6. Madzhab Qauli dan Manhaji Para ulama memperkenalkan dua system bermadzhab, yakni: 1. Madzhab qauli, adalah mencari hukum suatu masalah dengan mengikuti hasil pendapat ulama yang sudah terbukukan di dalam beberapa kitab madzhab tersebut. 2. Madzhab manhaji, yakni memecahkan problem hukum dengan berpedoman kepada metode istiqra’ (penelitian hukum) yang digunakan dalam suatu madzhab. Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus menerus berusaha untuk mengembangkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tak mungkin dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam dituntut untuk dapat berkreasi dalam memecahkan berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ‘baru’ guna membuktikan slogan الإسلام صالح لكل زمان ومكان . Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan fiqh sosial sebagai upaya mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermazhab metodologis (madzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana digagas oleh Dr. KH. Sahal Mahfudh. Mengutip hasil halaqah P3M, ada beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh Sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH. Dr. Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003). Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min al-nas), tetapi tidak bisa masuk pada wilayah hubungan seorang hamba kepada khaliq-nya (hablun minallah). Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus mampu membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah hanya menyembah kepada-Nya. Sebagaimana sebuah kaidah yang diungkapkan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat-nya: اَْلاَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ بِالنِّسْبَةِ اِلىَ الْمُكَلَّفِ اَلتَّعَبُّدُ دُوْنَ اْلإِلْتِفَاتِ اِلَى الْمَعَانِى، وَاَصْلُ الْعَادَاتِ اَلاِلْتِفَاتُ اِلَى الْمَعَانِى (الشاطبي، الموافقات فى اصول الاحكام، 2/300) “Asal dalam masalah ibadah adalah ta‘abbud, tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal. 300). 7. Madzhab Imam al-Syafi’i D Nama lengkap Imam al-Syafi’i D adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam al-Syafi‘i D adalah seorang mujtahid muthlaq mustaqil. Selain ahli dalam bidang fiqh, beliau juga mahir dalam ilmu hadits dan akidah. Tentang keagungan dan keistimewaan Imam al-Syafi’i D, Dr. Wahbah al-Zuhaili –ulama fiqh kontemporer berkebangsaan Syria-, menyatakan: “Imam al-Syafi‘i D adalah seorang mujtahid mustaqil muthlaq, imam dalam bidang fiqh dan hadits. Beliaulah yang mampu menggabungkan fiqh ulama Hijaz (sekarang wilayah Makkah dan Madinah) dan fiqh ulama Irak. Imam Ahmad bin Hanbal berkomentar, “Imam Syafi‘i D adalah orang yang paling mengerti tentang kitab Allah dan Sunnah Rasulullah J”…(seterusnya)… Semua ulama ahli fiqh, ushul, hadits, ahli bahasa serta ulama yang lain telah sepakat bahwa Imam al-Syafi‘i adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wara’, bertaqwa, pemurah, reputasinya baik serta mempunyai kedudukan yang mulia.” (Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz I, hal 36). Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan oleh para pengikutnya, seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H/846 M), Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/877 M), dan lainnya. Termasuk pengikut madzhab al-Syafi’i adalah Imam Bukhari (194-251 H/810-870 M). (Al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf, hal. 76). Lebih jelas lagi Syaikh Musthafa Muhammad ‘Imarah mengatakan: وَتَفَقَّهَ اَلْبُخَارِيُّ عَلَى مَذْهَبِ اْلإِمَامِ الشَّافِعِيِّ D. (جواهر البخاري: 10) “Dan Imam Bukhari itu belajar fiqh mengikuti madzhab Imam al-Syafi‘i D.“ (Jawahir al-Bukhari, hal. 10). Apabila dianalogikan pada keahlian, maka Imam Bukhari diibaratkan pakar bahan baku, tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti teori Imam al-Syafi’i D. Imam al-Syafi’i D, di samping ahli “bahan baku”, beliau juga ahli mengolah “bahan baku” tersebut. Maka tidak heran apabila beliau menghasilkan produk hukum yang diikuti oleh umat Islam, termasuk juga para pakar hadits. 8. Persoalan Talfiq Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar‘i adalah menggabungkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorangpun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. (Al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hal. 397). Jelasnya, talfiq adalah melakukan sesuatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut: a. Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam al-Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam al-Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu, yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam al-Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala. b. Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut madzhab Imam al-Syafi’i. Lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam al-Syafi’i, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam al-Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan. Talfiq semacam ini dilarang dalam agama untuk menjaga kemurnian sebuah madzhab, dan agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang gampang-gampang), tidak ‘memanjakan’ umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan saja atau bahkan mempermainkan hukum agama. Dari sinilah, maka talfiq tidak ditujukan untuk melarang kebebasan bermadzhab atau pun untuk melestarikan fanatisme pada satu madzhab saja. Tetapi dalam satu persoalan memilih salah satu madzhab yang empat secara utuh. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab al-Syafi’i. Untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi, dan seterusnya.[] BAGIAN IV Seputar Ritual Shalat 1. Dzikir dan Syair Sebelum Shalat Berjama’ah Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat jama’ah, adalah perbuatan yang boleh dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kebolehan ini bisa ditinjau dari beberapa sisi. Pertama, dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah J, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits: عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللهِ Jيَقُولُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ (رواه أبو داود، 4360، و النسائي، 709، وأحمد، 20928) “Dari Sa’id bin Musayyab D ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, “Aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu”, kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah D. Hassan melanjutkan perkataannya,“Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah J, “Jawablah dariku, ya Allah mudah-mudahan engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah menjawab,“Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).” (HR. Abu Dawud [4360] al-Nasa’i,[709] dan Ahmad [20928]). Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il al-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasehat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyad al-Mu’minin Ila Fadha’ili Dzikr Rabb al-‘Alamin, hal. 16). Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya tersebut terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasehat. Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu. Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama’ah dilaksanakan. Juga agar para jama’ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama’ah dilaksanakan. Dengan beberapa alasan inilah maka membaca dzikir, nasehat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat jama’ah di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla dimaksud. 2. Mengeraskan Dzikir Mengenai tata cara dzikir, apakah dikeraskan atau dibaca pelan, masing-masing ada dalil dan tuntunan dari hadits Nabi J. Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan dzikir adalah: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ D قَالَ، قَالَ النَّبِيُّ :J يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ (رواه البخاري، 7857، ومسلم، 4832، والترمذي، 3528، وابن ماجه، 3812). “Dari Abu Hurairah D, ia berkata. Nabi J bersabda, “Allah ta’ala berfirman, “Saya akan berbuat sesuai dengan keyakinan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku akan selalu bersamanya selama ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat (berdzikir) kepada-Ku di dalam hatinya, maka Aku akan memperhatikannya. Dan jika ia menyebut Aku di dalam suatu perkumpulan (dengan suara yang didengar orang lain) maka Aku akan ingat kepadanya di dalam perkumpulan yang lebih baik dari perkumpulan yang mereka adakan.” (HR. al-Bukhari [7857], Muslim [4832], al-Tirmidzi [3528] dan Ibnu Majah [3812]). Di samping itu banyak sekali do’a-do’a yang diajarkan oleh Nabi j yang diriwayatkan para sahabat, itu artinya suara Nabi cukup keras sehingga para sahabat dapat mendengar dan menghafalnya. Sedangkan hadits yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan pelan adalah: عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِي (رواه أحمد، 1397). “Dari Sa’ad bin Malik ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Paling baik dzikir adalah yang dilakukan secara samar. Sedangkan rizki yang paling baik adalah yang mencukupi.” (HR. Ahmad [1397]). Karena sama-sama memiliki sandaran hukum, maka semua berpulang kepada masing-masing individu. Imam Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan bahwa memelankan dzikir itu bisa lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’ atau mengganggu orang yang shalat atau orang tidur. Pada selain yang dua ini, maka mengeraskan suara itu lebih utama, karena pekerjaan yang dilakukan ketika itu lebih banyak, serta manfaat dari dzikir dengan suara keras itu bisa didapatkan oleh orang yang mendengar. Dzikir itu juga dapat mengingatkan hati orang yang membaca, memusatkan segenap pikirannya untuk terus merenungkan dan menghayati (dzikir yang dibaca), memfokuskan konsentrasi dan pendengarannya, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat.” (Al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 133). Keterangan dari Imam al-Suyuthi ini selain menjelaskan keutamaan mengeraskan dzikir, sekaligus menegaskan batasannya, bahwa dzikir itu boleh dikeraskan selama tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah. 3. Bilangan Shalat Tarawih Shalat tarawih adalah salah satu ibadah yang disunnahkan pada bulan Ramadhan. Dilaksanakan setelah shalat Isya’ sebanyak 20 rakaat dengan sepuluh salam (melakukan salam setiap dua rakaat), yang kemudian diiringi shalat witir tiga rakaat. Ibnu Taimiyyah dan Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab menjelaskan: “Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab Fatawa-nya, “Telah terbukti bahwa sahabat Ubay bin Ka‘ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak dua puluh raka’at. Lalu mengerjakan witir tiga raka’at. Kemudian mayoritas ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satupun di antara mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu”. Dalam kitab Majmu’ Fatawi al-Najdiyah diterangkan tentang jawaban Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab mengenai bilangan raka’at shalat tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah sahabat Umar mengumpulkan orang untuk shalat berjama’ah kepada Ubay bin Ka’ab, maka shalat yang mereka kerjakan adalah dua puluh raka’at”. (Tashhih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, hal. 13-14). Dari sisi lain, KH. Bisri Mustofa menyatakan bahwa secara esensial melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat itu berarti mengamalkan hadits Nabi J yang menjelaskan keutamaan serta anjuran mengikuti jejak sahabat Umar D. (Risalah Ijtihad dan Taqlid, hal. 15). Tata cara ini didasarkan pada hadits: عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه مالك في الموطاء، 233) “Dari Yazid bin Ruman, ia berkata, “Orang-orang (kaum Muslimin) pada masa Umar melakukan shalat malam di bulan Ramadhan 23 raka’at (dua puluh tarawih dan tiga witir).” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, [233]). Kaitannya dengan hadits: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ J يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً (رواه البخاري، 1079) “Dari Sayyidatuna Aisyah –radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah J tidak pernah menambah shalat malam pada bulan ramadhan atau bulan lain melebihi sebelas rakaat”. (HR. al-Bukhari, [1079]). Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa hadits tersebut adalah dalilnya shalat witir, bukan dalil shalat tarawih. Sebab dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Nabi J melaksanakan shalat witir bilangan maksimal adalah sebelas rakaat. (Tuhfah al-Muhtaj, juz II, hal. 229). Mengenai pelaksanaan tarawih dua rakaat dengan satu salam, hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi J tentang tata cara melaksanakan shalat malam. Nabi J bersabda: عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ J عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ J صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (رواه البخاري، 936، ومسلم ، 1239 والترمذي، 401، والنسائي،1659، وأبو داود، 1130، وابن ماجه، 1165). “Dari Ibnu Umar, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah J tentang shalat malam. Maka Nabi J menjawab, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. (HR. al-Bukhari [936], Muslim [1239], al-Tirmidzi [401], al-Nasa’i [1650], Abu Dawud [1130] dan Ibnu Majah [1165]). Lalu bagaimana kaitannya dengan shalat tarawih yang dilakukan secara berjama’ah? Hal ini juga dibenarkan dan dihukumi sunnah. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ D لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (رواه البخاري، 1871) “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abd al-Qari, beliau berkata, “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin al-Khaththab D ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang-orang shalat tarawih sendiri-sendiri. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan berjama’ah”. Lalu Sayyidina Umar berkata, “Saya punya pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah dengan satu imam, niscaya itu lebih bagus”. Lalu beliau mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka‘ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjama’ah di belakang satu imam. ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini. (Shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (HR. al-Bukhari [1871]). 4. Qunut Shalat Shubuh Dalam madzhab Imam al-Syafi’i, ada tiga tempat disunnahkan membaca qunut, yakni ketika terjadi nazilah (bencana, cobaan), qunut pada shalat witir di pertengahan bulan Ramadhan, dan terakhir pada shalat subuh. Tentang kesunnahan qunut subuh ditegaskan oleh kebanyakan ulama salaf dan setelahnya. Di antara ulama salaf yang mensunnahkannya adalah Abu Bakr al-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman, Ali, Ibnu Abbas dan al-Barra’ bin Azib –radhiyallahu ‘anhum. (Al-Majmu’, juz I, hal 504). Dalil yang dijadikan acuan adalah hadits Nabi J: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ J يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد، 12196) “Diriwayatkan dari Anas bin Malik D, “Beliau berkata, “Rasulullah J senantiasa membaca qunut ketika shalat shubuh sehingga beliau wafat.” (HR. Ahmad [12196]). Pakar hadits al-‘Allamah Muhammad bin ‘Allan al-Shiddiqi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Rabbaniyyah menyatakan bahwa hadits inilah yang benar, dan diriwayatkan serta di-shahih-kan oleh segolongan pakar yang banyak hafal hadits. Di antara orang yang menyatakan ke-shahih-an hadits ini adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan di beberapa tempat dari kitab yang ditulis oleh al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya dari beberapa jalur dengan berbagai sanad yang shahih. (Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, juz II, hal. 268). Sedangkan redaksi doa qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi J adalah: اَللّهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لاَيَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَيَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ اِلَيْكَ . (رواه النسائي 1725، وأبو داود 1214، والترمذي 426، وأحمد 1625، والدارمي 1545، بسند صحيح). “Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang Engkau berikan pertolongan. Berilah berkah pada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkau Dzat yang maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau maha suci dan maha luhur. Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. al-Nasa’i [1725], Abu Dawud [1214], al-Tirmidzi [426], Ahmad [1625], dan al-Darimi [1545] dengan sanad yang shahih). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi J tidak melakukan qunut, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mensunnahkan, apalagi sampai melarang qunut. Karena dalam kaidah disebutkan “al-mutsbit muqaddam ‘ala an-nafi” (yang mengatakan ada didahulukan dari yang mengatakan tidak ada). 5. Dzikir dengan Cara Berjama’ah Membaca dzikir dengan cara berjama’ah sehabis menunaikan shalat maupun dalam momen tertentu seperti dalam acara istighatsah, tahlilan dan lain-lain adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, bahkan termasuk perbuatan yang dituntun oleh agama. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang menunjuk terhadap dzikir secara berjama’ah. Misalnya ayat: فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ ( البقرة: 152) “Ingatlah (berdzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. al-Baqarah: 152). Allah SWT juga berfirman: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (الأحزاب: 41-42) “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41-42). Tidak sedikit pula hadits-hadits Rasulullah J yang menunjukkan keutamaan dzikir dengan cara berjama’ah. Rasulullah J bersabda: عَنْ أَنَسٍ D قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ :J إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ (أخرجه أحمد،3/150، والترمذي، 3510) “Dari Anas D, ia berkata, Rasulullah J bersabda: “Apabila kalian melewati taman surga, maka berdzikirlah bersama mereka.” Mereka bertanya: “Apa yang dimaksud taman surga wahai Rasulullah?” Beliau J menjawab: “Kumpulan orang-orang yang berdzikir.” (HR. Ahmad [3/150] dan al-Tirmidzi [3510]). Rasulullah J juga bersabda: عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ D قَالَ: إِنَّا لَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ J إِذْ قَالَ: ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَفَعَلْنَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِJ: اللّهُمَّ إِنَّكَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَأَمَرْتَنِيْ بِهَا وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ ثُمَّ قَالَ: اَبْشِرُوْا فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَكُمْ (أخرجه الحاكم، 1844، وأحمد، 4/124، والطبراني في الكبير، 7163، والبزار،10، قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد، 1/163، ورجاله موثقون) “Dari Syaddad bin Aus D, ia berkata: “Pada saat kami bersama Rasulullah T, tiba-tiba beliau bersabda: “Angkatlah tangan kalian dan katakanlah, tiada tuhan selain Allah”. Kami pun melakukannya. Lalu Rasulullah J bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku dengan membawa kalimat ini, Engkau memerintahkan aku dengan kalimat tersebut, dan Engkau menjanjikan aku surga dengan kalimat tersebut, sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji.” Kemudian beliau J bersabda: “Bergembiralah kalian, karena Allah telah mengampuni kalian.” (HR. al-Hakim [1844], Ahmad [4/124], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7163] dan al-Bazzar [10]. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid [1/163], “Para perawi hadits ini dapat dipercaya”). Redaksi perintah berdzikir dalam dua ayat di atas dan dua hadits di bawahnya memakai bentuk jamak, “udzkuruu, sabbihuu, farta’uu, hilaq al-dzikri (dzikir berjama’ah) dan quuluu”, menunjukkan bahwa perintah berdzikir tersebut yang utama dilakukan secara bersama-sama yakni secara berjama’ah. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para ulama. Al-Imam Ibnu Abidin berkata dalam kitabnya: “Al-Imam al-Ghazali menyamakan dzikir sendirian dan dzikir berjama’ah dengan adzan sendirian dan adzan berjama’ah, di mana suara adzan yang dilakukan sekelompok orang secara berjama’ah akan membelah udara melebihi suara adzan seorang diri. Demikian pula, dzikir berjama’ah akan lebih berpengaruh terhadap hati seseorang dalam menyingkap tabir yang menyelimuti hati, dari pada dzikir seorang diri.” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, juz V, hal. 263). Bahkan lebih jauh lagi, al-Imam al-Sya’rani mengemukakan sebagai berikut: “Para ulama salaf dan khalaf telah bersepakat tentang disunnahkannya dzikir berjama’ah di masjid-masjid atau lainnya, tanpa ada yang menentang dari seorang pun, kecuali apabila suara keras mereka dapat mengganggu orang yang tidur, shalat atau membaca al-Qur’an.” (Hasyiyah al-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, hal. 208). Berangkat dari keutamaan dzikir berjama’ah yang telah disepakati oleh para ulama salaf dan khalaf tersebut, berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits para ulama dalam setiap kurun waktu selalu melakukan dzikir berjama’ah. Termasuk pula Ibnu Taimiyah yang rutin melakukan dzikir berjama’ah dan membaca surah al-Fatihah setiap selesai shalat shubuh sampai dengan terbitnya matahari sebagaimana diriwayatkan oleh muridnya, Umar bin Ali al-Bazzar yang menjadi saksi mata sebagai berikut: فَإِذَا فَرَغَ أَيْ اِبْنُ تَيْمِيَةَ مِنَ الصَّلاَةِ أَثْنَى عَلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ ... ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالَى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ... فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ – أَعْنِي مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ – فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا... وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتِهِ. (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39). “Apabila Ibnu Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama-sama jama’ah yang hadir dengan doa yang warid (datang dari Nabi b), Allahumma anta al-salam ... Kemudian dia menghadap kepada jama’ah, lalu bersama mereka membaca tahlil yang warid, lalu membaca subhanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar, masing-masing 33 kali, dan melengkapi yang keseratus dengan membaca tahlil yang warid, kemudian dia berdoa untuk dirinya, jama’ah dan seluruh kaum Muslimin. Selanjutnya dia membaca surat al-Fatihah, mengulang-ulanginya –yakni sejak terbitnya fajar hingga matahari naik ke atas. Hal tersebut sebagai bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Umar bin Ali al-Bazzar, al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyyah, hal. 37-39).[] BAGIAN V Menghormati Nabi J 1. Merayakan Maulid Nabi Muhammad J Sebagai seorang mukmin, pengungkapan rasa syukur dan kegembiraan atas nikmat yang diterima adalah suatu keharusan. Karena dengan itulah nikmat yang diterima akan terus ditambah oleh Allah SWT. Firman Allah SWT: قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا (يونس: 58) “Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah mereka.” (QS. Yunus: 58). Begitu pula dengan kelahiran seseorang ke alam dunia merupakan nikmat tidak terhingga yang harus disyukuri. Sebagaimana Rasulullah J mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa. Dalam sebuah hadits diriwayatkan: عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِّ D أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيّ َ(رواه مسلم، 1977) “Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari D, bahwa Rasulullah J pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (HR. Muslim [1977]). Walaupun dengan tata cara yang berbeda, tetapi apa yang dilakukan Rasul dan perayaan maulid yang dilaksanakan oleh umat Islam saat ini mempunyai esensi yang sama. Yakni bergembira dan bersyukur atas kelahiran Rasulullah J sebagai suatu nikmat yang amat besar. Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi J. Di dalam al-Hawi li al-Fatawi beliau menjelaskan: “Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi J pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa semula perayaan Maulid Nabi J, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi J sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi J, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad J yang mulia.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz I, hal. 251-252). Bahkan hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah, sebagai-mana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki: “Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi J akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi J. Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, hal. 399) 2. Perintis Peringatan Maulid Muhammad J Imam Jalaluddin al-Suyuthi mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan perayaan Maulid Nabi J adalah penguasa Irbil, Raja Muzhaffar Abu Sa’id al-Kukburi bin Zainuddin Ali bin Buktikin, seorang raja yang mulia, luhur dan pemurah. Beliau merayakan Maulid Nabi J yang mulia pada bulan Rabi’ul Awal dengan perayaan yang meriah.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz I, hal. 252). Beliau adalah seorang raja yang shaleh dan bermadzhab Ahlussunnah. Terkenal sangat pemurah dan baik hati. Beliau adalah seorang yang rendah hati, baik budi, seorang sunni (termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jama‘ah) dan mencintai fuqaha dan ahli hadits. Beliau wafat tahun 630 H pada usia beliau 82 tahun.” (Tahdzib Siyar A‘lam al-Nubala‘, juz III, hal. 224). 3. Membaca Shalawat kepada Nabi, Keluarga dan Sahabat Nabi J Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad J merupakan ibadah yang sangat terpuji. Allah SWT berfirman: إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الأحزاب: 56) “Sesungguhnya Allah SWT dan para malaikat-Nya membaca shalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian membaca shalawat disertai salam kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56). Jelas sekali ayat ini menyuruh umat Islam untuk membaca shalawat kepada Nabi J di manapun dan kapanpun saja. Tujuannya adalah untuk mengagungkan sekaligus mengharap barokah Nabi J. Demikian pula membaca shalawat kepada keluarga dan sahabat Nabi J juga dianjurkan. Allah SWT berfirman: وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (التوبة: 103) “Berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman bagi jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Taubah: 103). Dalam menafsirkan ayat ini, al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan bahwa maksud firman Allah SWT (wa shalli ‘alaihim) artinya berdoalah dan minta ampunlah kamu untuk mereka. (Tafsir Ibn Katsir, juz II, hal. 400). Dalam sebuah hadits: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ كَانَ النَّبِيُّ J إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلاَنٍ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى (رواه البخاري، 1402) “Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, "Rasulullah J jika diberi sedekah oleh suatu kaum, beliau berdoa “Ya Allah mudah-mudahan Engkau mencurahkan shalawat kepada keluarganya”. Dan ketika ayahku memberikan sedekah kepada Rasulullah J, beliau juga berdoa “Ya Allah mudah-mudahan Engkau memberikan shalawat-Mu kepada keluarga Abi Aufa”. (HR. al-Bukhari [1402]). Begitu pula dengan hadits Nabi J: عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ J رَفَعَ يَدَيْهِ وَهُوَ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ (رواه أبو داود، 4511) “Diriwayatkan dari Qais bin Sa’ad bin Ubadah bahwa Nabi J mengangkat kedua tangannya sembari berdoa, Ya Allah, jadikanlah kesejahteraan dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa’ad bin Ubadah.” (HR. Abu Dawud [4511]). Menjelaskan hadits ini, sekaligus menegaskan tata cara membaca shalawat kepada sahabat dan keluarga nabi, al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi mengatakan: “Abu al-Yumn bin Asakir berkata, “Satu golongan mengatakan (tentang membaca shalawat kepada selain para nabi) bahwa hal tersebut boleh secara mutlak (baik bersamaan dengan shalawat kepada nabi ataupun tidak). Hal itu adalah apa yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari ketika mengawali dengan ayat yaitu wa shalli ‘alaihim (hendaklah kamu membaca shalawat untuk mereka). Lalu beliau mengaitkannya dengan hadits yang membolehkannya secara mutlak dan menambahkan hadits yang membolehkannya secara tab’an (bersamaan dengan shalawat kepada Nabi). Ini terjadi setelah beliau menjelaskan bab apakah boleh membaca shalawat kepada selain Nabi J baik secara mandiri maupun ikut pada shalawat kepada Nabi. Maka masuk pada kategori selain Nabi Muhammad J para Nabi yang lain, para malaikat dan orang-orang mukmin.” (Al-Qawl al-Badi’ fi al-Shalah ‘Ala al-Habib al-Syafi`, hal. 55). 4. Mencintai Keluarga dan Sahabat Nabi J Di dalam kitab ‘Allimu Awladakum Mahabbata Ali Bait al-Nabiy dijelaskan bahwa yang tergolong ahlul-bait adalah Sayyidatuna Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyinina Husain –radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua termasuk ahlul-kisa’ yang disebutkan dalam hadits. Begitu pula istri-istri Nabi merupakan keluarga Nabi berdasarkan keumuman ayat al-Qur’an, serta manthuq (arti tersurat) hadits yang menerangkan tentang anjuran membaca shalawat kepada Nabi J, istri dan keluarga beliau”. (‘Allimu Awladakum Mahabbata Ali Bait al-Nabiy, hal. 18). Sedangkan sahabat nabi adalah orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad J ketika beliau masih hidup walaupun sebentar, dalam keadaan beriman dan mati dengan tetap membawa iman. (Al-Asalib al-Badi’ah, hal. 457). Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, mencintai keluarga dan sahabat Nabi J, sekaligus memberikan penghormatan khusus kepada mereka merupakan suatu keharusan. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut: Pertama, mereka adalah generasi terbaik Islam. Menjadi saksi mata dan pelaku perjuangan Islam. Bersama Rasulullah J menegakkan agama Allah SWT di muka bumi. Mengorbankan harta bahkan nyawa untuk kejayaan Islam. Allah SWT meridhai mereka serta menjanjikan kebahagiaan di surga yang kekal dan abadi. Firman Allah SWT: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزاب: 33) “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. al-Ahzab: 33). وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة: 100) “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. al-Taubah: 100). Kedua, Rasulullah J sangat mencintai keluarga dan sahabatnya. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah selalu memuji para keluarga dan sahabatnya. Melarang umatnya untuk menghina mereka. Beliau J bersabda: عَنْ اَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِي قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J ، إِنَّنِيْ تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِيْ أَهْلُ بَيْتِيْ (رواه الترمذي ، 370) “Dari Abi Sa’id al-Khudri ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah (al-Qur’an) dan keluargaku.” (HR. al-Tirmidzi [370]). Dan sabda Rasul J: عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه مسلم، 4610) “Dari Abu Hurairah D. berkata, Rasulullah J bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabat, janganlah kalian mencaci sahabatku! Demi Dzat Yang Menguasaiku, andaikata salah satu diantara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala nafkah itu) tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya dari (nafkah) mereka”. (HR. Muslim [4610]). Dari sinilah, mencintai keluarga dan sahabat Nabi adalah mengikuti teladan Rasulullah J yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mencintai Nabi J. Ketiga, Tuntunan dan teladan ini juga diberikan oleh keluarga dan sahabat Rasul sendiri. Di antara mereka terdapat rasa cinta yang mendalam. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati. Hal ini dibuktikan dari ungkapan-ungkapan mereka: 1. “Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Sesungguhnya Abu Bakar berkata, “Sungguh kerabat Rasulullah J lebih aku cintai daripada kerabatku sendiri”. (HR. al-Bukhari [3730]). 2. ”Dari Ibnu Umar D, dari Abi Bakar D, beliau berkata, ”Perhatikanlah Nabi Muhammad J pada ahlul-bait-nya” (HR. al-Bukhari [3436]). 3. “Dari Wahab al-Suwa’i, ia berkata, “Sayyidina Ali D pernah berkhutbah kepada kami. Beliau bertanya, “Siapa orang yang paling mulia setelah Nabi Muhammad J? Aku menjawab, “Engkau wahai Amirul Mukminin”. Sayyidina Ali D berkomentar, “Tidak, hamba yang paling mulia setelah nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar.” (Al-Syafi, Juz II, hal. 428). 4. “Ketika sahabat Umar dimandikan dan dikafani, Sayyidina Ali D masuk, lalu berkata, “Tidak ada di atas bumi ini seorangpun yang lebih aku sukai untuk bertemu Allah SWT dengan membawa buku catatan selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Ma’ani al-Akhbar, hal. 117). 5. Dari 33 putra Sayyidina Ali D tiga di antaranya diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dari 14 putra Sayyidina Hasan D dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar, dan di antara 9 putra Sayyidina Husain D dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar. Pemberian nama ini tentu saja dipilih dari nama orang-orang yang menjadi idolanya, dan tidak mungkin diambil dari nama musuhnya. (Al-Hujaj al-Qath’iyyah, hal. 195). 6. Bagi Ahlussunnah Sayyidina Ali D adalah seorang imam yang mulia dan harus dijadikan panutan. Sayyidina Ali D adalah seorang pemberani dan sekali-kali bukanlah seorang pengecut. Sebagai pemimpin pasukan, di antara sekian banyak peperangan yang dilakukan pada zaman Rasul J, beliau selalu menjadi pahlawan yang tak terkalahkan. Karena itu tidak mungkin beliau bersikap penakut dan pura-pura atau taqiyah apalagi mengajarkannya. Di samping itu, Sayyidina Ali D adalah sosok yang bersih hatinya dan jauh dari sifat pendendam. Sikap dan perilaku beliau telah membuktikan bahwa beliau bukan jenis manusia yang di dalam hatinya penuh dengan dendam kesumat, karena itu tidak mungkin beliau mengajarkan mengumpat dan mencaci maki orang yang dicintai Rasulullah J dan dihormati oleh beliau sendiri seperti Sayyidina Abu Bakar D, Sayyidina Umar D, Sayyidina Utsman D, Sayyidatuna ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- dan lain sebagainya. Inilah beberapa alasan yang melandasi keharusan mencintai keluarga dan sahabat Nabi J. Sudah tentu kecintaan dan penghormatan yang diberikan adalah secara berimbang. Tetap berpedoman pada prinsip tawassuth, tawazun dan i'tidal. Jauh dari cinta dan fanatisme buta. 5. Mahallul-Qiyam (Berdiri Ketika Membaca Shalawat) Berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang, orang berdiri untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, maka seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain hanya untuk menghormat bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Maka demikian pula dengan berdiri ketika membaca shalawat. Itu adalah salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad J, sebagai hambah Allah SWT yang paling mulia. Nabi J bersabda: عَن أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J لِلأَنْصَارِ، قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ (رواه مسلم ، 3314) “Dari Abi Sa’id Al-Khudri beliau berkata, “Rasulullah J bersabda pada sahabat Anshar, “Berdirilah kalian untuk tuan kalian atau orang yang paling baik di antara kalian.” (HR. Muslim [3314]). Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menyatakan bahwa Imam al-Barzanji di dalam kitab Maulid-nya yang berbentuk prosa menyatakan, “Sebagian para imam ahli hadits yang mulia itu menganggap baik (istihsan) berdiri ketika disebutkan sejarah kelahiran Nabi J. Betapa beruntungnya orang yang mengagungkan Nabi J, dan menjadikan hal itu sebagai puncak tujuan hidupnya.” (Al-Bayan wa al-Ta‘rif fi Dzikra al-Mawlid al-Nabawi, hal. 29-30).[] BAGIAN VI Penghormatan Jenazah 1. Hadiah Pahala Untuk Ahli Kubur Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam kitab Fatawa-nya, “Sesuai dengan kesepakatan para imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.” (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 36). Mengutip dari kitab Syarh al-Kanz, Imam al-Syaukani juga menyatakan bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan baik lainnya, dan pahala perbuatan tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama Ahlussunnah. (Nail al-Awthar, juz IV, hal. 142). Ada banyak dalil al-Qur’an atau hadits yang menjelaskan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah SWT: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (الحشر: 10) “Dan orang–orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang mendahului kami (wafat) dengan membawa iman. Dan janganlah Engkau memberikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10). Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ J فَقَالَ، يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم ،1672) “Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi J, “Ibu saya meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi J menjawab, “Ya”.” (HR. Muslim, [1672]). Hadits tersebut di atas menegaskan bahwa pahala shadaqah itu sampai kepada ahli kubur. Sementara di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa shadaqah tidak hanya berupa harta benda saja, tapi juga dapat berwujud bacaan dzikir seperti kalimat la ilaha illallah, subhanallah, dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini: عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ J قَالُوا لِلنَّبِيِّ J يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً (رواه مسلم، 1674) “Dari Abu Dzarr D, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi J,” Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi J menjawab, “Bukankah Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim [1674]). Ayat dan hadits-hadits di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah, Ukhuwwah Islamiyyah itu tidak terputus karena kematian. Maka menolong ahli kubur dengan do’a dan shadaqah yang diwujudkan dalam bentuk Tahlilan dan sebagainya itu pahalanya akan sampai kepada mereka. Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah yang sama sekali tidak meyakini sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia baik berupa do’a ataupun yang lain. (Lihat, al-Ruh, hal. 117) Seseorang yang beriman ketika sudah ada hadits shahih yang menyatakan sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal dunia tentu tidak akan ragu lagi untuk meyakininya. Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an, tasbih, tahlil, shalawat yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Begitu pula dengan sedekah dan amal baik lainnya. Mengenai sebagian riwayat Imam al-Syafi’i D yang mengatakan hadiah pahala itu tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal dunia, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari -salah seorang tokoh utama dalam madzhab al-Syafi’i-, menyatakan bahwa yang dimaksud oleh pendapat Imam al-Syafi'i itu adalah apabila tidak dibaca di hadapan mayit serta pahalanya tidak diniatkan sebagai hadiah, atau berniat tetapi tidak membaca doa sesudah bacaan al-Qur’an tersebut. (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 43). Kesimpulan ini dimunculkan karena ternyata Imam al-Syafi’i D pernah berziarah ke makam Imam Layts bin Sa’ad kemudian beliau mengkhatamkan al-Qur’an. Lalu beliau berkata, “Saya berharap semoga perbuatan seperti ini tetap berlanjut dan senantiasa dilakukan.” (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan dalam kesempatan lain Imam al-Syafi’i D menyatakan “Disunnahkan membaca sebagian ayat al-Qur’an di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca al-Qur’an sampai khatam.” (Dalil Al-Falihin, juz VI, hal. 103). Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Imam al-Syafi’i D di makam Imam Layts bin Sa’ad, sekaligus mengukuhkan kebenaran perbuatan Imam al-Syafi’i D tersebut, Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip sebuah hadits yang menjelaskan tentang tata cara melakukan ziarah kubur, yang menegaskan bahwa pahala bacaan tersebut bermanfaat kepada si mayit, juga kepada orang yang membacanya. “Al-Zanjani meriwayatkan sebuah hadits marfu’ riwayat Abi Hurairah, “Barangsiapa memasuki komplek pemakaman, lalu membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-hakumuttakatsur, kemudian berdoa “Aku menghadiahkan pahala apa yang aku baca dari firman-Mu kepada ahli kubur muslimin dan muslimat, maka semua ahli kubur itu akan membantu ia di hadapan Allah SWT di hari kiamat”. Dan Abdul Aziz murid Imam al-Khallal meriwayatkan sebuah hadits marfu’ dari Anas, “Barangsiapa yang masuk pemakaman, kemudian membaca surat Yasin, maka Allah SWT akan meringankan dosa-dosa ahli kubur itu, dan ia akan mendapatkan kebaikan sebanyak ahli kubur yang ada ditempat itu.” (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Mawt, hal. 75). Kaitannya dengan firman Allah SWT: وَأَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39) “Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. al-Najm: 39). Ibnu Qayyim al-Jawziyyah mengutip pendapat Abi al-Wafa bin ‘Aqil al-Hanbali yang menjelaskan jawaban yang paling baik tentang ayat ini, bahwa manusia dengan usahanya sendiri dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 143). Dari sini maka kita harus yakin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Allah SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud. Jika Allah SWT telah mengabulkan doa yang dipanjatkan itu, lalu siapakah yang berani mengatakan pahala al-Qur’an serta dzikir itu tidak sampai kepada orang yang meninggal dunia? Pasti pahala bacaan tersebut akan sampai kepada ahli kubur yang dimaksud. 2. Talqin Ada dua jenis talqin yang dianjurkan dalam Islam. a. Talqin saat sakarat al-maut. Yakni mentalqin orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan, dan hal itu disunnahkan. Berdasarkan Hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya: عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ J لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لا إلَهَ إِلا اللهُ (رواه مسلم، 1523) “Dari Abi Sa'id al-Khudri, Rasulullah J bersabda, "Talqinkanlah orang yang akan mati di antara kamu dengan ucapan la ’ilaha illa Allah”.(HR. Muslim [1523]). Sekelompok pengikut Imam al-Syafi‘i menganjurkan agar bacaan tersebut ditambah dengan ucapan Muhammad Rasulullah J. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak perlu ditambah dengan bacaan tersebut. (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal. 83). b. Talqin saat pemakaman jenazah. Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Didasarkan pada sabda Nabi J yang diriwayatkan oleh Abi Umamah: عَنْ أَبِي أُمَامَةَ D قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ J أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ J فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لِيَقُلْ: يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَسْتَوِى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكّ رَضَيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَّا وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ. فَقَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلِ اللهِ فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ إِلىَ أُمِّهِ حَوَّاءَ: يَافُلاَنُ بْنُ حَوَّاء (رواه الطبراني في المعجم الكبير ، 7979، ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه أحكام تمني الموت ص 9 بدون أي تعليق) “Dari Abi Umamah D, beliau berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah J memperlakukan orang-orang yang wafat di antara kita. Rasulullah J memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu di antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai fulan bin fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berucap lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, maka si mayit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini).” (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata,” Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah J, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai fulan bin Hawa.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal. 9 tanpa ada komentar). Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a‘mal, hadits ini dapat digunakan. Kaitannya dengan Firman Allah SWT: وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ (فاطر: 22) “Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22). Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati. (Tafsir al-Khazin, juz V, hal. 347). Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah J apabila berziarah ke kuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah J, tentu Rasulullah J melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin. Wallahu A’lam. 3. Ziarah Kubur Pada masa awal Islam, Rasulullah J memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur, karena khawatir umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Setelah akidah umat Islam kuat, dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah J membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Rasulullah J bersabda: عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J : قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِى زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة َ)رواه الترمذى، 974) “Dari Buraidah, ia berkata, Rasululllah J bersabda, “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat.” (HR. al-Tirmidzi [974]). Kemudian kaitannya dengan hadits Nabi J yang secara tegas menyatakan larangan perempuan berziarah kubur: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ J لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُور (رواه احمد، 8095) “Dari Abu Hurairah D bahwa sesungguhnya Rasulullah J melaknat wanita yang berziarah kubur.” (HR. Ahmad [8095]). Menyikapi hadits ini ulama menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan berziarah baik bagi laki-laki dan perempuan. Imam al-Tirmidzi menyebutkan dalam kitab al-Sunan: “Sebagian Ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu diucapkan sebelum Nabi J membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah J membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu.” (Sunan al-Tirmidzi, [976]). Ketika berziarah, seseorang dianjurkan untuk membaca al-Qur’an atau lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah J: عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتاَكُمْ يس (رواه أبو داود، 2714) “Dari Ma‘qil bin Yasar D, ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud [2714]). Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi itu adalah makam para wali dan orang shaleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawi al-Kubra, juz II, hal 24). Berziarah ke makam para wali dan orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para ulama salaf. Di antaranya adalah Imam al-Syafi'i Z mencontohkan berziarah ke makam Laits bin Sa'ad dan membaca al-Qur'an sampai khatam di sana (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan diceritakan bahwa Imam Syafi’i Z jika ada hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Seperti pengakuan beliau dalam riwayat yang shahih: “Dari Ali bin Maimun, berkata, "Aku mendengar Imam al-Syafi'i berkata, "Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan berziarah mendatangi makamnya setiap hari. Apabila aku memiliki hajat, maka aku shalat dua rakaat, lalu mendatangi makam beliau, dan aku mohon hajat itu kepada Allah SWT di sisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul." (Tarikh Baghdad, juz 1, hal. 123) 4. Menyuguhkan Makanan Kepada Orang Yang Ta’ziah Menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziah hukumnya boleh, berdasarkan hadits: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ J أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (رواه البخاري، 11) “Dari Abdullah bin Amr D, “Ada seorang laki-laki bertanya pada Nabi J, “Perbuatan apakah yang paling baik?” Rasulullah J menjawab, “Menyuguhkan makanan dan mengucapkan salam, baik kepada orang yang engkau kenal atau tidak.” (HR. al-Bukhari [11]). Juga didasarkan kepada hadits Nabi J: عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ J فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ J وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَتِهِ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ J يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِيْ شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ J أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى (رواه أبو داود، 2894، والبيهقي في دلائل النبوة انظر مشكاة المصابيح، 5942) “Diriwayatkan oleh Ashim bin Kulayb dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah melayat bersama Rasulullah J dan di saat itu saya melihat beliau menasehati penggali kubur seraya bersabda,“Luaskan bagian kaki dan kepalanya”. Setelah Rasulullah J pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan (istri yang meninggal). Rasulullah J memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah J mulai makan lalu diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah J sembari berkata, “Wahai Rasulullah J saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’, (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui isterinya dan ia pun mengirim kambingnya pada saya. Rasulullah J kemudian bersabda, “Berikan makanan ini pada para tawanan.” (HR. Abu Dawud [2894] dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah, [Lihat: Misykat al-Mashabih [5942]). Berdasarkan hadits inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi berkata, “Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada para fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.” (Al-Bariqah al-Muhammadiyyah, juz III, hal. 235, dan lihat juga al-Masail al-Muntakhabah, hal. 49). Mengenai keputusan Rasulullah J memberikan makanan kepada para tawanan itu tidak dapat dijadikan alasan mengharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah J menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang yang akan dimintai ridhanya atas daging itu belum ditemukan sedangkan makanan itu takut basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah J memberikan makanan tersebut kepada para tawanan. Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut. (Bulugh al-Umniyyah hal. 219). 5. Tradisi Tahlilan Berkumpul untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah J, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil, tahmid, tasbih dan semacamnya. Karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntunan Rasulullah J. Imam al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir dan doa itu adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasul J. Begitu pula tidak ada larangan untuk menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti, hadits ”Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu”. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah. (Al-Syaukani, al-Rasa’il al-Salafiyyah, hal. 46). Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi J. Di antaranya adalah: عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم ، 4868) “Dari Abi Sa’id al-Khudri D, ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makh-luk yang ada di sisi-Nya.” (HR. al-Muslim [4868]). Kaitannya dengan pendapat Imam al-Syafi’i D: “Dan aku tidak senang pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.” (Al-Umm, juz I, hal. 318). Perkataan Imam al-Syafi’i D ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan. (Al-Munjid, 2) Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i D adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak terima terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah SWT. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di dalamnya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga lebih tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis al-dzikr. Bagi sohibul musibah, tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit. Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Di samping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa. 6. Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan Dalam setiap pelaksanaan tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi J: عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ J فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ قَالَ طِيبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ (رواه احمد، 18617) “Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah J kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasul J menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]). Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah J, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا (رواه الترمذي، 605) “Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah J, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah J menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. Tirimidzi [605]). Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji.” (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 142). Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah J: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه مسلم، 5559) “Dari Abi Hurairah D, ia berkata, “Rasulullah J bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]). Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan. Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan. Berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya. Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia. Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana. 7. Pelaksanaan Tahlil Selama Tujuh Hari. Syaikh Nawawi al-Bantani -seorang ulama mutaakhkhirin-, menjelaskan penentuan sedekah pada hari-hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat saja (al-’Adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. "Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiaanya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.” (Nihayah al-Zain, hal. 281). Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal D, dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah, karena merupakan salah satu bentuk doa untuk mayit yang sedang diuji di dalam kubur selama tujuh hari. Sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi: “Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka. Maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal 178 ). Lebih jauh, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat. “Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi J sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat J).” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 194) Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.[] BAGIAN VII Beberapa Persoalan 1. Mengikuti Thariqat Secara bahasa thariqat berarti jalan, cara, metode, sistem, madzhab, aliran dan haluan. Sedangkan dalam ilmu tashawwuf tariqat adalah perjalanan seseorang menuju Allah SWT dengan cara mensucikan diri. Syaikh Amin al-Kurdi mengatakan: اَلطَّرِيْقَةُ هِيَ الْعَمَلُ بِالشَّرِيْعَةِ وَاْلأَخْذُ بِعَزَائِمِهَا وَالْبُعْدُ عَنِ التَّسَاهُلِ فِيْمَا لاَيَنْبَغِي التَّسَاهُلُ فِيْه (تنوير القلوب، 364) “Thariqah adalah mengamalkan syari'at dan menghayati inti syariat itu, serta menjauhkan hal-hal yang bisa melalaikan pelaksanaan semua inti dan tujuan syariat itu." (Tanwir al-Qulub, hal. 364). Al-Hafizh Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani menjelaskan bahwa sumber utama thariqat adalah wahyu. Termasuk ajaran yang terdapat di dalam agama Nabi J. Karena pada hakikatnya thariqat tidak lepas dari pengamalan tiga sendi Islam, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Dalam hal ini thariqat masuk pada kategori ihsan. Karena Islam berbicara tentang ketaatan dan ibadah, Iman berbicara petunjuk dan akidah, sedangkan Ihsan adalah maqam muraqabah dan musyahadah (pendekatan diri dan penyaksian keagungan Allah SWT) yang dimaksud dalam hadits Nabi, "Engkau menyembah Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dialah yang melihatmu". (Al-Intishar fi Thariq al-Shufiyyah, hal. 6). Dari sini, mengamalkan thariqat merupakan sesuatu yang penting untuk mencapai tingkat keislaman yang sempurna (kaffah), sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an dan hadits Nabi. Mengenai tata cara dan pelaksanaannya, ulama telah membuat panduan yang disarikan dari al-Qur'an dan al-Hadits Nabi. Hal ini dapat dirujuk misalnya dalam kitab Ihya' Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, kitab Tanwir al-Qulub karya Syaikh Amin al-Kurdi dan lain sebagainya. 2. Tawassul dengan Hamba Pilihan Allah SWT Al-Syaikh Jamil Afandi Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud istighatsah dan tawassul dengan para nabi dan orang-orang yang shaleh ialah menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SWT untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku yang sebenarnya (yang mengabulkan doa). Sebagai contoh, pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari dirinya sendiri karena pemotong yang sebenarnya adalah Allah SWT. Pisau hanya sebagai penyebab yang alamiah (berpotensi untuk memotong), Allah SWT menciptakan memotong melalui pisau tersebut. (Al-Fajr al-Shadiq, hal. 53-54). Ada banyak dalil yang menjelaskan keutamaan tawassul. Di antaranya adalah firman Allah SWT: يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِى سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (المائدة، 35) “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah SWT. Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT. Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu mendapat keuntungan”. (QS. al-Ma‘idah: 35). Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman: وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (النساء: 64) “Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa), lalu mereka datang kepadamu (hai Muhammad) dan meminta ampunan kepada Allah SWT, kemudian Rasul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT Yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan menerima taubat mereka." (QS. al-Nisa': 64). Sahabat Umar D ketika melakukan shalat istisqa’ juga melakukan tawassul. عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ D كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخاري، 954) “Dari Anas bin Malik D, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin al-Khaththab D bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdoa, “Ya Allah , kami pernah berdoa dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi J, maka Engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari [954]). Menyikapi tawassul Sayyidina Umar D tersebut, Sayyidina Abbas D kemudian berdoa: اَللّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلاَءٌ اِلاَّبِذَنْبٍ وَلاَ يُكْشَفُ اِلاَّبِتَوْبَةٍ قَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَانِي مِنْ نَبِيِّكَ .. الخ اخرجه الزبير بن بكار (التحذير من الإغترار، 125) “Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu. ..... diriwayatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.” (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal. 125). Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikatnya tawassul yang dilakukan Sayyidina Umar D dengan sayyidina Abbas D merupakan tawassul dengan Nabi J (yang pada waktu itu telah wafat), disebabkan posisi Abbas sebagai paman nabi J dan karena kedudukannya di sisi Nabi J. (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal. 125). Memang di hadapan Allah SWT, semua manusia mempunyai kedudukan yang sama, semasa hidup atau setelah meninggal dunia. Al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang shaleh atau para syuhada itu tetap hidup di sisi Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur di dalam tanah. Sebagaimana firman Allah SWT: وَلاَتَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا، بَلْ اَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ (آل عمران: 169) “Dan janganlah kamu menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” (QS. Ali ‘Imran: 169). Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman: وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ فِى سَبِيْلِ اللهِ اَمْوَاتٌ بَلْ اَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ (البقرة: 154) “Dan Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. al-Baqarah: 154). Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani menyatakan “Dalam hal bertawassul itu, tidak ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad J atau para nabi yang lainnya, juga kepada para Wali Allah serta orang-orang shaleh. Dan tidak ada perbedaan pula antara bertawassul kepada orang yang hidup ataupun orang yang telah meninggal dunia. Sebab pada hakikatnya mereka tidak dapat mewujudkan serta tidak dapat memberi pengaruh apapun. Mereka diharapkan barokahnya karena mereka adalah para kekasih Allah SWT. Yang menciptakan dan yang mewujudkan (apa yang diminta oleh orang yang bertawassul) hanyalah Allah SWT semata. Orang-orang yang membedakan antara tawassul kepada orang hidup dan orang yang telah wafat meyakini bahwa ada pengaruhnya (manfaatnya) jika bertawassul kepada orang yang hidup, tapi manfaat itu tidak ada apabila bertawassul kepada orang mati. Menurut hemat kami, orang-orang yang membolehkan tawassul kepada orang yang hidup tapi mengharamkan tawassul kepada orang mati tersebut, sebenarnya telah terjebak pada kesyirikan, sebab mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh) kepada seseorang, tapi orang yang mati tidak dapat memberikan manfaat apapun. Maka pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa ada makhluk lain selain Allah SWT yang dapat memberi pengaruh dan mewujudkan sesuatu. Maka bagaimana mungkin mereka mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang menjaga tauhid (akidah), dan menuduh kelompok lain berbuat kesyirikan?” (Syawahid al-Haqq, hal. 158-159). Memang kalau direnungkan dengan seksama, manusia itu hanya berusaha, yang menentukan segalanya adalah Allah SWT. Dalam ungkapan sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata berobatlah agar sembuh, berolahragalah agar sehat, makanlah agar kenyang, belajarlah agar pandai. Padahal hakikatnya yang menyembuhkan, yang menyehatkan, yang mengenyangkan, yang menjadikan pandai, hanya Allah SWT semata. Jika terbersit di dalam hati bahwa yang menentukan sesuatu itu bukan Allah SWT, pada saat itu telah terjadi perbuatan syirik. Maka begitu pula dalam masalah tawassul ini. Pada hakikatnya bertawassul itu menjadikan sesuatu sebagai perantara agar doa yang dipanjatkan dapat segera diterima. Orang yang bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada orang atau suatu benda. Karena itu mereka bukanlah termasuk orang yang mendapat peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an: أَلاَ للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى (الزمر: 23) “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. al-Zumar: 23). Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “Perkataan para penyembah berhala "Kami menyembah mereka (berhala-berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para rasul itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tahu bahwa orang yang di-tawassul-i tersebut memiliki keutamaan di hadapan Allah SWT dengan kedudukannya sebagai rasul, ilmu yang dimiliki atau karena kenabiannya. Dan karena kelebihannya itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal. 113). Maka jelas bedanya antara orang yang menyembah berhala yang memang benar-benar menyembah berhala, yakni dalam ungkapan mereka “Kami menyembah berhala-berhala itu”. Sementara orang yang bertawassul hanya meminta dan menyembah Allah SWT semata. Tidak terbersit di dalam hatinya seujung rambutpun keyakinan adanya kekuatan dan kekuasaan lain di luar kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. 3. Mencium Tangan Ulama dan Guru Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadits dijelaskan: عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ J وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود، 4548) “Dari Zari’ D. –ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais-, beliau berkata, “Ketika sampai di Madinah, kami segera turun dari kendaraan, kemudian kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi J.” (HR. Abu Dawud [4548]). Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan guru, ulama, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam al-Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang shalih dan ulama yang utama itu disunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya makruh.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal. 79). Dr. Ahmad al-Syarbashi dalam kitab Yas’alu-naka Fi al-Din wa al-Hayah memberikan kesimpulan akhir, bahwa apabila mengecup tangan itu dimaksudkan dengan tujuan yang baik, maka (perbuatan itu) menjadi baik. Inilah hukum asal dalam masalah mencium tangan ini. Namun bila perbuatan itu digunakan untuk kepentingan dan tujuan yang jelek, maka termasuk perbuatan yang terhina. Sebagaimana halnya setiap perbuatan baik yang diselewengkan untuk kepentingan yang tidak dibenarkan.” (Yas’alunaka fi al-Din wa al-Hayah, juz II, hal. 642). 4. Amalan, Hizib dan Azimat Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT melalui amalan itu. Jadi sebenarnya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman: ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم (المؤمن: 60) “Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu.” (QS. al-Mu’min: 60). Ada beberapa dalil dari hadits Nabi J yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah: عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ اْلأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ (رواه مسلم، 4079) “Dari Awf bin Malik al-Asyja‘i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat ruqyah (seperti azimat dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah J, bagaimana pendapat Engkau (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, “Coba tunjukkan ruqyahmu itu padaku. Membuat ruqyah tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR. Muslim [4079]). “Dalam al-Kalim al-Thayyib, Syaikh Ibnu Taimiyyah menyitir “Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah J pernah bersabda, “Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku”. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantung-kan di lehernya.” (Al-Kalim al-Thayyib, hal. 33). Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat,
Pemahaman Aswaja
1. Tiga Sendi Utama Ajaran Islam Islam adalah agama Allah SWT yang diturunkan untuk seluruh manusia. Di dalamnya terdapat pedoman dan aturan demi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ada tiga hal yang menjadi sendi utama dalam agama Islam. Yakni Iman, Islam dan Ihsan. Dalam sebuah hadits diceritakan: عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ Z قَالَ، بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ Tذَاتَ يَوْمٍ اِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَيُرَى عَلَيْهِ اَثَرُ السَّفَرِ وَلاَيَعْرِفُهُ مِنَّا اَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ اِلَى النَّبِيِّ T فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ اِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ اَخْبِرْنِى عَنِ اْلإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ T: اَلإِسْلاَمُ اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ اِنِ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ ؟ قَالَ: اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرَ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ ؟ قَالَ: اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ لِى يَا عُمَرُ اَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ ؟ قُلْتُ اَللهُ وَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ، قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ اَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ (رواه مسلم “Dari Umar bin al-Khaththab Z, berkata: “Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah T, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi T sambil menempelkan kedua lututnya pada lutut Nabi T. Sedangkan kedua tangannya diletakkan di atas paha Nabi T. Laki-laki itu bertanya, “Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam”. Rasulullah T menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan ramadhan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya”. Laki-laki itu menjawab, “Kamu benar”. Umar berkata, “Kami heran kepada laki-laki tersebut, ia bertanya tapi ia sendiri yang membenarkannya”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku tentang Iman”. Nabi T menjawab “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan qadar (ketentuan) Allah yang baik dan yang buruk”. Laki-laki itu menjawab, “Kamu benar”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku tentang Ihsan.” Nabi T menjawab, “Ihsan adalah kamu menyembah Allah SWT seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat. Kemudian Rasulullah T bertanya kepadaku, “Wahai Umar siapakah orang yang datang tadi?” Aku menjawab, “Allah SWT dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Lalu Nabi T bersabda, “Sesungguhnya laki-laki itu adalah Malaikat Jibril AS. Ia datang kepadamu untuk mengajarkan agamamu”. (HR. Muslim: 9). Dari sisi keilmuan semula ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun dalam perkembangan selanjutnya para ulama mengadakan pemisahan, sehingga menjadi bagian ilmu tersendiri. Bagian-bagian itu mereka elaborasi sehingga menjadi bagian ilmu yang berbeda. Perhatian terhadap Iman memunculkan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Perhatian khusus pada aspek Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan ilmu fiqh atau ilmu hukum Islam dan penelitian terhadap dimensi Ihsan melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq. (Pemikiran KH. Achmad Siddiq, hal. 1-2). Namun demikian, meskipun telah menjadi ilmu tersendiri, dalam tataran pengamalan kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan. Tidak terlalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam, atau sebaliknya. Misalnya orang yang sedang shalat, dia harus mengesakan Allah disertai keyakinan bahwa hanya Dia yang wajib disembah (iman), harus memenuhi syarat dan rukun shalat (Islam), dan shalat harus dilakukan dengan khusyu’ dan penuh penghayatan (ihsan). Allah SWT berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. (البقرة: 208) “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208). 2. Pengertian Aswaja Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut. 1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. 2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah T. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi T, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi T. (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245). 3. Al-Jama’ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah T pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakr Z, Umar bin al-Khaththab Z, Utsman bin Affan Z dan Ali bin Abi Thalib Z). Kata al-Jama’ah ini diambil dari sabda Rasulullah T: مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَة َ(رواه الترمذي 209 والحاكم 1 / 77-78 وصححه ووافقه الحافظ الذهبي). “Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)”. (HR. al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi). Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan: فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ Tوَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ T فِي خِلاَفَةِ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. (الغنية لطالبي طريق الحق، ج 1 ص 80). “Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah T (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama‘ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi T pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 80). Lebih jelas lagi, Hadlratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut: أَمَّا أَهْلُ السُّنَةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيْ T والْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ . “Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi T dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.” Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi T dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya. Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf. Yakni: 1. Dalam bidang teologi (akidah/tauhid) tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. 2. Dalam masalah fiqh terwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali. 3. Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam al-Ghazali. 3. Karakter Tawassuth, Tawazun dan I’tidal Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri aswaja, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah T dan para sahabatnya. Yaitu: 1. Al-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah SWT: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْداً (البقرة: 143) “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.” (QS. al-Baqarah: 143). 2. Al-Tawazun, (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli). Firman Allah SWT: لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِاْلقِسْطِ (الحديد: 25) “Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. al-Hadid: 25). 3. Al-I’tidal (tegak lurus). Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ، وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى اَنْ لاَتَعْدِلُوْا، اِعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة: 8) “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8). Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh (toleransi). Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT: فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طه :44) “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44). Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz III, hal. 206). Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Akidah. a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli. b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam. c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir. 2. Syari'ah a. Berpegang teguh pada al-Qur'an dan Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qoth'i). c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni). 3. Tashawwuf/Akhlak a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu. c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros). 4. Pergaulan Antar golongan a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing. b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda. c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai. d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam. 5. Kehidupan bernegara a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa. b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah. d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik. 6. Kebudayaan a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama. b. Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal. c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). 7. Dakwah a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT. b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas. c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. (Lihat Khitthah Nahdliyyah, hal. 40-44,) 4. Perumus Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Bidang Akidah Sebagaimana penjelasan yang telah lalu, bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah merupakan Islam murni yang langsung dari Rasulullah T kemudian diteruskan oleh para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Yang ada hanyalah ulama yang telah merumuskan kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran Rasulullah T dan para sahabatnya yang murni itu. Dalam hal ini, ulama yang merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Mengutip dari Imam Thasy Kubri Zadah (901-968 H/1491-1560 M), Dr. Fathullah Khulayf dalam pengantar Kitab al-Tauhid karangan Imam al-Maturidi mengatakan, “Bahwa pelopor gerakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, khususnya dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab al-Hanafi, sedang yang lain dari golongan Madzhab al-Syafi’i. Seorang yang bermadzhab al-Hanafi itu adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Madzhab al-Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi T dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri.” (Kitab al-Tauhid, hal. 7). Nama lengkap Imam al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H/874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi T yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan salah seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w. 304 H/916 M). Awalnya Imam al-Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah. Namun setelah beliau mendalami ajaran Mu’tazilah, terungkaplah bahwa ada banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Karena itu beliau meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, sesuai dengan tuntunan Rasul T dan teladan para sahabatnya. Pengikut beliau berasal dari berbagai kalangan. Para muhadditsin (ahli hadits), fuqaha’ (ahli fiqh) serta para ulama dari berbagai disiplin ilmu ikut mendukung serta menjadi pengikut Imam al-Asy’ari. Di antara para ulama yang mengikuti ajaran beliau dalam bidang akidah adalah al-Hafizh al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M) pengarang al-Sunan al-Kubra dan lain-lain, al-Hafizh Abu Nu’aim (336-430 H/948-1038 M) pengarang Hilyah al-Auliya’, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) pengarang Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khaththabi (319-388 H/932-998 M) pengarang Ma’alim al-Sunan, al-Hafizh Ibnu al-Sam’ani (506-562 H/1112-1167 M), al-Hafizh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (499-571 H/1102-1176 M) pengarang Tarikh Dimasyq dan Tabyin Kidzb al-Muftari, Imam al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M) pengarang Riyadh al- Shalihin, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (793-852 H/1391-1448 M) penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari serta kitab Bulugh al-Maram, Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) pengarang Tafsir al-Qurthubi, Imam Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1566 M) pengarang kitab al-Zawajir, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (826-925 H/1423-1520 M) pengarang kitab Fath al-Wahhab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya. Sedangkan dari kalangan ahli tashawwuf terkenal yang menjadi pengikut akidah al-Asy’ari adalah Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (376-465 H/987-1075 M) pengarang al-Risalah al-Qusyairiyyah, dan Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M). (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 291). Bahkan para habib yang merupakan keturunan Rasulullah T sejak dahulu sampai sekarang juga mengikuti akidah Imam al-Asy’ari. Sebagaimana diakui oleh seorang sufi kenamaan yang bergelar lisan al-‘alawiyyin, yakni penyambung lidah habaib, al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (1044-1132 H/1635-1720 M). (Uqud al-Almas, hal. 89) Imam al-Asy’ari tidak hanya meninggalkan ajaran melalui murid-murid beliau yang sampai kepada kita. Tetapi beliau juga meninggalkan sekian banyak karangan. Di antara karangan beliau yang sampai kepada kita adalah kitab al-Luma’ fi al-Raddi ‘ala Ahl al-Zayghi wa al-Bida’, Risalah Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam dan lain-lain. Tokoh Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama beliau adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid, dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944 M. Beliau adalah seorang yang menganut madzhab Imam Abu Hanifah. Maka wajar, jika kebanyakan ajaran yang beliau usung masih merupakan bagian dari madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan pijakan Imam al-Maturidi adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, juz I, hal. 173). Murid-murid beliau yang terkenal ada empat orang, yakni Abu al-Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail (w. 340 H/951 M) yang terkenal sebagai Hakim Samarkand. Lalu Imam Abu al-Hasan Ali bin Sa’id al-Rastaghfani. Kemudian Imam Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa al-Bazdawi (w. 390 H//1004 M). Dan yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhari (w. 373 H/983 M). Di antara tulisan Imam al-Maturidi yang sampai kepada kita adalah kitab al-Tauhid yang di-tahqiq (diedit) oleh Dr Fathullah Khulayf dan kitab Ta’wilat Ahlussunnah. Usaha serta perjuangan dua imam ini dan para muridnya telah berhasil mengokohkan keimanan kita dan membuktikannya secara rasional tentang adanya Tuhan, kenabian, mukjizat, hari akhir, kehujjahan al-Qur’an dan as-Sunnah, dan lain-lain dari golongan yang mengingkarinya. Sehingga ulama lain seperti para fuqaha (ahli fiqh) dan muhadditsin tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama. ( Imam al-Ghazali al-Mustashfa, hal. 10-12) 5. Wali Songo Penyebar Aswaja di Indonesia Sebuah realitas yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia sejak dulu hingga sekarang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dengan mengikuti madzhab al-Syafi’i dalam bidang fiqh. Sudah barang tentu mereka mendapatkan faham tersebut dari ulama dan para dai yang mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika orang yang menyebarkan agama Islam tidak menganut faham Aswaja sementara yang diajak adalah penganut setia faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Di sisi lain, semua sepakat bahwa dai yang menyebarkan agama Islam ke Nusantara khususnya di pulau Jawa adalah Wali Songo. Karena itu dapat dikatakan bahwa Wali Songo adalah penganut ASWAJA, kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk ke Indonesia dan merubah faham keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu. Mengenai para sunan itu, Prof. KH. Abdullah bin Nuh mengatakan bahwa kata sunan adalah sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh dai Islam di Jawa. Nasab mereka bersambung sampai kepada Imam Ahmad al-Muhajir. Dan berdasarkan apa yang diajarkan oleh mereka, dapat dipahami bahwa mereka semua adalah ulama pengikut madzhab al-Syafi’i dan sunni dalam dasar dan akidah keagamaannya. Mereka kemudian lebih terkenal dengan sebutan “Wali Songo.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 174). Ada beberapa bukti bahwa Wali Songo termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh menjelaskan: “Jika kita mempelajari perimbon, yakni kumpulan ilmu dan rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), maka di sana kita akan mendapatkan banyak nama dan kitab yang menjadi referensi utama para dai sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana juga memuat masalah akidah dan fiqh dengan susunan yang bagus sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wa-Jama’ah dan madzhab Imam al-Syafi’i Z … Dari sini, menjadi jelas bahwa para dai yang sangat terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar Wali Songo itu termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 182). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986 M). Ia menjelaskan beberapa tokoh yang menyebarkan madzhab al-Syafi’i di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Yakni Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri dan lainnya. Bahkan Sunan Giri merupakan lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis sejak abad 15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu Nusantara melalui kekuatan politik dan militernya, maka Sunan Giri menjadi pemersatu melalui ilmu dan pengembangan pendidikannya. (Sejarah Kebangkitan Islam, hal. 286-287). Bukti lain yang menegaskan bahwa Wali Songo penganut faham Aswaja adalah ritual keagamaan yang dilaksanakan secara turun temurun, tanpa ada perubahan, di masjid-masjid besar yang didirikan oleh Wali Songo, semisal Masjid Sunan Ampel Surabaya, Masjid Demak dan sebagainya. Semua merupakan cerminan dari ritual ibadah yang dilaksanakan oleh golongan Aswaja. Misalnya adzan Jum’at dikumandangkan dua kali. Pada bulan Ramadhan dilaksanakan shalat tarawih secara berjamaah dua puluh rakaat sebulan penuh, kemudian antara setiap dua rakaat diselingi pembacaan taradhdhi kepada khalifah yang empat. Selanjutnya sebelum shubuh dibacakan tarhim sebagai persiapan melaksanakan shalat subuh. Tarhim adalah bacaan yang di dalamnya berisi doa-doa kepada semua umat Islam termasuk juga taradhdhi kepada khalifah yang empat. Sudah tentu hanya orang-orang yang memiliki faham Aswaja yang melaksanakan hal tersebut. Sehingga semakin menegaskan bahwa Wali Songo adalah penganut faham Aswaja. 6. Hadits tentang Perpecahan Umat Islam (Hadits al-Iftiraq) Yang dimaksud hadits al-iftiraq adalah sabda Nabi T yang menjelaskan tentang perpecahan umatnya menjadi tujuh puluh tiga golongan. Yakni sabda Nabi T: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ T إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه الترمذي: 2565) “Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah T bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, “Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Nabi T menjawab: “Dia adalah golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.” (HR. al-Tirmidzi [2565]) Mayoritas ulama menyatakan bahwa hadits ini dapat dijadikan pegangan, karena diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi T. Seorang ahli hadits, Syaikh Muhammad bin Ja’far al-Hasani al-Kattani menegaskan bahwa sabda nabi yang menjelaskan tentang umatnya yang akan menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu di surga dan tujuh puluh dua masuk neraka, diriwayatkan melalui jalur Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Z, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Umar, Abi al-Darda’, Mu’awiyah, Ibn Abbas, Jabir, Abi Umamah, Watsilah, Awf bin Malik dan Amr bin Awf al-Muzani –radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua meriwayatkan bahwa satu golongan yang akan masuk surga, yakni al-Jama’ah (yang menjaga kebersamaan dan persatuan). (Al-Kattani, Nazhm al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, hal. 58). Lebih lanjut, al-Hafizh al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir, mengutip dari pendapat beberapa ulama, menyatakan bahwa menurut al-Hafizh Zainuddin al-‘Iraqi (725-806 H/1325-1403 M), sanad-sanad hadits ini sangat bagus. Imam al-Hakim juga meriwayatkannya dari berbagai sumber, kemudian berkomentar, bahwa sanad-sanad yang ada dalam hadits ini dapat dijadikan sebagai hujjah (pegangan dalil). Bahkan al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mutawatir”. (Al-Hafizh al-Manawi, Faidh al-Qadir, Juz II, hal. 21). Dengan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits al-iftiraq dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah. Dan dari hadits inilah istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah (aswaja) dimunculkan.[] BAGIAN II Seputar Persoalan Bid’ah 1. Pemahaman Bid’ah Al-Imam Sulthanul Ulama Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M) mengatakan: اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِى عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ J. (قواعد الأحكام فى مصالح الأنام: جزء 2 ص 172) “Bid‘ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah J”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz II, hal. 172). Cakupan bid’ah itu sangat luas sekali, meliputi semua perbuatan yang tidak pernah ada pada masa Nabi J. Oleh karena itulah sebagian besar ulama membagi bid’ah menjadi lima macam: 1) Bid‘ah wajibah, yakni bid‘ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain. Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadits Nabi J secara sempurna. 2) Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’, seperti bid’ah paham Jabariyyah, Qadariyah dan Murji’ah. 3) Bid‘ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah J, misalnya, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh, mendirikan madrasah dan pesantren. 4) Bid‘ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan. 5) Bid‘ah Mubahah, seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. (Qawa‘id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz, I hal, 173 ). Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni 1. Bid’ah Hasanah. Yakni perbuatan baru yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dalam keadaan tertentu sangat dianjurkan. Masuk kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina Umar bin al-Khatthab D tentang berjama’ah dalam shalat tarawih yang beliau laksanakan: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ . (رواه البخاري: 1871، ومالك في الموطأ: 231) “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah).” (HR. al-Bukhari [1871] dan Malik dalam al-Muwaththa’ [231] ). 2. Bid’ah Sayyi’ah. Yakni perbuatan baru yang secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini adalah bid’ah muharramah dan makruhah. Inilah yang dimaksud sabda Nabi J: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم: 243) “Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah J bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak.” (HR. Muslim, [243]) Pembagian ini juga didasarkan pada sabda Nabi J: عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ J مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء (رواه مسلم ، 4830) “Dari Jarir bin Abdillah, Rasulullah J bersabda, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barangsiapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.(HR. Muslim, [4830]). Dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan). 2. Hadits tentang Semua Bid’ah adalah Sesat Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi J: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J قَالَ، اَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه، 45) “Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah J bersabda, “Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan ajaran syara’). Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ibn Majah [45]) Dalam hadits ini, Nabi J menggunakan kata kullu, yang secara tekstual diartikan seluruh atau semua. Sebenarnya, kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian, seperti firman Allah SWT: وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ) الأنبياء: 30) “Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (QS. al-Anbiya’: 30). Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah SWT: وَخَلَقَ الْجَآنَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ (الرحمن: 15) “Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala.” (QS. al-Rahman: 15). Contoh lain adalah firman Allah SWT: وَكَانَ وَرَاءَ هُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا (الكهف: 79) “Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu.” (QS. al-Kahfi: 79). Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Khidhir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khidhir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khidhir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi sebagian saja. Demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah J masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan al-Qur’an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh di bulan Ramadhan, penambahan bacaan dzikir dalam ibadah shalat, penambahan bacaan dalam talbiyah ketika menunaikan ibadah haji dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah J. Kalau kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dan diridhai Allah SWT. Bahkan di antara mereka mendapat jaminan sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi J tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu. Ini sebagai bukti nyata bahwa kata kullu yang ada pada hadits itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang hanya bid’ah yang secara nyata akan merusak ajaran agama Islam.[] BAGIAN III Sistem Bermadzhab 1. Sumber Hukum Islam Dalam menyelesaikan persoalan hukum, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama, kemudian didukung dengan ijma’ dan qiyas. Empat dalil ini yang harus menjadi rujukan setiap Muslim dalam mengambil suatu keputusan hukum. Imam al-Syafi`i D dalam kitabnya al-Risalah menegaskan. “Seseorang tidak boleh mengatakan ini halal atau ini haram, kecuali ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan mengetahui dalil itu didapat dari al-Qur’an, hadits, ijma’ atau qiyas.” (Imam al-Syafi’i, al-Risalah, hal. 36). Pedoman ini dipetik dari firman Allah SWT: يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللهَ وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. وَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فىِ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِااللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء: 59) “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul serta Ulil-Amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisa’: 59). Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa, “Perintah untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulil-Amri, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulil--Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum Muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur’an dan hadits) dan ijma’.” (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 21). Ketika memutuskan suatu persoalan hukum, empat dalil ini digunakan secara berurutan. Artinya, yang pertama kali harus dilihat adalah al-Qur’an. Kemudian meneliti hadits Nabi J. Jika tidak ada, maka melihat ijma’ ulama. Dan yang terakhir adalah menggunakan qiyas para fuqaha. Hirarki (urutan) ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Imam Saifuddin Ali bin Muhammad al-Amidi (551-631 H/1156-1233 M) menjelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam bahwa yang asal dalam dalil syar’i adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah SWT sebagai musyarri’ (pembuat hukum). Sedangkan urutan kedua adalah sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan hukum Allah SWT dalam al-Qur’an. Dan sesudah itu adalah ijma’, karena ijma’ selalu berpijak pada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas selalu berpedoman pada nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan Ijma’. (Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz I, hal 208). Dari sini dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada al-Qur'an dan hadits. Masih ada ijma’ dan qiyas yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam al-Qur'an dan hadits sebagai dalil utama. Al-Qur'an Al-Qur’an adalah: اَللَّفْظُ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ J لِلإِعْجَازِ بِسُوْرَةٍ مِنْهُ اَلْمُتَعَبَّدِ بِتِلاَوَتِهِ (السيوطي، الكوكب الساطع، 1/69) “Al-Qur’an adalah lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad J sebagai mukjizat dengan satu surat saja, dan merupakan ibadah apabila membacanya”. (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz I, hal 69). Allah SWT menjamin bahwa al-Qur'an terjaga dari berbagai upaya tangan-tangan kotor yang ingin merubah untuk menyisipkan walau hanya satu huruf. Sebagaimana firman Allah SWT: إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر: 9) “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr: 9). Secara keseluruhan al-Qur’an terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Hal tersebut telah diuji dengan menggunakan metode ilmiah oleh para ahli filologi (ahli tentang manuskrip) dunia. Dr Muhammad Mushthafa al-A’zhami mengutip keterangan dari Prof. Hamidullah: Universitas Munich (Jerman) telah mendirikan dalam abad yang lalu sebuah Lembaga Penelitian al-Qur’an. Sesudah beberapa generasi, tatkala direkturnya yang sekarang, Prof. Pretzell datang ke Paris pada tahun 1933, beliau menceritakan pada saya bahwa mereka telah mengumpulkan empat puluh dua (42) ribu salinan al-Qur’an dari salinan yang berbeda, sebagian lengkap, sebagian lainnya berupa fragmen-fragmen, sebagian asli, kebanyakan foto-foto yang asli dari segala penjuru dunia. Pekerjaan secara terus menerus membandingkan setiap kata dari setiap salinan al-Qur’an itu untuk mengetahui apakah ada variasinya (perbedaannya). Tak lama sebelum Perang Dunia Kedua, sebuah laporan awal dan percobaan diterbitkan, sehingga tentu saja menyalin kekeliruan dalam naskah al-Qur’an, tetapi ternyata tidak terdapat variasinya (tidak ada yang berbeda). Selama perang berlangsung, lembaga ini kena bom dan semuanya binasa, direktur, personalia, dan perpustakaan. (Mukjizat al-Qur’an, hal. 57). Sunnah Sumber hukum Islam yang kedua adalah al-Sunnah, yakni: مَااُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ J مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْر (المنهل اللطيف في اصول الحديث الشريف: 51) “Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi J, baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi J”. (Al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hal. 51). Sunnah terbagi menjadi tiga. 1. Sunnah Qawliyyah. Yakni semua ucapan Nabi J yang menerangkan tentang suatu hukum, seperti perintah Nabi J untuk berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan (ru’yah). 2. Sunnah Fi‘liyyah. Yaitu semua perbuatan Nabi J yang terkait dengan hukum, seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan. 3. Sunnah Taqririyyah. Yaitu pengakuan Nabi J atas apa yang diperbuat oleh para sahabat, seperti pengakuan Nabi J pada seorang sahabat yang bertayammum karena tidak ada air. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal. 105). Kitab-kitab yang mencatat al-Sunnah itu banyak sekali. Namun tidak semua dapat dijadikan pedoman dan standar. Karena itulah para ulama membagi kitab-kitab hadits pada tiga tingkatan besar. 1. Kitab-kitab yang hanya memuat hadits mutawatir, hadits shahih yang ahad (tidak sampai pada tingkatan mutawatir, karena diriwayatkan oleh sedikit orang), serta hadits hasan. Misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik. 2. Kitab-kitab yang muatan haditsnya tidak sampai pada tingkatan pertama. Yaitu kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang diyakini tidak mudah memasukkan sembarang hadits dalam kitab-kitab mereka, namun masih ada kemungkinan hadits yang mereka tulis masuk pada kategori dha’if. Misalnya adalah Jami’ al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Mujtaba al-Nasa’i. 3. Kitab hadits yang banyak memuat hadits dha‘if, namun kebanyakan para perawinya tidak diketahui keadaannya, apakah tergolong fasiq atau tidak. Contoh untuk golongan ketiga ini adalah Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad al-Thayalisi, Musnad ‘Abd bin Humaid, Sunan al-Baihaqi, al-Thabarani, al-Thahawi dan Mushannaf ‘Abdurrazaq. 4. Kitab-kitab yang banyak mengandung hadits dha‘if, seperti kitab hadits karya Ibn Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dan lain-lain. Jenis keempat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena kebanyakan sumber mereka adalah orang-orang yang kurang dapat dipercaya, karena selalu mengedepankan hawa nafsunya. (Dr. Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, hal. 116-117). Salah satu keistimewaan hadits Nabi J adalah bahwa hadits Nabi J telah dilengkapi dengan berbagai macam ilmu untuk menjaga kemurniannya. Para ulama salaf yang telah memberikan pagar-pagar beton yang kokoh dan tak mungkin bisa dijebol oleh siapapun juga untuk menjaga kemurnian hadits nabi. Al-Sunnah telah dilengkapi dengan berbagai perangkat ilmu seperti musthalah al-hadits, ‘ulum al-rijal, al-jarh wa al-ta’dil, ‘ulum naqd al-matn dan sebagainya. Oleh karena itu betapapun banyak upaya untuk melemahkan keimanan umat Islam pada sunnah Nabi J, tetapi usaha tersebut tidak menampakkan hasil bahkan menuai kegagalan. Ijma’ Ijma’ adalah: اَمَّا اْلإِجْمَاعُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ عُلَمَاءِ اَهْلِ الْعَصْرِ عَلَى حُكْمِ الْحَادِثَة (الورقات في أصول الفقه: 44) “Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu.” (Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, hal. 44). Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dalam kitab Tanqih al-Fushul Fi al-Ushul (hal. 82), dalil lain yang menunjukkan keberadaan ijma’ dalam hukum Islam adalah firman Allah SWT وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء: 115) “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. al-Nisa’: 115). Contoh ijma’ adalah kesepakatan para sahabat tentang adzan dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh di bulan Ramadhan dan semacamnya. Para ulama membagi ijma’ menjadi dua macam, yakni: 1. Ijma’ sharih. Terjadi ketika para imam mujtahid menyampaikan pendapatnya. Dan ternyata pendapat mereka sama. 2. Ijma’ sukuti. Yakni ketika sebagian mujtahid menyampaikan hasil ijtihad, tetapi yang lain diam, dan tidak menyampaikan pendapatnya. Dalam hal ini diam berarti setuju. (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 23). Qiyas Al-Imam Ibnu al-Hajib al-Maliki (570-646 H/1174-1249 M) menjelaskan definisi qiyas, sebagai berikut: قَالَ اِبْنُ الْحَاجِبٍ: هُوَ مُسَاوَاةُ الْفَرْعِ اْلأَصْلَ فِي عِلَّةِ حُكْمِه (الخضري بك، اصول الفقه: 289) “Ibnu al-Hajib mengatakan, “Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (far‘) kepada asal karena ada (kesamaan) illat (sebab) hukumnya.” (Al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, hal. 289). Dalam kitab Tanqih al-Fushul fi al-Ushul (hal. 89), dijelaskan bahwa dalil qiyas adalah firman Allah SWT: فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي اْلأَبْصَارِ (الحشر: 2) “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. al-Hasyr: 2). Contoh qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan Jum’at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan perintah untuk meninggalkan jual-beli pada saat-saat tersebut, yang secara langsung dinyatakan dalam al-Qur’an, yakni firman Allah SWT: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَ (الجمعة: 9) “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari jum‘at, maka bergegaslah kamu untuk dzikir kepada Allah (mengerjakan shalat jum‘at) dan tingggalkanlah jual-beli.” (QS. al-Jumu‘ah: 9). Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa slogan sebagian kelompok “kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah”, adalah sekedar klaim dari pengusung slogan tersebut agar mereka tampak sebagai kelompok yang paling islami. Padahal kenyataannya madzhab yang empat dan para pengikutnya juga menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum utama. Baru ketika tidak ditemukan nash secara tersurat maka digunakan ijma’, qiyas dan metode istinbat yang lain. Kalau kita terpaku hanya kepada teks al-Qur’an ataupun as-Sunnah saja kita tidak akan menemukan teks yang secara jelas menetapkan keharaman narkoba. Maka kemungkaran akan semakin merajalela. Jadi disamping menggunakan al-Qur’an ataupun as-Sunnah sebagai sumber hukum utama, kita juga harus menggunakan sumber-sumber yang lain seperti ijma’, qiyas, dan lain sebagainya. 2. Masalah Hadits Dha‘if Secara umum hadits itu ada tiga macam. Pertama, hadits shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung kepada Rasulullah J, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, akidah dan lainnya. Kedua, hadits hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah hadits shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi hadits shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana hadits shahih. Ketiga hadits dha‘if, yakni hadits yang bukan shahih dan juga bukan hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi hadits hasan. Hadits dha‘if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha‘if-annya. Hadits semacam ini disebut hadits hasan li-ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq. Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa hadits dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fadha’il al-a‘mal (yaitu masalah yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir, dan hukum). Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan hadits dha‘if jika berkaitan dengan fadha’il al-a‘mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat al-Qur’an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits dha‘if tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, hal. 251). Lebih jauh Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: اِنَّ ضَعِيْفَ الْحَدِيْثِ يُقَدَّمُ عَلَى رَأْيِ الرِّجَالِ (مجموع فتاوى ورسائل: 251) “Sesungguhnya hadits dha‘if itu didahulukan dari pada pendapat seseorang.” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, hal. 251). Namun begitu, kebolehan mengamalkan hadits dha’if ini harus memenuhi tiga syarat: 1. Bukan hadits yang sangat dha‘if. 2. Masih sejalan dengan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal dalam agama Islam. Tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya. 3. Tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan hadits dha‘if, tetapi dilaksanakan dalam rangka ihtiyath (berhati-hati dalam masalah agama). 3. Pengertian Ijtihad Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) menjelaskan definisi ijtihad sebagai berikut: اَلإِجْتِهَادُ بَذْلُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ (السيوطي، الكوكب الساطع: 2/479) “Ijtihad adalah usaha seorang faqih (seorang ahli fiqh) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (persumtif).” (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz II, hal. 479). Ijtihad adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan al-hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum (prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur’an, al-hadits, ijma’, qiyas serta dalil yang lainnya. Proses ijtihad sudah ada sejak Rasulullah J masih hidup. Dalam sebuah hadits dinyatakan: عَنْ مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَ لاَ آلُوْ. قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ T عَلَى صَدْرِهِ وَقَالَ اَلْحَمْدُ للهِ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ (رواه أحمد، 2000، وأبو داود 3119، والدارمي ، 168). “Diriwayatkan dari Mu‘adz bin Jabal D bahwa pada saat Rasulullah J mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Bagaimana cara kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu sebuah masalah?” Dia menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah.” Nabi J bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitabullah?” Mu‘adz menjawab, “Maka dengan sunnah Rasulullah J.” Nabi J bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam sunnah ?” Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Lalu Mu‘adz berkata, “Maka Rasulullah J menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah diridhai Rasulullah J.” (HR. Ahmad [20000], Abu Dawud [3119) dan al-Darimi [168]). Begitu pula saat ini. Proses ijtihad harus terus dilakukan karena persoalan kehidupan terus berkembang yang membutuhkan jawaban dari sisi agama. Dalam konteks inilah Imam al-Hafizh Taqiyyuddin Ibnu Daqiq al-‘Id al-Qusyairi (625-703 H/1235-1303 M) mengatakan: لاَ يَخْلُو الْعَصْرُ عَنْ مُجْتَهِدٍ اِلاَّ اِذَا تَدَاعَى الزَّمَانُ وَقَرُبَتِ السَّاعَةُ (مجموعة سبعة كتب مفيدة: 67) “Setiap masa tidak akan vakum dari seorang mujtahid, kecuali apabila zaman telah kacau atau kiamat telah dekat.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 67). Hanya saja, karena sangat terkait dengan usaha mencari hukum Islam, maka ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ijtihad harus dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli dan telah memiliki syarat sebagai mujtahid. Sabda Nabi J: عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ J يَقُوْلُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ (رواه البخاري ، 6805، ومسلم، 3240، والترمذي، 1248، وأبو داود، 3101، والنسائي، 5287، وأحمد، 17148). “Diriwayatkan dari Amr bin al-‘Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah J bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika ia memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya).” (HR. al-Bukhari [6805], Muslim [3240], al-Tirmidzi [1248], Abu Dawud [3101], al-Nasa’i [5287] dan Ahmad [17148]). Selain menegaskan legalitas ijtihad dalam Islam, hadits ini juga mengisyarakatkan kriteria orang yang dapat berijtihad (mujtahid), bahwa ia haruslah seorang hakim (ahli hukum). Prof. KH. Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa redaksi hadits tersebut menggunakan kata al-hakim (seorang ahli hukum), bukan kata al-rajul (seseorang secara umum). Hal ini menunjukkan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang ahli hukum. Dengan kata lain, jadilah ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, ‘berijtihad’ terlebih dahulu, baru menamakan dirinya ahli hukum. (Prof. KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hal. 162). Adapun syarat-syarat ijtihad adalah: 1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. Yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk di dalamnya harus mengetahui asbab al-nuzul (latar belakang turunnya al-Qur‘an), nasikh-mansukh (ayat yang mengganti atau yang diganti), mujmal-mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-‘am wa al-khash (kalimat yang umum dan khusus), muhkam-mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya. 2. Memiliki ilmu yang luas tentang hadits Nabi J, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti asbab al-wurud (latar belakang munculnya hadits) dan rijal al-hadits (sejarah para perawi hadits). 3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (ijma’). 4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum. 5. Menguasai Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharf, balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum). 6. Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-‘alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyat (tersier atau keindahan). 7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum. 8. Mempunyai niat serta akidah yang benar. Dengan kata lain, tujuannya bukan mengejar dan mencari pangkat serta kedudukan duniawi. Namun niatnya murni karena Allah SWT, ingin mencari hukum demi kemaslahatan seluruh manusia. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh hal. 380-389). Dari pencapaian pada syarat ini, juga didasarkan pada kualitas individu setiap mujtahid, maka muncullah tingkatan imam mujtahid, yakni: 1. Mujtahid muthlaq/mustaqil, yaitu seseorang yang melakukan ijtihad dengan cara menciptakan sendiri kaidah istinbath (cara menggali) hukum. Masuk dalam kategori ini adalah imam madzhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah al-Nu‘man bin Tsabit (80 H-150 H/699-767 M) pendiri madzhab Hanafi, Imam Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/713-795 M) pendiri madzhab Maliki, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150–204 H/767-819 M) pendiri madzhab Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (164–241 H/781-855 M) pendiri madzhab Hanbali. 2. Mujtahid muntasib, yakni seseorang yang melakukan penggalian hukum dengan menggunakan metode dan kaidah istinbath imamnya (mujtahid mutlaq). Seperti, Imam al-Muzani dan al-Buwaithi dari madzhab Syafi’i, Imam Muhammad bin al-Hasan (132-189 H/750-805 M) dan Imam Abu Yusuf (113-182 H/731-797 M) dari madzhab Hanafi. Golongan ini disebut pula dengan Mujtahid muthlaq ghair al-mustaqil (mujtahid mutlak yang tidak mandiri). 3. Mujtahid muqayyad, yaitu orang yang menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya, seperti Imam al-Karkhi (w. 482 H/1089 M), al-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M), al-Bazdawi (w. 390 H/1004 M), Abi Ishaq al-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M) dan lain sebagainya. 4. Mujtahid madzhab/fatwa, yaitu mujtahid yang mengikuti metode dan cara istinbath hukum imamnya, juga produk hukum dari imamnya. Dia hanya menyeleksi pendapat imamnya, mana yang shahih dan yang lemah. Misalnya, Imam al-Ghazali dan al-Juwaini dari madzhab Syafi’i. 5. Mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang melakukan seleksi dalam madzhab tertentu, dengan memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau paling sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakatnya. Contoh mujtahid dalam tingkatan ini adalah Imam al-Rafi’i (557-623 H/1162-1226 M) dan Imam al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal, 30. dan Dr. al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, I, 47-48). 4. Seputar Taqlid Sebagaimana pembahasan lalu, bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah mencukupi syarat untuk melakukannya. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut, mereka harus bertaqlid kepada para imam mujtahid. Mengenai definisi taqlid, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri. (Al-Buthi, al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 69). Dari definisi ini dapat diketahui bahwa taqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun selama pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk-beluk dalam menentukan suatu hukum, masih masuk dalam kategori seorang muqallid. Karena itu dia masih wajib bertaqlid. (Mathlab al-Iqazh fi al-Kalam ‘ala Syai’in min Ghurar al-Alfazh, hal. 87). Taqlid adalah sesuatu yang pasti dilakukan setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti orang yang bersedekap di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, dia tentu melakukannya walaupun masih belum meneliti dalilnya, apakah shahih ataukah tidak. Jika di kemudian hari dia tahu argumentasinya, maka berarti dia telah keluar dari taqlid a‘ma (taqlid buta) yang tercela itu. Namun demikian dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid, karena tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail. Setidaknya, dalam cara mengambil suatu kesimpulan hukum, ia masih mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu. Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambilnya dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat, dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri. Membebani ‘awam al-muslimin (masyarakat kebanyakan) dengan ijtihad sendiri-sendiri, jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap orang pada bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda. Sedangkan yang menekuni ilmu agama tidak banyak. Bagi yang “tidak sempat” mempelajari ilmu agama, ia harus bertanya dan mengikuti orang-orang yang paham tentang masalah agama. Al-Qur’an sudah menyatakan agar ada sekelompok orang yang menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman: وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَآفَّةً فَلَوْلاَنَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فىِ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ (التوبة: 122) “Tidak seharusnya semua orang mukmin berangkat ke medan perang. Mengapa tidak berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan untuk mempelajari dengan mendalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan (pelajaran) kepada kaumnya apabila mereka sudah kembali. Mudah-mudahan mereka waspada.” (QS. al-Taubah: 122). Sahabat Nabi J adalah orang-orang yang terpilih. Meskipun begitu, kualitas keilmuan mereka tidak sama, dan tidak semua mereka menjadi mujtahid. Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian lain bertanya dan mengikuti apa yang difatwakan sahabat yang lain. Dan Rasulullah J mengutus beberapa sahabat ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam serta menyelesaikan semua persoalan yang terjadi, baik dalam bidang ibadah dan mu’amalat, sosial kemasyarakatan, menjelaskan halal-haram dan semacamnya. Lalu penduduk di daerah itu mengikuti apa yang difatwakan para sahabat tersebut. Beberapa hujjah ini semakin membuktikan bahwa taqlid merupakan sunnatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, ataupun diperjuangkan untuk dihapus. Apalagi sebenarnya, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta (a‘ma) yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti atau berusaha untuk mengetahui dalilnya, karena itu akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam. Sedangkan taqlid-nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada ‘memaksakan’ diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Hanya saja, dalam bertaqlid ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Bahwa bertaqlid haruslah kepada madzhab yang empat yang dapat dijadikan pedoman (al-madzahib al-mu'tabarah). Sementara di sisi yang lain, tidak diperkenankan mencampuradukkan satu madzhab dengan madzhab yang lain (talfiq). 5. Madzhab Secara bahasa madzhab berarti jalan. Dalam pengertian istilah, KH Zainuddin Dimyathi mendefinisikan madzhab sebagai berikut: اَلْمَذْهَبُ هُوَ اْلأَحْكَامُ فِيْ الْمَسَائِلِ الَّتِيْ ذَهَبَ وَاعْتَقَدَ وَاخْتَارَهَا اْلإِمَامُ الْمُجْتَهِدُ (الإذاعة المهمة فى بيان مذهب أهل السنة والجماعة: 18) “Madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” (Al-Idza’ah al-Muhimmah, hal. 18). Dari definisi ini madzhab adalah hasil ijtihad para ulama untuk mengetahui hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Oleh karena itu, membicarakan madzhab tidak akan lepas dari ijtihad. Madzhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath‘i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya. Dalam sejarah Islam, madzhab fiqh yang berkembang sangat banyak. Namun yang diakui dan diamalkan oleh ulama golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah hanya empat madzhab saja. Ada beberapa faktor yang melandasinya. a. Kualitas individu dan keilmuan mereka sudah terkenal dan diakui oleh seluruh umat Islam. b. Keempatnya merupakan mujtahid mutlak mustaqil. c. Mempunyai murid yang secara konsisten menulis dan mengajarkan madzhab imamnya. d. Di antara mereka terdapat hubungan intelektual. 6. Madzhab Qauli dan Manhaji Para ulama memperkenalkan dua system bermadzhab, yakni: 1. Madzhab qauli, adalah mencari hukum suatu masalah dengan mengikuti hasil pendapat ulama yang sudah terbukukan di dalam beberapa kitab madzhab tersebut. 2. Madzhab manhaji, yakni memecahkan problem hukum dengan berpedoman kepada metode istiqra’ (penelitian hukum) yang digunakan dalam suatu madzhab. Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus menerus berusaha untuk mengembangkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tak mungkin dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam dituntut untuk dapat berkreasi dalam memecahkan berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ‘baru’ guna membuktikan slogan الإسلام صالح لكل زمان ومكان . Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan fiqh sosial sebagai upaya mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermazhab metodologis (madzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana digagas oleh Dr. KH. Sahal Mahfudh. Mengutip hasil halaqah P3M, ada beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh Sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH. Dr. Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003). Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min al-nas), tetapi tidak bisa masuk pada wilayah hubungan seorang hamba kepada khaliq-nya (hablun minallah). Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus mampu membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah hanya menyembah kepada-Nya. Sebagaimana sebuah kaidah yang diungkapkan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat-nya: اَْلاَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ بِالنِّسْبَةِ اِلىَ الْمُكَلَّفِ اَلتَّعَبُّدُ دُوْنَ اْلإِلْتِفَاتِ اِلَى الْمَعَانِى، وَاَصْلُ الْعَادَاتِ اَلاِلْتِفَاتُ اِلَى الْمَعَانِى (الشاطبي، الموافقات فى اصول الاحكام، 2/300) “Asal dalam masalah ibadah adalah ta‘abbud, tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal. 300). 7. Madzhab Imam al-Syafi’i D Nama lengkap Imam al-Syafi’i D adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam al-Syafi‘i D adalah seorang mujtahid muthlaq mustaqil. Selain ahli dalam bidang fiqh, beliau juga mahir dalam ilmu hadits dan akidah. Tentang keagungan dan keistimewaan Imam al-Syafi’i D, Dr. Wahbah al-Zuhaili –ulama fiqh kontemporer berkebangsaan Syria-, menyatakan: “Imam al-Syafi‘i D adalah seorang mujtahid mustaqil muthlaq, imam dalam bidang fiqh dan hadits. Beliaulah yang mampu menggabungkan fiqh ulama Hijaz (sekarang wilayah Makkah dan Madinah) dan fiqh ulama Irak. Imam Ahmad bin Hanbal berkomentar, “Imam Syafi‘i D adalah orang yang paling mengerti tentang kitab Allah dan Sunnah Rasulullah J”…(seterusnya)… Semua ulama ahli fiqh, ushul, hadits, ahli bahasa serta ulama yang lain telah sepakat bahwa Imam al-Syafi‘i adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wara’, bertaqwa, pemurah, reputasinya baik serta mempunyai kedudukan yang mulia.” (Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz I, hal 36). Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan oleh para pengikutnya, seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H/846 M), Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/877 M), dan lainnya. Termasuk pengikut madzhab al-Syafi’i adalah Imam Bukhari (194-251 H/810-870 M). (Al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf, hal. 76). Lebih jelas lagi Syaikh Musthafa Muhammad ‘Imarah mengatakan: وَتَفَقَّهَ اَلْبُخَارِيُّ عَلَى مَذْهَبِ اْلإِمَامِ الشَّافِعِيِّ D. (جواهر البخاري: 10) “Dan Imam Bukhari itu belajar fiqh mengikuti madzhab Imam al-Syafi‘i D.“ (Jawahir al-Bukhari, hal. 10). Apabila dianalogikan pada keahlian, maka Imam Bukhari diibaratkan pakar bahan baku, tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti teori Imam al-Syafi’i D. Imam al-Syafi’i D, di samping ahli “bahan baku”, beliau juga ahli mengolah “bahan baku” tersebut. Maka tidak heran apabila beliau menghasilkan produk hukum yang diikuti oleh umat Islam, termasuk juga para pakar hadits. 8. Persoalan Talfiq Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar‘i adalah menggabungkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorangpun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. (Al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hal. 397). Jelasnya, talfiq adalah melakukan sesuatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut: a. Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam al-Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam al-Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu, yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam al-Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala. b. Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut madzhab Imam al-Syafi’i. Lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam al-Syafi’i, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam al-Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan. Talfiq semacam ini dilarang dalam agama untuk menjaga kemurnian sebuah madzhab, dan agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang gampang-gampang), tidak ‘memanjakan’ umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan saja atau bahkan mempermainkan hukum agama. Dari sinilah, maka talfiq tidak ditujukan untuk melarang kebebasan bermadzhab atau pun untuk melestarikan fanatisme pada satu madzhab saja. Tetapi dalam satu persoalan memilih salah satu madzhab yang empat secara utuh. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab al-Syafi’i. Untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi, dan seterusnya.[] BAGIAN IV Seputar Ritual Shalat 1. Dzikir dan Syair Sebelum Shalat Berjama’ah Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat jama’ah, adalah perbuatan yang boleh dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kebolehan ini bisa ditinjau dari beberapa sisi. Pertama, dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah J, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits: عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللهِ Jيَقُولُ أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ (رواه أبو داود، 4360، و النسائي، 709، وأحمد، 20928) “Dari Sa’id bin Musayyab D ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, “Aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu”, kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah D. Hassan melanjutkan perkataannya,“Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah J, “Jawablah dariku, ya Allah mudah-mudahan engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus”. Abu Hurairah menjawab,“Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).” (HR. Abu Dawud [4360] al-Nasa’i,[709] dan Ahmad [20928]). Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il al-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasehat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyad al-Mu’minin Ila Fadha’ili Dzikr Rabb al-‘Alamin, hal. 16). Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya tersebut terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasehat. Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu. Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama’ah dilaksanakan. Juga agar para jama’ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama’ah dilaksanakan. Dengan beberapa alasan inilah maka membaca dzikir, nasehat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat jama’ah di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla dimaksud. 2. Mengeraskan Dzikir Mengenai tata cara dzikir, apakah dikeraskan atau dibaca pelan, masing-masing ada dalil dan tuntunan dari hadits Nabi J. Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan dzikir adalah: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ D قَالَ، قَالَ النَّبِيُّ :J يَقُولُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ (رواه البخاري، 7857، ومسلم، 4832، والترمذي، 3528، وابن ماجه، 3812). “Dari Abu Hurairah D, ia berkata. Nabi J bersabda, “Allah ta’ala berfirman, “Saya akan berbuat sesuai dengan keyakinan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku akan selalu bersamanya selama ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat (berdzikir) kepada-Ku di dalam hatinya, maka Aku akan memperhatikannya. Dan jika ia menyebut Aku di dalam suatu perkumpulan (dengan suara yang didengar orang lain) maka Aku akan ingat kepadanya di dalam perkumpulan yang lebih baik dari perkumpulan yang mereka adakan.” (HR. al-Bukhari [7857], Muslim [4832], al-Tirmidzi [3528] dan Ibnu Majah [3812]). Di samping itu banyak sekali do’a-do’a yang diajarkan oleh Nabi j yang diriwayatkan para sahabat, itu artinya suara Nabi cukup keras sehingga para sahabat dapat mendengar dan menghafalnya. Sedangkan hadits yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan pelan adalah: عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِي (رواه أحمد، 1397). “Dari Sa’ad bin Malik ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Paling baik dzikir adalah yang dilakukan secara samar. Sedangkan rizki yang paling baik adalah yang mencukupi.” (HR. Ahmad [1397]). Karena sama-sama memiliki sandaran hukum, maka semua berpulang kepada masing-masing individu. Imam Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan bahwa memelankan dzikir itu bisa lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’ atau mengganggu orang yang shalat atau orang tidur. Pada selain yang dua ini, maka mengeraskan suara itu lebih utama, karena pekerjaan yang dilakukan ketika itu lebih banyak, serta manfaat dari dzikir dengan suara keras itu bisa didapatkan oleh orang yang mendengar. Dzikir itu juga dapat mengingatkan hati orang yang membaca, memusatkan segenap pikirannya untuk terus merenungkan dan menghayati (dzikir yang dibaca), memfokuskan konsentrasi dan pendengarannya, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat.” (Al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 133). Keterangan dari Imam al-Suyuthi ini selain menjelaskan keutamaan mengeraskan dzikir, sekaligus menegaskan batasannya, bahwa dzikir itu boleh dikeraskan selama tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah. 3. Bilangan Shalat Tarawih Shalat tarawih adalah salah satu ibadah yang disunnahkan pada bulan Ramadhan. Dilaksanakan setelah shalat Isya’ sebanyak 20 rakaat dengan sepuluh salam (melakukan salam setiap dua rakaat), yang kemudian diiringi shalat witir tiga rakaat. Ibnu Taimiyyah dan Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab menjelaskan: “Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab Fatawa-nya, “Telah terbukti bahwa sahabat Ubay bin Ka‘ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak dua puluh raka’at. Lalu mengerjakan witir tiga raka’at. Kemudian mayoritas ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satupun di antara mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu”. Dalam kitab Majmu’ Fatawi al-Najdiyah diterangkan tentang jawaban Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab mengenai bilangan raka’at shalat tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah sahabat Umar mengumpulkan orang untuk shalat berjama’ah kepada Ubay bin Ka’ab, maka shalat yang mereka kerjakan adalah dua puluh raka’at”. (Tashhih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, hal. 13-14). Dari sisi lain, KH. Bisri Mustofa menyatakan bahwa secara esensial melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat itu berarti mengamalkan hadits Nabi J yang menjelaskan keutamaan serta anjuran mengikuti jejak sahabat Umar D. (Risalah Ijtihad dan Taqlid, hal. 15). Tata cara ini didasarkan pada hadits: عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه مالك في الموطاء، 233) “Dari Yazid bin Ruman, ia berkata, “Orang-orang (kaum Muslimin) pada masa Umar melakukan shalat malam di bulan Ramadhan 23 raka’at (dua puluh tarawih dan tiga witir).” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, [233]). Kaitannya dengan hadits: عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ J يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً (رواه البخاري، 1079) “Dari Sayyidatuna Aisyah –radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah J tidak pernah menambah shalat malam pada bulan ramadhan atau bulan lain melebihi sebelas rakaat”. (HR. al-Bukhari, [1079]). Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa hadits tersebut adalah dalilnya shalat witir, bukan dalil shalat tarawih. Sebab dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Nabi J melaksanakan shalat witir bilangan maksimal adalah sebelas rakaat. (Tuhfah al-Muhtaj, juz II, hal. 229). Mengenai pelaksanaan tarawih dua rakaat dengan satu salam, hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi J tentang tata cara melaksanakan shalat malam. Nabi J bersabda: عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ J عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ J صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (رواه البخاري، 936، ومسلم ، 1239 والترمذي، 401، والنسائي،1659، وأبو داود، 1130، وابن ماجه، 1165). “Dari Ibnu Umar, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah J tentang shalat malam. Maka Nabi J menjawab, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. (HR. al-Bukhari [936], Muslim [1239], al-Tirmidzi [401], al-Nasa’i [1650], Abu Dawud [1130] dan Ibnu Majah [1165]). Lalu bagaimana kaitannya dengan shalat tarawih yang dilakukan secara berjama’ah? Hal ini juga dibenarkan dan dihukumi sunnah. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan: عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ D لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (رواه البخاري، 1871) “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abd al-Qari, beliau berkata, “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin al-Khaththab D ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang-orang shalat tarawih sendiri-sendiri. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan berjama’ah”. Lalu Sayyidina Umar berkata, “Saya punya pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah dengan satu imam, niscaya itu lebih bagus”. Lalu beliau mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka‘ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjama’ah di belakang satu imam. ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini. (Shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (HR. al-Bukhari [1871]). 4. Qunut Shalat Shubuh Dalam madzhab Imam al-Syafi’i, ada tiga tempat disunnahkan membaca qunut, yakni ketika terjadi nazilah (bencana, cobaan), qunut pada shalat witir di pertengahan bulan Ramadhan, dan terakhir pada shalat subuh. Tentang kesunnahan qunut subuh ditegaskan oleh kebanyakan ulama salaf dan setelahnya. Di antara ulama salaf yang mensunnahkannya adalah Abu Bakr al-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman, Ali, Ibnu Abbas dan al-Barra’ bin Azib –radhiyallahu ‘anhum. (Al-Majmu’, juz I, hal 504). Dalil yang dijadikan acuan adalah hadits Nabi J: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ J يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد، 12196) “Diriwayatkan dari Anas bin Malik D, “Beliau berkata, “Rasulullah J senantiasa membaca qunut ketika shalat shubuh sehingga beliau wafat.” (HR. Ahmad [12196]). Pakar hadits al-‘Allamah Muhammad bin ‘Allan al-Shiddiqi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Rabbaniyyah menyatakan bahwa hadits inilah yang benar, dan diriwayatkan serta di-shahih-kan oleh segolongan pakar yang banyak hafal hadits. Di antara orang yang menyatakan ke-shahih-an hadits ini adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan di beberapa tempat dari kitab yang ditulis oleh al-Baihaqi. Al-Daraquthni juga meriwayatkannya dari beberapa jalur dengan berbagai sanad yang shahih. (Al-Futuhat al-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar al-Nawawiyyah, juz II, hal. 268). Sedangkan redaksi doa qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi J adalah: اَللّهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لاَيَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَيَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ اِلَيْكَ . (رواه النسائي 1725، وأبو داود 1214، والترمذي 426، وأحمد 1625، والدارمي 1545، بسند صحيح). “Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang Engkau berikan pertolongan. Berilah berkah pada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkau Dzat yang maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau maha suci dan maha luhur. Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. al-Nasa’i [1725], Abu Dawud [1214], al-Tirmidzi [426], Ahmad [1625], dan al-Darimi [1545] dengan sanad yang shahih). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi J tidak melakukan qunut, tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mensunnahkan, apalagi sampai melarang qunut. Karena dalam kaidah disebutkan “al-mutsbit muqaddam ‘ala an-nafi” (yang mengatakan ada didahulukan dari yang mengatakan tidak ada). 5. Dzikir dengan Cara Berjama’ah Membaca dzikir dengan cara berjama’ah sehabis menunaikan shalat maupun dalam momen tertentu seperti dalam acara istighatsah, tahlilan dan lain-lain adalah perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, bahkan termasuk perbuatan yang dituntun oleh agama. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang menunjuk terhadap dzikir secara berjama’ah. Misalnya ayat: فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ ( البقرة: 152) “Ingatlah (berdzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. al-Baqarah: 152). Allah SWT juga berfirman: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (الأحزاب: 41-42) “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS. al-Ahzab: 41-42). Tidak sedikit pula hadits-hadits Rasulullah J yang menunjukkan keutamaan dzikir dengan cara berjama’ah. Rasulullah J bersabda: عَنْ أَنَسٍ D قَالَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ :J إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ (أخرجه أحمد،3/150، والترمذي، 3510) “Dari Anas D, ia berkata, Rasulullah J bersabda: “Apabila kalian melewati taman surga, maka berdzikirlah bersama mereka.” Mereka bertanya: “Apa yang dimaksud taman surga wahai Rasulullah?” Beliau J menjawab: “Kumpulan orang-orang yang berdzikir.” (HR. Ahmad [3/150] dan al-Tirmidzi [3510]). Rasulullah J juga bersabda: عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ D قَالَ: إِنَّا لَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ J إِذْ قَالَ: ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَفَعَلْنَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِJ: اللّهُمَّ إِنَّكَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَأَمَرْتَنِيْ بِهَا وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ ثُمَّ قَالَ: اَبْشِرُوْا فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَكُمْ (أخرجه الحاكم، 1844، وأحمد، 4/124، والطبراني في الكبير، 7163، والبزار،10، قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد، 1/163، ورجاله موثقون) “Dari Syaddad bin Aus D, ia berkata: “Pada saat kami bersama Rasulullah T, tiba-tiba beliau bersabda: “Angkatlah tangan kalian dan katakanlah, tiada tuhan selain Allah”. Kami pun melakukannya. Lalu Rasulullah J bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku dengan membawa kalimat ini, Engkau memerintahkan aku dengan kalimat tersebut, dan Engkau menjanjikan aku surga dengan kalimat tersebut, sesungguhnya Engkau tidak akan mengingkari janji.” Kemudian beliau J bersabda: “Bergembiralah kalian, karena Allah telah mengampuni kalian.” (HR. al-Hakim [1844], Ahmad [4/124], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7163] dan al-Bazzar [10]. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid [1/163], “Para perawi hadits ini dapat dipercaya”). Redaksi perintah berdzikir dalam dua ayat di atas dan dua hadits di bawahnya memakai bentuk jamak, “udzkuruu, sabbihuu, farta’uu, hilaq al-dzikri (dzikir berjama’ah) dan quuluu”, menunjukkan bahwa perintah berdzikir tersebut yang utama dilakukan secara bersama-sama yakni secara berjama’ah. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para ulama. Al-Imam Ibnu Abidin berkata dalam kitabnya: “Al-Imam al-Ghazali menyamakan dzikir sendirian dan dzikir berjama’ah dengan adzan sendirian dan adzan berjama’ah, di mana suara adzan yang dilakukan sekelompok orang secara berjama’ah akan membelah udara melebihi suara adzan seorang diri. Demikian pula, dzikir berjama’ah akan lebih berpengaruh terhadap hati seseorang dalam menyingkap tabir yang menyelimuti hati, dari pada dzikir seorang diri.” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, juz V, hal. 263). Bahkan lebih jauh lagi, al-Imam al-Sya’rani mengemukakan sebagai berikut: “Para ulama salaf dan khalaf telah bersepakat tentang disunnahkannya dzikir berjama’ah di masjid-masjid atau lainnya, tanpa ada yang menentang dari seorang pun, kecuali apabila suara keras mereka dapat mengganggu orang yang tidur, shalat atau membaca al-Qur’an.” (Hasyiyah al-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, hal. 208). Berangkat dari keutamaan dzikir berjama’ah yang telah disepakati oleh para ulama salaf dan khalaf tersebut, berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits para ulama dalam setiap kurun waktu selalu melakukan dzikir berjama’ah. Termasuk pula Ibnu Taimiyah yang rutin melakukan dzikir berjama’ah dan membaca surah al-Fatihah setiap selesai shalat shubuh sampai dengan terbitnya matahari sebagaimana diriwayatkan oleh muridnya, Umar bin Ali al-Bazzar yang menjadi saksi mata sebagai berikut: فَإِذَا فَرَغَ أَيْ اِبْنُ تَيْمِيَةَ مِنَ الصَّلاَةِ أَثْنَى عَلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ ... ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالَى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ... فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ – أَعْنِي مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ – فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا... وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتِهِ. (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39). “Apabila Ibnu Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama-sama jama’ah yang hadir dengan doa yang warid (datang dari Nabi b), Allahumma anta al-salam ... Kemudian dia menghadap kepada jama’ah, lalu bersama mereka membaca tahlil yang warid, lalu membaca subhanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar, masing-masing 33 kali, dan melengkapi yang keseratus dengan membaca tahlil yang warid, kemudian dia berdoa untuk dirinya, jama’ah dan seluruh kaum Muslimin. Selanjutnya dia membaca surat al-Fatihah, mengulang-ulanginya –yakni sejak terbitnya fajar hingga matahari naik ke atas. Hal tersebut sebagai bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Umar bin Ali al-Bazzar, al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyyah, hal. 37-39).[] BAGIAN V Menghormati Nabi J 1. Merayakan Maulid Nabi Muhammad J Sebagai seorang mukmin, pengungkapan rasa syukur dan kegembiraan atas nikmat yang diterima adalah suatu keharusan. Karena dengan itulah nikmat yang diterima akan terus ditambah oleh Allah SWT. Firman Allah SWT: قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَ بِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا (يونس: 58) “Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah mereka.” (QS. Yunus: 58). Begitu pula dengan kelahiran seseorang ke alam dunia merupakan nikmat tidak terhingga yang harus disyukuri. Sebagaimana Rasulullah J mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa. Dalam sebuah hadits diriwayatkan: عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِّ D أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J سُئِلَ عَنْ صَوْمِ اْلإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيّ َ(رواه مسلم، 1977) “Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari D, bahwa Rasulullah J pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (HR. Muslim [1977]). Walaupun dengan tata cara yang berbeda, tetapi apa yang dilakukan Rasul dan perayaan maulid yang dilaksanakan oleh umat Islam saat ini mempunyai esensi yang sama. Yakni bergembira dan bersyukur atas kelahiran Rasulullah J sebagai suatu nikmat yang amat besar. Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi J. Di dalam al-Hawi li al-Fatawi beliau menjelaskan: “Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi J pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa semula perayaan Maulid Nabi J, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi J sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi J, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad J yang mulia.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz I, hal. 251-252). Bahkan hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah, sebagai-mana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki: “Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi J akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi J. Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, hal. 399) 2. Perintis Peringatan Maulid Muhammad J Imam Jalaluddin al-Suyuthi mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan perayaan Maulid Nabi J adalah penguasa Irbil, Raja Muzhaffar Abu Sa’id al-Kukburi bin Zainuddin Ali bin Buktikin, seorang raja yang mulia, luhur dan pemurah. Beliau merayakan Maulid Nabi J yang mulia pada bulan Rabi’ul Awal dengan perayaan yang meriah.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz I, hal. 252). Beliau adalah seorang raja yang shaleh dan bermadzhab Ahlussunnah. Terkenal sangat pemurah dan baik hati. Beliau adalah seorang yang rendah hati, baik budi, seorang sunni (termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jama‘ah) dan mencintai fuqaha dan ahli hadits. Beliau wafat tahun 630 H pada usia beliau 82 tahun.” (Tahdzib Siyar A‘lam al-Nubala‘, juz III, hal. 224). 3. Membaca Shalawat kepada Nabi, Keluarga dan Sahabat Nabi J Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad J merupakan ibadah yang sangat terpuji. Allah SWT berfirman: إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الأحزاب: 56) “Sesungguhnya Allah SWT dan para malaikat-Nya membaca shalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian membaca shalawat disertai salam kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56). Jelas sekali ayat ini menyuruh umat Islam untuk membaca shalawat kepada Nabi J di manapun dan kapanpun saja. Tujuannya adalah untuk mengagungkan sekaligus mengharap barokah Nabi J. Demikian pula membaca shalawat kepada keluarga dan sahabat Nabi J juga dianjurkan. Allah SWT berfirman: وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (التوبة: 103) “Berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman bagi jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Taubah: 103). Dalam menafsirkan ayat ini, al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan bahwa maksud firman Allah SWT (wa shalli ‘alaihim) artinya berdoalah dan minta ampunlah kamu untuk mereka. (Tafsir Ibn Katsir, juz II, hal. 400). Dalam sebuah hadits: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ كَانَ النَّبِيُّ J إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلاَنٍ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى (رواه البخاري، 1402) “Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, "Rasulullah J jika diberi sedekah oleh suatu kaum, beliau berdoa “Ya Allah mudah-mudahan Engkau mencurahkan shalawat kepada keluarganya”. Dan ketika ayahku memberikan sedekah kepada Rasulullah J, beliau juga berdoa “Ya Allah mudah-mudahan Engkau memberikan shalawat-Mu kepada keluarga Abi Aufa”. (HR. al-Bukhari [1402]). Begitu pula dengan hadits Nabi J: عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ J رَفَعَ يَدَيْهِ وَهُوَ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ (رواه أبو داود، 4511) “Diriwayatkan dari Qais bin Sa’ad bin Ubadah bahwa Nabi J mengangkat kedua tangannya sembari berdoa, Ya Allah, jadikanlah kesejahteraan dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa’ad bin Ubadah.” (HR. Abu Dawud [4511]). Menjelaskan hadits ini, sekaligus menegaskan tata cara membaca shalawat kepada sahabat dan keluarga nabi, al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi mengatakan: “Abu al-Yumn bin Asakir berkata, “Satu golongan mengatakan (tentang membaca shalawat kepada selain para nabi) bahwa hal tersebut boleh secara mutlak (baik bersamaan dengan shalawat kepada nabi ataupun tidak). Hal itu adalah apa yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari ketika mengawali dengan ayat yaitu wa shalli ‘alaihim (hendaklah kamu membaca shalawat untuk mereka). Lalu beliau mengaitkannya dengan hadits yang membolehkannya secara mutlak dan menambahkan hadits yang membolehkannya secara tab’an (bersamaan dengan shalawat kepada Nabi). Ini terjadi setelah beliau menjelaskan bab apakah boleh membaca shalawat kepada selain Nabi J baik secara mandiri maupun ikut pada shalawat kepada Nabi. Maka masuk pada kategori selain Nabi Muhammad J para Nabi yang lain, para malaikat dan orang-orang mukmin.” (Al-Qawl al-Badi’ fi al-Shalah ‘Ala al-Habib al-Syafi`, hal. 55). 4. Mencintai Keluarga dan Sahabat Nabi J Di dalam kitab ‘Allimu Awladakum Mahabbata Ali Bait al-Nabiy dijelaskan bahwa yang tergolong ahlul-bait adalah Sayyidatuna Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyinina Husain –radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua termasuk ahlul-kisa’ yang disebutkan dalam hadits. Begitu pula istri-istri Nabi merupakan keluarga Nabi berdasarkan keumuman ayat al-Qur’an, serta manthuq (arti tersurat) hadits yang menerangkan tentang anjuran membaca shalawat kepada Nabi J, istri dan keluarga beliau”. (‘Allimu Awladakum Mahabbata Ali Bait al-Nabiy, hal. 18). Sedangkan sahabat nabi adalah orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad J ketika beliau masih hidup walaupun sebentar, dalam keadaan beriman dan mati dengan tetap membawa iman. (Al-Asalib al-Badi’ah, hal. 457). Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, mencintai keluarga dan sahabat Nabi J, sekaligus memberikan penghormatan khusus kepada mereka merupakan suatu keharusan. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut: Pertama, mereka adalah generasi terbaik Islam. Menjadi saksi mata dan pelaku perjuangan Islam. Bersama Rasulullah J menegakkan agama Allah SWT di muka bumi. Mengorbankan harta bahkan nyawa untuk kejayaan Islam. Allah SWT meridhai mereka serta menjanjikan kebahagiaan di surga yang kekal dan abadi. Firman Allah SWT: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزاب: 33) “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. al-Ahzab: 33). وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة: 100) “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. al-Taubah: 100). Kedua, Rasulullah J sangat mencintai keluarga dan sahabatnya. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah selalu memuji para keluarga dan sahabatnya. Melarang umatnya untuk menghina mereka. Beliau J bersabda: عَنْ اَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِي قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J ، إِنَّنِيْ تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِيْ أَهْلُ بَيْتِيْ (رواه الترمذي ، 370) “Dari Abi Sa’id al-Khudri ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah (al-Qur’an) dan keluargaku.” (HR. al-Tirmidzi [370]). Dan sabda Rasul J: عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه مسلم، 4610) “Dari Abu Hurairah D. berkata, Rasulullah J bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabat, janganlah kalian mencaci sahabatku! Demi Dzat Yang Menguasaiku, andaikata salah satu diantara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala nafkah itu) tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya dari (nafkah) mereka”. (HR. Muslim [4610]). Dari sinilah, mencintai keluarga dan sahabat Nabi adalah mengikuti teladan Rasulullah J yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mencintai Nabi J. Ketiga, Tuntunan dan teladan ini juga diberikan oleh keluarga dan sahabat Rasul sendiri. Di antara mereka terdapat rasa cinta yang mendalam. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati. Hal ini dibuktikan dari ungkapan-ungkapan mereka: 1. “Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Sesungguhnya Abu Bakar berkata, “Sungguh kerabat Rasulullah J lebih aku cintai daripada kerabatku sendiri”. (HR. al-Bukhari [3730]). 2. ”Dari Ibnu Umar D, dari Abi Bakar D, beliau berkata, ”Perhatikanlah Nabi Muhammad J pada ahlul-bait-nya” (HR. al-Bukhari [3436]). 3. “Dari Wahab al-Suwa’i, ia berkata, “Sayyidina Ali D pernah berkhutbah kepada kami. Beliau bertanya, “Siapa orang yang paling mulia setelah Nabi Muhammad J? Aku menjawab, “Engkau wahai Amirul Mukminin”. Sayyidina Ali D berkomentar, “Tidak, hamba yang paling mulia setelah nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar.” (Al-Syafi, Juz II, hal. 428). 4. “Ketika sahabat Umar dimandikan dan dikafani, Sayyidina Ali D masuk, lalu berkata, “Tidak ada di atas bumi ini seorangpun yang lebih aku sukai untuk bertemu Allah SWT dengan membawa buku catatan selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Ma’ani al-Akhbar, hal. 117). 5. Dari 33 putra Sayyidina Ali D tiga di antaranya diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dari 14 putra Sayyidina Hasan D dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar, dan di antara 9 putra Sayyidina Husain D dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar. Pemberian nama ini tentu saja dipilih dari nama orang-orang yang menjadi idolanya, dan tidak mungkin diambil dari nama musuhnya. (Al-Hujaj al-Qath’iyyah, hal. 195). 6. Bagi Ahlussunnah Sayyidina Ali D adalah seorang imam yang mulia dan harus dijadikan panutan. Sayyidina Ali D adalah seorang pemberani dan sekali-kali bukanlah seorang pengecut. Sebagai pemimpin pasukan, di antara sekian banyak peperangan yang dilakukan pada zaman Rasul J, beliau selalu menjadi pahlawan yang tak terkalahkan. Karena itu tidak mungkin beliau bersikap penakut dan pura-pura atau taqiyah apalagi mengajarkannya. Di samping itu, Sayyidina Ali D adalah sosok yang bersih hatinya dan jauh dari sifat pendendam. Sikap dan perilaku beliau telah membuktikan bahwa beliau bukan jenis manusia yang di dalam hatinya penuh dengan dendam kesumat, karena itu tidak mungkin beliau mengajarkan mengumpat dan mencaci maki orang yang dicintai Rasulullah J dan dihormati oleh beliau sendiri seperti Sayyidina Abu Bakar D, Sayyidina Umar D, Sayyidina Utsman D, Sayyidatuna ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- dan lain sebagainya. Inilah beberapa alasan yang melandasi keharusan mencintai keluarga dan sahabat Nabi J. Sudah tentu kecintaan dan penghormatan yang diberikan adalah secara berimbang. Tetap berpedoman pada prinsip tawassuth, tawazun dan i'tidal. Jauh dari cinta dan fanatisme buta. 5. Mahallul-Qiyam (Berdiri Ketika Membaca Shalawat) Berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang, orang berdiri untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, maka seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain hanya untuk menghormat bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Maka demikian pula dengan berdiri ketika membaca shalawat. Itu adalah salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad J, sebagai hambah Allah SWT yang paling mulia. Nabi J bersabda: عَن أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J لِلأَنْصَارِ، قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ (رواه مسلم ، 3314) “Dari Abi Sa’id Al-Khudri beliau berkata, “Rasulullah J bersabda pada sahabat Anshar, “Berdirilah kalian untuk tuan kalian atau orang yang paling baik di antara kalian.” (HR. Muslim [3314]). Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menyatakan bahwa Imam al-Barzanji di dalam kitab Maulid-nya yang berbentuk prosa menyatakan, “Sebagian para imam ahli hadits yang mulia itu menganggap baik (istihsan) berdiri ketika disebutkan sejarah kelahiran Nabi J. Betapa beruntungnya orang yang mengagungkan Nabi J, dan menjadikan hal itu sebagai puncak tujuan hidupnya.” (Al-Bayan wa al-Ta‘rif fi Dzikra al-Mawlid al-Nabawi, hal. 29-30).[] BAGIAN VI Penghormatan Jenazah 1. Hadiah Pahala Untuk Ahli Kubur Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam kitab Fatawa-nya, “Sesuai dengan kesepakatan para imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.” (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 36). Mengutip dari kitab Syarh al-Kanz, Imam al-Syaukani juga menyatakan bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan baik lainnya, dan pahala perbuatan tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama Ahlussunnah. (Nail al-Awthar, juz IV, hal. 142). Ada banyak dalil al-Qur’an atau hadits yang menjelaskan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah SWT: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (الحشر: 10) “Dan orang–orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang mendahului kami (wafat) dengan membawa iman. Dan janganlah Engkau memberikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10). Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ J فَقَالَ، يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم ،1672) “Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi J, “Ibu saya meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi J menjawab, “Ya”.” (HR. Muslim, [1672]). Hadits tersebut di atas menegaskan bahwa pahala shadaqah itu sampai kepada ahli kubur. Sementara di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa shadaqah tidak hanya berupa harta benda saja, tapi juga dapat berwujud bacaan dzikir seperti kalimat la ilaha illallah, subhanallah, dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini: عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ J قَالُوا لِلنَّبِيِّ J يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً (رواه مسلم، 1674) “Dari Abu Dzarr D, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi J,” Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi J menjawab, “Bukankah Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim [1674]). Ayat dan hadits-hadits di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah, Ukhuwwah Islamiyyah itu tidak terputus karena kematian. Maka menolong ahli kubur dengan do’a dan shadaqah yang diwujudkan dalam bentuk Tahlilan dan sebagainya itu pahalanya akan sampai kepada mereka. Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah yang sama sekali tidak meyakini sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia baik berupa do’a ataupun yang lain. (Lihat, al-Ruh, hal. 117) Seseorang yang beriman ketika sudah ada hadits shahih yang menyatakan sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal dunia tentu tidak akan ragu lagi untuk meyakininya. Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an, tasbih, tahlil, shalawat yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Begitu pula dengan sedekah dan amal baik lainnya. Mengenai sebagian riwayat Imam al-Syafi’i D yang mengatakan hadiah pahala itu tidak akan sampai kepada orang yang telah meninggal dunia, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari -salah seorang tokoh utama dalam madzhab al-Syafi’i-, menyatakan bahwa yang dimaksud oleh pendapat Imam al-Syafi'i itu adalah apabila tidak dibaca di hadapan mayit serta pahalanya tidak diniatkan sebagai hadiah, atau berniat tetapi tidak membaca doa sesudah bacaan al-Qur’an tersebut. (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 43). Kesimpulan ini dimunculkan karena ternyata Imam al-Syafi’i D pernah berziarah ke makam Imam Layts bin Sa’ad kemudian beliau mengkhatamkan al-Qur’an. Lalu beliau berkata, “Saya berharap semoga perbuatan seperti ini tetap berlanjut dan senantiasa dilakukan.” (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan dalam kesempatan lain Imam al-Syafi’i D menyatakan “Disunnahkan membaca sebagian ayat al-Qur’an di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca al-Qur’an sampai khatam.” (Dalil Al-Falihin, juz VI, hal. 103). Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Imam al-Syafi’i D di makam Imam Layts bin Sa’ad, sekaligus mengukuhkan kebenaran perbuatan Imam al-Syafi’i D tersebut, Muhammad bin Abdul Wahhab mengutip sebuah hadits yang menjelaskan tentang tata cara melakukan ziarah kubur, yang menegaskan bahwa pahala bacaan tersebut bermanfaat kepada si mayit, juga kepada orang yang membacanya. “Al-Zanjani meriwayatkan sebuah hadits marfu’ riwayat Abi Hurairah, “Barangsiapa memasuki komplek pemakaman, lalu membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-hakumuttakatsur, kemudian berdoa “Aku menghadiahkan pahala apa yang aku baca dari firman-Mu kepada ahli kubur muslimin dan muslimat, maka semua ahli kubur itu akan membantu ia di hadapan Allah SWT di hari kiamat”. Dan Abdul Aziz murid Imam al-Khallal meriwayatkan sebuah hadits marfu’ dari Anas, “Barangsiapa yang masuk pemakaman, kemudian membaca surat Yasin, maka Allah SWT akan meringankan dosa-dosa ahli kubur itu, dan ia akan mendapatkan kebaikan sebanyak ahli kubur yang ada ditempat itu.” (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Mawt, hal. 75). Kaitannya dengan firman Allah SWT: وَأَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39) “Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. al-Najm: 39). Ibnu Qayyim al-Jawziyyah mengutip pendapat Abi al-Wafa bin ‘Aqil al-Hanbali yang menjelaskan jawaban yang paling baik tentang ayat ini, bahwa manusia dengan usahanya sendiri dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 143). Dari sini maka kita harus yakin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Allah SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud. Jika Allah SWT telah mengabulkan doa yang dipanjatkan itu, lalu siapakah yang berani mengatakan pahala al-Qur’an serta dzikir itu tidak sampai kepada orang yang meninggal dunia? Pasti pahala bacaan tersebut akan sampai kepada ahli kubur yang dimaksud. 2. Talqin Ada dua jenis talqin yang dianjurkan dalam Islam. a. Talqin saat sakarat al-maut. Yakni mentalqin orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan, dan hal itu disunnahkan. Berdasarkan Hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya: عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ J لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لا إلَهَ إِلا اللهُ (رواه مسلم، 1523) “Dari Abi Sa'id al-Khudri, Rasulullah J bersabda, "Talqinkanlah orang yang akan mati di antara kamu dengan ucapan la ’ilaha illa Allah”.(HR. Muslim [1523]). Sekelompok pengikut Imam al-Syafi‘i menganjurkan agar bacaan tersebut ditambah dengan ucapan Muhammad Rasulullah J. Namun mayoritas ulama mengatakan tidak perlu ditambah dengan bacaan tersebut. (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal. 83). b. Talqin saat pemakaman jenazah. Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Didasarkan pada sabda Nabi J yang diriwayatkan oleh Abi Umamah: عَنْ أَبِي أُمَامَةَ D قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ J أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ J فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لِيَقُلْ: يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَسْتَوِى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكّ رَضَيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَّا وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ. فَقَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلِ اللهِ فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ إِلىَ أُمِّهِ حَوَّاءَ: يَافُلاَنُ بْنُ حَوَّاء (رواه الطبراني في المعجم الكبير ، 7979، ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه أحكام تمني الموت ص 9 بدون أي تعليق) “Dari Abi Umamah D, beliau berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah J memperlakukan orang-orang yang wafat di antara kita. Rasulullah J memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu di antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai fulan bin fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berucap lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, maka si mayit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini).” (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata,” Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah J, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai fulan bin Hawa.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal. 9 tanpa ada komentar). Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a‘mal, hadits ini dapat digunakan. Kaitannya dengan Firman Allah SWT: وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ (فاطر: 22) “Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22). Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati. (Tafsir al-Khazin, juz V, hal. 347). Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah J apabila berziarah ke kuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah J, tentu Rasulullah J melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin. Wallahu A’lam. 3. Ziarah Kubur Pada masa awal Islam, Rasulullah J memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur, karena khawatir umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Setelah akidah umat Islam kuat, dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah J membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Rasulullah J bersabda: عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J : قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِى زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة َ)رواه الترمذى، 974) “Dari Buraidah, ia berkata, Rasululllah J bersabda, “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat.” (HR. al-Tirmidzi [974]). Kemudian kaitannya dengan hadits Nabi J yang secara tegas menyatakan larangan perempuan berziarah kubur: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ J لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُور (رواه احمد، 8095) “Dari Abu Hurairah D bahwa sesungguhnya Rasulullah J melaknat wanita yang berziarah kubur.” (HR. Ahmad [8095]). Menyikapi hadits ini ulama menyatakan bahwa larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan berziarah baik bagi laki-laki dan perempuan. Imam al-Tirmidzi menyebutkan dalam kitab al-Sunan: “Sebagian Ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu diucapkan sebelum Nabi J membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah J membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu.” (Sunan al-Tirmidzi, [976]). Ketika berziarah, seseorang dianjurkan untuk membaca al-Qur’an atau lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah J: عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ . قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتاَكُمْ يس (رواه أبو داود، 2714) “Dari Ma‘qil bin Yasar D, ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud [2714]). Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi itu adalah makam para wali dan orang shaleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawi al-Kubra, juz II, hal 24). Berziarah ke makam para wali dan orang-orang shaleh telah menjadi tradisi para ulama salaf. Di antaranya adalah Imam al-Syafi'i Z mencontohkan berziarah ke makam Laits bin Sa'ad dan membaca al-Qur'an sampai khatam di sana (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan diceritakan bahwa Imam Syafi’i Z jika ada hajat, setiap hari beliau berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Seperti pengakuan beliau dalam riwayat yang shahih: “Dari Ali bin Maimun, berkata, "Aku mendengar Imam al-Syafi'i berkata, "Aku selalu bertabarruk dengan Abu Hanifah dan berziarah mendatangi makamnya setiap hari. Apabila aku memiliki hajat, maka aku shalat dua rakaat, lalu mendatangi makam beliau, dan aku mohon hajat itu kepada Allah SWT di sisi makamnya, sehingga tidak lama kemudian hajatku terkabul." (Tarikh Baghdad, juz 1, hal. 123) 4. Menyuguhkan Makanan Kepada Orang Yang Ta’ziah Menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziah hukumnya boleh, berdasarkan hadits: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ J أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (رواه البخاري، 11) “Dari Abdullah bin Amr D, “Ada seorang laki-laki bertanya pada Nabi J, “Perbuatan apakah yang paling baik?” Rasulullah J menjawab, “Menyuguhkan makanan dan mengucapkan salam, baik kepada orang yang engkau kenal atau tidak.” (HR. al-Bukhari [11]). Juga didasarkan kepada hadits Nabi J: عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ J فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ J وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَتِهِ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ J يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِيْ شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ J أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى (رواه أبو داود، 2894، والبيهقي في دلائل النبوة انظر مشكاة المصابيح، 5942) “Diriwayatkan oleh Ashim bin Kulayb dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah melayat bersama Rasulullah J dan di saat itu saya melihat beliau menasehati penggali kubur seraya bersabda,“Luaskan bagian kaki dan kepalanya”. Setelah Rasulullah J pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan (istri yang meninggal). Rasulullah J memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah J mulai makan lalu diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah J sembari berkata, “Wahai Rasulullah J saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’, (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui isterinya dan ia pun mengirim kambingnya pada saya. Rasulullah J kemudian bersabda, “Berikan makanan ini pada para tawanan.” (HR. Abu Dawud [2894] dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah, [Lihat: Misykat al-Mashabih [5942]). Berdasarkan hadits inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi berkata, “Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada para fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.” (Al-Bariqah al-Muhammadiyyah, juz III, hal. 235, dan lihat juga al-Masail al-Muntakhabah, hal. 49). Mengenai keputusan Rasulullah J memberikan makanan kepada para tawanan itu tidak dapat dijadikan alasan mengharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah J menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang yang akan dimintai ridhanya atas daging itu belum ditemukan sedangkan makanan itu takut basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah J memberikan makanan tersebut kepada para tawanan. Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut. (Bulugh al-Umniyyah hal. 219). 5. Tradisi Tahlilan Berkumpul untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah J, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil, tahmid, tasbih dan semacamnya. Karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntunan Rasulullah J. Imam al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir dan doa itu adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasul J. Begitu pula tidak ada larangan untuk menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti, hadits ”Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu”. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah. (Al-Syaukani, al-Rasa’il al-Salafiyyah, hal. 46). Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi J. Di antaranya adalah: عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم ، 4868) “Dari Abi Sa’id al-Khudri D, ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makh-luk yang ada di sisi-Nya.” (HR. al-Muslim [4868]). Kaitannya dengan pendapat Imam al-Syafi’i D: “Dan aku tidak senang pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.” (Al-Umm, juz I, hal. 318). Perkataan Imam al-Syafi’i D ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan. (Al-Munjid, 2) Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i D adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak terima terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah SWT. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di dalamnya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga lebih tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis al-dzikr. Bagi sohibul musibah, tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit. Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Di samping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa. 6. Perjamuan Makanan dalam Acara Tahlilan Dalam setiap pelaksanaan tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi J: عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ J فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ قَالَ طِيبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ (رواه احمد، 18617) “Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah J kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasul J menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]). Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah J, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا (رواه الترمذي، 605) “Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah J, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah J menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. Tirimidzi [605]). Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji.” (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 142). Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah J: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه مسلم، 5559) “Dari Abi Hurairah D, ia berkata, “Rasulullah J bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]). Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan. Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan. Berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya. Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia. Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana. 7. Pelaksanaan Tahlil Selama Tujuh Hari. Syaikh Nawawi al-Bantani -seorang ulama mutaakhkhirin-, menjelaskan penentuan sedekah pada hari-hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat saja (al-’Adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. "Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiaanya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.” (Nihayah al-Zain, hal. 281). Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal D, dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah, karena merupakan salah satu bentuk doa untuk mayit yang sedang diuji di dalam kubur selama tujuh hari. Sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Hawi li al-Fatawi: “Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka. Maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal 178 ). Lebih jauh, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat. “Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi J sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat J).” (Al-Hawi li al-Fatawi, juz II, hal. 194) Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.[] BAGIAN VII Beberapa Persoalan 1. Mengikuti Thariqat Secara bahasa thariqat berarti jalan, cara, metode, sistem, madzhab, aliran dan haluan. Sedangkan dalam ilmu tashawwuf tariqat adalah perjalanan seseorang menuju Allah SWT dengan cara mensucikan diri. Syaikh Amin al-Kurdi mengatakan: اَلطَّرِيْقَةُ هِيَ الْعَمَلُ بِالشَّرِيْعَةِ وَاْلأَخْذُ بِعَزَائِمِهَا وَالْبُعْدُ عَنِ التَّسَاهُلِ فِيْمَا لاَيَنْبَغِي التَّسَاهُلُ فِيْه (تنوير القلوب، 364) “Thariqah adalah mengamalkan syari'at dan menghayati inti syariat itu, serta menjauhkan hal-hal yang bisa melalaikan pelaksanaan semua inti dan tujuan syariat itu." (Tanwir al-Qulub, hal. 364). Al-Hafizh Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani menjelaskan bahwa sumber utama thariqat adalah wahyu. Termasuk ajaran yang terdapat di dalam agama Nabi J. Karena pada hakikatnya thariqat tidak lepas dari pengamalan tiga sendi Islam, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Dalam hal ini thariqat masuk pada kategori ihsan. Karena Islam berbicara tentang ketaatan dan ibadah, Iman berbicara petunjuk dan akidah, sedangkan Ihsan adalah maqam muraqabah dan musyahadah (pendekatan diri dan penyaksian keagungan Allah SWT) yang dimaksud dalam hadits Nabi, "Engkau menyembah Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dialah yang melihatmu". (Al-Intishar fi Thariq al-Shufiyyah, hal. 6). Dari sini, mengamalkan thariqat merupakan sesuatu yang penting untuk mencapai tingkat keislaman yang sempurna (kaffah), sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an dan hadits Nabi. Mengenai tata cara dan pelaksanaannya, ulama telah membuat panduan yang disarikan dari al-Qur'an dan al-Hadits Nabi. Hal ini dapat dirujuk misalnya dalam kitab Ihya' Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, kitab Tanwir al-Qulub karya Syaikh Amin al-Kurdi dan lain sebagainya. 2. Tawassul dengan Hamba Pilihan Allah SWT Al-Syaikh Jamil Afandi Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud istighatsah dan tawassul dengan para nabi dan orang-orang yang shaleh ialah menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SWT untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku yang sebenarnya (yang mengabulkan doa). Sebagai contoh, pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari dirinya sendiri karena pemotong yang sebenarnya adalah Allah SWT. Pisau hanya sebagai penyebab yang alamiah (berpotensi untuk memotong), Allah SWT menciptakan memotong melalui pisau tersebut. (Al-Fajr al-Shadiq, hal. 53-54). Ada banyak dalil yang menjelaskan keutamaan tawassul. Di antaranya adalah firman Allah SWT: يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِى سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (المائدة، 35) “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah SWT. Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT. Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu mendapat keuntungan”. (QS. al-Ma‘idah: 35). Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman: وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (النساء: 64) “Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa), lalu mereka datang kepadamu (hai Muhammad) dan meminta ampunan kepada Allah SWT, kemudian Rasul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT Yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan menerima taubat mereka." (QS. al-Nisa': 64). Sahabat Umar D ketika melakukan shalat istisqa’ juga melakukan tawassul. عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ D كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخاري، 954) “Dari Anas bin Malik D, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin al-Khaththab D bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdoa, “Ya Allah , kami pernah berdoa dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi J, maka Engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari [954]). Menyikapi tawassul Sayyidina Umar D tersebut, Sayyidina Abbas D kemudian berdoa: اَللّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلاَءٌ اِلاَّبِذَنْبٍ وَلاَ يُكْشَفُ اِلاَّبِتَوْبَةٍ قَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَانِي مِنْ نَبِيِّكَ .. الخ اخرجه الزبير بن بكار (التحذير من الإغترار، 125) “Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu. ..... diriwayatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.” (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal. 125). Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikatnya tawassul yang dilakukan Sayyidina Umar D dengan sayyidina Abbas D merupakan tawassul dengan Nabi J (yang pada waktu itu telah wafat), disebabkan posisi Abbas sebagai paman nabi J dan karena kedudukannya di sisi Nabi J. (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal. 125). Memang di hadapan Allah SWT, semua manusia mempunyai kedudukan yang sama, semasa hidup atau setelah meninggal dunia. Al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang shaleh atau para syuhada itu tetap hidup di sisi Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur di dalam tanah. Sebagaimana firman Allah SWT: وَلاَتَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا، بَلْ اَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ (آل عمران: 169) “Dan janganlah kamu menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” (QS. Ali ‘Imran: 169). Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman: وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ فِى سَبِيْلِ اللهِ اَمْوَاتٌ بَلْ اَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ (البقرة: 154) “Dan Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. al-Baqarah: 154). Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani menyatakan “Dalam hal bertawassul itu, tidak ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad J atau para nabi yang lainnya, juga kepada para Wali Allah serta orang-orang shaleh. Dan tidak ada perbedaan pula antara bertawassul kepada orang yang hidup ataupun orang yang telah meninggal dunia. Sebab pada hakikatnya mereka tidak dapat mewujudkan serta tidak dapat memberi pengaruh apapun. Mereka diharapkan barokahnya karena mereka adalah para kekasih Allah SWT. Yang menciptakan dan yang mewujudkan (apa yang diminta oleh orang yang bertawassul) hanyalah Allah SWT semata. Orang-orang yang membedakan antara tawassul kepada orang hidup dan orang yang telah wafat meyakini bahwa ada pengaruhnya (manfaatnya) jika bertawassul kepada orang yang hidup, tapi manfaat itu tidak ada apabila bertawassul kepada orang mati. Menurut hemat kami, orang-orang yang membolehkan tawassul kepada orang yang hidup tapi mengharamkan tawassul kepada orang mati tersebut, sebenarnya telah terjebak pada kesyirikan, sebab mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh) kepada seseorang, tapi orang yang mati tidak dapat memberikan manfaat apapun. Maka pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa ada makhluk lain selain Allah SWT yang dapat memberi pengaruh dan mewujudkan sesuatu. Maka bagaimana mungkin mereka mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang menjaga tauhid (akidah), dan menuduh kelompok lain berbuat kesyirikan?” (Syawahid al-Haqq, hal. 158-159). Memang kalau direnungkan dengan seksama, manusia itu hanya berusaha, yang menentukan segalanya adalah Allah SWT. Dalam ungkapan sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata berobatlah agar sembuh, berolahragalah agar sehat, makanlah agar kenyang, belajarlah agar pandai. Padahal hakikatnya yang menyembuhkan, yang menyehatkan, yang mengenyangkan, yang menjadikan pandai, hanya Allah SWT semata. Jika terbersit di dalam hati bahwa yang menentukan sesuatu itu bukan Allah SWT, pada saat itu telah terjadi perbuatan syirik. Maka begitu pula dalam masalah tawassul ini. Pada hakikatnya bertawassul itu menjadikan sesuatu sebagai perantara agar doa yang dipanjatkan dapat segera diterima. Orang yang bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada orang atau suatu benda. Karena itu mereka bukanlah termasuk orang yang mendapat peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an: أَلاَ للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى (الزمر: 23) “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. al-Zumar: 23). Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “Perkataan para penyembah berhala "Kami menyembah mereka (berhala-berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para rasul itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tahu bahwa orang yang di-tawassul-i tersebut memiliki keutamaan di hadapan Allah SWT dengan kedudukannya sebagai rasul, ilmu yang dimiliki atau karena kenabiannya. Dan karena kelebihannya itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal. 113). Maka jelas bedanya antara orang yang menyembah berhala yang memang benar-benar menyembah berhala, yakni dalam ungkapan mereka “Kami menyembah berhala-berhala itu”. Sementara orang yang bertawassul hanya meminta dan menyembah Allah SWT semata. Tidak terbersit di dalam hatinya seujung rambutpun keyakinan adanya kekuatan dan kekuasaan lain di luar kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. 3. Mencium Tangan Ulama dan Guru Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadits dijelaskan: عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ J وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود، 4548) “Dari Zari’ D. –ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais-, beliau berkata, “Ketika sampai di Madinah, kami segera turun dari kendaraan, kemudian kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi J.” (HR. Abu Dawud [4548]). Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan guru, ulama, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam al-Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang shalih dan ulama yang utama itu disunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya makruh.” (Fatawi al-Imam al-Nawawi, hal. 79). Dr. Ahmad al-Syarbashi dalam kitab Yas’alu-naka Fi al-Din wa al-Hayah memberikan kesimpulan akhir, bahwa apabila mengecup tangan itu dimaksudkan dengan tujuan yang baik, maka (perbuatan itu) menjadi baik. Inilah hukum asal dalam masalah mencium tangan ini. Namun bila perbuatan itu digunakan untuk kepentingan dan tujuan yang jelek, maka termasuk perbuatan yang terhina. Sebagaimana halnya setiap perbuatan baik yang diselewengkan untuk kepentingan yang tidak dibenarkan.” (Yas’alunaka fi al-Din wa al-Hayah, juz II, hal. 642). 4. Amalan, Hizib dan Azimat Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT melalui amalan itu. Jadi sebenarnya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman: ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُم (المؤمن: 60) “Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu.” (QS. al-Mu’min: 60). Ada beberapa dalil dari hadits Nabi J yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah: عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ اْلأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ (رواه مسلم، 4079) “Dari Awf bin Malik al-Asyja‘i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat ruqyah (seperti azimat dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah J, bagaimana pendapat Engkau (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, “Coba tunjukkan ruqyahmu itu padaku. Membuat ruqyah tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR. Muslim [4079]). “Dalam al-Kalim al-Thayyib, Syaikh Ibnu Taimiyyah menyitir “Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah J pernah bersabda, “Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku”. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantung-kan di lehernya.” (Al-Kalim al-Thayyib, hal. 33). Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar