Hukum Ikhtilath Antara Laki-Laki dan
Perempuan
Ketahuilah bahwa sikap
berlebih-lebihan dalam agama adalah sikap yang tidak seharusnya. Yang dituntut
dalam hal ini adalah bersikap adil. Dengan demikian tidak boleh bagi siapapun
menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, atau sebaliknya;
menghalalkan sesuatu yang telah diharamkannya. Allah berfirman:
) قل يا أهل الكتاب لا
تغلوا في دينكم( (سورة
المائدة: 77)
Maknanya: "Katakanlah [wahai
Muhammad] wahai ahli kitab jangalah kalian berlebih-lebihan dalam beragama
kalian". (Q.S. al Ma-idah : 77)
Rasulullah
berkata kepada Ibn ‘Abbas di Muzdalifah saat melaksanakan haji: “Ambilkan batu
[untuk melempar jumrah] untukku”. Kemudian Ibnu ‘Abbas memungut batu seukuran khazaf
(kerikil sedang). Rasulullah bersabda: “(dengan) Batu-batu seukuran inilah
(kalian melempar jumrah), jauhilah oleh kalian intuk berlebih-lebihan dalam
urusan agama, sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah menghancurkan
orang-orang sebelum kalian”.
Ada
pendapat sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam menyikapi hukum ikhthilath.
Mereka mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah. Mereka mengharamkan
berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan, padahal bukan khalwah
[berdua-duaan], tidak terdapat persentuhan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan dan kaum perempuan tersebut menutup aurat [tidak membuka kepala atau
semacamnya]. Orang yang mengharamkan semacam ini hanya mengada-ada; mereka
tidak memiliki dalil.
Ikhthilath
terbagi kepada dua bagian; ikhthilath yang boleh dan ikhthilath
yang diharamkan. Ikhthilath yang boleh adalah yang tanpa adanya
persentuhan antara tubuh dan bukan khalwat (berdua-duaan) yang
diharamkan. Ikhthilath yang diharamkan adalah yang terdapat persentuhan
[berbaur hingga bersentuhan] antara kaum laki-laki dan perempuan. Hal ini
seperti yang telah dijelaskan oleh Syekh Ibn Hajar al-Haytami dalam al-Fatawa
al-Kubra, dan syekh Ahmad ibn Yahya al-Wansyuraysyi [ulama abad 10 H] dalam
karyanya al-Mi’yar al-Mu’rib; sebuah kitab yang memuat fatwa-fatwa ahli
fiqh daerah Maghrib (Maroko).
Al-Bukhari [4] , Muslim [5] , at-Tirmidzi [6] dan an-Nasa’i [7] meriwayatkan dari Abi
Hurairah bahwa salah seorang sahabat datang kepada Nabi. Nabi kemudian menyuruh
para isterinya untuk menjamunya sebagai tamu, tapi mereka berkata: “Kita tidak
memiliki apapun (untuk jamuan) kecuali air”. Kemudian Nabi berkata di hadapan
para sahabatnya: “Siapakah yang siap menjadikannya sebagai tamu?”. Salah
seorang sahabat dari kaum Anshar berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Kemudian ia
membawa tamu tersebut menuju rumahnya. Ia berkata kepada isterinya:
“Muliakanlah tamu Rasulullah ini !”. Sang isteri menjawab: “Kita tidak memiliki
jamuan kecuali makanan anak kita”. Sahabat Anshar berkata: “Siapkanlah makanan
itu, hidupkanlah lampu dan tidurkanlah anak-anakmu jika saat [kita hendak]
makan malam !”. Kemudian sang isteri menyiapkan makanan, menghidupkan lampu dan
menidurkan anak-anaknya. Setelah itu ia mendekati lampu seakan hendak
membenarkannya, namun ia malah memadamkannya. Kemudian kedua suami isteri ini
mengerak-gerakkan tangannya memperlihatkan kepada tamu seakan-akan sedang
makan. Akhirnya keduanya tidur malam dalam keadaan lapar. Saat menghadap Rasulullah
di pagi harinya, Rasulullah bersabda:
" ضحك الله
الليلة أو عجب من فعالكما"
Kemudian turun firman Allah:
) ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة، ومن يوق شح نفسه
فأولئك هم المفلحون ( (سورة
الـحشر:9)
Makna [ضحك]
dalam hadits di atas “meridlai” bukan berarti “tertawa” layaknya manusia.
(artinya Allah meridlai apa yang kalian kerjakan tadi malam). Sebagaimana hal
ini dinyatakan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari [8]. Dalam hal ini jelas
sahabat Anshar dan isterinya duduk bertiga dengan tamu, sebagaimana layaknya
berkumpul saling berdekatan antara orang-orang yang sedang makan. Dan
Rasulullah dalam hal ini tidak mencegahnya.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih [9]-nya dari Sahl,
berkata: “Ketika Abu Usaid as-Sa’idi menjadi pengantin, ia mengundang
Rasulullah dan para sahabatnya. Tidak ada yang membuat makanan bagi para tamu
(undangannya) tersebut juga tidak mendekatkan (membawa) makanan kepada mereka
kecuali isterinya; Ummu Usaid”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kebolehan berkhidmahnya seorang
isteri terhadap suaminya dan para tamunya. Tentunya hal ini bila saat aman dari
adanya fitnah, juga perempuan tersebut harus dengan menjaga apa yang seharusnya
[menutup aurat]. Juga dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa seorang suami
boleh meminta tolong [khidmah] kepada isteri” [10].
Ibn al Mundzir, salah
seorang imam mujtahid, dalam kitabnya al-Awsath, berkata: “Mengkhabarkan
kepada kami ‘Ali ibn ‘Abd al-‘Aziz, ia berkata:: Mengkhabarkan kepada kami
Hajjaj, ia berkata:: Mengkhabarkankan kepada kami dari Tsabit dan Humaid dari
Anas, beliau berkata: Kami bersama Abu Musa al-Asy’ari, kami shalat di al-Mirbad,
kemudian kami duduk di masjid al-Jami’, dan kami melihat al-Mughirah ibn
Syu’bah shalat bersama orang banyak, kaum laki-laki dan kaum perempuan
bercampur, lalu kamipun shalat bersamanya” [11].
Ibnu Hibban
meriwayatkan dari Sahl ibn Sa’d, berkata: “Kami kaum perempuan di masa
Rasulullah diperintah untuk tidak mengangkat kepala hingga kaum laki-laki
mengambil tempat duduknya masing-masing, karena sempitnya pakaian [yang mereka
kenakan]” [12].
Dua hadits di atas
merupakan dalil bahwa berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam satu
tempat adalah sesuatu yang boleh, sekalipun tidak ada penghalang (sitar)
antara mereka. Artinya bahwa ikhthilath antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan adalah hal yang boleh selama tidak ada persentuhan. Adapun ikhtilath
yang diharamkan adalah yang disertai dengan adanya persentuhan tubuh.
An-Nawawi dalam
syarahnya terhadap kitab al-Muhadzdzab, berkata: “...karena sesungguhnya
ikhtilath antara kaum laki-laki dan kaum perempuan jika bukan khalwah
adalah sesuatu yang bukan haram” [13].
Perkataan an-Nawawi di
atas sesuai dengan petunjuk hadits Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah bersabda bagi
kaum perempuan saat mereka berbaiat:
"
إنما أنبئكن عن المعروف الذي لا تعصينني فيه أن لا تخلون بالرجال وحدانا ولا تنحن
نوحة الجاهلية "
Maknanya : "Aku beritahukan
kepada kalian tentang kabaikan (al-Ma’ruf) yang tidak boleh kalian durhaka
kepadaku dalam hal ini; [ialah] janganlah kalian berkhalwah dengan kaum
laki-laki dalam keadaan sendiri dan janganlah kalian menjerit-jerit
[an-Niyahah; karena kematian seseorang] seperti menjerit-jeritnya kaum
jahiliyah". (H.R. Al-Hafizh Ibnu Jarir at-Thabari)
Para ulama fiqh telah
mencatat bahwa bila ada dua orang laki-laki bersama dengan satu orang perempuan
atau dua orang perempuan dengan satu orang laki-laki bukan tergolong khalwah
yang diharamkan. Syekh Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i dalam Syarh Raudl
ath-Thalib, berkata: “Boleh bagi seorang laki-laki untuk berkumpul dengan
dua orang perempuan yang dapat dipercaya [tsiqah]” [14]. Demikian pula disebutkan
oleh Syekh Muhammad al-Amir al-Maliki [15].
Yang diharamkan adalah khalwah
antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan, sebagaimana
diterangkan dalam hadits Nabi:
"
لا يخلون رجل بامرأة إلا كان ثالثهما الشيطان "
Maknanya: "Tidaklah sekali-kali
seorang laki-laki berkhalwah dengan seorang perempuan kecuali orang ketiganya
adalah syetan". Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi [16].
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
" لا يدخلن رجل
على مغيبة إلا ومعه رجل أو رجلان "
Maknanya: "Janganlah seorang
laki-laki masuk [rumah] seorang perempuan yang sedang ditinggal suaminya,
kecuali bersamanya satu laki-laki lain atau dua laki-laki”. (H.R. Muslim [17] dan lainnya [18])
Hukum yang
diintisarikan dari hadits-hadits di atas ialah bahwa berkumpulnya antara
laki-laki dan perempuan jika tiga orang atau lebih adalah sesuatu yang boleh.
Kebolehan ini berlaku dalam berbagai keadaan [mutlak]; baik untuk kepentingan
dunia selama tidak mengandung kemaksiatan, maupun untuk kepentingan agama;
seperti belajar ilmu agama atau dzikir. Dengan keharusan perempuannya menutup
aurat.
Dengan demikian orang
yang mengharamkan berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan terlebih
dengan tujuan belajar ilmu agama maka ia telah mengharamkan sesuatu yang tidak
diharamkan Allah. Ini jelas merupakan kesesatan dan kebodohan. Padahal dalam
hadits telah diriwayatkan bahwa kaum perempuan shalat berjama’ah bersama
Rasulullah. Mereka berada di barisan belakang setelah barisan kaum laki-laki,
dan di antara mereka tidak ada penghalang (sitar). Kemudian juga dalam
Shahih al-Bukhari [19]
diriwayatkan bahwa Rasulullah menyuruh kaum perempuan di hari raya untuk ikut
shalat ied di satu tempat di Madinah di dekat masjid [nabawi]. Saat itu banyak
kaum perempuan muda shalat ied di belakang Rasulullah, sementara kaum perempuan
lainnya yang sedang haidl menyaksikan dari jauh, untuk mendapatkan kebaikan.
Dalam beberapa kesempatan lainnya Rasulullah turun langsung bersama Bilal di
mendatangi (menghampiri) kaum perempuan untuk memberikan wejangan kepada
mereka. Kemudian dalam Shahih al-Bukhari ada sebuah bab yang beliau namakan
dengan: “Bab Nasehat Imam [pemimpin] bagi kaum perempuan di hari raya”.
Dan karena itulah
tradisi kaum Muslimin masih berlanjut dari dahulu hingga sekarang bahwa para
ulama menentukan waktu dan tempat khusus di samping masjid atau di tempat
lainnya untuk mengajar kaum perempuan.
Setelah penjelasan
panjang lebar yang dikutip dari hadits-hadits shahih dan pernyataan para ulama
di atas, tidak layak bagi seseorang untuk membangkang. Apakah yang diharapkan
dari sikap membangkang jika hadits-hadits shahih merupakan dalil ?. Para ulama
mujtahid memberikan tauladan kepada kita untuk berpegang teguh dengan teks-teks
syari’at yang memang shahih. Simak bagaimana pernyataan Imam as-Syafi’i: “Jika
sebuah hadits telah shahih maka itulah madzhabku”. As-Syafi’i seorang ulama
mujtahid berkata demikian, lantas siapakah si pembangkang itu dibanding
asy-Syafi’i ?!.
___________________________________
[4]
Shahih al-Bukhari: Kitab Manaqib al-Anshar: Bab firman Allah: [ ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم
خصاصة].
[5]
Shahih Muslim: Kitab al-Asyribah: Bab Ikram adl-Dlaif wa Fadli itsarihi.
[6]
Sunan at-Tirmidzi: Kitab Tafsir al-Qur’an min
Surat al-Hasyr. Ia berkata hadits shahih.
[7]
Sunan an-Nasa’i al-Kubra: Kitab at-Tafsir: Bab
firman Allah: [ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة].
[8]
Fath al-Bari (7/120)
[9]
Shahih al-Bukhari: Kitab an-Nikah: Bab Qiyam
al-Mar’ah ‘Ala ar-Rijal Fi al-‘Urs wa khidmatihim bi an-Nafs.
[10]
Fath al-Bari (9/251)
[11]
Lihat Kitab al-Ausat (2/401)
[12]
Lihat al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban (3/317)
[13]
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (4/484)
[14]
Lihat Syarh ar-Raudl (3/407)
[15]
Lihat Hasyiat al-Amir ‘Ala al-Majmu’ (1/215)
[16]
Jami’ at-tirmidzi: Kitab ar-Radla’.
[17]
Shahih Muslim: Kitab as-Salam: Bab Tahrim al-Khalwah bi
al-Mar’ah al-Ajnabiyyah.
[18]
Ibnu Hibban
dalam Shahih-nya (7/442) dan Ahmad dalam Musnad-nya (2/171, 176,
213).
[19]
Shahih al-Bukhari: Kitab
al-‘Idain: Bab Khuruj an-Nisa wa al-Huyyadl Ila al-Mushalla.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar