Kamis, 18 Februari 2016

PENDEFINISAN BID'AH



||| PENDEFINISAN BID'AH |||
Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya,
أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق
setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh sebelumnya[1]
dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau mendefinisikan :
بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة
“Bid’ah didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa Rasulullah shalullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi hasanah dan qabihah”. [2]
Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”. [3]
Berdasarkan definisi ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang tidak ada pada masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai bid’ah. Sehingga apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu di ketahui, bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat merupakan orang-orang yang mendapatkan petunjuk sehingga perkara baru yang mereka lakukan walaupun kadang terjadi perselisihan diantara mereka tetap saja disebut sebagai sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. [4] Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda tergantung dari sudut pandang apa mereka mendefinisikannya, sehingga nantinya cara memahami pun akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya sebenarnya sama. [5]

CATATAN KAKI :
[1] Lihat : al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[2] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/22] Imam an-Nawawi
[3] Lihat : Qawaidul Ahkaam lil-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam [2/204].
[4] Maksud dari bid’ah yang hakikatnya sunnah yaitu ; karena perkara tersebut tidak dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam, namun hanya dilakukan pada masa setelah Rasulullah. Contohnya seperti pelaksanaan shalat tarawih. Shalat Tawarih adalah perbuatan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, namun Rasulullah meninggalkannya dan para sahabat juga tidak berjama’ah (shalat tarawih berkumpul) pada pelaksaan shalat tarawih tersebut, bahkan tidak ada pada masa Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Maka, karena tidak ada masa Rasulullah, pelaksanaan tarawih dengan cara berjama’ah tersebut dinamakan sebagai bid’ah yaitu ni’amatul bid’ah (sebaik-baiknya bid’ah). Haqiqatnya adalah sunnah, berdasarkan sabda Nabi tentang sunnah Khulafaur Rasyidin. Didalam Lisanul ‘Arab [ [8/6] disebutkan:
قد جعل له في ذلك ثوابا فقال :  من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها، وقال في ضده : من سن سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها، وذلك إذا كان في خلاف ما أمر الله به ورسوله، قال: ومن هذا النوع قول عمر، رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه، لما كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدحها لأن النبي، صلى الله عليه وسلم، لم يسنها لهم، وإنما صلاها ليالي ثم تركها ولم يحافظ عليها ولا جمع الناس لها ولا كانت في زمن أبي بكر وإنما عمر، رضي الله عنهما، جمع الناس عليها وندبهم إليها فبهذا سماها بدعة، وهي على الحقيقة سنة لقوله، صلى الله عليه وسلم، عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Dalam hal itu sungguh dijadikan pahala baginya, dikatakan : “barangsiapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkannya” dan perkataan kebalikannya adalah : “barangsiapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah maka baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkannya”, dan itu apabila menyelisihi apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, juga ia berkata : dan termasuk dari ragam hal ini yaitu ucapan Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh : “ni’matul bid’ah hadzihi (sebaik-baiknya bid’ah adalah ini)”, maka ketika suatu perkara termasuk dari perbuatan-perbuatan baik dan termasuk dalam perkara yang terpuji maka dinamakan bid’ah dan terpujinya karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak mensunnah bagi mereka, sebab beliau hanya shalat tarawih pada malamnya, kemudian meninggalkannya dan tidak menjaganya (tidak melanggengkannya), tidak pula mengumpulkan manusia, bahkan tidak ada pada zaman Abu Bakar, namun Sayyidina ‘Umar mengumpulkan manusia pada shalat tarawih dan mensunnahkan melakukannya maka dari inilah dinamakan sebagai bid’ah, dan itu pada haqiqatnya adalah sunnah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : “hendaklah mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidiin setelahku”. []
[5] Misalnya : al-‘Imam ‘Ayni al-Hanafi didalam ‘Umdatul Qari syarh Shahih Bukhari [5/230] menjelaskan :

البدعة لغة: كل شيء عمل علي غير مثال سابق، وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهي عل قسمين: بدعة ضلالة، وهي التي ذكرنا، وبدعة حسنة: وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
“Bid’ah dari segi lughah : setiap sesuatu amalan tanpa contoh sebelumnya. Sedangkan dari segi syara’ : mengada-adakan perkara yang tidak ada asal pada perkara tersebut di masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi 2 bagian yaitu : bid’ah dlalalah, itu yang telah kami sebutkan, dan bid’ah hasanah, yakni suatu perkara yang orang mukmin memandangnya sebagai kebaikan (hasanah) dan perkara tersebut tidak menyelisihi al-Qur’an atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’.
Berdasarkan definisi ini, setiap perkara yang tidak ada asalnya pada masa Rasulullah maka itu bid’ah menurut segi syariat, dan berdasarkan segi syariat  pula maka bid’ah terbagi menjadi dua yakni hasanah dan dlalalah. Pada halaman berikutnya [25/ 37], Imam al-‘Ayni juga menyebutkan :
قوله: والبدع جمع بدعة وهي ما لم يكن له أصل في الكتاب والسنة، وقيل: إظهار شيء لم يكن في عهد رسول الله ولا في زمن الصحابة، رضي الله تعالى عنهم
“bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak ada asalnya pada perkara tersebut didalam al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dikatakan : menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak pula pada zaman shahabat radliyallahu ta’alaa ‘anhum”.
Berdasarkan definisi yang berbeda ini (qil), yang mana lebih longgar dalam pendefinisiannya yaitu ; jikalau ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bukan bid’ah, namun apabila tidak ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bid’ah. Jadi, definisi ini menyertakan perbuatan yang ada masa sahabat sebagai perkara yang bukan bid’ah. Tentu saja hal ini berdasarkan pengertian sunnah yang umum, bukan yang khusus (Sunnah : Qaul, Fi’il & Taqrir Nabi saja) yaitu berdasarkan hadits ;
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“hendaklah kalian (berpegang) atas sunnahku (Nabi Muhammad) dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin al-Mahdiyyin, gigitlah oleh kalian dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian perkar-perkara baru yang diada-adakan, sebab sungguh setiap perkara muhdats adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah” [HR. Musnad Ahmad]


Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...