|||
PENDEFINISAN BID'AH |||
Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh
sebelumnya,
أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق
“setiap
perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh sebelumnya” [1]
dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau mendefinisikan :
بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي
إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي
منقسمة إلى: حسنة وقبيحة
“Bid’ah
didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa
Rasulullah shalullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi
hasanah dan qabihah”. [2]
Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya
Qawa’idul Ahkam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله -
صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة،
وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد
الشريعة
“Bid’ah
adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah
muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan
metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah
berdasarkan kaidah-kaidah syariah”. [3]
Berdasarkan definisi ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang
tidak ada pada masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai bid’ah. Sehingga
apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu
di ketahui, bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat merupakan orang-orang yang
mendapatkan petunjuk sehingga perkara baru yang mereka lakukan walaupun
kadang terjadi perselisihan diantara mereka tetap saja disebut sebagai
sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. [4]
Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan
khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda tergantung dari
sudut pandang apa mereka mendefinisikannya, sehingga nantinya cara memahami
pun akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya sebenarnya sama. [5]
CATATAN KAKI :
[4]
Maksud dari bid’ah yang hakikatnya sunnah yaitu ; karena perkara tersebut tidak
dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam, namun hanya
dilakukan pada masa setelah Rasulullah. Contohnya seperti pelaksanaan shalat
tarawih. Shalat Tawarih adalah perbuatan (sunnah) Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam, namun Rasulullah meninggalkannya dan para sahabat juga tidak
berjama’ah (shalat tarawih berkumpul) pada pelaksaan shalat tarawih tersebut,
bahkan tidak ada pada masa Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Maka, karena tidak
ada masa Rasulullah, pelaksanaan tarawih dengan cara berjama’ah tersebut
dinamakan sebagai bid’ah yaitu ni’amatul bid’ah (sebaik-baiknya bid’ah).
Haqiqatnya adalah sunnah, berdasarkan sabda Nabi tentang sunnah Khulafaur
Rasyidin. Didalam Lisanul ‘Arab [ [8/6] disebutkan:
قد جعل له في ذلك ثوابا فقال : من
سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها، وقال في ضده : من سن سنة سيئة كان عليه
وزرها ووزر من عمل بها، وذلك إذا كان في خلاف ما أمر الله به ورسوله، قال: ومن هذا
النوع قول عمر، رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه، لما كانت من أفعال الخير وداخلة في
حيز المدح سماها بدعة ومدحها لأن النبي، صلى الله عليه وسلم، لم يسنها لهم، وإنما
صلاها ليالي ثم تركها ولم يحافظ عليها ولا جمع الناس لها ولا كانت في زمن أبي بكر
وإنما عمر، رضي الله عنهما، جمع الناس عليها وندبهم إليها فبهذا سماها بدعة، وهي
على الحقيقة سنة لقوله، صلى الله عليه وسلم، عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من
بعدي
“Dalam hal itu sungguh dijadikan pahala
baginya, dikatakan : “barangsiapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka baginya
pahala dan pahala orang yang mengamalkannya” dan perkataan kebalikannya adalah
: “barangsiapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah maka baginya dosa dan dosa
orang yang mengamalkannya”, dan itu apabila menyelisihi apa-apa yang Allah dan
Rasul-Nya perintahkan, juga ia berkata : dan termasuk dari ragam hal ini yaitu
ucapan Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh : “ni’matul bid’ah hadzihi (sebaik-baiknya
bid’ah adalah ini)”, maka ketika suatu perkara termasuk dari
perbuatan-perbuatan baik dan termasuk dalam perkara yang terpuji maka
dinamakan bid’ah dan terpujinya karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak
mensunnah bagi mereka, sebab beliau hanya shalat tarawih pada malamnya,
kemudian meninggalkannya dan tidak menjaganya (tidak melanggengkannya), tidak
pula mengumpulkan manusia, bahkan tidak ada pada zaman Abu Bakar, namun
Sayyidina ‘Umar mengumpulkan manusia pada shalat tarawih dan mensunnahkan melakukannya
maka dari inilah dinamakan sebagai bid’ah, dan itu pada haqiqatnya adalah
sunnah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : “hendaklah
mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidiin setelahku”. []
[5]
Misalnya : al-‘Imam ‘Ayni al-Hanafi didalam ‘Umdatul Qari syarh
Shahih Bukhari [5/230] menjelaskan :
البدعة لغة: كل شيء عمل علي غير مثال
سابق، وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهي عل
قسمين: بدعة ضلالة، وهي التي ذكرنا، وبدعة حسنة: وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا
يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
“Bid’ah dari segi lughah : setiap
sesuatu amalan tanpa contoh sebelumnya. Sedangkan dari segi syara’ : mengada-adakan
perkara yang tidak ada asal pada perkara tersebut di masa Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi 2 bagian yaitu : bid’ah
dlalalah, itu yang telah kami sebutkan, dan bid’ah hasanah, yakni suatu perkara
yang orang mukmin memandangnya sebagai kebaikan (hasanah) dan perkara tersebut
tidak menyelisihi al-Qur’an atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’.
Berdasarkan definisi ini, setiap perkara yang tidak
ada asalnya pada masa Rasulullah maka itu bid’ah menurut segi syariat, dan
berdasarkan segi syariat pula maka bid’ah terbagi menjadi dua yakni
hasanah dan dlalalah. Pada halaman berikutnya [25/ 37], Imam al-‘Ayni juga menyebutkan
:
قوله: والبدع جمع بدعة وهي ما لم يكن له
أصل في الكتاب والسنة، وقيل: إظهار شيء لم يكن في عهد رسول الله ولا في زمن
الصحابة، رضي الله تعالى عنهم
“bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak
ada asalnya pada perkara tersebut didalam al-Qur’an dan As-Sunnah, dan
dikatakan : menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan
tidak pula pada zaman shahabat radliyallahu ta’alaa ‘anhum”.
Berdasarkan definisi yang berbeda ini (qil), yang
mana lebih longgar dalam pendefinisiannya yaitu ; jikalau ada asalnya
pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bukan bid’ah, namun apabila
tidak ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bid’ah. Jadi,
definisi ini menyertakan perbuatan yang ada masa sahabat sebagai perkara yang
bukan bid’ah. Tentu saja hal ini berdasarkan pengertian sunnah yang umum, bukan
yang khusus (Sunnah : Qaul, Fi’il & Taqrir Nabi saja) yaitu
berdasarkan hadits ;
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ،
وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“hendaklah kalian (berpegang) atas
sunnahku (Nabi Muhammad) dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin al-Mahdiyyin,
gigitlah oleh kalian dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian
perkar-perkara baru yang diada-adakan, sebab sungguh setiap perkara muhdats
adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah” [HR. Musnad Ahmad]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar