|||
PENJELASAN TERKAIT HADITS JARIR BIN ABDULLAH |||
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى
أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami
(sahabat Nabi) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta
(keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari
niyahah”.
Hadits terkait para sahabat ini banyak digunakan sebagai dalil yang
menghukumi makruh bagi ahlul mayyit membuat makanan dan berkumpul dikediaman
keluarga almarhum. Kalau ditela’aah lebih mendetail, sesungguhnya frasa “مِنَ النِّيَاحَةِ” adalah bermakna “min asbabin niyahah”, yakni
bagian dari sebab dikhawatirkannya akan terjadi niyahah. Oleh karena itu,
bukanlah berkumpul dan membuat makanan yang disebut sebagai niyahah, sebab
jikalau itu yang disebut niyahah maka ulama akan mengharamkannya, bukan
malah hanya menghukumi makruh. Sebab niyahah ketika terjadi mushibah
kematian hukumnya haram. Hal ini telah menjadi kesepakatan, sebagaimana yang
dituturkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah : ...
|||
HARAMNYA NIYAHAH (MERATAP) DAN PENGERTIAN NIYAHAH |||
أجمعت الأمّةُ على تحريم النياحة، والدعاء
بدعوى الجاهلية، والدعاء بالويل والثبور عند المصيبة
“Umat
bersepakat atas haramnya niyahah, dan berdo’a dengan seruan orang jahiliyah
serta do’a dengan kejelekan dan keburukan ketika terjadi mushibah”. [1]
Imam al-‘Imraniy didalam al-Bayan mengatakan :
ويحرم النوح على الميت، وشق الجيوب، ونشر
الشعور، وخمش الوجوه
“dan
haram meratap atas orang mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut
dan mencoreng-coreng wajah”. [2]
al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz :
وكذا النياحة والجزع بضرب الخد وشق الثوب
ونشر الشعر كل ذلك حرام
“demikian
juga niyahah (meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan
menjambak-jambak (mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram”.
Adapun pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan
adalah :
واعلم أن النياحة : رفع الصوت بالندب،
والندب: تعديد النادبة بصوتها محاسن الميت، وقيل: هو البكاء عليه مع تعديد
محاسنه. قال أصحابنا: ويحرم رفع الصوت بإفراط في البكاء. وأما البكاء على
الميت من غير ندب ولا نياحة فليس بحرام
“Ketahuilah,
sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun
an-Nadb sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau
menyebut berulang-ulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang
mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut
kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram
menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis”. Adapun menangisi
mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram”.[3]
والنياحة رفع الصوت بالندب قال الشافعي
والأصحاب البكاء على الميت جائز قبل الموت وبعده ولكن قبله أولى
“Niyahah
adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, al-Imam Asy-Syafi’i dan Ashhabusy
Syafi’i (ulama syafi’iyah) mengatakan, menangisi orang mati boleh baik sebelum
mati atau setelah mati, akan tetapi menangisi sebelum mati itu lebih utama”. [4]
Oleh karena itu, penetapan hukum bid’ah makruhah (bid’ah yang
hukumnya makruh) karena bisa menjadi sebab adanya niyahah atau bisa membawa
pada niyahah. Jika mengikuti kaidah ushul, inilah yang menjadi illat
dihukuminya makruh (bid’ah makruhah). Namun, jika illatnya tidak ada maka
hukumnya juga berubah. Maka pertanyaannya sekarang adalah : apakah tahlilan
(kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan digagas oleh ulama
besar seperti para wali Allah (wali songo) bersifat seperti itu ? Apakah
tahlilan (kenduri arwah) mengarah pada niyahah atau menjadi sebab terjadinya
niyahah ?! Tentu saja tidak akan terjadi pada kegiatan tahlil yang benar.
CATATAN KAKI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar