|||
KONTRA : PENJELASAN TERKAIT HADITS 'ASHIM BIN KULAIB |||
Lebih jauh, juga perlu di ingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah
menyeluruh dan harus mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait.
Dalam hal ini, ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu Daud,
dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat Anshar, yang redaksinya
sebagai berikut :
قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ:
«أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ» ، فَلَمَّا
رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ
يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا، فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ، ثُمَّ قَالَ:
«أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا» ، فَأَرْسَلَتِ
الْمَرْأَةُ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ
يَشْتَرِي لِي شَاةً، فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدِ اشْتَرَى
شَاةً، أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ
إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى»
“Kami
keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah,
maka aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur
berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan
juga luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur,
seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka
Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan
dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan
(qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda:
“aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian
wanita itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke
Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku
mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku,
namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia
kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda : “berikanlah makanan ini untuk tawanan”. [1]
Hadits ini tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri dan para
sahabat beliau yang berkumpul dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang
berarti bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum
membuatkan makanan (jamuan) dan mengajak manusia memakannya.
Secara dhahir hadits Jarir telah berlawanan dengan hadits dari ‘Ashim bin
Kulaib ini, sedangkan dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil
bertentangan maka harus dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan. [2]
Maka, kedua hadits diatas dapat dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah
dibawa atas pengertian jamuan karena menjalankan adat, bukan dengan niat “ith’am
‘anil mayyit (memberikan makan atas nama mayyit/shadaqah untuk mayyit) “
atau hal itu bisa membawa kepada niyahah yang diharamkan, kesedihan yang
berlarut-larut dan lain sebagainya. Sedangkan hadits ‘Ashim bin Kulaib dibawa
atas pengertian jamuan makan bukan karena menjalankan adat (kebiasaan),
melainkan jamuan makan dan berkumpul dengan niat “ith’am ‘anil mayyit”
atau pun ikramudl dlayf (memulyakan tamu). Oleh karena itu larangan
tersebut tidaklah mutlak, tetapi memiliki qayyid yang menjadi ‘illat hukum
tersebut. Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا
الناس عليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك لما صح عن جرير كنا نعد الاجتماع إلى أهل
الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة
الاهتمام بأمر الحزن
“dan
apa yang diadatkan (dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat makanan demi
mengajak manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh),
sebagaimana menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan hadits shahih
dari Jarir “Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum
serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari
niyahah”, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni apa yang terdapat
didalamnya daripada berlebihan-lebihan dengan perkara kesedihan”. [3]
Hal ini juga disebutkan oleh al-‘Allamah as-Sayyid al-Bakri Syatha
ad-Dimyathi dalam I’anatuth Thalibin. [4]
Maka, illat tersebut tidak terdapat pada kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yang
dilakukan oleh kaum muslimin yang memang paham mengenai kenduri arwah
(tahlilan). Jika tidak ada illat maka hukum makruh pun tidak ada, sebab dalam
kaidah syafi’iyah hukum itu meliputi disertakannya illat. [5]
Oleh karena itu, berkumpul (berhimpun) yang dimaksud pada hadits Jarir adalah
jika bukan karena untuk membaca al-Qur’an, berdo’a dan dzikir-dzikir lain.
CATATAN KAKI :
[1]
Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini
shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh
Misykah al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut
dikomentari shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan
lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasulullah menerima ajakan wanitanya, yakni istri dari yang wafat”.
Dikatakan pula bahwa hadits ini memang bertentangan
dengan yang ditetapkan sebelumnya
(ثم وضع القوم) ، أي
أيديهم (فأكلوا) ، هذا الحديث بظاهره يرد على ما قرره أصحاب مذهبنا من أنه يكره
اتخاذ الطعام في اليوم الأول أو الثالث، أو بعد الأسبوع كما في البزازية
“(Kemudian sebuah kelompok meletakkan)
yakni tangan mereka (kemudian mereka makan), hadits ini (‘Ashim bin Kulaib)
berdasarkan dhahirnya bertentangan atas apa yang telah di tetapkan oleh Ashhab
madzhab kami yaitu ulama yang memakruhkan menghidangkan makanan pada hari
pertama atau ke tiga atau setelah sepekan sebagaimana didalam al-Bazaziyyah”.
Juga terkait hadits ‘Ashim bin Kulaib, dinaqal didalam
‘Aunul Ma’bud [3332] :
وفي المشكاة داعي امرأته بالإضافة إلى الضمير قال القارىء أي زوجة المتوفى
“dan didalam al-Misykah “ajakan
perempuannya” dengan lafadz idlafah kepada dlamir, Mulla ‘Ali al-Qarii berkata
: yakni istri dari yang wafat”.
Bariqatul Mahmudiyyah li-Abi Sa’id al-Khadami
al-Hanafi [3/205] :
قال في
شرحه عن كبير الحلبي «إنه - صلى الله تعالى عليه وسلم - حين رجع من دفن أنصاري
استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله -
صلى الله تعالى عليه وسلم - يلوك أي يمضغ لقمة في فيه» فهذا يدل على إباحة وضع أهل
الميت الطعام والدعوة إليه انتهى
“Mushannif berkata didalam syarahnya
dari pembesar al-Halabi “sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
ketika kembali dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah menerima ajakan
wanitanya, maka datang dan dihidangkanlah makanan, kemudian Rasulullah
menelatakkan tangannya dan di ikutilah orang rombongan (sahabat), kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan sesuapan yaitu secabik daging ke
mulutnya”. Maka ini menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menyajikan
makanan dan mengundang orang lain kepadanya. Selesai”.
Kemudian juga dijelaskan didalam Hasyiyah
ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falaah Syarh Nuur al-Iydlaah [1/617] Ahmad bin
Muhammad bin Isma’il ath-Thahthawi al-Hanafi :
عن عاصم
بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في
جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا
ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه الحديث فهذا يدل على إباحة صنع
أهل الميت الطعام والدعوة إليه بل ذكر في البزازية أيضا من كتاب الاستحسان وإن
اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا اهـ
“... Maka hadits ini (‘Ashim bin
Kulaib) menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menghidangkan makanan dan
mengajak manusia padanya bahkan juga di sebutkan didalam al-Bazaziyyah dari
kitab al-Ihtihsan “dan jika menghidangkan makanan untuk fuqaraa’ maka itu
bagus”. Selesai.
Sebagian ada yang mengatakan bahwa wanita yang
dimaksud bukan istri yang wafat namun orang lain. Hal ini disebutkan didalam
Mir’atul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5/481] li-Abi al-Hasan ‘Ubaidillah
al-Mubarakfuri dan juga didalam Tuhfatul Ahwadzi [4/67] li-Abi al-‘Allaa
Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri.
Selain itu ada hadits lain yang juga menjadi sandaran
masalah ini, sebagaimana yang dicantumkan oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
(al-Syafi’i) didalam kitab al-Mathalib al-‘Aliyyah bi-Zawaidil Masaanid
al-Tsamaniyyah [5/328] pada bab menghidangkan makanan untuk ahl mayyit . Diantaranya
beliau menyebutkan riwayat Thawus (penjelasannya telah berlalu) dan
riwayat dari Ahmad bin Mani’ berikut ini :
قال أحمد بن
منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن
قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل
معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ
الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة
جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد
المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله
تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin
Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf
bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan,
seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang
masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai
‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu
‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar
membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari
mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak
mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin
Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia
sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib
‘Umar radliyallah ‘anh”.
Riwayat ini, disebutkan juga oleh Syihabuddin Ibnu
Utsman al-Bushiri al-Kinani al-Syafi’i
didalam Ittihaf al-Khiyarah al-Mihrah bi-Zawaidil Asaanid al-Asyarah
[2/507-509] pada Bab al-Ta’ziyah wa Tahyiah Tha’aamin Yub’atsu bihi li-Ahli
al-Mayyit :
وَعَنِ
الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: "كُنْتُ أَسْمَعُ عمر بن الحنطاب- رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ- يَقُولُ: لَا يَدْخُلُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِي بَابٍ إِلَّا
دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ. فَلَا أَدْرِي مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ، حَتَّى طُعِنَ عُمر
فأَمر صُهيبًا أَن يُصلِّي بِالنَّاسِ ثلاثَا، وَأَمَرَ بِأَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ
طَعَامًا، فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجِنَازَةِ جَاءُوا وَقَدْ وُضعت الْمَوَائِدُ
فأَمسك النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فجاء العباس بن عبد
المطلب قال: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده
وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ
فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأْوِيلَ قَوْلِهِ ". رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ بِسَنَدٍ
فِيهِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جُدْعَا
“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata
: aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang
dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk
bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam
kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan
membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka
telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan
namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka
datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai
manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita
semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan
serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini,
maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh
yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud
dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya
yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid
(5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam
ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan
haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal
wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat
al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110)
lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320)
lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
[5]
Lihat : Kifayatul Akhyar lil-Imam Taqiyuddin al-Hishni [1/526] ; Asnal Mathalib
lil-Imam Zakariya al-Anshari [3/105]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar