|||
KOMENTAR ULAMA YANG MEMAKRUHKAN |||
Adapun jika berkumpul untuk tujuan tersebut, maka itu tidak makruh,
sebagaimana telah jelas perkataan Syaikhul Madzhab Syafi’i yakni Imam an-Nawawi
rahimahullah :
فرع : لا كراهة في قراءة الجماعة مجتمعين
بل هي مستحبة
"Sebuah
cabang : tidak dihukumi makruh pada pembacaan Qur’an secara berkumpul
(berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)” [1]
Bahkan telah warid didalam hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam
tentang perkumpulan dzikir ;
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ،
إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ
عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ
“Tidaklah
sebuah qaum (perkumpulan) duduk berdzikir kepada Allah, melainkan mereka
dikelilingi oleh malaikat, mereka diliputi oleh rahmat serta turun atas
mereka ketetapan hati”. [2]
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ
اللهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ
السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ
حَسَنَاتٍ
“Tidaklah
sebuah qaum berkumpul berdzikir kepada Allah, karena mereka tiada
menginginkan dengan hal itu kecuali keridlaan Allah, maka malaikat akan menyeru
dari langit, bahwa berdirilah kalian dengan pengampunan bagi kalian, sungguh
keburukan kalian telah digantikan dengan kebaikan”. [3]
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ
الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ،
وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah
sekelompok orang berkumpul dan berdzikir menyebut Nama-nama Allah
kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat, diliputi rahmat, diturunkan
kepada mereka ketenangan, dan Allah sebut mereka di kalangan para Malaikat yang
mulia”. [4]
Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman ;
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ
“(Yaitu)
orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran : 3)
Ayat ini berkorelasi dengan hadits sebelumnya,[5]
yakni juga bermakna majelis dzikir. Itu karena frasa “yadzkuruuna atau mereka
berdzikir” adalah dengan lafadz jama’. Artinya berdzikir bersama-sama.
Maka dari hal ini, dapat dipahami bahwa dzikir dengan berhimpun adalah
lebih utama daripada seorang diri. Berkumpul berdzikir meliputi segala jenis
bacaan dzikir serta dimana saja, termasuk juga dimajelis tahlil (kegiatan
tahlilan), sebab tidak ada larangan baik al-Qur’an maupun hadits yang
melarang berdzikir seperti membaca do’a untuk mayyit, shalawat, membaca
al-Qur’an serta dzikir-dzikir lainnya yang dilakukan di kediaman keluarga
almarhum.
Bahkan lebih jauh lagi, walaupun membuat jamuan makan karena menjalankan
adat tapi jika dalam rangka menghilangkan (menangkis) ocehan orang-orang awam
(daf’u alsinatil juhhal) serta untuk menjaga kehormatan dirinya, maka dalam
rangka hal tersebut tidak apa-apa, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar
al-Haitami dalam Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa. [6]
Oleh karena itu, komentar-komentar ulama yang mengatakan makruh bukanlah
dalam pengertian tujuan shadaqah atau “ith’am ‘anil mayyit’”, melainkan
disebabkan adanya illat. Seperti misalnya perkataan Imam Ibu Hajar diatas, juga
seperti : Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan
‘ulama lainnya didalam al-Majmu’ :
وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس
عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث
جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال " كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة
الطعام بعد دفنه من النياحة " رواه أحمد بن حنبل وابن ماجه بإسناد صحيح وليس
في رواية ابن ماجه بعد دفنه
“Shahibusy
Syamil dan yang lainnya berkata ; adapun keluarga almarhum mengurusi (membuat)
makanan serta berkumpulnya manusia padanya, maka itu pernah dinukil sesuatu pun
tentangnya, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahabbah, inilah perkataan
shahibusy Syamil. dan istidlal untuk hal ini berdasarkan hadits Jarir bin
Abdullah radliyallah ‘anh, ia berkata : “Kami (sahabat Nabi) menganggap
berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit
sebagai bagian dari niyahah”, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah telah
meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, namun dalam riwayat Ibnu Majah tidak
ada kata “setelah pemakaman mayyit”. [7]
Al-Imam al-Khathib as-Sarbini didalam al-Iqna’ :
وحرم تهيئته لنحو نائحة كنادبة لأنها
إعانة على معصية قال ابن الصباغ وغيره أما اصطناع أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه
فبدعة غير مستحبة
“dan
haram menyiapkan makanan untuk semisal wanita-wanita yang merapat (melakukan
niyahah) seperti menyebut-menyebut, karena itu sama saja membantu kemaksiatan,
Ibnu Ash-Shabbagh dan yang lainnya mengatakan : adapun mengurusi makanana ahlu
mayyit dan manusia berkumpul padanya, maka itu bid’ah ghairu mustahibbah”. [8]
Al-‘Allamah Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anathuth Thalibin
menyebutkan :
ويكره لأهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع
طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد
الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل
الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الأباعد - وإن
كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لأهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم
في الأكل. ويحرم صنعه للنائحة، لأنه إعانة على معصية
“dimakruhkan
bagi ahlul mayyit duduk untuk ta’ziyah, menghidangkan makananyang masyarakat
berkumpul padanya, telah diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah
al-Bajali, ia berkata ; “kami memandang berkumpul pada keluarga mayyit juga
mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman termasuk bagian dari
niyahah”. Disunnahkan bagi tetangga mayyit –walaupun orang lain – dan orang
yang mengetahui – walaupun bukan sebagai tetangga – dan kerabat-kerabatnya yang
jauh – walaupun berada di negeri yang berbeda dengan mayyit – supaya
menghidangkan makanan untuk keluarga mayyit yang mencukupi kebutuhan mareka
baik siang maupun malamnya, dan supaya mereka memaksa keluarga mayyit untuk
makan, dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang meratap,
karena itu membantu kepada kemaksiatan”.
ويحرم تهيئه للنائحات لأنه إعانة على
معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة -
كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت
وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام
بأمر الحزن
“dan
diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang meratap, karena itu
membantu kemaksiatan, dan perkara yang diadatkan (dibiasakan) seperti ahlul
mayyit membuat makanan untuk mengajak manusia padanya, itu bid’ah makruhah
(bid’ah yang hukumnya makruh) – seperti menerima mereka untuk yang demikian,
karena telah shahih hadits dari Jarir radliyallahu ‘anh : kami memandang berkumpul
pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman
termasuk bagian dari niyahah”, dan segi dianggapnya sebagai bagian dari niyahah
adalah apa yang ada didalamnya berupa perhatian yang sangat terhadap perkara
kesedihan”.
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل
كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو
ذلك اه
“dan
didalam Hasyiyah al-‘Allamah al-Jamal ‘alaa syarhil Minhaj : termasuk bid’a
munkarah dan makruh mengerjakannya yakni : perkara yang telah dilakukan manusia
berupa al-wahsyah (duka cita), perkumpulan dan empat puluh harian, bahkan semua
itu haram jika berasal dari harta yang terlarang, atau dari harta mayyit yang
masih memiliki tanggungan hutang atau mengakibatkan terjadinya dlarar atau
semisalnya. Selesai”. [9]
Syaikh Ibnu ‘Umar an-Nawawi al-Bantani didalam Nihayatuz Zain :
أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة
دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في
كشف اللثام
“Adapun
acara makan-makan yang masyarakat berkumpul disana pada malam hari ketika
prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-wahsyah (berduka cita) maka
itu makruh selama tidak ada harta anak yatim kecuali ada (harta anak yatim)
maka itu haram, sebagaimana telah didalam kitab Kasyfu al-Litsam”.[10]
Dan masih banyak yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk hal
serupa, yang intinya bukan untuk tujuan ith’am ‘anil mayyit’ (shadaqah) ataupun
tujuan mulya lainnya, melainkan tujuan-tujuan yang hanya menjalankan kebiasaan
semata atau yang lainnya, yang kadang memberatkan (membebani) keluarga almarhum
dan melakukannya secara terpaksa hanya karena rasa malu atau sebagainya.
Sehingga tentunya, berbeda apabila memberikan makanan itu dengan suka rela
(keikhlasan hati), paham maksud dan tujuannya yakni seperti motivasi ingin
menshadaqahkan hartanya yang pahalanya untuk mayyit maka ini hukumnya
sunnah (mustahab), sedangkan pahalanya sampai dan bermanfaat bagi mayyit
berdasarkan nas-nas yang kuat. Adapun orang yang melakukan shadaqah maka
terdapat pahala baginya. Hal ini karena terkait dengan hukum shadaqah itu
sendiri.
CATATAN KAKI :
[7]
Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [5/320] ; Raudlatuth
Thalibin (1/145).
[8]
Lihat : al-Iqna’ fi Halli Alfadh Abi Syuja’ [1/210] ; Mughniy Muhtaj al-Khathib
As-Syarbini [2/61]
[9]
Lihat : I’anatuth Thalibin Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [5/165] ;
Futuhatul Wahab lil-Syaikh Sulaiman al-Jamal [2/216] ; Hasyiyah Qalyubi wa
‘Umairah [1/414] ; Hasyiyah al-Bujairami ‘ala syarhi al-Minhaj [1/503].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar