|||
MEMULYAKAN TAMU |||
Demikian juga jika keluarga almarhum
memiliki motivasi lain yakni penghormatan kepada tamu-tamu (ikramudldlayf)
yang hadir yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mendo’akan dan
membaca al-Qur’an untuk salah satu keluarga yang meninggal dunia. Maka ini
terkait dengan hukum memulyakan tamu, dimana Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam
pernah bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya,
dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir bmaka hormatilah
tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir maka
berkatalah yang baik atau diam (dari ucapakan yang tidak baik)”.
|||
RINGKASAN : SUPAYA MUDAH MEMAHAMI |||
Haram : yakni apabila jamuan makan (hidangan
makan) dalam tahlilan yang berasal dari harta mayyit yang mayyit masih memiliki
tanggungan hutang yang belum diselesaikan ; berasal dari harta anak yatim ;
berasal dari harta mayyit sedangkan ahli warisnya bukan orang yang berhak
(tidak dibenarkan oleh syariat) untuk mengurus harta mayyit, seperti anak-anak
atau seumpamanya ; jamuan berasal dari harta mayyit tanpa ada izin
(persetujuan) dari ahli-ahli warisnya ; jamuan diadakan untuk niyahah atau
jamuan diberikan kepada wanita yang meratap.
Makruh : yakni apabila jamuan makan (hidangan
makan) didalam tahlilan diadakan untuk menghilangkan kesunyian dan perasaan
duka cita samata ; jamuan makan diadakan tanpa ada tujuan apa-apa atau hanya
karena mengikuti kebiasaan setempat dan hari hari tertentu dan lain sebagainya.
Mubah
bahkan Sunnah : yakni
apabila jamuan makan (hidangan makan) diadakan untuk tujuan mendo’akan
(merahmati) yang mati dan memperat shilaturahim, yang mana ini memotivasi diri
dan mendorong hati untuk mendo’akan (merahmati) untuk mayyit ; jamuan makan
untuk tujuan / niat untuk shadaqah yang pahalanya untuk mayyit, ini hukumnya
sunnah (mustahab) dan pahalanya sampai kepada mayyit. Shadaqah tidak selalu berupa
jamuan makan melainkan juga bisa dalam bentuk yang lainnya.
|||
SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH |||
Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam
al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang
kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan
kaum Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها
مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن،
وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
“Sesungguhnya
sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya
amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz
sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di
tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz
as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil
amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan
“manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan
membaca al-Qur’an’. [1]
Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di
Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh
al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab
beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful
Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته
أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى
السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن
سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ
السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان
فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين
وإغلاظهما و انتهارهما.
“Sungguh
sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku
menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan
sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku
kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di
tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima
(memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini
saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan.
al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah)
karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah
penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai
bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya
pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan
gertakannya”. [2]
Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [3]
Yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir
dari Rasulullah, sebagian juga mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan
tidak sampai pada masa Rasulullah.
CATATAN KAKI :
[2]
Lihat : Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau
merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid
Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali
al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad
Yasiin al-Fadani.
[3] Oleh
karena itu, keliru jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya
hindu hanya karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan
dari segi asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20
hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu
boleh dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari
sebab itu bisa di lakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan
kapan saja atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar
(menuntut ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban,
menentukan hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu
hari menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi
ketertiban (bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang
mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari
apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai
sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya. Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah
hadits al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai berikut ;
وفي هذا
الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة
والمداومة على ذلك
“Dan didalam hadits ini jalurnya
diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian
hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan)
melakukannya”.
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari
tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal
tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah
mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya seperti
shalat fardlu dan lainnya.
Meskipun, seandainya penentuan hari seperti itu
bermula dari warisan ajaran hindu, namun hal tersebut telah menjadi kultur
budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan “al-Adaat”. Oleh
karena itu, ulama seperti walisongo dan dai-dai Islam lainnya dengan hanya
menggiring dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya
yang benar sesuai dengan syariat Islam berdasarkan pertimbangan dengan
kaidah-kaidah syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan makanan
sesajen untuk roh orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan
sesajen tersebut, maka diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah
atas nama orang mati yang diberikan kepada orang yang masih hidup, dan orang
mati mendapatkan manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Ta’alaa, inilah
yang tepat menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan
syariat Islam bahkan sesuai dengan syarit Islam, sebagaimana sebuah kisah
ketika digantinya budaya Jahiliyyah yakni melumuri kepala bayi dengan darah
hewan sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak za’faraan,
disebutkan pada sebuah hadits shahih yang tercantum didalam Sunan Abi Daud
[2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [9/509] :
عَنْ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ:
كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً
وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا
«نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata
: aku mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika kami masih di masa Jahiliyyah,
apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami, menyembelih seekor
kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan, maka tatkala
Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambutnya
namun melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan”.
Al-Syawkani didalam Nailul Awthar [5/ 16] dan disebutkan juga didalam ‘Aunul Ma’bu [8 33]dikomentari sebagai berikut :
قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على
استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور
“Frasa : (dan kami melumurinya dengan
minyak za’faraan), padanya merupakan dalil atas disunnahkannya melumuri kepala
bayi dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana didalam hadits
‘Aisyah yang telah disebutkan”.
Lebih jauh lagi, istilah 40 hari pun sebenarnya
dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan didalam Hasyiyah
al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] karangan Imam al-Suyuthi (w 911 H).
وروى بن جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي
الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما
المنافق فيفتن أربعين صباحا
“Ibnu Juraij meriwayatkan didalam
Mushannafnya dari al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata
: “dua orang mengalami fitnah qubur yaitu orang mukmin dan orang munafiq ;
orang mukmin mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq
mengalami fitnah qubur selama 40 hari”.
Imam al-Suyuthi juga menyebutkan didalam kitab
al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi ‘alaa Muslim
[2/491] sebagai berikut :
روى أَحْمد بن حَنْبَل فِي الزّهْد
وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن الْمَوْتَى يفتنون فِي قُبُورهم سبعا
فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ الْأَيَّام إِسْنَاده صَحِيح وَله
حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد بن عُمَيْر أَن الْمُؤمن يفتن
سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده صَحِيح أَيْضا وَذكر بن رَجَب فِي
الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على الْقُبُور سَبْعَة أَيَّام من يَوْم
الدّفن لَا تُفَارِقهُ
“.... sanadnya shahih juga, dan Ibnu
Rajab menyebutkan tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas qubur
selama 7 hari sejak di makamkan serta tidak memisahkannya”.
Wallhu A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar