|||
PENGHARAMAN TAHLILAN DI LUAR AQAL SEHAT |||
Tidak pernah ditemukan satu dalil pun yang
menyatakan pengharaman terhadap kegiatan tahlilan. Sebaliknya yang ada adalah
anjuran untuk merahmati orang yang meninggal dengan do’a, permohonan ampun,
bacaan al-Qur’an serta dzikir-dzikir lain. Semua ini tidak pernah diharamkan
oleh para imam sekali pun.
Apabila alasannya karena ada perkumpulan
dikediaman keluarga almarhum maka ini sudah tidak tepat sebagai “dalih’
untuk pengharaman tahlilan sebab ; Pertama ; –seandainya memang yang dimaksud
ulama adalah seperti kegiatan tahlilan sekalipun- kebanyakan ulama hanya
menghukumi makruh bukan haram. Kedua, “yang dianggap makruh adalah perkumpulan
jamuan makan”, sedangkan tahlilan bukanlah kegiatan yang semata-mata untuk itu,
melainkan untuk merahmati mayyit, sehingga tidak bisa di dikatakan “jamuan
makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah jamuan makan”, sebab masing-masing
adalah satu hal. Ketiga, -seandainya memang yang dimaksud ulama adalah
tahlilan- itu hanya unsur tahlilan yang tidak mutlak, sebab tahlilan tidak harus
dilakukan di kediaman keluarga almarhum melainkan bisa juga dilakukan ditempat
yang lainnya, misalnya mushalla, masjid atau tempat-tempat lain. Adanya unsur
yang semisalnya diagggap memang kurang tepat bukan berarti harus “menggusur”
seluruhnya melainkan cukup unsur yang kurang tepat tersebut yang dibenahi.
Keempat, tahlilan bukan hanya dilakukan
pada pasca kematian melainkan kapan saja atau dengan menentukan waktu seperti
pada malam Jum’at demi mendapatkan keutamaan, disamping pada hari tersebut memang
dianjurkan untuk memperbanyak dzikir juga shalawat.
Oleh karena itu, akal yang sehat akan
mengatakan bahwa kegiatan berkumpul bukanlah sesuatu yang haram pada sendirinya
(muharram fi-nafsihi) sebaliknya merupakan hal yang biasa (lumrah)
dimanapun itu, baik di rumah, masjid, mushalla, perkantoran, sekolah dan
tempat-tempat lainnya. Hal itu mubah-mubah saja, apalagi jika kegiatan
berkumpul tersebut di isi dengan hal-hal kebajikan. Seperti itu juga tahlil,
didalamnya berisi amaliyah-amaliyah yang baik mulai dari kalimat thayyibah
hingga shalawat, apalagi bisa mempererat kasih sayang (shilaturahim) antar kaum
muslimin.
Segelintir orang ada juga yang secara
membabi buta mengharamkan tahlilan dengan menyamakan dengan niyahah (meratap).
Tentu saja, ini jelas-jelas kekeliruan yang fatal, sebab telah diketahui bahwa
pengertian niyahah adalah menyaringkan suara atau berteriak-teriak sambil
menyebut-nyebut kebaikan mayyit. Hal semacam ini diharamkan, karena
seolah-olah tidak ridla dengan takdir Allah Ta’alaa atas kematian si mayyit
atau menyesali kematian si mayyit dan bisa menyebabkan mayyit semakin tersiksa.
Namun, jika hanya menangis –berlinang air mata- maka itu tidak haram,
sebagaimana yang dituturkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah
|||
KEBOLEHAN MENANGISI MAYYIT |||
Namun, jika hanya menangis –berlinang air mata- maka itu tidak haram,
sebagaimana yang dituturkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah :
وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا
نياحة، فليس بحرام
“adapun
menangisi mayyit tanpa disertai nadb (menyebut-nyebut kebaikan mayyit) dan
tanpa niyahah (meratapi mayyit), maka itu tidak haram”. [1]
Imam asy-Syafi’i mengatakan sebagaimana disebutkan didalam Mukhtashar
al-Muzanni :
قال الشافعي - رحمه الله تعالى - : وأرخص
في البكاء بلا ندب ولا نياحة لما في النوح من تجديد الحزن ومنع الصبر وعظيم الإثم
“Imam
Syafi’i rahimahullah berkata : aku memberikan rukhshah dalam dalam menangis
tanpa disertai an-nadb dan niyahah, karena didalam niyahah mengandung unsur
memperbaharui kesedihan, mencegah kesabaran dan mengandung dosa yang besar”. [2]
Al-Imam al-‘Imrani didalam al-Bayan juga mengatakan :
وأما
البكاء من غير ندب، ولا نوح: فيجوز؛
“adapun
menangis tanpa disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit juga tanpa adanya
niyahah maka itu boleh”. [3]
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam pun pernah berlinang air mata,
ketika wafatnya putri beliau yang pada saat itu dibawa ke pangkuan Rasulullah.
Sa’ad (sahabat) pun bertanya : “air mata apa ini wahai Rasulullah ?.
Rasulullah pun menjawab :
هَذِهِ
رَحْمَةٌ جَعَلَها اللَّهُ تَعالى في قُلوبِ عِبَادِهِ، وإنمَا يَرْحَمُ اللَّهُ تَعالى مِنْ عِبادِهِ
الرُّحَماءَ
“Ini
(airmata) kasih sayang yang Allah Ta’alaa telah menjadikannya di setiap hati
hamba-Nya, sesungguhnya Allah Ta’alaa mengasihi hama-hamba-Nya yang penuh kasih
sayang”. [4]
Juga didalam Fathul Qarib karangan al-Imam Syamsuddin al-Ghazzi :
(ولا بأس بالبكاء
على الميت) أي يجوز البكاء عليه قبل الموت وبعده وتركه أولى ويكون البكاء عليه (من
غير نوح) أي رفع صوت بالندب
“tidak
apa-apa menangisi mayyit yaitu boleh menangisi mayyit sebelum maut juga
setelahnya, akan tetapi meninggalkan menangis setelahnya itu lebih utama, dan
tangisan tersebu tanpa disertai niyahah yaitu menyaringkan suara
(berteriak-teriak) dengan menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. [5]
Dengan memahami tentang niyahah diatas, maka akan diketahui bahwa tahlilan
(kenduri arwah) justru bertolak belakang dengan niyahah, sebab tahlilan adalah
kegiatan merahmati mayyit dengan berbagai dzikir untuknya sehingga akan
meringankan siksa atas dirinya, tentu saja ini sangat jauh dari unsur niyahah.
CATATAN KAKI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar