Kamis, 16 Februari 2017

Bilangan Shalat Tarawih

Bilangan Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah salah satu ibadah yang disunnahkan pada bulan Ramadhan. Dilaksanakan setelah shalat Isya’ sebanyak 20 rakaat dengan sepuluh salam (melakukan salam setiap dua rakaat), yang kemudian diiringi shalat witir tiga rakaat.
Ibnu Taimiyyah dan Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab menjelaskan:
“Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitab Fatawa-nya, “Telah terbukti bahwa sahabat Ubay bin Ka‘ab mengerjakan shalat Ramadhan bersama orang-orang waktu itu sebanyak dua puluh raka’at. Lalu mengerjakan witir tiga raka’at. Kemudian mayoritas ulama mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar, tapi tidak ada satupun di antara mereka yang menentang atau melarang perbuatan itu”. Dalam kitab Majmu’ Fatawi al-Najdiyah diterangkan tentang jawaban Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab mengenai bilangan raka’at shalat tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah sahabat Umar mengumpulkan orang untuk shalat berjama’ah kepada Ubay bin Ka’ab, maka shalat yang mereka kerjakan adalah dua puluh raka’at”. (Tashhih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, hal. 13-14).
Dari sisi lain, KH. Bisri Mustofa menyatakan bahwa secara esensial melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat itu berarti mengamalkan hadits Nabi J yang menjelaskan keutamaan serta anjuran mengikuti jejak sahabat Umar D. (Risalah Ijtihad dan Taqlid, hal. 15).
Tata cara ini didasarkan pada hadits:
عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه مالك في الموطاء، 233)
“Dari Yazid bin Ruman, ia berkata, “Orang-orang (kaum Muslimin) pada masa Umar melakukan shalat malam di bulan Ramadhan 23 raka’at (dua puluh tarawih dan tiga witir).” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, [233]).[1]
Kaitannya dengan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ J يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً (رواه البخاري، 1079)
“Dari Sayyidatuna Aisyah –radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah J tidak pernah menambah shalat malam pada bulan ramadhan atau bulan lain melebihi sebelas rakaat”. (HR. al-Bukhari, [1079]).
Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa hadits tersebut adalah dalilnya shalat witir, bukan dalil shalat tarawih. Sebab dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Nabi J melaksanakan shalat witir bilangan maksimal adalah sebelas rakaat. (Tuhfah al-Muhtaj, juz II, hal. 229).
Mengenai pelaksanaan tarawih dua rakaat dengan satu salam, hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi J tentang tata cara melaksanakan shalat malam. Nabi J bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ J عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ J صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (رواه البخاري، 936، ومسلم ، 1239 والترمذي، 401، والنسائي،1659، وأبو داود، 1130، وابن ماجه، 1165).
“Dari Ibnu Umar, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah J tentang shalat malam. Maka Nabi J menjawab, “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”. (HR. al-Bukhari [936], Muslim [1239], al-Tirmidzi [401], al-Nasa’i [1650], Abu Dawud [1130] dan Ibnu Majah [1165]).
Lalu bagaimana kaitannya dengan shalat tarawih yang dilakukan secara berjama’ah? Hal ini juga dibenarkan dan dihukumi sunnah. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ D لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (رواه البخاري، 1871)
“Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abd al-Qari, beliau berkata, “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin al-Khaththab D ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang-orang shalat tarawih sendiri-sendiri. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan berjama’ah”. Lalu Sayyidina Umar berkata, “Saya punya pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah dengan satu imam, niscaya itu lebih bagus”. Lalu beliau mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka‘ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjama’ah di belakang satu imam. ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini. (Shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (HR. al-Bukhari [1871]).




[1] “Hadits ini dishahihkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab beliau, al-Khulashah dan al-Majmu’, dan diakui oleh al-Zaila’i dalam kitabnya Nashb al-Rayah, Ibn al-‘Iraqi dalam kitabnya Tharh al-Tatsrib, al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qari, al-Suyuthi dalam kitabnya al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih, Ali al-Qari dalam kitabnya Syarh al-Muwaththa’ serta ulama-ulama yang lain”. Lihat Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Anshari, Tashhih Hadits Shalah al-Tarawih ‘Isyrina Rak’ah, hal. 7.

Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...