Madzhab
Secara bahasa madzhab berarti jalan. Dalam
pengertian istilah, KH Zainuddin Dimyathi mendefinisikan
madzhab sebagai berikut:
اَلْمَذْهَبُ
هُوَ اْلأَحْكَامُ فِيْ الْمَسَائِلِ الَّتِيْ ذَهَبَ وَاعْتَقَدَ وَاخْتَارَهَا اْلإِمَامُ الْمُجْتَهِدُ (الإذاعة المهمة فى بيان مذهب أهل السنة والجماعة: 18)
“Madzhab adalah hukum dalam berbagai
masalah yang diambil,
diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” (Al-Idza’ah al-Muhimmah, hal. 18).
Dari definisi ini
madzhab adalah hasil ijtihad para ulama untuk mengetahui hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang
lainnya. Oleh karena itu, membicarakan madzhab tidak akan lepas dari ijtihad.
Madzhab tidak terbentuk dari hukum yang
telah jelas (qath‘i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat
itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena
terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama.
Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para
pengikutnya.
Dalam sejarah Islam, madzhab fiqh yang
berkembang sangat banyak. Namun
yang diakui dan diamalkan oleh ulama golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah
hanya empat madzhab saja. Ada beberapa faktor yang melandasinya.
a.
Kualitas individu dan keilmuan mereka sudah
terkenal dan diakui oleh seluruh umat Islam.
b. Keempatnya merupakan
mujtahid mutlak mustaqil.
c.
Mempunyai murid yang secara konsisten
menulis dan mengajarkan madzhab imamnya. [1]
d. Di antara mereka
terdapat hubungan intelektual.[2]
Madzhab Qauli dan Manhaji
Para ulama memperkenalkan dua system
bermadzhab, yakni:
1. Madzhab qauli,
adalah mencari hukum suatu masalah dengan mengikuti hasil pendapat ulama yang
sudah terbukukan di dalam
beberapa kitab madzhab tersebut.
2. Madzhab manhaji, yakni memecahkan
problem hukum dengan berpedoman kepada metode istiqra’
(penelitian hukum) yang digunakan
dalam suatu madzhab.
Pada
perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus menerus berusaha untuk mengembangkan
sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan
perubahan tak mungkin dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan
kemasyarakatan, maka umat Islam
dituntut untuk dapat berkreasi dalam memecahkan
berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ‘baru’ guna membuktikan slogan الإسلام صالح لكل زمان ومكان .
Salah satu bentuknya adalah dengan
mengembangkan fiqh sosial sebagai upaya mengembangkan pola
bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermazhab metodologis
(madzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana digagas oleh Dr. KH. Sahal Mahfudh.
Mengutip hasil halaqah P3M, ada beberapa
ciri yang menonjol dalam fiqh Sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh
secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab
secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola
bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar,
dengan membedakan ajaran
yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi
filosofi, terutama dalam
masalah budaya dan sosial. (KH. Dr. Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003).
Namun demikian, usaha ini hanya bisa
dilakukan dalam persoalan sosial
kemasyarakatan (hablun min al-nas), tetapi tidak bisa masuk pada wilayah
hubungan seorang hamba kepada khaliq-nya (hablun minallah). Artinya, dalam
hubungan dengan sesama
manusia, kaum muslimin harus mampu membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat.
Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab yang dibutuhkan dalam
ibadah adalah kepatuhan seorang
hamba yang tunduk dan pasrah hanya menyembah kepada-Nya. Sebagaimana sebuah
kaidah yang diungkapkan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H/1388 M) dalam
al-Muwafaqat-nya:
اَْلاَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ بِالنِّسْبَةِ اِلىَ الْمُكَلَّفِ اَلتَّعَبُّدُ دُوْنَ اْلإِلْتِفَاتِ اِلَى الْمَعَانِى، وَاَصْلُ الْعَادَاتِ اَلاِلْتِفَاتُ اِلَى الْمَعَانِى (الشاطبي، الموافقات فى اصول الاحكام، 2/300)
“Asal dalam masalah ibadah adalah ta‘abbud,
tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan
maknanya (esensinya).” (Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal. 300).
Madzhab Imam al-Syafi’i
Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris
al-Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H,
bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam
al-Syafi‘i D adalah seorang mujtahid muthlaq
mustaqil.
Selain ahli dalam bidang fiqh, beliau juga
mahir dalam ilmu hadits dan akidah. Tentang keagungan
dan keistimewaan
Imam al-Syafi’i D, Dr. Wahbah al-Zuhaili –ulama fiqh
kontemporer berkebangsaan Syria-, menyatakan:
“Imam al-Syafi‘i D adalah seorang mujtahid mustaqil muthlaq,
imam dalam bidang fiqh dan hadits. Beliaulah yang mampu menggabungkan fiqh ulama Hijaz
(sekarang
wilayah Makkah dan Madinah) dan fiqh ulama Irak. Imam Ahmad bin Hanbal berkomentar, “Imam
Syafi‘i D
adalah orang yang
paling mengerti tentang kitab Allah dan Sunnah Rasulullah J”…(seterusnya)… Semua
ulama ahli fiqh, ushul, hadits, ahli bahasa serta ulama yang lain telah sepakat
bahwa Imam al-Syafi‘i adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wara’, bertaqwa,
pemurah, reputasinya baik serta mempunyai kedudukan
yang mulia.” (Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, juz I, hal 36).
Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan
oleh para pengikutnya, seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H/846 M),
Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/877 M), dan lainnya. Termasuk pengikut
madzhab al-Syafi’i adalah
Imam Bukhari (194-251 H/810-870 M). (Al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayani Asbab
al-Ikhtilaf, hal. 76).
Lebih jelas lagi Syaikh Musthafa Muhammad
‘Imarah mengatakan:
وَتَفَقَّهَ اَلْبُخَارِيُّ عَلَى مَذْهَبِ اْلإِمَامِ الشَّافِعِيِّ D. (جواهر
البخاري: 10)
“Dan Imam Bukhari itu belajar fiqh mengikuti madzhab Imam al-Syafi‘i D.“ (Jawahir al-Bukhari, hal. 10).
Apabila dianalogikan pada keahlian, maka
Imam Bukhari diibaratkan pakar bahan baku,
tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti
teori Imam al-Syafi’i D. Imam al-Syafi’i D, di samping ahli “bahan baku”, beliau juga ahli mengolah
“bahan baku” tersebut. Maka tidak heran apabila beliau menghasilkan produk
hukum yang diikuti oleh umat Islam, termasuk juga para pakar hadits.
Persoalan Talfiq
Secara bahasa, talfiq
berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar‘i adalah menggabungkan pendapat
seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorangpun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. (Al-Kurdi,
Tanwir al-Qulub, hal. 397).
Jelasnya, talfiq adalah melakukan
sesuatu perbuatan atas
dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:
a. Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam al-Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang
dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita
ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung
shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak
membatalkan wudhu. Perbuatan ini
disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam al-Syafi’i dan
Imam Hanafi dalam masalah wudhu, yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa
gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam al-Syafi’i membatalkan wudhu
seseorang yang menyentuh kulit lain
jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap
sebagian kepala.
b. Seseorang
berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut madzhab Imam
al-Syafi’i. Lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik
yang mengatakan bahwa anjing adalah suci.
Ketika dia shalat, maka kedua imam
tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam al-Syafi’i, menurut
Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam al-Syafi’i
termasuk najis mughallazhah (najis
yang berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap
sah shalat yang dilakukan.
Talfiq semacam ini dilarang dalam agama untuk menjaga kemurnian sebuah madzhab, dan agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari
yang gampang-gampang), tidak ‘memanjakan’
umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan
saja atau bahkan mempermainkan hukum agama.
Dari sinilah, maka talfiq tidak ditujukan untuk
melarang kebebasan bermadzhab atau pun untuk melestarikan
fanatisme pada satu madzhab saja. Tetapi dalam satu persoalan memilih salah satu madzhab yang empat secara utuh. Misalnya,
dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab al-Syafi’i. Untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi,
dan seterusnya
[1] Segolongan ulama
dari kalangan madzhab al-Syafi‘i D menjelaskan bahwa tidak boleh ber-taqlid kepada
selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur
periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan.
Berbeda dengan madzhab yang empat.
Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu
yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa
aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan,
distorsi pemahaman, serta mereka juga
mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if. (Lihat: Sayyid
Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 59).
[2] Imam Abu Hanifah bertemu Imam Malik ketika
menunaikan ibadah haji. Begitu pula Imam al-Syafi'i cukup
lama menjadi murid Imam Malik. Lihat: Aswaja an-Nahdliyyah, hal. 24-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar