Kamis, 16 Februari 2017

Madzhab

Madzhab
Secara bahasa madzhab berarti jalan. Dalam pengertian istilah, KH Zainuddin Dimyathi mendefinisikan madzhab sebagai berikut:
اَلْمَذْهَبُ هُوَ اْلأَحْكَامُ فِيْ الْمَسَائِلِ الَّتِيْ ذَهَبَ وَاعْتَقَدَ وَاخْتَارَهَا اْلإِمَامُ الْمُجْتَهِدُ (الإذاعة المهمة فى بيان مذهب أهل السنة والجماعة: 18)
“Madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” (Al-Idza’ah al-Muhimmah, hal. 18).
Dari definisi ini madzhab adalah hasil ijtihad para ulama untuk mengetahui hukum Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Oleh karena itu, membicarakan madzhab tidak akan lepas dari ijtihad.
Madzhab tidak terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath‘i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Dalam sejarah Islam, madzhab fiqh yang berkembang sangat banyak. Namun yang diakui dan diamalkan oleh ulama golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah hanya empat madzhab saja. Ada beberapa faktor yang melandasinya.
a.        Kualitas individu dan keilmuan mereka sudah terkenal dan diakui oleh seluruh umat Islam.
b.       Keempatnya merupakan mujtahid mutlak mustaqil.
c.        Mempunyai murid yang secara konsisten menulis dan mengajarkan madzhab imamnya. [1]
d.       Di antara mereka terdapat hubungan intelektual.[2]
Madzhab Qauli dan Manhaji
Para ulama memperkenalkan dua system bermadzhab, yakni:
1.       Madzhab qauli, adalah mencari hukum suatu masalah dengan mengikuti hasil pendapat ulama yang sudah terbukukan di dalam beberapa kitab madzhab tersebut.
2.        Madzhab manhaji, yakni memecahkan problem hukum dengan berpedoman kepada metode istiqra’ (penelitian hukum) yang digunakan dalam suatu madzhab.
 Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus menerus berusaha untuk mengembangkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tak mungkin dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam dituntut untuk dapat berkreasi dalam memecahkan berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ‘baru’ guna membuktikan slogan الإسلام صالح لكل زمان ومكان .
Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan fiqh sosial sebagai upaya mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermazhab metodologis (madzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana digagas oleh Dr. KH. Sahal Mahfudh.
Mengutip hasil halaqah P3M, ada beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh Sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH. Dr. Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003).
Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min al-nas), tetapi tidak bisa masuk pada wilayah hubungan seorang hamba kepada khaliq-nya (hablun minallah). Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus mampu membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah hanya menyembah kepada-Nya. Sebagaimana sebuah kaidah yang diungkapkan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat-nya:
اَْلاَصْلُ فِى الْعِبَادَةِ بِالنِّسْبَةِ اِلىَ الْمُكَلَّفِ اَلتَّعَبُّدُ دُوْنَ اْلإِلْتِفَاتِ اِلَى الْمَعَانِى، وَاَصْلُ الْعَادَاتِ اَلاِلْتِفَاتُ اِلَى الْمَعَانِى (الشاطبي، الموافقات فى اصول الاحكام، 2/300)
“Asal dalam masalah ibadah adalah ta‘abbud, tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal. 300).
Madzhab Imam al-Syafi’i 
Nama lengkap Imam al-Syafi’i  adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam al-Syafi‘i D adalah seorang mujtahid muthlaq mustaqil.
Selain ahli dalam bidang fiqh, beliau juga mahir dalam ilmu hadits dan akidah. Tentang keagungan dan keistimewaan Imam al-Syafi’i D, Dr. Wahbah al-Zuhaili –ulama fiqh kontemporer berkebangsaan Syria-, menyatakan:
“Imam al-Syafi‘i D adalah seorang mujtahid mustaqil muthlaq, imam dalam bidang fiqh dan hadits. Beliaulah yang mampu menggabungkan fiqh ulama Hijaz (sekarang wilayah Makkah dan Madinah) dan fiqh ulama Irak. Imam Ahmad bin Hanbal berkomentar, “Imam Syafi‘i D adalah orang yang paling mengerti tentang kitab Allah dan Sunnah Rasulullah J”…(seterusnya)… Semua ulama ahli fiqh, ushul, hadits, ahli bahasa serta ulama yang lain telah sepakat bahwa Imam al-Syafi‘i adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wara’, bertaqwa, pemurah, reputasinya baik serta mempunyai kedudukan yang mulia.” (Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz I, hal 36).
Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan oleh para pengikutnya, seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi (w. 231 H/846 M), Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Muzani (w. 264 H/877 M), dan lainnya. Termasuk pengikut madzhab al-Syafi’i adalah Imam Bukhari (194-251 H/810-870 M). (Al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf, hal. 76).
Lebih jelas lagi Syaikh Musthafa Muhammad ‘Imarah mengatakan:
وَتَفَقَّهَ اَلْبُخَارِيُّ عَلَى مَذْهَبِ اْلإِمَامِ الشَّافِعِيِّ D. (جواهر البخاري: 10)
“Dan Imam Bukhari itu belajar fiqh mengikuti madzhab Imam al-Syafi‘i D.“ (Jawahir al-Bukhari, hal. 10).
Apabila dianalogikan pada keahlian, maka Imam Bukhari diibaratkan pakar bahan baku, tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti teori Imam al-Syafi’i D. Imam al-Syafi’i D, di samping ahli “bahan baku”, beliau juga ahli mengolah “bahan baku” tersebut. Maka tidak heran apabila beliau menghasilkan produk hukum yang diikuti oleh umat Islam, termasuk juga para pakar hadits.
Persoalan Talfiq
Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara syar‘i adalah menggabungkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorangpun dari mereka yang membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. (Al-Kurdi, Tanwir al-Qulub, hal. 397).
Jelasnya, talfiq adalah melakukan sesuatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:
a.  Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam al-Syafi’i dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam al-Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu, yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam al-Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.
b.   Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut madzhab Imam al-Syafi’i. Lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam al-Syafi’i, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam al-Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Ketika menyentuh anjing lalu shalat, maka shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan.
Talfiq semacam ini dilarang dalam agama untuk menjaga kemurnian sebuah madzhab, dan agar tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang gampang-gampang), tidak ‘memanjakan’ umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan saja atau bahkan mempermainkan hukum agama.
Dari sinilah, maka talfiq tidak ditujukan untuk melarang kebebasan bermadzhab atau pun untuk melestarikan fanatisme pada satu madzhab saja. Tetapi dalam satu persoalan memilih salah satu madzhab yang empat secara utuh. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab al-Syafi’i. Untuk persoalan sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi, dan seterusnya



[1] Segolongan ulama dari kalangan madzhab al-Syafi‘i D menjelaskan bahwa tidak boleh ber-taqlid kepada selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat. Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if. (Lihat: Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 59).
[2] Imam Abu Hanifah bertemu Imam Malik ketika menunaikan ibadah haji. Begitu pula Imam al-Syafi'i cukup lama menjadi murid Imam Malik. Lihat: Aswaja an-Nahdliyyah, hal. 24-25.

Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...