Seputar Taqlid
Sebagaimana pembahasan lalu, bahwa ijtihad
hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah mencukupi syarat untuk
melakukannya. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut, mereka harus bertaqlid
kepada para imam mujtahid.[1]
Mengenai definisi
taqlid, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil
yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang
keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.[2]
(Al-Buthi, al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah
al-Islamiyyah, hal. 69).
Dari definisi ini dapat diketahui bahwa taqlid
itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun selama
pengetahuan mereka
hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan
seluk-beluk dalam menentukan suatu hukum, masih masuk dalam kategori seorang muqallid.
Karena itu dia masih wajib
bertaqlid. (Mathlab al-Iqazh fi al-Kalam ‘ala Syai’in min Ghurar al-Alfazh,
hal. 87).
Taqlid adalah sesuatu yang pasti dilakukan setiap
orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran
Islam. Seperti orang yang bersedekap di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbiratul
ihram, dia tentu
melakukannya walaupun masih belum meneliti dalilnya, apakah shahih ataukah
tidak.
Jika di kemudian hari dia tahu
argumentasinya, maka berarti dia telah keluar dari taqlid a‘ma (taqlid
buta) yang tercela itu. Namun demikian dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid,
karena tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail. Setidaknya, dalam cara mengambil suatu kesimpulan
hukum, ia masih mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu.
Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai
persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter,
misalnya, ketika memberikan resep obat
kepada pasiennya, tentu dia mengambilnya
dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli
produk perusahaan obat tertentu yang
bonafit. Begitu juga seorang guru geografi ketika menerangkan kepada
murid-muridnya bahwa bumi itu bulat,
dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya
sendiri.
Membebani ‘awam al-muslimin (masyarakat
kebanyakan) dengan ijtihad
sendiri-sendiri, jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap orang pada
bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda.
Sedangkan yang menekuni ilmu agama tidak banyak. Bagi yang “tidak
sempat” mempelajari ilmu agama, ia
harus bertanya dan mengikuti orang-orang yang paham tentang masalah agama.
Al-Qur’an sudah menyatakan agar ada
sekelompok orang yang menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga
mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَآفَّةً فَلَوْلاَنَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فىِ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ (التوبة: 122)
“Tidak seharusnya semua orang mukmin
berangkat ke medan perang. Mengapa tidak berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan
untuk mempelajari dengan mendalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan
(pelajaran) kepada kaumnya apabila
mereka sudah kembali. Mudah-mudahan mereka waspada.” (QS. al-Taubah: 122).
Sahabat Nabi J adalah orang-orang yang terpilih. Meskipun begitu,
kualitas keilmuan mereka tidak sama, dan tidak semua mereka menjadi mujtahid. Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian lain bertanya dan
mengikuti apa yang difatwakan sahabat yang
lain. Dan Rasulullah J mengutus beberapa sahabat ke berbagai
daerah untuk menyebarkan agama Islam serta menyelesaikan semua persoalan yang
terjadi, baik dalam bidang ibadah dan mu’amalat, sosial kemasyarakatan, menjelaskan
halal-haram dan semacamnya. Lalu
penduduk di daerah itu mengikuti apa yang difatwakan para sahabat tersebut.
Beberapa hujjah ini semakin
membuktikan bahwa taqlid merupakan sunnatullah
(hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya, ataupun diperjuangkan untuk dihapus. Apalagi sebenarnya, tidak semua taqlid itu tercela. Yang
tidak terpuji hanyalah taqlid buta (a‘ma) yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa
mengerti atau berusaha untuk mengetahui dalilnya, karena itu akan menggambarkan
keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam.
Sedangkan taqlid-nya orang alim yang
belum sampai pada tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik
daripada ‘memaksakan’ diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk
melakukannya.
Hanya saja, dalam bertaqlid ada beberapa
hal yang harus diperhatikan. Bahwa bertaqlid
haruslah kepada madzhab yang empat yang
dapat dijadikan pedoman (al-madzahib al-mu'tabarah). Sementara di sisi
yang lain, tidak diperkenankan
mencampuradukkan satu madzhab dengan
madzhab yang lain (talfiq).
[1] Dalam konteks
inilah kita harus memahami perkataan Imam
Ahmad kepada Imam Abu Dawud: “Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga
kepada Imam Malik, Imam al-Syafi’i, al-Awza’i, dan al-Tsauri. Tapi galilah dalil-dalil hukum itu sebagaimana yang
mereka lakukan.” (Al-Syaukani, al-Qawl al-Mufid, hal. 61). Beliau
mengatakan itu kepada Imam Abu Dawud yang mengarang Sunan Abi Dawud,
tidak kepada orang kebanyakan.
[2] Sebagian kalangan
ada yang membedakan antara taqlid dan ittiba’.
Namun sebenarnya tidak ada perbedaan dalam kedua kata itu. Bahkan kata ittiba’ tidak selalu berarti baik. Tidak
jarang di dalam al-Qur’an, ittiba’
ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Dan janganlah kamu
mengikuti (ittiba‘) langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan
musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. al-Baqarah, 168).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar