Kamis, 16 Februari 2017

Seputar Taqlid

Seputar Taqlid
Sebagaimana pembahasan lalu, bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah mencukupi syarat untuk melakukannya. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat tersebut, mereka harus bertaqlid kepada para imam mujtahid.[1]
Mengenai definisi taqlid, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.[2] (Al-Buthi, al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyyah, hal. 69).
Dari definisi ini dapat diketahui bahwa taqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun selama pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk-beluk dalam menentukan suatu hukum, masih masuk dalam kategori seorang muqallid. Karena itu dia masih wajib bertaqlid. (Mathlab al-Iqazh fi al-Kalam ‘ala Syai’in min Ghurar al-Alfazh, hal. 87).
Taqlid adalah sesuatu yang pasti dilakukan setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti orang yang bersedekap di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, dia tentu melakukannya walaupun masih belum meneliti dalilnya, apakah shahih ataukah tidak.
Jika di kemudian hari dia tahu argumentasinya, maka berarti dia telah keluar dari taqlid a‘ma (taqlid buta) yang tercela itu. Namun demikian dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid, karena tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail. Setidaknya, dalam cara mengambil suatu kesimpulan hukum, ia masih mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu.
Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambilnya dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat, dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri.
Membebani ‘awam al-muslimin (masyarakat kebanyakan) dengan ijtihad sendiri-sendiri, jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap orang pada bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda. Sedangkan yang menekuni ilmu agama tidak banyak. Bagi yang “tidak sempat” mempelajari ilmu agama, ia harus bertanya dan mengikuti orang-orang yang paham tentang masalah agama.
Al-Qur’an sudah menyatakan agar ada sekelompok orang yang menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَآفَّةً فَلَوْلاَنَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فىِ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ (التوبة: 122)
“Tidak seharusnya semua orang mukmin berangkat ke medan perang. Mengapa tidak berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan untuk mempelajari dengan mendalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan (pelajaran) kepada kaumnya apabila mereka sudah kembali. Mudah-mudahan mereka waspada.” (QS. al-Taubah: 122).
Sahabat Nabi J adalah orang-orang yang terpilih. Meskipun begitu, kualitas keilmuan mereka tidak sama, dan tidak semua mereka menjadi mujtahid. Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian lain bertanya dan mengikuti apa yang difatwakan sahabat yang lain. Dan Rasulullah J mengutus beberapa sahabat ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam serta menyelesaikan semua persoalan yang terjadi, baik dalam bidang ibadah dan mu’amalat, sosial kemasyarakatan, menjelaskan halal-haram dan semacamnya. Lalu penduduk di daerah itu mengikuti apa yang difatwakan para sahabat tersebut.
Beberapa hujjah ini semakin membuktikan bahwa taqlid merupakan sunnatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya, ataupun diperjuangkan untuk dihapus. Apalagi sebenarnya, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta (a‘ma) yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti atau berusaha untuk mengetahui dalilnya, karena itu akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam.
Sedangkan taqlid-nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada ‘memaksakan’ diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Hanya saja, dalam bertaqlid ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Bahwa bertaqlid haruslah kepada madzhab yang empat yang dapat dijadikan pedoman (al-madzahib al-mu'tabarah). Sementara di sisi yang lain, tidak diperkenankan mencampuradukkan satu madzhab dengan madzhab yang lain (talfiq).




[1] Dalam konteks inilah kita harus memahami perkataan Imam Ahmad kepada Imam Abu Dawud: “Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam al-Syafi’i, al-Awza’i, dan al-Tsauri. Tapi galilah dalil-dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan.” (Al-Syaukani, al-Qawl al-Mufid, hal. 61). Beliau mengatakan itu kepada Imam Abu Dawud yang mengarang Sunan Abi Dawud, tidak kepada orang kebanyakan.
[2] Sebagian kalangan ada yang membedakan antara taqlid dan ittiba’. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan dalam kedua kata itu. Bahkan kata ittiba’ tidak selalu berarti baik. Tidak jarang di dalam al-Qur’an, ittiba’ ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti (ittiba‘) langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. al-Baqarah, 168).

Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...