Kamis, 16 Februari 2017

Pengertian Ijtihad

Pengertian Ijtihad
Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) menjelaskan definisi ijtihad sebagai berikut:
اَلإِجْتِهَادُ بَذْلُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ (السيوطي، الكوكب الساطع: 2/479)
“Ijtihad adalah usaha seorang faqih (seorang ahli fiqh) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (persumtif).” (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz II, hal. 479).
Ijtihad adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan al-hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum (prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur’an, al-hadits, ijma’, qiyas serta dalil yang lainnya.
Proses ijtihad sudah ada sejak Rasulullah J masih hidup. Dalam sebuah hadits dinyatakan:
عَنْ مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَ لاَ آلُوْ. قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ T عَلَى صَدْرِهِ وَقَالَ اَلْحَمْدُ للهِ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ (رواه أحمد، 2000، وأبو داود 3119، والدارمي ، 168).
“Diriwayatkan dari Mu‘adz bin Jabal D bahwa pada saat Rasulullah J mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, “Bagaimana cara kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu sebuah masalah?” Dia menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah.” Nabi J bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitabullah?” Mu‘adz menjawab, “Maka dengan sunnah Rasulullah J.” Nabi J bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam sunnah ?” Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Lalu Mu‘adz berkata, “Maka Rasulullah J menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah diridhai Rasulullah J.” (HR. Ahmad [20000], Abu Dawud [3119) dan al-Darimi [168]).
Begitu pula saat ini. Proses ijtihad harus terus dilakukan karena persoalan kehidupan terus berkembang yang membutuhkan jawaban dari sisi agama. Dalam konteks inilah Imam al-Hafizh Taqiyyuddin Ibnu Daqiq al-‘Id al-Qusyairi (625-703 H/1235-1303 M) mengatakan:
لاَ يَخْلُو الْعَصْرُ عَنْ مُجْتَهِدٍ اِلاَّ اِذَا تَدَاعَى الزَّمَانُ وَقَرُبَتِ السَّاعَةُ (مجموعة سبعة كتب مفيدة: 67)
“Setiap masa tidak akan vakum dari seorang mujtahid, kecuali apabila zaman telah kacau atau kiamat telah dekat.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 67).
Hanya saja, karena sangat terkait dengan usaha mencari hukum Islam, maka ijtihad tidak bisa dilakukan serampangan. Ijtihad harus dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli dan telah memiliki syarat sebagai mujtahid. Sabda Nabi J:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ J يَقُوْلُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ (رواه البخاري ، 6805، ومسلم، 3240، والترمذي، 1248، وأبو داود، 3101، والنسائي، 5287، وأحمد، 17148).
“Diriwayatkan dari Amr bin al-‘Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah J bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika ia memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya).” (HR. al-Bukhari [6805], Muslim [3240], al-Tirmidzi [1248], Abu Dawud [3101], al-Nasa’i [5287] dan Ahmad [17148]).
Selain menegaskan legalitas ijtihad dalam Islam, hadits ini juga mengisyarakatkan kriteria orang yang dapat berijtihad (mujtahid), bahwa ia haruslah seorang hakim (ahli hukum). Prof. KH. Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa redaksi hadits tersebut menggunakan kata al-hakim (seorang ahli hukum), bukan kata al-rajul (seseorang secara umum). Hal ini menunjukkan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang ahli hukum. Dengan kata lain, jadilah ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, ‘berijtihad’ terlebih dahulu, baru menamakan dirinya ahli hukum. (Prof. KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hal. 162).[1]
Adapun syarat-syarat ijtihad adalah:
1.  Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. Yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk di dalamnya harus mengetahui asbab al-nuzul (latar belakang turunnya al-Qur‘an), nasikh-mansukh (ayat yang mengganti atau yang diganti), mujmal-mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-‘am wa al-khash (kalimat yang umum dan khusus), muhkam-mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
2.  Memiliki ilmu yang luas tentang hadits Nabi J, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti asbab al-wurud (latar belakang munculnya hadits) dan rijal al-hadits (sejarah para perawi hadits).
3.  Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (ijma’).
4.  Memahami qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum.
5.  Menguasai Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharf, balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum).
6.  Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-‘alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyat (tersier atau keindahan).
7.  Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.
8.  Mempunyai niat serta akidah yang benar. Dengan kata lain, tujuannya bukan mengejar dan mencari pangkat serta kedudukan duniawi. Namun niatnya murni karena Allah SWT, ingin mencari hukum demi kemaslahatan seluruh manusia. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh hal. 380-389).
Dari pencapaian pada syarat ini, juga didasarkan pada kualitas individu setiap mujtahid, maka muncullah tingkatan imam mujtahid, yakni:
1.   Mujtahid muthlaq/mustaqil, yaitu seseorang yang melakukan ijtihad dengan cara menciptakan sendiri kaidah istinbath (cara menggali) hukum. Masuk dalam kategori ini adalah imam madzhab yang empat, yakni Imam Abu Hanifah al-Nu‘man bin Tsabit (80 H-150 H/699-767 M) pendiri madzhab Hanafi, Imam Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/713-795 M) pendiri madzhab Maliki, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150–204 H/767-819 M) pendiri madzhab Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (164–241 H/781-855 M) pendiri madzhab Hanbali.
2.  Mujtahid muntasib, yakni seseorang yang melakukan penggalian hukum dengan menggunakan metode dan kaidah istinbath imamnya (mujtahid mutlaq). Seperti, Imam al-Muzani dan al-Buwaithi dari madzhab Syafi’i, Imam Muhammad bin al-Hasan (132-189 H/750-805 M) dan Imam Abu Yusuf (113-182 H/731-797 M) dari madzhab Hanafi. Golongan ini disebut pula dengan Mujtahid muthlaq ghair al-mustaqil (mujtahid mutlak yang tidak mandiri).
3.  Mujtahid muqayyad, yaitu orang yang menggali hukum dari persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya, seperti Imam al-Karkhi (w. 482 H/1089 M), al-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M), al-Bazdawi (w. 390 H/1004 M), Abi Ishaq al-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M) dan lain sebagainya.
4.  Mujtahid madzhab/fatwa, yaitu mujtahid yang mengikuti metode dan cara istinbath hukum imamnya, juga produk hukum dari imamnya. Dia hanya menyeleksi pendapat imamnya, mana yang shahih dan yang lemah. Misalnya, Imam al-Ghazali dan al-Juwaini dari madzhab Syafi’i.
5.  Mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang melakukan seleksi dalam madzhab tertentu, dengan memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau paling sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakatnya. Contoh mujtahid dalam tingkatan ini adalah Imam al-Rafi’i (557-623 H/1162-1226 M) dan Imam al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal, 30. dan Dr. al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, I, 47-48).




[1] Maka sungguh ironis, orang yang hanya bisa memahami al-Qur’an dan al-hadits dari terjemahannya, sedangkan dia tidak menguasai bahasa Arab dengan baik, sudah merasa mampu berijtihad. Padahal sebenarnya, tanpa disadari dia sedang ber-taqlid buta kepada penterjemah buku tersebut, karena tidak bisa mengoreksi dan mengkritisi hasil terjemahan tersebut, apakah benar ataukah salah? Lihat: Fiqh Tradisionalils, hal. 36.

Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...