Pengertian Ijtihad
Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman
bin Abi Bakar al-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) menjelaskan definisi ijtihad
sebagai berikut:
اَلإِجْتِهَادُ بَذْلُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنٍّ بِحُكْمٍ (السيوطي، الكوكب الساطع:
2/479)
“Ijtihad adalah usaha seorang faqih
(seorang ahli fiqh) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (persumtif).” (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz II, hal.
479).
Ijtihad adalah mencurahkan segala upaya
(daya pikir) secara maksimal untuk
menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan al-hadits dengan menggunakan
dalil-dalil umum (prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur’an,
al-hadits, ijma’, qiyas serta dalil yang lainnya.
Proses ijtihad sudah ada sejak Rasulullah J masih hidup. Dalam sebuah hadits dinyatakan:
عَنْ
مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَ لاَ آلُوْ. قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ T عَلَى
صَدْرِهِ وَقَالَ اَلْحَمْدُ للهِ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُوْلُ اللهِ (رواه أحمد، 2000، وأبو داود 3119، والدارمي ، 168).
“Diriwayatkan dari Mu‘adz bin Jabal D bahwa pada saat Rasulullah J mengutusnya ke negeri Yaman, beliau
bertanya, “Bagaimana
cara kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu sebuah masalah?” Dia menjawab,
“Saya memutuskan dengan Kitab
Allah.” Nabi J bertanya, “Jika kamu tidak
menemukan di dalam Kitabullah?” Mu‘adz menjawab, “Maka dengan sunnah Rasulullah
J.” Nabi J
bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam sunnah ?” Dia
menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Lalu Mu‘adz berkata,
“Maka Rasulullah J
menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah diridhai
Rasulullah J.” (HR. Ahmad [20000], Abu Dawud [3119) dan
al-Darimi [168]).
Begitu pula saat ini. Proses ijtihad harus
terus dilakukan karena persoalan kehidupan terus berkembang yang membutuhkan jawaban dari sisi agama. Dalam
konteks inilah Imam al-Hafizh Taqiyyuddin Ibnu Daqiq al-‘Id al-Qusyairi
(625-703 H/1235-1303 M) mengatakan:
لاَ يَخْلُو الْعَصْرُ عَنْ مُجْتَهِدٍ اِلاَّ اِذَا تَدَاعَى الزَّمَانُ وَقَرُبَتِ السَّاعَةُ
(مجموعة سبعة كتب مفيدة: 67)
“Setiap masa tidak akan vakum dari seorang
mujtahid, kecuali apabila zaman telah kacau atau kiamat telah dekat.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal.
67).
Hanya saja, karena sangat terkait dengan
usaha mencari hukum Islam, maka ijtihad tidak bisa
dilakukan serampangan. Ijtihad harus dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli dan telah memiliki syarat sebagai mujtahid.
Sabda Nabi J:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ J يَقُوْلُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ (رواه البخاري ، 6805، ومسلم، 3240، والترمذي،
1248، وأبو داود، 3101، والنسائي، 5287، وأحمد، 17148).
“Diriwayatkan dari Amr bin al-‘Ash, bahwa
dia mendengar Rasulullah J bersabda, “Apabila seorang hakim
memutuskan perkara
lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad
dan pahala kebenarannya). Jika ia memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan hasilnya salah,
maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya).” (HR. al-Bukhari [6805], Muslim [3240],
al-Tirmidzi [1248], Abu Dawud [3101], al-Nasa’i [5287] dan Ahmad [17148]).
Selain menegaskan legalitas ijtihad dalam
Islam, hadits ini juga mengisyarakatkan kriteria orang
yang dapat berijtihad (mujtahid), bahwa ia
haruslah seorang hakim (ahli hukum). Prof. KH. Saifuddin Zuhri
menjelaskan bahwa redaksi hadits tersebut menggunakan
kata al-hakim (seorang ahli hukum), bukan kata al-rajul (seseorang secara umum). Hal ini menunjukkan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang
ahli hukum. Dengan kata lain, jadilah
ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, ‘berijtihad’ terlebih dahulu, baru
menamakan dirinya ahli hukum. (Prof. KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia, hal.
162).[1]
Adapun syarat-syarat ijtihad adalah:
1. Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari
al-Qur’an. Yaitu harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum.
Termasuk di dalamnya harus mengetahui asbab al-nuzul (latar belakang
turunnya al-Qur‘an), nasikh-mansukh
(ayat yang mengganti atau yang diganti), mujmal-mubayyan (kalimat yang global dan yang parsial), al-‘am wa al-khash (kalimat yang umum
dan khusus), muhkam-mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
2. Memiliki ilmu yang luas tentang hadits Nabi J, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum, seperti asbab al-wurud (latar
belakang munculnya hadits) dan rijal al-hadits (sejarah para perawi
hadits).
3. Menguasai persoalan-persoalan yang telah
disepakati ulama (ijma’).
4. Memahami qiyas serta dapat menggunakannya
dalam usaha menghasilkan sebuah hukum.
5. Menguasai Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu nahwu, sharf, balaghah dan
lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara
memproduksi hukum).
6. Memahami serta menghayati tujuan utama pemberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan
hukum Islam adalah rahmah li al-‘alamin, yang terpusat pada usaha untuk
menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok), hajiyyat (sekunder atau
pelengkap), dan tahsiniyyat (tersier atau keindahan).
7. Mempunyai pemahaman serta metodologi yang
dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.
8. Mempunyai niat serta akidah yang benar. Dengan
kata lain, tujuannya bukan mengejar dan mencari pangkat serta kedudukan duniawi. Namun niatnya
murni karena Allah SWT, ingin
mencari hukum demi kemaslahatan seluruh manusia. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh hal. 380-389).
Dari pencapaian pada syarat ini, juga
didasarkan pada kualitas
individu setiap mujtahid, maka muncullah tingkatan imam mujtahid, yakni:
1. Mujtahid muthlaq/mustaqil, yaitu seseorang yang melakukan ijtihad dengan cara menciptakan sendiri kaidah istinbath (cara menggali) hukum. Masuk dalam kategori
ini adalah imam madzhab yang empat, yakni Imam Abu
Hanifah al-Nu‘man bin Tsabit (80 H-150 H/699-767 M)
pendiri madzhab Hanafi, Imam
Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/713-795 M) pendiri madzhab Maliki, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150–204
H/767-819 M) pendiri madzhab Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani
(164–241 H/781-855 M) pendiri madzhab Hanbali.
2. Mujtahid muntasib, yakni
seseorang yang melakukan penggalian hukum
dengan menggunakan metode dan kaidah istinbath
imamnya (mujtahid mutlaq). Seperti, Imam al-Muzani
dan al-Buwaithi dari madzhab Syafi’i, Imam Muhammad bin al-Hasan (132-189 H/750-805 M) dan Imam Abu Yusuf (113-182
H/731-797 M) dari madzhab Hanafi. Golongan ini disebut pula dengan Mujtahid muthlaq ghair al-mustaqil (mujtahid mutlak yang tidak mandiri).
3. Mujtahid muqayyad, yaitu orang yang menggali hukum dari
persoalan-persoalan yang belum pernah dibahas oleh imam mujtahidnya, seperti
Imam al-Karkhi (w. 482 H/1089 M), al-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M), al-Bazdawi (w.
390 H/1004 M), Abi Ishaq al-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M) dan lain sebagainya.
4. Mujtahid madzhab/fatwa, yaitu mujtahid yang mengikuti metode dan cara istinbath hukum
imamnya, juga produk hukum dari imamnya. Dia hanya menyeleksi
pendapat imamnya, mana yang shahih dan
yang lemah. Misalnya, Imam al-Ghazali dan al-Juwaini dari madzhab Syafi’i.
5. Mujtahid
murajjih, yaitu mujtahid yang
melakukan seleksi dalam madzhab tertentu, dengan memilih pendapat yang paling unggul dalilnya atau paling sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakatnya. Contoh
mujtahid dalam tingkatan ini
adalah Imam al-Rafi’i (557-623 H/1162-1226
M) dan Imam al-Nawawi dalam madzhab Syafi’i. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh, hal, 30. dan Dr. al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh, I, 47-48).
[1] Maka sungguh
ironis, orang yang hanya bisa memahami al-Qur’an
dan al-hadits dari terjemahannya, sedangkan dia tidak menguasai bahasa Arab dengan baik, sudah merasa
mampu berijtihad. Padahal sebenarnya,
tanpa disadari dia sedang ber-taqlid buta kepada penterjemah buku
tersebut, karena tidak bisa mengoreksi dan mengkritisi
hasil terjemahan tersebut, apakah benar ataukah salah? Lihat: Fiqh
Tradisionalils, hal. 36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar