Masalah Hadits Dha‘if
Secara umum hadits itu ada tiga macam. Pertama,
hadits shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang
yang adil, punya daya ingatan
yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan
hadits) yang bersambung kepada Rasulullah J, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi
aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik
dalam masalah hukum, akidah dan
lainnya. Kedua, hadits hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah hadits shahih,
karena para periwayat hadits ini
memiliki kualitas yang lebih rendah
dari para perawi hadits shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil
sebagaimana hadits shahih. Ketiga
hadits dha‘if, yakni hadits
yang bukan shahih dan juga bukan hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits,
atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi hadits hasan.
Hadits dha‘if ini terbagi menjadi
dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha‘if-annya. Hadits semacam ini disebut hadits
hasan li-ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai
dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya. Hal
ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan,
atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai
sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.
Dalam kategori yang kedua ini, para ulama
mengatakan bahwa hadits dha’if hanya dapat
diberlakukan dalam fadha’il al-a‘mal (yaitu masalah yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir, dan hukum). Bahkan ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa telah
terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang
kebolehan mengamalkan hadits dha‘if jika berkaitan dengan fadha’il
al-a‘mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat al-Qur’an, serta
akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits dha‘if tersebut tidak dapat
dijadikan pedoman. (Majmu’ Fatawi
wa Rasa’il, hal. 251).
Lebih jauh Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan:
اِنَّ ضَعِيْفَ الْحَدِيْثِ يُقَدَّمُ عَلَى رَأْيِ الرِّجَالِ (مجموع فتاوى ورسائل: 251)
“Sesungguhnya hadits
dha‘if itu didahulukan dari pada pendapat
seseorang.” (Majmu’ Fatawi wa
Rasa’il, hal. 251).
Namun begitu, kebolehan mengamalkan hadits dha’if
ini harus memenuhi tiga syarat:
1. Bukan
hadits yang sangat dha‘if.
2. Masih
sejalan dengan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal dalam agama Islam. Tidak menghalalkan
yang haram atau sebaliknya.
3. Tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut
berdasarkan hadits dha‘if,
tetapi dilaksanakan dalam rangka ihtiyath (berhati-hati dalam masalah
agama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar