Kamis, 16 Februari 2017

Sumber Hukum Islam

Sumber Hukum Islam
Dalam menyelesaikan persoalan hukum, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama, kemudian didukung dengan ijma’ dan qiyas. Empat dalil ini yang harus menjadi rujukan setiap Muslim dalam mengambil suatu keputusan hukum. Imam al-Syafi`i D dalam kitabnya al-Risalah menegaskan.
“Seseorang tidak boleh mengatakan ini halal atau ini haram, kecuali ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan mengetahui dalil itu didapat dari al-Qur’an, hadits, ijma’ atau qiyas.” (Imam al-Syafi’i, al-Risalah, hal. 36).
Pedoman ini dipetik dari firman Allah SWT:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللهَ وَاَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَاُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. وَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فىِ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِااللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء: 59)
“Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul serta Ulil-Amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. al-Nisa’: 59).
Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa, “Perintah untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulil-Amri, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulil--Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum Muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur’an dan hadits) dan ijma’.” (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 21).
Ketika memutuskan suatu persoalan hukum, empat dalil ini digunakan secara berurutan. Artinya, yang pertama kali harus dilihat adalah al-Qur’an. Kemudian meneliti hadits Nabi J. Jika tidak ada, maka melihat ijma’ ulama. Dan yang terakhir adalah menggunakan qiyas para fuqaha.
Hirarki (urutan) ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Imam Saifuddin Ali bin Muhammad al-Amidi (551-631 H/1156-1233 M) menjelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam bahwa yang asal dalam dalil syar’i adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah SWT sebagai musyarri’ (pembuat hukum). Sedangkan urutan kedua adalah sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelas dari firman dan hukum Allah SWT dalam al-Qur’an. Dan sesudah itu adalah ijma’, karena ijma’ selalu berpijak pada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Yang terakhir adalah qiyas, sebab proses qiyas selalu berpedoman pada nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan Ijma’. (Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, juz I, hal 208).
Dari sini dapat diketahui bahwa sumber hukum Islam tidak hanya terbatas pada al-Qur'an dan hadits. Masih ada ijma’ dan qiyas yang digunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam al-Qur'an dan hadits sebagai dalil utama.
Al-Qur'an
Al-Qur’an adalah:
اَللَّفْظُ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ J لِلإِعْجَازِ بِسُوْرَةٍ مِنْهُ اَلْمُتَعَبَّدِ بِتِلاَوَتِهِ (السيوطي، الكوكب الساطع، 1/69)
 “Al-Qur’an adalah lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad J sebagai mukjizat dengan satu surat saja, dan merupakan ibadah apabila membacanya”. (Al-Suyuthi, al-Kawkab al-Sathi’, juz I, hal 69).
Allah SWT menjamin bahwa al-Qur'an terjaga dari berbagai upaya tangan-tangan kotor yang ingin merubah untuk menyisipkan walau hanya satu huruf. Sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر: 9)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr: 9).
Secara keseluruhan al-Qur’an terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat dan terbagi dalam 30 juz. Hal tersebut telah diuji dengan menggunakan metode ilmiah oleh para ahli filologi (ahli tentang manuskrip) dunia. Dr Muhammad Mushthafa al-A’zhami mengutip keterangan dari Prof. Hamidullah:
Universitas Munich (Jerman) telah mendirikan dalam abad yang lalu sebuah Lembaga Penelitian al-Qur’an. Sesudah beberapa generasi, tatkala direkturnya yang sekarang, Prof. Pretzell datang ke Paris pada tahun 1933, beliau menceritakan pada saya bahwa mereka telah mengumpulkan empat puluh dua (42) ribu salinan al-Qur’an dari salinan yang berbeda, sebagian lengkap, sebagian lainnya berupa fragmen-fragmen, sebagian asli, kebanyakan foto-foto yang asli dari segala penjuru dunia. Pekerjaan secara terus menerus membandingkan setiap kata dari setiap salinan al-Qur’an itu untuk mengetahui apakah ada variasinya (perbedaannya). Tak lama sebelum Perang Dunia Kedua, sebuah laporan awal dan percobaan diterbitkan, sehingga tentu saja menyalin kekeliruan dalam naskah al-Qur’an, tetapi ternyata tidak terdapat variasinya (tidak ada yang berbeda). Selama perang berlangsung, lembaga ini kena bom dan semuanya binasa, direktur, personalia, dan perpustakaan. (Mukjizat al-Qur’an, hal. 57).
Sunnah
Sumber hukum Islam yang kedua adalah al-Sunnah, yakni:
مَااُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ J مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْر (المنهل اللطيف في اصول الحديث الشريف: 51)
“Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi J, baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi J”. (Al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hal. 51).
Sunnah terbagi menjadi tiga.
1.    Sunnah Qawliyyah. Yakni semua ucapan Nabi J yang menerangkan tentang suatu hukum, seperti perintah Nabi J untuk berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan (ru’yah).
2.    Sunnah Fi‘liyyah. Yaitu semua perbuatan Nabi J yang terkait dengan hukum, seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan.
3.    Sunnah Taqririyyah. Yaitu pengakuan Nabi J atas apa yang diperbuat oleh para sahabat, seperti pengakuan Nabi J pada seorang sahabat yang bertayammum karena tidak ada air. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal. 105).
Kitab-kitab yang mencatat al-Sunnah itu banyak sekali. Namun tidak semua dapat dijadikan pedoman dan standar. Karena itulah para ulama membagi kitab-kitab hadits pada tiga tingkatan besar.
1.     Kitab-kitab yang hanya memuat hadits mutawatir, hadits shahih yang ahad (tidak sampai pada tingkatan mutawatir, karena diriwayatkan oleh sedikit orang), serta hadits hasan. Misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik.
2.    Kitab-kitab yang muatan haditsnya tidak sampai pada tingkatan pertama. Yaitu kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang diyakini tidak mudah memasukkan sembarang hadits dalam kitab-kitab mereka, namun masih ada kemungkinan hadits yang mereka tulis masuk pada kategori dha’if. Misalnya adalah Jami’ al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Mujtaba al-Nasa’i.
3.     Kitab hadits yang banyak memuat hadits dha‘if, namun kebanyakan para perawinya tidak diketahui keadaannya, apakah tergolong fasiq atau tidak. Contoh untuk golongan ketiga ini adalah Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad al-Thayalisi, Musnad ‘Abd bin Humaid, Sunan al-Baihaqi, al-Thabarani, al-Thahawi dan Mushannaf ‘Abdurrazaq.
4.    Kitab-kitab yang banyak mengandung hadits dha‘if, seperti kitab hadits karya Ibn Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dan lain-lain. Jenis keempat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena kebanyakan sumber mereka adalah orang-orang yang kurang dapat dipercaya, karena selalu mengedepankan hawa nafsunya. (Dr. Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, hal. 116-117).
Salah satu keistimewaan hadits Nabi J adalah bahwa hadits Nabi J telah dilengkapi dengan berbagai macam ilmu untuk menjaga kemurniannya. Para ulama salaf yang telah memberikan pagar-pagar beton yang kokoh dan tak mungkin bisa dijebol oleh siapapun juga untuk menjaga kemurnian hadits nabi. Al-Sunnah telah dilengkapi dengan berbagai perangkat ilmu seperti musthalah al-hadits, ‘ulum al-rijal, al-jarh wa al-ta’dil, ‘ulum naqd al-matn dan sebagainya.
Oleh karena itu betapapun banyak upaya untuk melemahkan keimanan umat Islam pada sunnah Nabi J, tetapi usaha tersebut tidak menampakkan hasil bahkan menuai kegagalan. [1]
Ijma’
Ijma’ adalah:
اَمَّا اْلإِجْمَاعُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ عُلَمَاءِ اَهْلِ الْعَصْرِ عَلَى حُكْمِ الْحَادِثَة (الورقات في أصول الفقه: 44)
“Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu.” (Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, hal. 44).
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dalam kitab Tanqih al-Fushul Fi al-Ushul (hal. 82), dalil lain yang menunjukkan keberadaan ijma’ dalam hukum Islam adalah firman Allah SWT
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء: 115)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. al-Nisa’: 115).
Contoh ijma’ adalah kesepakatan para sahabat tentang adzan dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh di bulan Ramadhan dan semacamnya.
Para ulama membagi ijma’ menjadi dua macam, yakni:
1.       Ijma’ sharih. Terjadi ketika para imam mujtahid menyampaikan pendapatnya. Dan ternyata pendapat mereka sama.
2.       Ijma’ sukuti. Yakni ketika sebagian mujtahid menyampaikan hasil ijtihad, tetapi yang lain diam, dan tidak menyampaikan pendapatnya. Dalam hal ini diam berarti setuju. (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hal. 23).
Qiyas
Al-Imam Ibnu al-Hajib al-Maliki (570-646 H/1174-1249 M) menjelaskan definisi qiyas, sebagai berikut:
قَالَ اِبْنُ الْحَاجِبٍ: هُوَ مُسَاوَاةُ الْفَرْعِ اْلأَصْلَ فِي عِلَّةِ حُكْمِه (الخضري بك، اصول الفقه: 289)
“Ibnu al-Hajib mengatakan, “Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (far‘) kepada asal karena ada (kesamaan) illat (sebab) hukumnya.” (Al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, hal. 289).
Dalam kitab Tanqih al-Fushul fi al-Ushul (hal. 89), dijelaskan bahwa dalil qiyas adalah firman Allah SWT:
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي اْلأَبْصَارِ (الحشر: 2)
 “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. al-Hasyr: 2).
Contoh qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan Jum’at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan perintah untuk meninggalkan jual-beli pada saat-saat tersebut, yang secara langsung dinyatakan dalam al-Qur’an, yakni firman Allah SWT:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْ إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوْا الْبَيْعَ (الجمعة: 9)
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari jum‘at, maka bergegaslah kamu untuk dzikir kepada Allah (mengerjakan shalat jum‘at) dan tingggalkanlah jual-beli.” (QS. al-Jumu‘ah: 9).
Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa slogan sebagian kelompok “kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah”, adalah sekedar klaim dari pengusung slogan tersebut agar mereka tampak sebagai kelompok yang paling islami. Padahal kenyataannya madzhab yang empat dan para pengikutnya juga menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum utama. Baru ketika tidak ditemukan nash secara tersurat maka digunakan ijma’, qiyas dan metode istinbat yang lain. [2]
Kalau kita terpaku hanya kepada teks al-Qur’an ataupun as-Sunnah saja kita tidak akan menemukan teks yang secara jelas menetapkan keharaman narkoba. Maka kemungkaran akan semakin merajalela. Jadi disamping menggunakan al-Qur’an ataupun as-Sunnah sebagai sumber hukum utama, kita juga harus menggunakan sumber-sumber yang lain seperti ijma’, qiyas, dan lain sebagainya.



[1] Ketika Goldziher dalam bukunya yang berbahasa Jerman Muhammedanische Studien mencoba mengacak teori ilmu hadits yang sudah baku, maka kemudian hadirlah Dr. Muhammad Mushthafa al-A’zhami, dengan sebuah disertasinya untuk membela kebenaran hadits secara ilmiyah, yang berjudul Dirasah fi al-Hadits al-Nabawi Wa Tarikh Tadwinihi, yang dipertahankan di hadapan para pakar ilmu ke-Islaman orientalis di Universitas Cambridge pada tahun 1966, di antaranya Prof. A.J. Arberry dan lulus dengan predikat sangat memuaskan (Cum Laude). Dengan demikian runtuhlah upaya Goldziher dan para koleganya tersebut. Lebih jelas lihat, Muqaddimah Dirasah fi al-Hadits al-Nabawi Wa Tarikh Tadwinihi.
[2] Dalam keharaman narkoba misalnya kita harus menggunakan metode qiyas (analogi) agar sampai pada kesimpulan bahwa narkoba itu haram dengan cara menemukan kesamaan illat (penyebab) keharaman khamer dan narkoba bahwa keduanya sama-sama memabukkan. 

Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...