Kamis, 16 Februari 2017

Pemahaman Bid’ah

Pemahaman Bid’ah
Al-Imam Sulthanul Ulama Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M) mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِى عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ J. (قواعد الأحكام فى مصالح الأنام: جزء 2 ص 172)
“Bid‘ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah J”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz II, hal. 172).
Cakupan bid’ah itu sangat luas sekali, meliputi semua perbuatan yang tidak pernah ada pada masa Nabi J. Oleh karena itulah sebagian besar ulama membagi bid’ah menjadi lima macam:
1)  Bid‘ah wajibah, yakni bid‘ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu nahwu, sharaf, balaghah dan lain-lain. Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadits Nabi J secara sempurna.
2)  Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’, seperti bid’ah paham Jabariyyah, Qadariyah dan Murji’ah.
3)  Bid‘ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak                 pernah dilakukan pada masa Rasulullah J, misalnya, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh, mendirikan madrasah dan pesantren.
4)  Bid‘ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
5)  Bid‘ah Mubahah, seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. (Qawa‘id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz, I hal, 173 ).
Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni
1.       Bid’ah Hasanah. Yakni perbuatan baru yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dalam keadaan tertentu sangat dianjurkan. Masuk kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah dan mubahah.[1] Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina Umar bin al-Khatthab D tentang berjama’ah dalam shalat tarawih yang beliau laksanakan:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ . (رواه البخاري: 1871، ومالك في الموطأ: 231)
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah).” (HR. al-Bukhari [1871] dan Malik dalam al-Muwaththa’ [231] ).
2.      Bid’ah Sayyi’ah. Yakni perbuatan baru yang secara nyata bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini adalah bid’ah muharramah dan makruhah. Inilah yang dimaksud sabda Nabi J:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم: 243)
“Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah J bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak.” [2] (HR. Muslim, [243])
Pembagian ini juga didasarkan pada sabda Nabi J:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ J مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء (رواه مسلم ، 4830)
“Dari Jarir bin Abdillah, Rasulullah J bersabda, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barangsiapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.(HR. Muslim, [4830]).
Dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan).
2. Hadits tentang Semua Bid’ah adalah Sesat
Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi J:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J قَالَ، اَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه، 45)
“Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah J bersabda, “Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan ajaran syara’). Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ibn Majah [45])
Dalam hadits ini, Nabi J menggunakan kata kullu, yang secara tekstual diartikan seluruh atau semua. Sebenarnya, kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian, seperti firman Allah SWT:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ) الأنبياء: 30)
“Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air.” (QS. al-Anbiya’: 30).
Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah SWT:
وَخَلَقَ الْجَآنَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ (الرحمن: 15)
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala.” (QS. al-Rahman: 15).
Contoh lain adalah firman Allah SWT:
وَكَانَ وَرَاءَ هُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا (الكهف: 79)
“Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu.” (QS. al-Kahfi: 79).
Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Khidhir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khidhir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khidhir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi sebagian saja.
Demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah J masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan al-Qur’an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan penuh di bulan Ramadhan, penambahan bacaan dzikir dalam ibadah shalat, penambahan bacaan dalam talbiyah ketika menunaikan ibadah haji dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah J.
Kalau kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dan diridhai Allah SWT. Bahkan di antara mereka mendapat jaminan sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi J tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu.
Ini sebagai bukti nyata bahwa kata kullu yang ada pada hadits itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang hanya bid’ah yang secara nyata akan merusak ajaran agama Islam.[]





[1] Contoh, bid‘ah hasanah adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dimulai dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi nama pengajian dengan istilah kuliah shubuh, pengajian Ahad Ceria atau titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta`ala (yang diringkas menjadi SWT) setiap ada kalimat Allah, dan T (yang diringkas SAW) setiap ada kata Muhammad, serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah T, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran agama Islam. (Lihat: Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, hal 31-32)
[2] Imam al-Syafi‘i D yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari menjelaskan bahwa “Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi J, atsar sahabat atau ijma’ ulama. Ini disebut dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan kedua, jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, Sunnah dan ijma‘), maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela.” (Lihat: Fath al-Bari, juz XVII, hal. 10.)

Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...