Pemahaman Bid’ah
Al-Imam Sulthanul Ulama Abu Muhammad
Izzuddin bin Abdissalam
(577-660 H/1181-1262 M) mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِى عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ J. (قواعد الأحكام فى مصالح الأنام: جزء 2 ص 172)
“Bid‘ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak
pernah dikenal (terjadi) pada masa
Rasulullah J”. (Qawa’id
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz II, hal. 172).
Cakupan bid’ah itu
sangat luas sekali, meliputi semua perbuatan yang tidak pernah ada pada masa Nabi J. Oleh karena itulah sebagian
besar ulama membagi bid’ah menjadi lima macam:
1) Bid‘ah wajibah, yakni
bid‘ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’.
Seperti mempelajari ilmu nahwu,
sharaf, balaghah dan lain-lain. Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah
seseorang dapat memahami al-Qur’an
dan hadits Nabi J secara sempurna.
2) Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang
bertentangan dengan syara’, seperti
bid’ah paham Jabariyyah, Qadariyah dan Murji’ah.
3) Bid‘ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah
dilakukan pada masa Rasulullah J, misalnya, shalat tarawih secara berjama’ah sebulan
penuh, mendirikan madrasah dan pesantren.
4) Bid‘ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
5) Bid‘ah Mubahah, seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. (Qawa‘id
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz, I hal, 173 ).
Lima macam bid’ah ini bisa dikelompokkan
menjadi dua bagian, yakni
1. Bid’ah Hasanah. Yakni perbuatan baru yang baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan dalam keadaan tertentu sangat dianjurkan.
Masuk kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah dan mubahah.[1]
Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina Umar bin al-Khatthab D tentang berjama’ah
dalam shalat tarawih yang beliau laksanakan:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ . (رواه البخاري:
1871، ومالك في الموطأ:
231)
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni
shalat tarawih dengan berjama’ah).” (HR. al-Bukhari [1871] dan Malik dalam al-Muwaththa’
[231] ).
2.
Bid’ah Sayyi’ah. Yakni perbuatan baru yang secara nyata
bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini adalah bid’ah muharramah
dan makruhah. Inilah yang dimaksud sabda Nabi J:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم: 243)
“Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia
berkata, “Sesungguhnya Rasulullah J bersabda,
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami
atasnya, maka amal itu ditolak.” [2] (HR. Muslim, [243])
Pembagian ini juga didasarkan pada sabda
Nabi J:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ J مَنْ سَنَّ فِي
اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء (رواه مسلم ، 4830)
“Dari Jarir bin Abdillah, Rasulullah J bersabda, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah
hasanah) dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan
tersebut serta pahala dari
orang-orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barangsiapa yang merintis sunnah jelek (sunnah
sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa orang
setelahnya yang meniru perbuatan
tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.(HR. Muslim, [4830]).
Dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah
itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan
adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan
sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliah yang akan menambah
syi’ar dan daya tarik agama Islam
tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang
makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan
tempat (shalih li kulli zaman wa makan).
2. Hadits tentang Semua Bid’ah adalah
Sesat
Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi J:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ، أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ J قَالَ، اَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه، 45)
“Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya
Rasulullah J
bersabda, “Ingatlah,
berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan
ajaran syara’). Karena perkara yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang
baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ibn Majah [45])
Dalam hadits ini, Nabi J menggunakan kata kullu,
yang secara
tekstual diartikan seluruh atau semua. Sebenarnya, kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan
atau semua, namun adakalanya berarti sebagian,
seperti firman Allah SWT:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ)
الأنبياء: 30)
“Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup
itu dari air.”
(QS. al-Anbiya’: 30).
Walaupun ayat ini menggunakan kata kullu,
namun tidak berarti semua
benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah SWT:
وَخَلَقَ الْجَآنَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ (الرحمن: 15)
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari
percikan api yang menyala.” (QS. al-Rahman: 15).
Contoh lain adalah firman Allah SWT:
وَكَانَ وَرَاءَ هُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا (الكهف: 79)
“Karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap perahu.” (QS. al-Kahfi: 79).
Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi
Musa AS dan Nabi Khidhir AS
ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil.
Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi
Khidhir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khidhir AS
tidak akan merusak
bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua perahu
dirampas oleh raja tersebut. Juga
menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan,
tapi sebagian saja.
Demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan
berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah
saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan
perbuatan serta membuat kebijakan
yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah
J masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan al-Qur’an, menambah jumlah adzan
menjadi dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih
secara berjama’ah
sebulan penuh di bulan Ramadhan, penambahan bacaan dzikir dalam ibadah shalat,
penambahan bacaan dalam talbiyah ketika menunaikan ibadah haji dan masih banyak
lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa
Rasulullah J.
Kalau kullu pada hadits itu
diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat
telah melakukan dosa kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah
orang-orang yang beriman dan diridhai Allah SWT. Bahkan di
antara mereka mendapat jaminan
sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi J tidak mengetahui,
apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu.
Ini sebagai bukti nyata bahwa kata kullu
yang ada pada
hadits itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah
dilarang. Yang dilarang hanya bid’ah yang secara nyata akan merusak ajaran
agama Islam.[]
[1] Contoh, bid‘ah hasanah adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
membuka suatu acara dimulai dengan membaca basmalah di bawah seorang
komando, memberi nama pengajian
dengan istilah kuliah shubuh,
pengajian Ahad Ceria atau titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta`ala (yang diringkas menjadi SWT) setiap
ada kalimat Allah, dan T (yang diringkas SAW) setiap
ada kata Muhammad, serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada
pada masa Rasulullah T, namun tidak bertentangan
dengan inti ajaran agama Islam. (Lihat: Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis,
hal 31-32)
[2] Imam al-Syafi‘i D yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari menjelaskan bahwa “Sesuatu
yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an,
Sunnah Nabi J, atsar sahabat atau ijma’ ulama. Ini disebut dengan bid’ah
dhalal (sesat). Dan kedua, jika sesuatu
yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun
dari hal itu (al-Qur’an, Sunnah dan ijma‘), maka perbuatan tersebut tergolong
perbuatan baru yang tidak dicela.” (Lihat: Fath al-Bari, juz
XVII, hal. 10.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar