Perumus Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam
Bidang Akidah
Sebagaimana penjelasan yang telah lalu, bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah merupakan Islam murni yang langsung dari Rasulullah T kemudian diteruskan oleh para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada
seorang pun yang menjadi pendiri
ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Yang ada hanyalah ulama yang telah merumuskan
kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran
Rasulullah T dan para sahabatnya yang murni itu.
Dalam hal ini, ulama yang merumuskan
gerakan kembali kepada
ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Mengutip dari
Imam Thasy Kubri Zadah (901-968
H/1491-1560 M), Dr. Fathullah Khulayf dalam pengantar Kitab al-Tauhid karangan
Imam al-Maturidi
mengatakan, “Bahwa pelopor gerakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, khususnya dalam ilmu kalam adalah dua
orang. Satu orang bermadzhab
al-Hanafi, sedang yang lain dari golongan Madzhab al-Syafi’i. Seorang yang
bermadzhab al-Hanafi itu adalah Abu Manshur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan
yang dari golongan Madzhab al-Syafi’i
adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin
masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi T dan agama Islam,
pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari
al-Bashri.” (Kitab al-Tauhid, hal. 7).
Nama lengkap Imam al-Asy’ari adalah Abu
al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H/874 M dan
wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi T yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan salah seorang tokoh Mu’tazilah
yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w. 304
H/916 M).
Awalnya Imam
al-Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah. Namun setelah beliau mendalami ajaran Mu’tazilah, terungkaplah bahwa ada banyak
celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Karena itu beliau
meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan kembali kepada ajaran Islam yang murni,
sesuai dengan tuntunan Rasul T dan teladan para
sahabatnya.
Pengikut beliau
berasal dari berbagai kalangan. Para muhadditsin (ahli hadits), fuqaha’ (ahli fiqh)
serta para ulama
dari berbagai disiplin ilmu ikut mendukung serta menjadi pengikut Imam
al-Asy’ari.
Di antara para ulama yang mengikuti ajaran
beliau dalam bidang akidah adalah al-Hafizh al-Baihaqi
(384-458 H/994-1066 M) pengarang al-Sunan
al-Kubra dan lain-lain, al-Hafizh Abu Nu’aim (336-430 H/948-1038 M)
pengarang Hilyah al-Auliya’, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) pengarang Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khaththabi (319-388 H/932-998 M)
pengarang Ma’alim al-Sunan,
al-Hafizh Ibnu al-Sam’ani (506-562 H/1112-1167
M), al-Hafizh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (499-571
H/1102-1176 M) pengarang Tarikh Dimasyq dan Tabyin
Kidzb al-Muftari, Imam al-Nawawi
(631-676 H/1234-1277 M) pengarang Riyadh al- Shalihin, al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalani (793-852
H/1391-1448 M) penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari serta
kitab Bulugh al-Maram, Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) pengarang Tafsir
al-Qurthubi, Imam Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1566 M)
pengarang kitab al-Zawajir, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (826-925 H/1423-1520 M) pengarang
kitab Fath al-Wahhab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya.
Sedangkan dari
kalangan ahli tashawwuf terkenal yang menjadi pengikut akidah al-Asy’ari adalah Abu al-Qasim
Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (376-465 H/987-1075 M) pengarang al-Risalah
al-Qusyairiyyah, dan Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M). (Al-Hafizh
Ibnu Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 291).
Bahkan para habib yang merupakan keturunan Rasulullah T
sejak dahulu sampai sekarang juga mengikuti akidah Imam al-Asy’ari. Sebagaimana diakui
oleh seorang sufi kenamaan yang bergelar lisan
al-‘alawiyyin, yakni penyambung lidah habaib,
al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad
(1044-1132 H/1635-1720 M). (Uqud al-Almas, hal. 89)
Imam al-Asy’ari tidak hanya meninggalkan ajaran melalui
murid-murid beliau yang sampai kepada kita. Tetapi
beliau juga meninggalkan sekian banyak karangan. Di antara karangan beliau yang sampai kepada kita adalah kitab al-Luma’ fi al-Raddi ‘ala Ahl al-Zayghi
wa al-Bida’, Risalah Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam dan lain-lain.
Tokoh Ahlussunnah
Wal-Jama’ah yang kedua adalah Imam
al-Maturidi. Nama beliau adalah Abu Manshur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid,
dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944 M.
Beliau adalah seorang
yang menganut madzhab Imam Abu Hanifah. Maka wajar, jika kebanyakan ajaran yang beliau usung masih
merupakan bagian dari madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan pijakan Imam al-Maturidi adalah pendapat-pendapat
Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Muhammad
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, juz I, hal. 173).
Murid-murid beliau
yang terkenal ada empat orang, yakni Abu al-Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail
(w. 340 H/951 M) yang terkenal sebagai Hakim Samarkand. Lalu Imam Abu al-Hasan
Ali bin Sa’id al-Rastaghfani. Kemudian Imam Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa al-Bazdawi (w. 390
H//1004 M). Dan yang terakhir adalah Imam
Abu al-Laits al-Bukhari (w. 373 H/983 M). Di antara tulisan Imam al-Maturidi yang sampai
kepada kita adalah kitab al-Tauhid yang di-tahqiq (diedit) oleh
Dr Fathullah Khulayf dan kitab Ta’wilat Ahlussunnah. [1]
Usaha serta perjuangan dua imam ini dan para
muridnya telah berhasil mengokohkan keimanan kita dan membuktikannya secara rasional tentang adanya Tuhan,
kenabian, mukjizat, hari akhir, kehujjahan al-Qur’an
dan as-Sunnah, dan lain-lain dari golongan yang mengingkarinya. Sehingga ulama lain seperti para fuqaha (ahli
fiqh) dan muhadditsin tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama. ( Imam al-Ghazali al-Mustashfa,
hal. 10-12)
5. Wali Songo Penyebar Aswaja di Indonesia
Sebuah realitas yang tidak terbantahkan
bahwa mayoritas umat Islam Indonesia sejak dulu hingga sekarang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah,
dengan mengikuti madzhab al-Syafi’i dalam bidang fiqh. Sudah barang tentu mereka mendapatkan faham tersebut dari ulama dan
para dai yang mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika
orang yang menyebarkan agama Islam tidak menganut faham Aswaja sementara yang diajak adalah penganut setia faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Di sisi lain, semua sepakat bahwa dai yang
menyebarkan agama Islam ke Nusantara khususnya di pulau
Jawa adalah Wali Songo. Karena itu dapat dikatakan
bahwa Wali Songo
adalah penganut ASWAJA, kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk ke Indonesia dan
merubah faham keagamaan yang telah
berkembang terlebih dahulu.
Mengenai para sunan itu, Prof. KH.
Abdullah bin Nuh mengatakan bahwa kata sunan adalah sebutan mulia yang
diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh dai Islam di Jawa. Nasab mereka
bersambung sampai kepada Imam Ahmad al-Muhajir.[2]
Dan berdasarkan apa yang diajarkan oleh mereka, dapat dipahami bahwa mereka semua adalah ulama pengikut madzhab
al-Syafi’i dan sunni dalam dasar dan akidah keagamaannya. Mereka
kemudian lebih terkenal dengan
sebutan “Wali Songo.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 174).
Ada beberapa bukti bahwa Wali Songo
termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh menjelaskan:
“Jika kita mempelajari perimbon, yakni
kumpulan ilmu dan rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), maka di sana
kita akan mendapatkan banyak nama dan kitab yang
menjadi referensi utama
para dai sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana juga memuat masalah akidah dan
fiqh dengan
susunan yang bagus sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wa-Jama’ah dan madzhab Imam
al-Syafi’i Z … Dari sini, menjadi jelas bahwa para
dai yang sangat terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar Wali Songo itu termasuk tokoh utama dalam
penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 182).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986 M). Ia menjelaskan
beberapa tokoh yang menyebarkan madzhab al-Syafi’i di
Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Yakni Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Giri dan lainnya. Bahkan Sunan Giri merupakan lambang pemersatu bangsa
Indonesia yang dirintis sejak abad 15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai
pemersatu Nusantara melalui kekuatan politik dan militernya, maka Sunan Giri menjadi pemersatu melalui ilmu dan
pengembangan pendidikannya. (Sejarah
Kebangkitan Islam, hal. 286-287).
Bukti lain yang menegaskan bahwa Wali Songo
penganut faham Aswaja adalah
ritual keagamaan yang dilaksanakan secara turun temurun, tanpa ada perubahan,
di masjid-masjid besar yang
didirikan oleh Wali Songo, semisal Masjid Sunan Ampel Surabaya, Masjid Demak dan
sebagainya. Semua merupakan cerminan dari ritual ibadah
yang dilaksanakan oleh golongan Aswaja.
Misalnya adzan Jum’at dikumandangkan dua kali. Pada bulan Ramadhan
dilaksanakan shalat tarawih secara
berjamaah dua puluh rakaat sebulan penuh,
kemudian antara setiap dua rakaat diselingi pembacaan taradhdhi
kepada khalifah yang empat.
Selanjutnya sebelum shubuh dibacakan tarhim
sebagai persiapan melaksanakan shalat subuh. Tarhim adalah
bacaan yang di dalamnya berisi doa-doa
kepada semua umat Islam termasuk juga taradhdhi kepada khalifah yang
empat.
Sudah tentu hanya orang-orang yang memiliki
faham Aswaja yang
melaksanakan hal tersebut. Sehingga semakin menegaskan bahwa Wali Songo adalah
penganut faham Aswaja.
[1] Intisari rumusan
kedua imam tersebut tersimpul pada kitab-kitab
yang diajarkan di pesantren seperti ‘Aqidah al-‘Awam, Kifayah
al-‘Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah, Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang
belajar di pesantren.
[2] Nasab Maulana
Malik Ibrahim, selaku sesepuh Wali Songo adalah sebagai berikut: Malik Ibrahim
bin Barakat Zain al-Alam, bin Jamaluddin al-Husain, bin Ahmad Syah Jalal bin
Abdillah bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad
bin Alawi (di sinilah asal nasab para ‘alawiyyin) bin Abdillah
(Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir bin Isa (al-Naqib) bin Muhammad bin Ali
al-’Uraydhi, bin Imam Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-’Abidin bin al-Husain al-Sibth bin Ali bin Abi
Thalib dan Fathimah al-Zahra’ putri Rasulullah T.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar