Jumat, 03 Juli 2015

Maulud Nabi SAW

Kemuliaan dan kegembiraan atas kelahiran Rasul saw Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33) “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15) Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177) Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam) Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya. Rasulullah saw tentang hari kelahiran beliau saw Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa. Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam. Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya :“… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417) Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dg kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya. Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yg meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tak mengingkarinya. . Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485) Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337). . Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa yg dimaksud Al Hafidh adalah mereka yg telah hafal lebih dari 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan yg disebut Hujjatul Islam adalah yg telah hafal 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya. 1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah : Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yg melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164) 2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah : Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”. 3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) : Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw. 4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif : Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya. 5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy : Serupa dg ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab 6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yg sangat besar”. 7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw” 8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah dengan karangan maulidnya yg terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya”. 9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”. 10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah alkalbi dg karangan maulidnya yg bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir” 11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif” 12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : ”maulid ibn katsir” 13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy dg maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana” 14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi. 15. Imam assyakhawiy dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi 16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah 17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn diba’ dg maulidnya addiba’i 18. Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam 19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar 20. Al Allamah Ali Al Qari’ dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi 21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji 23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dg maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad 24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’ 25. Imam Ibrahim Assyaibaniy dg maulid al maulid mustofa adnaani 26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi” 27. Syihabuddin Al Halwani dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif 28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati dg maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar 29. Asyeikh Ali Attanthowiy dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa 30. As syeikh Muhammad Al maghribi dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah. Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam. . Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari kerinduan pada Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yg dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra. Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yg dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yg adil dan yg semacamnya merupakan hal yg baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yg dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yg duduk, dan Imam Nawawi yg berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tak apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yg melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal 93) Namun sehebat apapun pendapat para Imam yg melarang berdiri untuk menghormati orang lain, bisa dipastikan mereka akan berdiri bila Rasulullah saw datang pada mereka, mustahil seorang muslim beriman bila sedang duduk lalu tiba tiba Rasulullah saw datang padanya dan ia tetap duduk dg santai. Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir. Semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yg Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw. Jauh berbeda bila kita yg berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw. Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan. Dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah. Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137) Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib. contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yg wajib . contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah. Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi. Sebagaimana penulisan Alqur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah. Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin. Walillahittaufiq 2 suara anda Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan)Ikhwah fillah yang dirahmati Allah. Ulama adalah penjaga agama ini, dari mereka dan kitab-kitab mereka kita bisa mengetahui dan memahami agama yang mulya ini, sebab mereka adalah pewaris para Nabi (إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ) yang dalam setiap kurun selalu ada sebagai pembaharu (mujaddid) yang memiliki otoritas untuk memberikan penjelasan kepada kita dan meng-ijtihadkan hukum dan permasalahan baru yang memang pada masa sebelumnya belum dikenal. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah menjelaskan melalui sabda beliau bahwa ulama mujaddid akan selalu diutus oleh Allah pada setiap akhir masa 100 tahun, إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني “Sungguh Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun orang yang akan memperbaharui agamanya” Didalam kitab ‘Aunul Ma’bud (عون المعبود) karangan Al-’Allamah Abu At-Thayyib Muhammad Syams Al-Haqq bin Amir bin ‘Ali bin Maqsud ‘Ali As-Shiddiq Al-‘Adhim Abadi, kitab yang merupakan syarah dari kitab Sunan Abu Daud karangan Al-Imam Abu Daud As-Sajistaniy, didalam kitab tersebut dituturkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal (164 H – 241 H) meriwayatkan hadits senada dengan hadits diatas namun dengan redaksi berbeda, إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ “Sungguh Allah ta’alaa telah menetapkan pada setiap akhir masa seratus tahun orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka” Hadis diatas jelas menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau saja atau para ulama salaf saja, tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa yang diakui keluasan ilmunya. Artinya, memahami al-Qur’an dan hadits (sunnah) secara langsung tanpa melalui pemahaman dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi’in. Dan kita yakin, hadits itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan sebagai salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan. Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi dalam berijtihad, legalitasnya tidak hanya ditunjukkan oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam secara umum menyebut mereka sebagai pewaris Nabi (وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ). Jikalau ada yang bertanya, ulama yang manakah yang termasuk kategori mujaddid atau yang pantas mendapat label “pewaris para Nabi (وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ)” itu ? Nama-nama para Mujaddid dan para Ulama yang terkenal seperti berikut ini dapat dikategorikan ke dalam golongan “pewaris para Nabi (وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ)” sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i (Mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abul Hasan Asy’ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi’i, Imam Abul-’Abbas bin Suraij (Mujaddid abad ke-III), Imam Sahl Ash-Sha’luki (mujaddid abad ke-IV), Imam Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin Ar-Razi (mujaddid abad ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad ke-VII), dan para ulama lain yang mengikuti jejak mereka ilaa yaumil Qiyamah. Mujaddid lainnya seperti Imam Suyuthiy, Imam Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, Imam Al-Baqilaniy dan lain sebagainya. FATWA DAN PENDAPAT ULAMA BESAR NAN AGUNG SEPUTAR MAULID NABI Berikut ini beberapa pendapat dan fatwa dari ulama kaum Muslimin yang kami kutip dari kitab-kitab ulama muktabar, namun masih banyak lagi yang belum sempat kami kutipkan ; Pendapat Al-Imam Hasan Al-Bashriy Qaddasallahu Sirrah (wafat 116 H) yaitu generasi salafush shaleh dan ayah beliau adalah pelayan Sahabat Zaid bin Tsabit (penulis wahyu). Imam Hasan Al-Bashriy pernah berjumpa sekitar 100 sahabat Nabi. Menurut Qatadah, Imam Hasan paling tahu tentang halal dan haram, pendapatnya seperti Sahabat Umar bin Khatththab radliyallahu ‘anh, menjadi rujukan dalam bertanya. Menurut Hisyam bin Hasan, Imam Hasan Al-Bashriy adalah paling pandai dimasanya dan menurut Abu Umar bin al-‘Ala’, orang yang sangat fashih. Beliau mengatakan tentang betapa istimewanya Maulid Nabi, قال الحسن البصري، قدس الله سره: وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لانفقته على قراءة مولد الرسول “Seandainya aku memiliki emas seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul”. [1] Pendapat Al-Imam Ma’aruf Al-Kharkhiy Qaddasallahu Sirrah (wafat 200 H), beliau juga termasuk generasi salafush shaleh yang alim, zuhud dan terkenal dikalangan fukaha’ sebagai orangyang fakih. Beliau mengungkap peringatan Maulid Nabi yang terjadi dimasa beliau, keistimewaan serta balasan bagi orang yang memperingati Maulid Nabi, قال معروف الكرخي قدس الله سره: من هيأ لاجل قراءة مولد الرسول طعاما، وجمع إخوانا، وأوقد سراجا، ولبس جديدا، وتعطر وتجمل تعظيما لمولده حشره الله تعالى يوم القيامة مع الفرقة الاولى من النبيين، وكان في أعلى عليين “Al-Imam Ma’aruf Al-Kurkhiy Qaddasallahu sirrah, barangsiapa menyajikan makanan untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, mengumpulkan saudara-saudaranya, menghidupkan pelita dan memakai pakaian yang baru dan wangi-wangian dan menjadikannya untuk mengagungkan kelahirannya (Maulid Nabi), maka Allah akan membangkitkan pada hari qiyamat beserta golongan yang utama dari Nabi-Nabi , dan ditempatkan pada tempat (derajat) yang tinggi”. [2] Pendapat Al-Imam Agung Nashirus Sunnah Asy-Syafi’i Rahimahullah (wafat 204 H). Beliau menuturkan bahwa peringatan Maulid Nabi dilakukan dengan berjamaah dan disediakan makanan sebagai rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, serta beliau juga menuturkan keutamaan orang yang memperingatinya, قال الشافعى رحمه الله من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين “Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) karena kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin”.[3] Pendapat Al-‘Arif Billah Al-Imam As-Sirriy As-Saqathiy Qaddasallahu Sirrah (wafat 257 H). Termasuk generasi salafush shaleh yaitu generasi tabiut tabi’in, seorang yang sangat berpendirian teguh, wara, sangat alim dan ahli ilmu tauhid. Beliau mengungkapkan keutamaan memperingati Maulid Nabi karena kecintaan kepada Rasulullah dan kelak akan bersama dengan Rasulullah, وقال السري السقطي: من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) فقد قصد روضة من رياض الجنة لانه ما قصد ذلك الموضع إلا لمحبة الرسول. وقد قال عليه السلام: من أحبني كان معي في الجنة “Imam As-Sirry As-Saqathiy berkata, barangsiapa yang menyediakan tempat untuk dibacakan Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم), maka sungguh dia menghendaki “Raudhah (taman)” dari taman-taman surga, karena sesungguhnya tiada dia menghendaki tempat itu melainkan karena cintanya kepada Rasul. Dan Sungguh Rasul (صلى الله عليه وسلم) bersabda : “barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku didalam surga”. [4] Pendapat Al-Imam Junaid Al-Baghdadiy Rahimahullah (wafat 297 H), masih termasuk generasi shalafuh shaleh. Beliau menuturkan beruntungnya keimanan seseorang yang menghadiri Maulid Nabi, قال الجنيدي البغدادي رحمه الله: من حضر مولد الرسول وعظم قدره فقد فاز بالايمان “Imam Junaid al-Baghdadiy rahimahullah berkata, barangsiapa yang menghadiri Maulid ar-Rasul dan mengagungkannya (Rasulullah), maka dia beruntung dengan keimanannya” [5] Pendapat Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah, beliau menuturkan tentang keutamaan Maulid Nabi sebagai berikut, قال ابن الجوزي رحمه الله تعالى من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشرى عاجلة بنيل البغية والمرام “Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah berkata, diantara keistimewaan Maulid Nabi adalah keadaan aman (pencegah mushibah) pada tahun itu, kabar gembira serta segala kebutuhan dan keinginan terpenuhi” [6] Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermadzhab Syafi’i dan merupakan guru besar dariAl-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, قال الامام أبو شامة شيخ المصنف رحمه الله تعالى: ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل في كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده (صلى الله عليه وسلم): من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور، فإن ذلك مع ما فيه من الاحسان إلى الفقراء يشعر بمحبة النبي (صلى الله عليه وسلم) وتعظيمه وجلالته في قلب فاعل ذلك، وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذي أرسله رحمة للعالمين “dan sebagus-bagusnya apa yang diada-adakan pada masa sekarang ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” [7] Pendapat Al-Imam Al-Muhaddits Al-Hafidz Al-Musnid Al-Jami’ Abul Khair Syamsuddin Muhammad Ibnu Abdullah Al-Jazariy Asy-Syafi’i (wafat 660 H). Beliau adalah guru dari para Qurra’ (Ahli baca Al-Qur’an) dan Imam Qira’at pada zamannnya. Beliau memiliki karya Maulid yang masih berupa manuskrip (naskah tulisan tangan) yang berjudul “ ‘Arfut Ta’rif bi Al-Maulidi Asy-Syarif”. Beliau mengatakan bahwa orang yang memperingati Maulid Nabi sangat pantas untuk menampati surga yang penuh kenikmatan, فإذا كان أبو لهب الكافر الذي نزل القرآن بذمه جوزي في النار بفرحه ليلة مولد النبي صلى اله عليه وسلم به فما حال المسلم الموحد من أمة النبي صلى الله عليه وسلم يسر بمولده ويبذل ما تصل إليه قدرته في محبته صلى الله عليه وسلم، لعمري إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله جنات النعيم “maka jika Abu Lahab yang kafir yang diturunkan ayat al-Qur’an untuk mencelanya masih diberi ganjaran kebaikan didalam neraka karena bergembira pada malam Maulid Nabi, lantas bagaimana dengan seorang Muslim yang mentauhidkan Allah, yang merupakan umat dari Nabi (صلى اله عليه وسلم) yang senang dengan kelahiran Beliau dan menafkahkan apa yang dia mampu demi kecintaannya kepada Nabi (صلى اله عليه وسلم). Demi Allah, sesungguhnya yang pantas bagi mereka berupa balasan dari Allah yang Maha Pemurah adalah memasukkan mereka dengan keutamannya kedalam surga yang penuh kenikmatan”[8] Pendapat Al-Imam Yafi’i Al-Yamaniy Rahimahullah (wafat 768 H) turut menuturkan keutamaan Maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, وقال الامام اليافعي اليمنى: من جمع لمولد النبي (ص) إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم “Dan berkata Imam Al-Yafi’iy Al-Yamani : “Barangsiapa yang mengumulkan saudara-saudaranya untuk (merayakan) Maulid Nabi, menyajikan makanan, beramal yang baik dan menjadikannya untuk pembacaan Maulid ar-Rasul, maka Allah akan membangkitkan pada hari Kiamat bersama para Shadiqin, Syuhada, Shalihin dan menempatkannya pada tempat yang tinggi” [9] Pendapat Al-Hafidz Al-Imam Al-Muhaddits Syamsuddin bin Nashiruddin Ad-Damasyqiy (777 H – 842 H) yang telah mengarang kitab Maulid, diantaranya kitab Jami’ul Atsar fi Maulidin Nabiyyil Mukhtar (terdiri dari 3 jilid), Al-Lafdzur Roiq fi Maulidi Khayril Khalaiq (bentuknya ringkas), Mauridush Shadi fi Maulidil Had. Beliau mengatakan (dalam sebuah syair), إذا كان هـذا كافرا جـاء ذمـه وتبت يـداه في الجحـيم مخـلدا أتى أنـه في يـوم الاثنين دائـما يخفف عنه للسـرور بأحــمد فما الظن بالعبد الذي طول عمره بأحمد مسرورا ومات موحـــد “Jika orang kafir yang telah datang (tertera) celaan baginya (yakni) “dan celakalah kedua tangannya didalam neraka Jahannam kekal didalamnya” ; “Telah tiba pada (setiap) hari senin untuk selamanya diringankan (siksa) darinya karena bergembira ke (kelahiran) Ahmad ; “lantas bagaimanakah dugaan kita terhadap seorang hamba yang sepanjang usia, karena (kelahiran) Ahmad, lantas ia selalu bergembira dan tauhid menyertai kematiannya ???”[10] Fatwa Al-Imam Asy-Syeikhul Islam Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Ahmad Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (773 H – 852H), yang telah mensyarah kitab monumental Imam Bukhari (Shahih Bukhari), dan beliau beri nama dengan kitabnya tersebut dengan nama Fathul Bari ‘alaa Shahih Bukhari. Beliau memfatwakan bahwa amal Maulid termasuk ke dalam bid’ah Hasanah (perkara baru yang bagus) dan beliau juga mendapati dasar syara’ yang sangat terang mengenai peringatan Maulid Nabi, أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة، وإلا فلا “Asal amal Maulid adalah bid’ah, tidak pernah ada perkataan (perbincangan) dari salafush shaleh dari kurun ke tiga, dan akan tetapi bersamanya mencakup (mengandung) kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barangsiapa yang mengambil kebaikan-kebaikannya pada amal Maulid dan menjauhi keburukannya maka itulah bid’ah Hasanah (بدعة حسنة), dan jika tidak (menjauhi keburukannya) maka tidak (bukan bid’ah Hasanah)” [11] Lebih lanjut lagi, beliau memfatwakan dasar yang sangat jelas tentang peringatan Maulid Nabi, وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت، وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم؟ فقالوا: هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى، فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما مَنَّ به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة، ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة، والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة، وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم “dan sungguh telah jelas bagiku bahwa apa yang dikeluarkan (diriwayatkan) atas asal penetapan (hukum Maulid), sebagaimana yang ditetapkan didalam Ash-Shahihayn bahwa sesungguhnya Nabi datang ke Madinah, maka (beliau) menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’, Rasulullah bertanya kepada mereka (tentang puasa tersebut)? Maka mereka menjawab : “Padanya adalah hari dimana Allah telah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan (Nabi) Musa, maka kami berpuasa untuk bersyukur kepada Allah Yang Maha Tinggi (atas semua itu)”. Maka faidah yang bisa diambil dari hal tersebut adalah bahwa (kebolehan) bersyukur kepada Allah atas sesuatu (yang terjadi) baik karena menerima sebuah kenikmatan yang besar atau penyelamatan (terhindar) dari bahaya, dan bisa diulang-ulang perkara (syukuran) tersebut pada hari (yang sama) setiap tahun. Adapun syukur kepada Allah dapat dilakukan dengan bermacam-macam Ibadah seperti sujud (sujud syukur), puasa, shadaqah dan tilawah (membaca al-Qur’an). dan sungguh adakah nikmat yang paling agung (besar) dari berbagai nikmat (yang ada) selain kelahiran Nabi (Muhammad) Nabi yang penyayang pada hari (peringatan Maulid) itu ?” [12] Pendapat A-Imam Al-Hafidz Muhammad bin Abdurrahman Al-Qahiriy, dikenal dengan nama Al-Imam As-Sakhawiy (831 H – 902 H), beliau juga dikenal sebagai Ahli sejarah di Madinah, penulis kitab Adh-Dhaw’ul Lami’. Beliau juga telah menyusun sebuah karya Maulid yang diberi judul “Al-Fakhrul ‘Ulwi fil Mawlidin Nabawiy” لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ “Tidak pernah dikatakan (perbincangkan) dari salah seorang ulama Salafush Shaleh pada kurun ke tiga yang mulya dan sungguh itu baru ada setelahnya. Kemudian umat Islam diseluruh penjuru daerah dan kota-kota besar senantiasa memperingati Maulid Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ) dibulan kelahiran Beliu. Mereka mengadakan jamuan yang luar biasa dan diisi dengan perkara-perkara yang menggembirakan serta mulya, dan bershaqadah pada malam harinya dengan berbagai macam shadaqah, menampakkan kegembiraan, bertambahnya kebaikan bahkan diramaikan dengan pembacaan (buku-buku) Maulid Nabi yang mulya, dan menjadi teranglah (jelaslah) keberkahan dan keutamaan (Maulid Nabi) secara merata dan semua itu telah teruji.[13] Selanjutnya, ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ “Kemudian (beliau) berkata : “aku katakan : adanya (tanggal) kelahiran Nabi Asy-Syarif yang paling shahih adalah pada malam Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Dikatakan (qoul yang lain) : pada malam tanggal 2, dikatakan juga pada tanggal 8, 10 dan lain sebagainya. Maka dari itu, tidak mengapa mengerjakan kebaikan pada setiap hari-hari ini dan malam-malamnya dengan persiapan (kemampuan) yang ada bahkan bagus dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan (Rabi’ul Awwal)”[14] Fatwa Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthiy (849 H – 911 H), didalam kitabnya beliau menuturkan bahwa sangat jelas dasar syara’ mengenai peringatan Maulid Nabi, وقد ظهر لي تخريجه على أصل آخر، وهو ما أخرجه البيهقي عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعد النبوة، مع أنه قد ورد أن جده عبد المطلب عق عنه في سابع ولادته، والعقيقة لا تعاد مرة ثانية فيحمل ذلك على أن الذي فعله النبي صلى الله عليه وسلم إظهار للشكر على إيجاد الله إياه رحمة للعالمين، وتشريع لأمته كما كان يصلي على نفسه، لذلك فيستحب لنا أيضا إظهار الشكر بمولده بالاجتماع وإطعام الطعام ونحو ذلك من وجوه القربات وإظهار المسرات “dan sungguh sangat jelas bagiku yang dikeluarkan (diriwayatkan) atas asal yang lain (dari pendapat Imam Ibnu Hajar) yaitu apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqiy dari Anas bahwa sesungguhnya Nabi (صلى الله عليه وسلم) mengaqiqahkan dirinya sendiri sesudah (masa) kenabian, (padahal) sesungguhnya telah dijelaskan (riwayat) bahwa kakek beliau Abdul Mutthalib telah mengaqiqahkan (untuk Nabi) pada hari ke tujuh kelahirannya. adapun aqiqah tidak ada perulangan dua kali, maka dari itu sungguh apa yang dilakukan oleh Nabi (صلى الله عليه وسلم) menerangkan tentang (rasa) syukur beliau karena Allah telah mewujudkan (menjadikan) beliau sebagai rahmat bagi semesta alam, dan sebagai landasan bagi umatnya. Oleh karena itu, maka juga boleh (mustahab/patut) bagi kita untuk menanamkan (menerangkan) rasa syukur kita dengan kelahirannya (Rasulullah) dengan mengumpulkan (kaum Muslimin), menyajikan makanan dan semacamnya dari (sebagai) perwujudan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) dan menunjukkan kegembiraan (karena kelahiran beliau)”. [15] Fatwa beliau lainnya menyatakan bahwa orang yang memperingati Maulid Nabi akan mendapatkan pahala dan peringatan Maulid Nabi termasuk kedalam bid’ah hasanah. Beliau ditanya tentang Maulid Nabi, فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول، ما حكمه من حيث الشرع؟ وهل هو محمود أو مذموم؟ وهل يثاب فاعله أو لا؟ الجـــــواب عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف وأول من أحدث فعل ذلك صاحب اربل الملك المظفر أبو سعيد كوكبرى بن زين الدين علي بن بكتكين أحد الملوك الأمجاد والكبراء الأجواد، وكان له آثار حسنة، وهو الذي عمر الجامع المظفري بسفح قاسيون “Sungguh telah ada pertanyaaan tentang peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul awwal, tentang bagaimana hukumnya menurut syara’ dan apakah termasuk kebaikan atau keburukan serta apakah orang yang memperingatinya mendapatkan pahala ?” Jawabannya, menurutku pada dasarnya amal Maulid itu adalah berkumpulnya manusai, membaca apa yang dirasa mudah dari Al-Qur’an, riwayat hadits-hadits tentang permualaan perintah Nabi serta tanda-tanda yang datang mengiringi kelahiran Nabi kemudian disajikan beberapa hidangan bagi mereka selanjutnya mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu termasuk kedalam Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang merayakannya. Karena perkara didalamnya adalah bagian dari pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan merupakan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran yang Mulya (Nabi Muhammad, dan yang pertama mengadakan hal semacam itu (perayaan besar) adalah penguasa Irbil, Raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Kaukabri bin Zainuddin Ali Ibnu Buktukin, salah seorang raja yang mulya, agung dan demawan. Beliau memiliki peninggal yang hasanah/baik (آثار حسنة), dan beliau lah yang membangun al-Jami’ al-Mudhaffariy dilembah Qasiyun”. [16] Al-Imam As-Suyuthiy juga memfatwakan ketika ada syubhat yang menyatakan bahwa memperingati wafatnya Nabi itu lebih pantas daripada memperingati Maulid Nabi, dalam hal ini beliau membantahnya sebagai berikut, إن ولادته صلى الله عليه وسلم أعظم النعم علينا، ووفاته أعظم المصائب لنا، والشريعة حثت على إظهار شكر النعم، والصبر والسلوان والكتم عند المصائب، وقد أمر الشرع بالعقيقة عند الولادة، وهي إظهار شكر وفرح بالمولود، ولم يأمر عند الموت بذبح ولا غيره، بل نهى عن النياحة وإظهار الجزع، فدلت قواعد الشريعة على أنه يحسن في هذا الشهر إظهار الفرح بولادته صلى الله عليه وسلم دون إظهار الحزن فيه بوفاته “Sesungguhnya kelahiran Nabi (صلى الله عليه وسلم) adalah paling agungnya kenikmatan bagi kita semua, dan wafatnya Beliau (صلى الله عليه وسلم) adalah musibah yang paling besar bagi kita semua. Adapun syariat menganjurkan (menampakkan) untuk mengungkapkan rasa syukur dan kenikmatan. Dan bersabar serta tenang ketika tertimpa mushibah. Dan sungguh syari’at memerintahkan untuk (menyembelih) beraqiqah ketika (seorang anak) lahir, dan supaya menampakkan rasa syukur dan bergembira dengan kelahirannya, dan tidak memerintahkan untuk menyembelih sesuatu atau melakukan hal yang lain ketika kematiannya, bahkan syariat melarang meratap (an-niyahah) dan menampakkan keluh kesah (kesedihan). Maka (dari sini) jelas bahwa kaidah-kaidah syariat menunjukkan yang baik baik (yang paling layak) pada bulan ini (bulan Maulid) adalah menampakkan rasa gembira atas kelahirannya (Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم) dan bukan (malah) menampakkan kesedihan (mengungkapkan) kesedihan atas wafatnya Beliau” [17] Bantahan beliau, sebagaimana juga pernyataan Al-Imam Ibnu Rajab, وقد قال ابن رجب في كتاب اللطائف في ذم الرافضة حيث اتخذوا يوم عاشوراء مأتما لأجل قتل الحسين: لم يأمر الله ولا رسوله باتخاذ أيام مصائب الأنبياء وموتهم مأتما فكيف ممن هو دونهم “dan sungguh telah berkata Ibnu Rajab di dalam kitab “al-Lathif” (اللطائف) tentang celaan terhadap ‘Ar-Rafidlah’ bahwa mereka telah menjadikan hari Asyura sebagai hari berkabung (bersedih) karena bertepatan dengan hari (pembunuhan) wafatnya sayyidina Husain : Sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari-hari mushibah dan kematian para Nabi sebagai hari bersedih, maka bagaimana dengan orang derajatnya berada dibawah mereka ?” [18] Lebih jauh lagi, Al-Imam As-Suyuthiy menjelaskan keutamaan tempat dan orang yang memperingati Maulid Nabi, قال سلطان العارفين جلال الدين السيوطي في كتابه الوسائل في شرح الشمائل: ما من بيت أو مسجد أو محلة قرئ فيه مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) هلا حفت الملائكة بأهل ذلك المكان وعمهم الله بالرحمة والمطوقون بالنور – يعني جبريل وميكائل وإسرافيل وقربائيل وعينائيل والصافون والحافون والكروبيون – فإنهم يصلون على ما كان سببا لقراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم “Berkata Shulthan Al-‘Arifin Jalaluddin As-Suyuthiy didalam kitabnya “al-Wasail fiy Syarhi Asy-Syamil” : “tiada sebuah rumah atau masjid atau tempat pun yang dibacakan didalamnya Maulid Nabi (صلى الله عليه وسلم) melainkan dipenuhi Malaikat yang meramaikan penghuni tempat itu (menyelubunyi tempat itu) dan Allah merantai Malaikat itu dengan rahmat dan Malaikat bercahaya (menerangi) itu antara lain Malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Qarbail, ‘Aynail, ash-Shaafun, al-Haafun dan al-Karubiyyun. Maka sesungguhnya mereka (malaikat) itulah yang mendo’akannya karena membaca Maulid Nabi” [19] Lanjut lagi, قال: وما من مسلم قرئ في بيته مولد النبي (صلى الله عليه وسلم) إلا رفع الله تعالى القحط والوباء والحرق. والآفات والبليات والنكبات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص عن أهل ذلك البيت، فإذا مات هون الله تعالى عليه جواب منكر ونكير، وكان في مقعد صدق عند مليك مقتدر “tiada seorang Muslim pun yang didalam rumahnya dilakukan pembacaan Maulid Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kecuali Allah akan mengangkat wabah kemarau, kebakaran, karam, kebinasaan, kecelakaan, kebencian, hasad dan pendengaran yang jahat, (terhindar) dari pencuri ahli-ahli rumah tersebut. Maka jika apabila mati, Allah akan memudahkan baginya dalam menjawab (pertanyaan) Malaikat Munkar dan Nakir. Dan mereka akan ditempatkan didalam tempat yang benar pada sisi-sisi raja yang berkuasa” [20] Pendapat Al-Imam Ibnu Al-Hajj Al-Maliki Rahimahullah (ulama madzhab Malikiyyah), قال ابن الحاج رحمه الله تعالى فكان يجب أن نزداد يوم الاثنين الثاني عشر من ربيع الأول من العبادات والخير شكرا للمولى على ما أولانا من هذه النعم العظيمة وأعظمها ميلاد المصطفى صلى الله عليه وسلم “Menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada Allah setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia (Allah) telah mengaruniakan kepada kita nikmat yang sangat besar dengan lahirnya Al-Musthafa Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam” [21] وقال أيضا: ومن تعظيمه صلى الله عليه وآله وسلم الفرح بليلة ولادته وقراءة المولد “berkata lagi, dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah gembira pada malam kelahirannya dan melakukan pembacaan Maulid Nabi” [22] Pendapat seorang Imam yang besar, tokoh yang sangat terkenal, penjaga Islam, tumpuan banyak orang, tempat rujukan para Ahli hadits yang sangat terkenal, Al-Hafidz Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman Al-Mishriy yang terkenal dengan Al-Hafidz Al-Iraqiy (wafat 808 H). Beliau memiliki kitab Maulid yang dinamakan dengan “Al-Mawridul Haniy fiy Mawlidis Saniy”, إن اتخاذ الوليمة وإطعام الطعام مستحب في كل وقت، فكيف إذا انضم إلى ذلك الفرح والسرور بظهور نور النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الشهر الشريف، ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها، فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجب “Sungguh melakukan perayaan (walimah) dan memberikan makan disunnahkan pada setiap waktu, apalagi jika padanya disertai dengan kesenangan dan kegembiraan dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada bulan yang mulya ini, dan tidaklah setiap bid’ah itu makruh (dibenci), betapa banyak bid’ah yang disunnahkan bahkan diwajibkan” [23] Pendapat Al-Imam Ibnu ‘Abidin didaam kitab syarahnya atas kitab Maulid Imam Ibnu Hajar, قال ابن عابدين في شرحه على مولد ابن حجر اعلم أن من البدع المحمودة عمل المولد الشريف من الشهر الذي ولد فيه صلى الله عليه وسلم، وقال أيضاً: فالاجتماع استماع قصة صاحب المعجزات عليه أفضل الصلوات وأكمل التحيات من أعظم القربات لما يشتمل عليه من المعجزات وكثرة الصلوات “Ketahuilah olehmu bahwa sebagian dari perkara baru yang terpuji (bid’ah mahmudah) adalah amal Maulid Nabi Asy-Syarif pada bulan yang mana Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam di lahirkan didalamnya”,,,[24] Pendapat Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluf (Syeikhul Azhar) Rahimahullah, وقال الشيخ حسنين محمد مخلوف شيخ الأزهر رحمه الله تعالى إن من إحياء ليلة المولد الشريف، وليالي هذا الشهر الكريم الذي أشرق فيه النور المحمدي إنما يكون بذكر الله وشكره لما أنعم به على هذه الأمة من ظهور خير الخلق إلى عالم الوجود، ولا يكون ذلك إلا في أدب وخشوع وبعد عن المحرمات والبدع والمنكرات، ومن مظاهر الشكر على حبه مواساة المحتاجين بما يخفف ضائقتهم وصلة الأرحام، والإحياء بهذه الطريقة وإن لم يكن مأثور في عهده صلى الله عليه وسلم ولا في عهد السلف الصالح إلا أنه لا بأس به وسنة حسنة “Sunggung barangsiapa menghidupkan malam Maulid Nabi Asy-Syarif dan malam-malam-malam bulan yang mulya ini yang menerangi didalamnya dengan cahaya Muhammadiy yaitu dengan berdzikir kepada Allah, bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan kepada umat ini termasuk dilahirkannya makhluk terbaik (Nabi Muhammad) ke ala mini, dan tidak ada yang demikian itu kecuali dengan sebuah akhlak dan kekhusuan serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, amalan bid’ah serta kemungkaran-kemungkaran. Dan termasuk menampakkan kesyukuran sebagai bentuk kecintaan yaitu menyantuni orang-orang tidak mampu, menjalin shilaturahim dan menghidupkan dengan cara ini walaupun tidak ada pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan tidak pula ada dimasa salafush shaleh adalah tidak apa-apa serta termasuk sunnah hasanah” [25] Pendapat Asy-Syekh Muhammad Mutawalla Asy-Sya’rawiy Rahimahullah, قال الشيخ محمد متولي الشعراوي رحمه الله تعالى وإكراماً لهذه المولد الكريم، فإنه يحق لنا أن نظهر معالم الفرح و الابتهاج بهذه الذكرى الحبيبة لقلوبنا كل عام، وذلك بالاحتفال بها من وقتها “Melakukan penghormatan untuk Maulid yang mulya ini, maka sesungguhnya itu hak bagi kita untuk menampakkan kegembiraan dan ..[26] Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, قد قال ابن حجر الهيثمي رحمه الله تعالى والحاصل أن البدعة الحسنة متفق على ندبها، وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك، أي بدعة حسنة “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selarasa dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah” [27] Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, فرحم الله امرءا اتخذ ليالي شهر مولده المبارك أعيادا، ليكون أشد علة على من في قلبه مرض وإعياء داء “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…”[28] الإمام القسطلاني ت 922 هـ من جواز الاحتفال بالمولد النبوي بما هو مشروع لا منكر فيه، واستشف هذا الجواز من حديث البخاري في باب الجنائز من كون أبى بكر الصديق تمنى الموت في هذا اليوم لكونه اليوم الذي ولد فيه الرسول صلى الله عليه وسلم و فيه توفي “sebagain dari kebolehan merayakan Maulid Nabi Nabawi dengan perkara yang masyru’ (disyariatkan) bukan dengan kemungkaran, [29] Pendapat Al-Imam Al-Alusiy dalam kitab tafsirnya, ما استنبطه الألوسى من تفسير قول الله تعالى “قل بفضل الله و رحمته فبذلك فليفرحوا” الآية 58 يونس. فالرسول صلى الله عليه وسلم رحمة كما قال عز و جل “وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين” الآية 107 الأنبياء. و كما جاء في الحديث: “إنما أنا رحمة مهداة” رواه الحاكم في مستدركه عن أبى هريرة. فوجب من هنا الاحتفال و الفرح بهذه الرحمة “Firman Allah, “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira” (Yunus : 58), dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah rahmat sebagaimana yang di firmankan Allah ‘azza wa jallah, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”, sebagaiman juga didalam hadits, “sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan Allah” (riwayat Imam Hakim dalam ktab Mustadraknya dari Abu Hurairah), maka wajib bagi sebagian dari kita untuk merayakannya dan bergembira dengan rahmat ini” [30] Pendapat Al-‘Allamah Asy-Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mantan Mufti Madzhab Syafi’iyyah di Mekkah, العادة أن الناس إذا سمعوا ذكرى وضعه صلى الله عليه وسلم يقومون تعظيما له صلى الله عليه وسلم و هذا قيام مستحب لما فيه من تعظيم النبي صلى الله عليه وسلم، و قد فعل ذلك كثير من علماء الأمة الذين نقتدي بهم “Kebiasaan manusia ketika disebut tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berdiri untuk menghormati beliau dan berdiri ini disunnahkan untuk menghormati Nabi, dan sungguh telah banyak ulama kaum Muslimin yang melakukan seperti yang demikian”’ [31] Pendapat Al-’Allamah As-Syekh As-Sayyid Muhammad Ibnu Alwi Al-Maliki Al-Hasaniy Rahimahullah, إننا نرى أن الاحتفال بالمولد النبوي الشريف ليست له كيفية مخصوصة لابد من الالتزام أو إلزام الناس بها ، بل إن كل ما يدعو إلى الخير ويجمع الناس على الهدى و يرشدهم إلى ما فيه منفعتهم في دينهم ودنياهم يحصل به تحقيق المقصود من المولد النبوي ولذلك فلو اجتمعنا على شئ من المدائح التي فيها ذكر الحبيب صلّىالله عليه وسلّم وفضله وجهاده وخصائصه ولم نقرأ القصة التي تعارف الناس على قراءتها واصطلحوا عليها حتى ظن البعض أن المولد النبوي لا يتم إلا بها ، ثم استمعنا إلى ما يلقيه المتحدثون من مواعظ وإرشادات وإلى ما يتلوه القارئ من آيات “Kami memandang sesungguhnya memperingati Maulid Nabi yang mulya itu tidak mempunyai bentuk-bentuk yang khusus yang mana semua orang harus dan diharuskan untuk melaksanakannya. Akan tetapi segala sesuatu yang dilakukan, yang dapat menyeru dan mengajak manusia kepada kebaikan dan mengumpulkan manusia atas petunjuk (agama) serta menunjuki mereka kepada hal-hal yang membawa manfaat bagi mereka, untuk dunia dan akhirat maka hal itu dapat digunakan untuk memperingati Maulid Nabi, Oleh karena itu andaikata kita berkumpul dalam suatu majelis yang disitu dibacakan puji-pujian yang menyanjung Al-Habib (Sang Kekasih yakni Nabi Muhammad), keutamaan beliau, jihad (perjuangan) beliau, dan kekhususan-kekhususan yang berada pada beliau ; lalu kita tidak membaca kisah Maulid Nabi – yang telah dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat dan mereka menyebutnya dengan istilah “Maulid” (seperti Maulid Diba’, Barzanji, Syaraful Anam, Al-Habsyi, dan lain sebagainya), yang nama sebagian orang menyangka bahwa peringatan Maulid Nabi itu tidak lengkap tanpa pembacaan kisah-kisah Maulid tersebut- kemudian kita mendengarkan mau’idzah-mau’idzoh (peringatan-peringatan), pengarahan-pengarahan, nasehat-nasehat yang disampaikan oleh para ulama dan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan oleh seorang Qari” [32]Lebih lanjut, أقول : لو فعلنا ذلك فإن ذلك داخل تحت المولد النبوي الشريف ويتحقق به معنى الاحتفال بالمولد النبوي الشريف ، وأظن أن هذا المعنى لا يختلف عليه اثنان ولا ينتطح فيه عنـزان “andaikan kita melakukan itu semua maka itu sama halnya dengan kita membaca kisah Maulid Nabi yang Mulya tersebut dan itu termasuk dalam makna memperingati Maulid Nabi yang Mulya. Dan saya yakin bahwa peringatan yang saya maksudkan ini tidak menimbulkan perbedaan serta adu domba antara dua kelompok”[33] Pendapat Al-’Allamah Asy-Syaikh Ali Jumu’ah (Mufti Mesir), [34] Sesungguhnya maulid (kelahiran) Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia merupakan limpahan rahmat Ilahi yang dihamparkan bagi sejarah manusia seluruhnya. Dan Al Qur’an Al-Karim mengungkapkan keberadaan Nabi صلّى الله عليه و سلّم sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Rahmat ini tidak terbatas, ia meresap masuk ke dalam pendidikan, pengajaran, dan pensucian jiwa manusia. Rahmat tersebut jugalah yang menunjukan manusia ke jalan kemajuan yang lurus dal lingkup kehidupan mereka, baik secara materi maupun maknawi. Rahmat tersebut juga tidak terbatas untuk orang-orang di jaman itu saja, tetapi membentang luas sepanjang sejarah manusia seluruhnya. Allah سبحانه وتعالىberfirman, Al-Jumu’ah (62) No. Ayat : 3 وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan salah satu amal yang paling utama dan sebuah cara pendekatan diri kepada Tuhan. Kerena keseluruhan peringatan tersebut merupakan ungkapan kebahagiaan dan kecintaan kepada beliau صلّى الله عليه و سلّم . Dan cinta kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip iman. Sebuah hadits shahih dari Nabi صلّى الله عليه و سلّم bahwa beliau bersabda: والذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتّى يحبّ إليه من والده وولده ”Demi dzat yang diriku berada di dalam genggaman-Nya, tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tua dan anaknya” 1 Di dalam hadits lain, beliau bersabda: لا يؤمن أحدكم حتّى أكون أحبّ إليه من والده وولده والناس أجمعين “Tidak beriman (sempurna) seseorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tua, anaknya dan manusia seluruhnya” 2 Ibnu Rajab berkata, “Cinta kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم termasuk prinsip-prinsip dasar Iman. Cinta ini seiring dengan cinta kepada Allah سبحانه وتعالى yang menyandingkan keduanya dan mengancam siapa saja yang lebih mengutamakan kecintaan kepada perkara-perkara lain yang sudah menjadi tabiat manusia seperti kerabat, harta benda, dan tanah air atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah سبحانه وتعالىberfirman, At-Taubah (9) No. Ayat : : 24 قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Katakanlah: “jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” Ketika Umar رضي الله عنه berkata kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم ,”Engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Beliau صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Tidak Umar, sampai aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri.” Umar رضي الله عنه berkata, ”Demi Allah, Engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Beliau صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Sekarang, wahai Umar.” 3 Merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم pada dasarnya adalah sambutan penghormatan terhadap beliau. Sambutan dan penghirmatan terhadap beliau صلّى الله عليه و سلّم merupakan perkara yang diisyaratkan secara pasti (Qath’i), karena termasuk prinsip utama dari segala prinsip dasar. Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى mengetahui keistimewaan Nabi-Nya dan Allah سبحانه وتعالى memperkenalkan namanya, kebangkitan, kedudukan, dan martabatnya sebagai rahmat kepada alam semesta seluruhnya. Maka alam semesta dan segala isinya ini senantiasa bergembira dan bersuka cita terhadap beliau صلّى الله عليه و سلّم yang merupakan cahaya Allah, anugerah-Nya, nikmat dan hujjah-Nya pada semesta. Telah menjadi kebiasaan dan tradisi di kalangan salafus saleh sejak abad ke-4 dan ke-5 merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang agung. Mereka menghidupkan malam maulid dengan berbagai macam ketaatan dan ibadah kepada Allah seperti memberi makan fakir miskin, membaca Al Qur’an, membaca dzikir-dzikir, melantunkan puisi-puisi dan pujian-pujian tentang Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم Hal ini ditegaskan oleh sebilangan ulama seumpama Al-Hafizh Ibnu Jauzi, Al-Hafizh Ibnu Kautsir, Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-Andalusi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Sang Penutup Huffadz (para penghapal hadits dalam jumlah yang sangat banyak) Jalaluddin Al-Suyuthi, semoga Allah سبحانه وتعالى melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka. Banyak ulama dan fuqaha yang telah menulis buku-buku tentang anjuran merayakan peringatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia. Mereka menjelaskan dalil-dalil yang shahih tentang sunnahnya kegiatan ini. Semua itu tidak menyisakan ruang bagi orang yang memiliki akal, pemahaman, dan pikiran yang sempurna untuk mengingkari apa yang ditempuh dan dilakukan oleh kalangan salafus saleh berupa perayaan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم Dalam kitab Al-Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini dan beliau mengemukakan uraian penuh manfaat yang membuat lapang hati orang-orang yang beriman. Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat. Sang penutup para Hafizh, Jalaluddin As-Syuyuthi, di dalam bukunya ”Husnul Maqshid fi Amalil Maulid” memberikan penjelasan tentang maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم dalam rangka menjawab pertanyaan yang diajukan kepada tentang kegiatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم pada bulan Rabi’ul awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah? Apakah kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapatkan pahala? Beliau berkata, ”Jawabannya, menurutku, bahwa hukum dasar kegiatan maulid (yang berupa berkumpulnya orang-orang yang banyak; membaca Al Qur’an; menyapaikan khabar-khabar yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi صلّى الله عليه و سلّم dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran beliau; kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama; lalu mereka beranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain) adalah termasuk bid’aah hasanah (bid’ah yang baik) dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi صلّى الله عليه و سلّم serta menunjukan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.” Imam Syuyuthi membantah orang yang berkata, ”Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini dalam Al Qur’an maupun dalam Sunnah,” dengan mengatakan, ”Ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak lalu berarti tidak adanya sesuatu itu”. Beliau juga menjelaskan bahwa para Imam Hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar رحمه الله تعالى عنه telah menjelaskan dasar hukumya dari Sunnah. Imam Syuyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syari’at. Adapun jika ada hubungannya yang kuat dengan dalil syari’at yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela. Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i رضي الله عنه bahwa beliau berkata, ”Perkara-perkara baru itu ada dua macam, yaitu pertama, perkara baru yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, atsar, atau ijma’. Maka ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara-perkara baru yang tidak tercela. Umar bin Khaththab Ra berkata tentang pelaksanaan shalat tarawih pada bulan Ramadlan, نعم البدعة هذه ”Alangkah baiknya bid’ah ini” Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara yang dahulu (terjadi di jaman Nabi صلّى الله عليه و سلّم)”. Demikianlah akhir kutipan dari Imam Syafi’i. Imam Syuyuthi berkata, ”Kegiatan merayakan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, atsar, maupun ijma’. Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa awal-awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh Sultannya para ulama, Izzuddin bin Abdissalam.” Dan hukum dasar berkumpul untuk menyemarakkan syiar maulid adalah sunnah dan qurbah (ibadah, mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى). Sebab kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم merupakan nikamt terbesar untuk kita, dan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan syukur atas nikmat yang kita peroleh. Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal. Beliau berkata, ”karena pada bulan ini Allah سبحانه وتعالى menganugerahkan kepada manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka wajib ditingkankan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan dan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita.” Dasar hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar tentang kegiatan maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم adalah hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi صلّى الله عليه و سلّم tiba ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyu Ra, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka. Mereka pun menjawab, :”Ini adalah hari yang Fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa padanya sebagai ungkapan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى .” Ibnu Hajar berkata, ”Jadi, diambil faidah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu melaksanakan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى atas anugerah yang Dia berikan pada hari tertentu, pemberian nikmat atau pencegahan dari bencana. Dan. Kegiatan itu diulang pada hari yang sama setiap tahun. Kegiatan syukur itu tercapai dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud (shalat), puasa, sedekah, dan membaca Al Qir’an. Dan, nikmat manakah yang lebh besar daripada nikmat munculnya Nabi صلّى الله عليه و سلّم ini, Nabi rahmat, pada hari itu?”. Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bentuk-bentuk kegiatan di dalam perayaan tersebut dan berkata, ”Maka semestinya kita batasi bentuk-bentuk kegiatan itu pada hal-hal yang dipahami sebagai ungkapan syukur kepada Allah سبحانه وتعالى seperti yang telah disebutkan: membaca Al Qur’an, memberi makan, melantunkan puisi-puisi pujian bagi Nabi صلّى الله عليه و سلّم dan puisi-puisi zuhud yang menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan amal akhirat. Perkara-perkara mubah yang mengandung nilai suka cita dan kegembiraan terhadap hari kelahiran itu tidak mengapa untuk disertakan dengannya.” Imam Syuthi mengutip penjelasan Imam tokoh-tokoh qira’at, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi dari kitabnya ”Urf Al-Ta’rif bi Al-Maulid Al-Syarif”, ”Jelas disebutkan dalam hadis shahih bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan dari siksa neraka pada setiap malam senin karena memerdekakan Tsuwaibah setelah mendengarkan berita gembira kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang disampaikannya. Jika Abu Lahab yang kafir dan dicela dengan nyata di dalam Al Qur’an mendapatkan keringanan di dalam neraka karena suka cita dan kegembiraannya pada malam kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم maka bagaimana lagi dengan seorang muslim dan bertauhid dari umat Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang bergembira dengan kelahiran beliau dan berusaha sekuat tenaga yang ia mampu untuk mencintainya? Oh, sungguh balasannya dari Allah سبحانه وتعالى adalah Dia memasukannya kedalam surga yang penuh dengan karunia-Nya.” Al-Hafizh Syamsuddin Ad-Dimasyqi di dalam kitabnya yang berjudul ”Mawrid Al-Shadi fi Maulid Al-Hadi” melantunkan beberapa bait syair: Apabila orang ini kafir, baginya celaan nyata, Dan binasa kedua tangannya, abadi di dalam neraka jahim Telah shahih bahwa diringankan baginya senantiasa setiap hari Senin karena suka cita dengan Ahmad (Nabi صلّى الله عليه و سلّم) Maka bagaimana kiranya dengan hamba Yang sepanjang usianya bergembira terhadap Ahmad (Nabi صلّى الله عليه و سلّم) dan mati dalam keadaan bertauhid?! 4 Selain dasar-dasar hukum dan argumentasi yang disebutkan, bisa juga berdalil dengan umumnya firman Allah سبحانه وتعالى , Ibrahim (14) No. Ayat : : 5 وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang DAN INGATKANLAH MEREKA KEPADA HARI-HARI ALLAH “. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingattinya berarti melaksanakan perintah Allah. Perkara yang demikian bukanlah bid’ah, tetapi merupakan ”sunnah hasanah” (tradisi baik), sekalipun tidak pernah ada pada masa Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم . Kita merayalkan kelahiran Nabi صلّى الله عليه و سلّم keran kita mencintai beliau. Dan bagaimana tidak mencintai beliau, sedangkan seluruh alam semesta mengenal dan mencintainya. Ingatlah hadits tentang sebatang kurma, betapa ia menyayangi dan menyayangi Nabi صلّى الله عليه و سلّم serta rindu untuk selalu dekat dengan Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia, bahkan menangis sejadi-jadinya karena rindu kepada Nabi صلّى الله عليه و سلّم . Hadits yang menceritakan kejadian ini mutawatir sehingg informasi yang terkandung didalamnya bersifat pasti. Diriwayatkan dari sebagain besar sahabat Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم bahwa Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkhutbah dengan berdiri dan mengandalkan posisi pada sebatang pohon kurma yang berdiri tegak. Apabila berdiri lama, beliau meletakkan tangan beliau yang mulia di batang kurma tersebut. Setelah orang-orang yang shalat semakin banyak, para sahabat membuatkan mimbar untuk beliau. Suatu kali pada hari Jum’at, ketika Nabi صلّى الله عليه و سلّم keluar dari kamar yang mulia langsung menuju mimbar dan melewati batang kurma yang biasanya Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkhutbah disisinya, tiba-tiba saja batang kurma itu mengeluarkan suara yang keras dan merintih dengan rintihan rindu yang mengharukan sehingga seluruh masjid bergetar dan batang pohon itu ’terkoyak-koyak’, Batang pohon itu tidak menjadi tenang sampai Nabi صلّى الله عليه و سلّم turun dari mimbar dan mendatangi batang itu. Lalu beliau meletakkan tangan beliau yang mulia padanya dan mengusapnya. Kemudian beliau merengkuhnya ke dada beliau sehingga batang pohon itu pun diam. Kemudian Nabi صلّى الله عليه و سلّم mengajukan pilihan kepadanya mana yang lebih menggembirakan baginya, menjadi pohon di surga dan akar-akarnya menyerap makanan dari sungai-sungai surga, atau kembali menjadi pohon yang berbuah di dunia. Batang pohon itu memilih untuk menjadi pohon di surga. Lalu Nabi صلّى الله عليه و سلّم berkata, ”Aku lakukan, Insya Allah. Aku lakukan, Insya Allah. Aku lakukan, Insya Allah.” Batang pohon itu pun semakin tenang. Kemudian Nabi صلّى الله عليه و سلّم bersabda, ”Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggaman-Nya, seandainya aku tidak berjanji kepadanya, niscaya ia akan merintih sampai hari kiamat karena rindu kepada Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم .”5 Dari pendapat-pendapat para Imam seperti Ibnu Hajar, Ibnu Jauzi, Imam Syuyuthi, dan lain-lain, telah jelas bahwa itulah sikap uamt sejak abad ke-5 H. Kami berpendapat bahwa perayaan Maulid Nabi صلّى الله عليه و سلّم yang mulia itu sunnah dan dianjurkan, sesuai dengan sikap umat dan para ulama. Perayaan tersebut harus dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan seperti membaca Al Qur’an, dzikir, dan memberi makan; tidak diselingi dan disertai dengan hal-hal yang tercela seperti tari-tarian dan lain-lain. Kami tidak setuju dengan pendapat sebagian orang yang diaanggap ganjil dan keluar dari ijma’ amali (konsensus praktis) umat ini. Dan tidak seiring dengan pendapat umum para imam dan ulama besar umat. Perayaan seperti itu belumlah cukup untuk mengungkapkan kesyukuran dan tidaklah berlebihan terhadap Nabi صلّى الله عليه و سلّم , sang rahmat yang dianugerahkan dan kekasih Tuhan semesta alam. Pada bagian akhir, saya ingin mngutipkan bait-bait puisi pengarang Burdah (Imam al-Bushiri): Dialah yang telah sempurna makna dan bentuknya Kemudian dipilih menjadi kekasih oleh pencipta makhluk Tidak ada bandingan dalam kebaikan-kebaikannya Maka, inti kebaikan padanya tidak terbagi-bagi Tinggalkanlah bagaimana klaim Nasrani tentang nabi meraka, Dan simpulkan pujian baginya, sekehendakmu Sematkan kemuliaan pada dirinya, sekehendakmu Sematkan keagungan pada kedudukannya, sekehendakmu Sesungguhnya tanpa batas keutamaan Rasulullah, Sehingga dapat diungkapkan oleh penutur dengan lidah Dan Allah سبحانه وتعالى Yang Mahatinggi lebih Mengetahui. Demikianlah yang bisa kami sebutkan mengenai fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat ulama-ulama besar nan agung Kaum Muslimin, masih banyak fatwa ulama lainnya yang dituturkan dalam kitab mereka seperti fatwa al-‘arif billah Abu Abdullah Muhammad bin Iba Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549 H. w.630 H.), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang meriah luar biasa [1]. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini. Imam Al-Hafidz Ibnu Wajih menyusun kitab maulid yang berjudul “Al-Tanwir fi Maulidi al-Basyir al-Nadzir”. Konon kitab ini adalah kitab maulid pertama yang disusun oleh ulama. Di negeri kita tercinta ini, meskipun tidak dapat disebut sebagai Negara Islam, banyak masyarakat yang merayakannya dan telah menjadi tradisi mereka. Pemerintah pun telah menjadikan peringatan ini salah satu agenda rutin dan acara kenegaraan tahunan yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara serta para duta besar negara-negara sahabat berpenduduk Islam. Hari peringatan maulid Nabi tekah telah disamakan dengan hari-hari besar keagamaan lainnya. Pendapat Ulama dan Silang pendapat mengenai perayaan Maulid Nabi Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid'ah. Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Seperti yang terjadi di salah satu kota Pakistan tahun 2006 lalu, peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid. Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah sejarah pemikiran Islam tentang peringatan maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup ulama dominan yang dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran. Pendapat Ibnu Taymiyah: Ibnu Taymiyah dalam kitab Iqtidla'-us-Syirat al-Mustqim (2/83-85) mengatakan: "Rasululullah s.a.w. telah melakukan kejadian-kejadian penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, pembukaan Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Tidak seharusnya hari-hari itu dijadikan hari raya, karena yang melakukan seperti itu adalah umat Nasrani atau Yahudi yang menjadikan semua kejadian Isa hari raya. Hari raya merupakan bagian dari syariat, apa yang disyariatkan itulah yang diikuti, kalau tidak maka telah membuat sesuatu yang baru dalam agama. Maka apa yang dilakukan orang memperingati maulid, antara mengikuti tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran Isa, atau karena cinta Rasulullah. Allah mungkin akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak atas bid'ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya. Orang-orang salaf tidak melakukan itu padahal mereka lebih mencintai rasul". Namun dalam bagian lain di kitab tersebut, Ibnu Taymiyah menambahkan:"Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun yang telah dilakukan oleh orang-orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SA. Seperti yang telah saya jelaskan, terkadang sesuatu itu baik bagi satu kalangan orang, padahal itu dianggap kurang baik oleh kalangan mu'min yang ketat. Suatu hari pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang tindakan salah seorang pejabat yang menyedekahkan uang 100 dinar untuk membuat mushaf Qur'an, beliau menjawab:"Biarkan saja, itu cara terbaik bagi dia untuk menyedekahkan emasnya". Padahal madzhab Imam Ahmad mengatakan bahwa menghiasi Qur'an hukumnya makruh. Tujuan Imam Ahmad adalah bahwa pekerjaan itu ada maslahah dan ada mafsadahnya pula, maka dimakruhkan, akan tetapi apabila tidak diperbolehkan, mereka itu akan membelanjakan uanngnya untuk kerusakan, seperti membeli buku porno dsb. Pahamilah dengan cerdas hakekat agama, lihatlah kemaslahatan dalam setiap pekerjaan dan kerusakannya, sehingga kamu mengetahui tingkat kebaikan dan keburukan, sehingga pada saat terdesak kamu bisa memilih mana yang terpenting, inilah hakekat ilmu yang diajarkan Rasulullah. Membedakan jenis kebaikan, jenis keburukan dan jenis dalil itu lebih mudah. Sedangkan mengetahui tingkat kebaikan, tingkat keburukan dan tingkat dalil itu pekerjaan para ulama. Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan tingkat amal solih itu ada tiga. Pertama Amal sholeh yang masyru' (diajarkan) dan didalamnya tidak ada kemaruhan sedikitpun. Inilah sunnah murni dan hakiki yang wajib dipelajari dan diajarkan dan inilah amalan orang solih terdahulu dari zaman muhajirin dan anshor dan pengikutnya. Kedua: Amal solih dari satu sisi, atau sebagian besar sisinya berisi amal solih seperti tujuannya misalnya, atau mungkin amal itu mengandung pekerjaan baik. Amalan-amalan ini banyak sekali ditemukan pada orang-orang yang mengaku golongan agama dan ibadah dan dari orang-orang awam juga. Mereka itu lebih baik dari orang yang sama sekali tidak melakukan amal solih, lebih baik juga daripada orang yang tidak beramal sama sekali dan lebih baik dari orang yang amalannya dosa seperti kafir, dusta, hianat, dan bodoh. Orang yang beribadah dengan ibadah yang mengandung larangan seperti berpuasa lebih sehari tanpa buka (wisal), meninggalkan kenikmatan tertentu (mubah yang tidak dilarang), atau menghidupkan malam tertentu yang tidak perlu dikhususkan seperti malam pertama bulan Rajab, terkadang mereka itu lebih baik dari pada orang pengangguran yang malas beribadah dan melakukan ketaatan agama. Bahkan banyak orang yang membenci amalan-amalan seperti ini, ternyata mereka itu pelit dalam melakukan ibadah, dalam mengamalkan ilmu, beramal solih, tidak menyukai amalan dan tidak simpatik kepadanya, tetapi tidak juga mengantarkannya kepada kebaikan, misalnya menggunakan kemampuannya untuk kebaikan. Mereka ini tingkah lakunya meninggalkan hal yang masyru' (dianjurkan agama) dan yang tidak masyru' (yang tidak dianjurkan agama), akan tetapi perkatannya menentang yang tidak masyru' (yang tidak diajarkan agama). Ketiga: Amalan yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, karena meninggalkan kebaikan atau mengandung hal yang dilarang agama. (ini hukumnya jelas). Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: "Bid'ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah". Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi):"Termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah s.a.w. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah s.a.w. kepada seluruh alam semesta". Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubro menjelaskan:"Asal melakukan maulid adalah bid'ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid'ah yang baik (bid'ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke Madina, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada haru Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab:"Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua. Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur'an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah s.a.w. di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur'an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rauslullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu, kalau itu mubah maka hukumnya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya". Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Syarh Mawahib Ladunniyah mengatakan:"Melakukan perayaan, memberi makan orang disunnahkan tiap waktu, apalagi kalau itu disertai dengan rasa gembira dan senang dengan kahadiran Rasulullah s.a.w. pada hari dan bulan itu. Tidaklah sesuatu yang bid'ah selalu makruh dan dilarang, banyak sekali bid'ah yang disunnahkan dan bahkan diwajibkan". Imam Suyuti berkata: "Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur'an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid'ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad SAW yang mulia".[2] Syeh Azhar Husnain Muhammad Makhluf mengatakan:"Menghidupkan malam maulid nabi dan malam-malam bulan Rabiul Awal ini adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak syukur dengan nikmat-nikmat yang diturunkan termasuk nikmat dilahirkannya Rasulullah s.a.w. di alam dunia ini. Memperingatinya sebaiknya dengan cara yang santun dan khusu' dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama seperti amalan-amalan bid'ah dan kemungkaran. Dan termasuk cara bersyukur adalah menyantuni orang-orang susah, menjalin silaturrahmi. Cara itu meskipun tidak dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. dan tidak juga pada masa salaf terdahulu namun baik untuk dilakukan termasuk sunnah hasanah". Seorang ulama Turkmenistan Mubasshir al-Thirazi mengatakan:"Mengadakan perayaan maulid nabi Muhammad s.a.w. saat ini bisa jadi merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, untuk mengkonter perayaan-perayaan kotor yang sekarang ini sangat banyak kita temukan di masyarakat" Dalil-dalil yang memperbolehkan melakukan perayaan Maulid Nabi s.a.w. 1. Anjuran bergembira atas rahmat dan karunia Allah kepada kita. Allah SWT berfirman: قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ “Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. QS.Yunus:58. 2. Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah Hadits dinyatakan: عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم "Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku". (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi). 3. Diriwayatkan dari Imam Bukhori bahwa Abu Lahab setiap hari senin diringankan siksanya dengan sebab memerdekakan budak Tsuwaybah sebagai ungkapan kegembiraannya atas kelahiran Rasulullah SAW. Jika Abu Lahab yang non-muslim dan al-Qur'an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW. Kesimpulan Hukum Maulid Melihat dari pendapat-pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu seputar peringatan maulid adalah sebagai berikut: 1. Malarang maulid karena itu termasuk bid'ah dan tidak pernah dilakukan pada zaman ulama solih pertama Islam. 2. Memperbolehkan perayaan maulid Nabi, dengan syarat diisi dengan amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau. 3. Menganjurkan maulid, karena itu merupakan tradisi baik yang telah dilakukan sebagian ulama terdahulu dan untuk mengkonter perayaan-perayaan lain yang tidak Islami. Jadi masalah maulid ini seperti beberapa masalah agama lainnya, merupakan masalah khilafiyah, yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama sejak dulu. Sebaiknya umat Islam melihatnya dengan sikap toleransi dan saling menghargi mengenai perbedaan pendapat ini. Tidak selayaknya mengklaim paling benar dan tidak selayaknya menuduh salah lainnya. Bahkan kalau dicermati, sebenarnya pendapat yang melarang dan yang memperbolehkan perayaan maulid tujuannya adalah sama, yaitu sama-sama membela kecintaan mereka kepada Rasulullah s.a.w. Maka sangat disayangkan kalau umat Islam yang sama-sama dengan dalih mencintai Rasulullah s.a.w. tetapi saling hujat dan bahkan saling menyakiti. Etika merayakan Maulid Nabi Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi tidak melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut: 1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". QS. Al-Ahzab:56. 2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah. Syekh Husnayn Makhluf berkata: "Perayaan maulid harus dilakukan dengan berdzikir kepada Allah SWT, mensyukuri kenikmatan Allah SWT atas kelahiran Rasulullah SAW, dan dilakukan dengan cara yang sopan, khusyu' serta jauh dari hal-hal yang diharamkan dan bid'ah yang munkar".[3] 3. Membaca sejarah Rasulullah s.a.w. dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau. 3. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin. 4. Meningkatkan silaturrahmi. 5. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah s.a.w. di tengah-tengah kita. 6. Mengadakan pengajian atau majlis ta'lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuri tauladani Rasulullah s.a.w. Jika timbul pertanyaan, perayaan maulid yang datangnya pada bulan Robi'ul Awwal, juga bertepatan dengan bulan wafat Rasulullah SAW, mengapa tidak ada luapan kesedihan atas wafatnya beliau? Imam Suyuthi menjelaskan: "Kelahiran Nabi SAW adalah kenikmatan terbesar untuk kita, sementara wafatnya beliau adalah musibah terbesar atas kita. Sedangkan syariat memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat dan bersabar serta diam dan merahasiakan atas cobaan yang menimpa. Terbukti agama memerintahkan untuk menyembelih kambing sebagai 'aqiqoh pada saat kelahiran anak, dan tidak memerintahkan menyembelih hewan pada saat kematian, maka kaidah syariat menunjukkan bahwa yang baik pada bulan ini adalah menampakkan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW bukan menampakkan kesusahan atas musibah yang menimpa". [4] Oleh karena hakekat dari perayaan maulid adalah luapan rasa syukur serta penghormatan kepada Rasulullah SAW, sudah semestinya tidak dinodai dengan kemunkaran-kemunkaran dalam merayakannya. Seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, tampilnya perempuan di atas pentas dihadapan kaum laki-laki, alat-alat musik yang diharamkan dan lain-lain. Begitu juga peringatan maulid tidak seharusnya digunakan untuk saling provokasi antar kelompok Islam yang berujung pada kekerasan antar kelompok. Sebab jika demikian yang terjadi, maka bukanlah penghormatan yang didapat akan tetapi justru penghinaan kepada Rasulullah SAW. Ustadz Muchib Aman Aly Ustadz Muhammad Niam

x

Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...