SEKILAS
ISTIGHTSAH DAN TAWASSUL
Ø Definisi Tawassul
طَلَبُ حُصُوْلِ مَنْفَعَةٍ أَوْ انْدِفَاعِ
مَضَرَّةٍ مِنَ اللهِ بِذِكْرِ اسْمِ نَبِيِّ أَوْ وَلِيٍّ إِكْرَامًا
لِلْمُتُوُسَّلِ بِهِ (العبدري, الشرح القويم, ص 378)
“Memohon
datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah
SWT dengan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan (ikram)
keduanya.” (Al-Hafizh Al-‘Abdari, Al-Syarh Al-Qiyam, Hal.378)
وَاسْتَعِيْنُوا بِالصَّبْرِ وَالصَلاَةِ
وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِيْنَ
“Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (QS. Al-Baqarah: 45)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan” (QS. Al-Maidah: 35)
Al-Syaikh
Jamil Afandi Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud istighatsah
dan tawassul dengan para nabi dan orang-orang yang shaleh ialah
menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SWT
untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku yang sebenarnya
(yang mengabulkan doa).
Sebagai contoh, pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari
dirinya sendiri karena pemotong yang sebenarnya adalah Allah SWT. Pisau hanya sebagai
penyebab yang alamiah (berpotensi untuk memotong), Allah SWT menciptakan
memotong melalui pisau tersebut. (Al-Fajr al-Shadiq, hal. 53-54).
Imam Malik memerintahkan Abu Ja’far al-Manshur al-Abbasi untuk menghadap
makam Nabi saat berdoa dan meminta syafaat pada beliau.
(Syarh al-Mawahib, 8/304-305, al-Madkhal, 1/248, dll)
وَقَدْ
رُوِيَ أَنَّ مَالِكًا لَمَّا سَأَلَهُ أَبُو جَعْفَرٍ الْمَنْصُورُ
الْعَبَّاسِيُّ - ثَانِي خُلَفَاء بَنِي الْعَبَّاسِ - يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ
أَأَسْتَقْبِل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَدْعُو أَمْ
أَسْتَقْبِل الْقِبْلَةَ وَأَدْعُو؟ فَقَال
لَهُ مَالِكٌ: وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك وَوَسِيلَةُ
أَبِيك آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟
بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللَّهُ. وَقَدْ رَوَى هَذِهِ الْقِصَّةَ أَبُو الْحَسَنِ
عَلِيُّ بْنُ فِهْرٍ فِي كِتَابِهِ ”فَضَائِل مَالِكٍ" بِإِسْنَادٍ لاَ
بَأْسَ بِهِ وَأَخْرَجَهَا الْقَاضِي عِيَاضٌ فِي الشِّفَاءِ مِنْ طَرِيقِهِ عَنْ
شُيُوخٍ عِدَّةٍ مِنْ ثِقَاتِ مَشَايِخِهِ.
شرح
المواهب 8 / 304 - 305 ، والمدخل 1 / 248 ، 252 ، ووفاء الوفاء 4 / 1371
Ø TIDAK ADA PERBEDAAN ANTARA HIDUP
DAN MATI
Apabila
seseorang berkata bahwa memohon bantuan kepada Nabi (tawassul), mengadukan
keadaan, memohon syafaat dan pertolongan kepada Beliau serta segala sesuatu yg
sejenis hanya bisa dilakukan saat Beliau masih hidup, sedangkan jika dilakukan
sesudah Beliau wafat merpakan tindakan kufur, maka kami akan menjawab bahwa
para Nabi dalam kondisi hidup dalam kubur mereka dan para hamba Allah yg
di-ridloi juga hidup dlam kubur mereka.
Kalaupun
seandainya seorang pakar fiqih tidak menemukan dalil atas keabsahan tawassul
dan memohon bantuan kepada Beliau sesudah wafat kecuali dianalogikan dengan
tawassul dan memohon bantuan kepada beliau sewaktu masih hidup niscaya hal ini
sudah mencukupi. Karena Beliau Saw yg hidup di dunia dan akhirat, senantiasa
memberikan perhatian kepada umatnya, mengatur urusan-urusan umatnya atas seizin
Allah, mengatur kondisi umatnya, disampaikan kepadanya shalawat dari umatnya
dan sampai kepada Beliau salam mereka meskipun tak terhitung jumlah mereka.
Orang yg pengetahuannya luas mengenai arwah dan memiliki keistemawaan tentang
hal ghoib, pasti hatinya akan lapang untuk mengimani kehidupan arwah di alam
barzakh, terlebih arwah-arwah orang-orang yg memiliki keluhuran. Lalu bagaimana
dengan ruh dari segala arwah dan cahaya dari segala cahaya, yakni Nabi kita
Muhammad Saw ? seandainya memohon syafaat, meminta bantuan atau tawassul pada
Beliau setelah wafat dikatagorikan syirik atau kufur, maka hal itu juga tidak
akan diperbolehkan baik dalam kehidupan dunia, akhirat, pada hari kiamat atau
sebelumnya. Karena Tindakan syirik dimurkai Allah dalam kondisi apapun secara
mutlak.
Kata Ibnu Taimiyah: Tawassul dengan orang
shalih yang sudah wafat bukan kemusyrikan
“Tidak
masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang
diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi SAW
atau makam orang-orang salih, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari
makam Nabi SAW pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya
benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih
serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa
yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi SAW lalu
mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu
orang tersebut bermimpi Nabi SAW
dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan
istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini
banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi SAW,
dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn
Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz 1, hal. 373).
Referensi
وَلاَ
يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا
يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ
بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُ اْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ
وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُ
أَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً
جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ
عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُ
أَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ
وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْ هُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ
تقي الدين ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).
Syaikh
Yusuf an-Nabhani menambahkan: “semua orang
yang memperbolehkan tawassul pada orang yang masih hidup, dan melarang hal itu
pada orang yang telah wafat adalah orang yang terjerumus dalam ke-syirikan
, karena mereka sama saja dengan meyakini bahwa
orang yang masih hidup bisa memberikan efek (manfaat) pada orang lain,
sedangkan yang sudah mati tidak, maka dengan keyakinan seperti itu , mereka
tergolong orang-orang yang meyakini ada yang bisa memberikan efek selain Allah
Swt, maka bagaimana mungkin mereka bisa mengaku sebagai golongan
yang sangat menjaga ketauhidan, bahkan menganggap golongan lainnya melakukan
kesyirikan”. (syawahidu al-Haq hal. 158-159)
شواهد الحق ص 158- 159
فلا فرق في التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم وغيره من الأنبياء والمرسلين
صلوات الله وسلامه عليهم أجمعين، وكذا بالأولياء والصالحين، لا فرق بين كونهم أحياء
وأمواتاً، لأنهم لا يخلقون شيئاً، وليس لهم تأثير في شيء، وإنما يتبرك بهم لكونهم
أحبَّاء الله تعالى، وأما الخلق والإيجاد والإعدام والنفع والضر فإنه لله وحده لا شريك
له
وأما الذين يفرقون بين الأحياء والأموات فإنهم بذلك الفرق
يتوهم منهم أنهم يعتقدون التأثير للأحياء دون الأموات، ونحن نقول:
( الله خالق كل شيء والله خلقكم وما تعملون(. فهؤلاء المجوزون التوسل بالأحياء دون
الأموات أو المعتقدون تأثير غير الله تعالى وهم الذين دخل الشرك في توحيدهم لكونهم
اعتقدوا تأثير الأحياء دون الأموات , فهم الذين إعتقدوا تأثير غير الله تعالى
فكيف يدعون المحافظة على التوحيد وينسبون غيرهم إلى الشرك .- سبحانك هذا بهتان
عظيم
Ø MEMBANTAH SYUBHAT
Berikut kami cantumkan syubhat
(pengkaburan) yang dilakukan oleh kalangan anti tawassul dan istighotsah
berikut jawaban atasnya.
Beristighotsah
adalah syirik sebab didalam rangkaian doa yang dibaca terdapat kata-kata yang
mengindikasikan meminta kepada selain Allah Swt.
Menanggapi
klaim tersebut, perlu diketahui bahwa untaian kata semisal
اَدْرِكْنِي يَا رَسُولَ اللهِ
“Tolonglah aku wahai Rasulullah”
Menurut Sunni, Redaksi di atas menurut mayoritas kaum Muslimin
sejak generasi sahabat hingga kini, adalah benar dan tidak syirik. Redaksi seperti di atas masuk dalam konteks
tawasul dan istighatsah, yaitu berdoa kepada Allah dengan memanggil nama
seorang yang mulia menurut Allah, dan hal ini telah berlangsung sejak generasi
sahabat dan diajarkan oleh Rasulullah r.
Menurut Salafi Wahabi, Redaksi tersebut masuk dalam konteks
penyembahan terhadap selain Allah, yang berarti syirik akbar, murtad dan
pelakunya masuk neraka selama-lamanya, dan hal ini telah dijelaskan oleh Syaikh
Ibn Taimiyah pada abad ke-8 Hijriah.
Bukan
redaksi yang menyebabkan syirik, redaksi ini merupakan bentuk majaz sebab
redaksi itu keluar dari orang-orang yg bertauhid sehingga mengandung kata yang
disimpan, yakni menjadi “tolonglah aku wahai Rasulullah sampaikan kepada
Allah”. Untaian kata itu juga merupakan bentuk kata tawassul yg jelas sekali
dibenarkan dalam islam.
Sayyid Muhammad menegaskan:”
apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin penyandaran sesuatu kepada selain Allah maka wajib dipahami
sebagai majaz ‘aqli. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena majaz ‘aqli
digunakan dalam al-Quran dan as-sunnah”.
Dalam beberapa hadits disebutkan
tentang tawassul para sahabat yang mirip dengan redaksi diatas, antara lain
عن عبد الرحمن بن سعد قال : خَدِرَتْ رِجْلُ بنِ
عُمَرَ فقَال لَهُ رَجُلٌ اُذْكُرْ أَحَبَّ الناسِ إليكَ فَقَال يا محمد
“Dari Abdurrahman bin sa’id berkata:”ibnu
Umar tiba-tiba kakinya mati mati rasa (tidak dapat digerakkan), lalu seorang
laki-laki berkata kepadanya:”pangillah orang yang paling kamu cintai”. Ibnu
Umar berkata:” Ya Muhammad”.(HR.
Bukhori)
Kelompok anti istighotsah
mengatakan bahwa Nabi tidak bisa di mintai pertolongan, mereka beragumen dengan
memakai hadits
إنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ
“sesungguhnya saya tidak dapat dijadikan
tempat pertolongan”
Untuk
menjawab pernyataan di atas, sebelumnya kita harus tahu bahwa hadits itu adalah
penggalan sebuah hadits yang memuat kisah berikut
انه كان في زمن النبي صلى الله عليه وسلم منافق يؤذى
المؤمنين ، فقال أبو بكرالصديق : قوموا بنا
نستغيث برسول الله من هذا المنافق ، فجاءوا
إليه فقال
النبي صلى الله عليه وسلم : إنه لا يستغاث بي ، إنه يستغاث بالله تعالى
“sesungguhnya pada area Nabi Muhammad Saw
ada orang munafik yang menyakiti orang mukmin. Abu bakar berkata :” marilah
bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi dari si munafik itu, Nabi
menjawab:” sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuk memohon, hanya
Allah-lah yg menjadi tempat memohon”.
(HR. Thobraniy dalam al-Mu’jam al-kabir)
Hadits
ini terkadang dijadikan argumentasi oleh
orang yg menolak memohon pertolongan dengan Nabi Saw. Argumentasi ini dari awal
sudah keliru, sebab jika Hadits dipahami secara tekstual niscaya maksudnya
adalah melarang memohon pertolongan dengan Beliau secara total. Pemahaman
tekstual ini dimentahkan oleh oleh sikap sahabat bersama beliau, dimana mereka
memohon pertolongan dan hujan lewat beliau serta minta do’a kepada beliau dan
beliau pun mengabulkannya dengan suka cita. Karena itu hadits ini harus diberi
interpretasi (penafsiran) yg relevan dengan keumuman hadits-hadits lainnya agar
kesatuan nash-nash bisa terangkai. Dari situ kami katakan bahwa yg dimaksud
dengan إنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ (sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat untuk
memohon ) adalah menetapkan substansi tauhid dalam dasar keyakinan.
Dan memang yang bisa memberi pertolongan hanyalah Allah. Sedangkan dalam
masalah ini hamba hanyalah sebagai mediator dalam memohon pertolongan atau
maksud Nabi Saw adalah mengajari para sahabat bahwa tidak boleh meminta kpd
hamba sesuatu yg berada diluar kapasitasnya seperti meraih surga, selamat dari
neraka, hidayah terhindar dari kesesatan, dan jaminan mengakhiri ajal dalam
kebahagian.
Hadits
ini tidak menunjukkan atas pengkhususan memohon pertolongan dan memberikannya
hanya pada orang hidup saja, karena
jelas tidak memiliki keterkaitan dengan pengkhususan tersebut. Justru jika
dilihat secara tekstual hadits ini
melarang memohon pertolongan dengan selain Allah selamanya, tanpa ada
diskriminasi antara yg hidup dan yang mati. Namun tetap dengan koridor yang
telah kami jelaskan dimuka.
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
al-fatawa mengisyaratkan pengertian ini dimana beliau mengatakan
مجموع
فتاوى ابن تيمية - (ج 1 / ص 20)
وَقَدْ
يَكُونُ فِي كَلَامِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِبَارَةٌ
لَهَا مَعْنًى صَحِيحٌ لَكِنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَفْهَمُ مِنْ تِلْكَ غَيْرَ مُرَادِ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَذَا يُرَدُّ عَلَيْهِ فَهْمُهُ
. كَمَا رَوَى الطبراني فِي مُعْجَمِهِ الْكَبِيرِ { أَنَّهُ كَانَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَافِقٌ يُؤْذِي الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ أَبُو
بَكْرٍ الصِّدِّيقُ : قُومُوا بِنَا لِنَسْتَغِيثَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّهُ لَا يُسْتَغَاثُ بِي وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاَللَّهِ } فَهَذَا
إنَّمَا أَرَادَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَعْنَى الثَّانِيَ
وَهُوَ أَنْ يُطْلَبَ مِنْهُ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ إلَّا اللَّهُ وَإِلَّا فَالصَّحَابَةُ
كَانُوا يَطْلُبُونَ مِنْهُ الدُّعَاءَ وَيَسْتَسْقُونَ بِهِ كَمَا فِي صَحِيحِ
الْبُخَارِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : رُبَّمَا ذَكَرْت قَوْلَ الشَّاعِرِ وَأَنَا
أَنْظُرُ إلَى وَجْهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَسْقِي فَمَا
يَنْزِلُ حَتَّى يَجِيشَ لَهُ مِيزَابٌ : وَأَبْيَضَ يُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ
ثِمَالُ الْيَتَامَى عِصْمَةٌ لِلْأَرَامِلِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي طَالِبٍ
“terkadang dalam firman Allah
dan sabda Rasul terdapat ungkapan yg memiliki arti shahih namun sebagian orang
diluar yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Pemahaman ini tidak bisa diterima,
sebagaimana ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir meriwayatkan bahwa; “sesungguhnya
pada area Nabi Muhammad Saw ada orang munafik yang menyakiti orang mukmin. Abu
bakar berkata :” marilah bersama-sama kita memohon pertolongan kepada Nabi dari
si munafik itu, Nabi menjawab:” sesungguhnya saya tidak bisa dijadikan tempat
untuk memohon, hanya Allah-lah yg menjadi tempat memohon”. Pengertian
hadits ini yg dikehendaki Nabi Saw adalah pengertian yang kedua. Yakni meminta
kepada Beliau sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. Jika tidak
dikehendaki pengertian kedua, maka akan melenceng dari maksud aslinya, terbukti
para sahabat memohon do’a kpd beliau dan meminta hujan lewat Beliau sebagaimana
keterangan dalam Shahih al-Bukhori dari Ibnu Umar, ia berkata, : “kadang aku
mengingat seorang penyair seraya ku-pandang wajah Nabi Saw yang sedang memohon
hujan. Maka Beliau tidak turun sampai talang mengalirkan air-nya.”
وَأَبْيَضَ
يُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ * ثِمَالُ الْيَتَامَى
عِصْمَةٌ لِلْأَرَامِلِ
Figur
berwajah putih dimana mendung dimintakan hujan berkat dirinya * Sang pemelihara
anak-anak yatim dan pelindung para janda
Kelompok anti istighotsah juga berargumen dengan hadits
إِذَا سَألْتَ فَاسأَلِ الله ، وإِذَا اسْتَعَنْتَ
فَاسْتَعِنْ باللهِ
“jika
engkau memohon maka memohonlah kepada Allah dan jika minta pertolongan mintalah
pada Allah”
Hadits ini adalah penggalan dari
sebuah hadits yg diriwayatkan oleh at-Turmudzi dan dinilai shahih dari Ibnu
‘Abbas dengan status marfu’. Banyak orang salah faham dalam memahami hadits ini
karena mereka menjadikannya sebagai dalil bahwa tidak boleh meminta dan memohon
pertolongan secara mutlak, dari sisi apapun, dan dengan cara apapun kecuali
kepada Allah. Mereka menganggap meminta & memohon pertolongan kepada selain
Allah sebagai kemusyrikan yg mengeluarkan dari agama islam. Dengan anggapan
demikian mereka menafikan penggunaan sebab & mencari bantuan dengannya,
serta meruntuhkan banyak nash yg ada dalam masalah ini. Yang benar hadits ini
tidak dimaksudkan untuk melarang meminta atau memohon pertolongan kepada selain
Allah sebagaimana dilihat dari teksnya, namun maksudnya adalah melarang lupa
bahwa kebaikan yang dihasilkan oleh suatu sebab sesungguhnya berasal dari
Allah, dan perintah untuk menyadari bahwa kenikmatan yang ada pada makhluk
hanyalah berasal dari Allah. Berarti makna hadits ini adalah jika anda ingin
memohon pertolongan kepada salah seorang makhluk dan hal ini harus dilakukan maka jadilah
seluruh sandaranmu kepada Allah semata, jangan sampai perhatian kepada sebab
membuatmu lupa untuk mengingat sang pembuat sebab artinya jangan sampai kita
menjadi orang yg mengetahui sesuatu yang terlihat secara dhahir antara berbagai
hal yang saling berkaitan satu sama lainnya namun melupakan Dzat yang
mengaitkannya. Hadits di atas sendiri mengindisikan pengertian ini. Yakni dalam
sabda Nabi setelah ungkapan diatas, yaitu
وَاعْلَمْ : أنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى
أنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إلاَّ بِشَيءٍ قَدْ كَتَبهُ اللهُ لَكَ ،
وَإِن اجتَمَعُوا عَلَى أنْ يَضُرُّوكَ بِشَيءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إلاَّ بِشَيءٍ قَدْ
كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ
”ketahuilah bahwa sesungguhnya kalau umat bersatu untuk
memberimu manfaat dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu manfaat
kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan Allah untukmu, dan jika
mereka bersatu untuk memberimu bahaya
dengan sesuatu maka mereka tidak akan memberimu bahaya kecuali dengan sesuatu yang telah digariskan
Allah kepadamu”
(HR, at-Tirmidzi)
Sebagaimana kita lihat,hadits
ini menetapkan umat bisa memberi manfaat satu sama lain dengan sesuatu yang
telah digariskan Allah atas seorang hamba,. Kelanjutan dari hadits diatas
menjelaskan maksud yang dikehendaki Nabi Saw. Jadi mengapa kita mengingkari
permintaan bantuan kepada selain Allah padahal terdapat perintah untuk
melakukannya dalam banyak tempat dari al-Quran dan as-Sunnah ??
Allah Swt berfirman
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ [البقرة/45]
“jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu”.(al-baqorah, 45)
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
[الأنفال/60]
“dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”.(al-Anfal, 60)
Firman Allah berikut menceritakan seorang hamba yang
shaleh, Dzul Qurnain
قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي
بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا [الكهف/95]
“Dzul
Qurnain berkata:” Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhan-ku kepadaku terhadapnya
adalah lebih baik, Maka tolonglah aku dengan kekuatan agar aku
membuatkan dinding antara kamu dan mereka”.(al-kahfi, 95)
Serta dalam penyelenggaraan
shalat khouf yang ditetapkan dalam al-Quran dan as-sunnah supaya kita saling
tolong menolong antara sesama makhluk. Begitu pula Rasulullah Saw mendorong
kaum mukmin untuk saling membantu memenuhi kebutuhan yang lain,memudahkan orang
yang tertimpa kesulitan dan memberi solusi atas orang yang dilanda problem,
serta ancaman Beliau terhadap sikap tidak peduli atas hal-hal tersebut,
terdapat dalam sunnah
السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي - (ج
8 / ص 330)
مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى
حَاجَتِهِ
“barang
siapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi
kebutuhannya”.(HR,al-Bukhori)
الأربعون الصغرى للبيهقي - (ج 1 / ص 152)
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِي
“Allah
senantiasa membantu seorang hamba sepanjang ia selalu membantu saudaranya.”(HR,
Muslim)
مجمع الزوائد - (ج 8 / ص 350)
إن لله خلقا خلقهم لحوائج الناس تفزع الناس إليهم
في حوائجهم أولئك الآمنون من عذاب الله
“Allaj
memiliki Makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia
datang kepada mereka mengadukan kebutuhannya. Mereka itu adalah orang-orang
yang aman dari adzab Allah”. (HR, ath-Thabrani)
Renungkanlah
sabda-sabda Nabi Saw , Beliau tidak menjadikan manusia tersebut sebagai
orang-orang musyrik (yang menyebabkan kemusyrikan) dan juga tidak sebagai
orang-orang yang melakukan maksiat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar