FATWA IBNU TAIMIYYAH DAN IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYYAH
|||
KOMENTAR IBNU TAIMIYAH
TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL |||
TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL |||
Ibnu Taimiyah merupakan seorang ulama yang fatwa-fatwanya banyak menjadi
rujukan kaum Wahhabiyah. Beliau dianggap sebagai ulama yang bermadzhab Hanbali
yang sangat ketat. Sedangkan bagi ulama Syafi’iyyah, Ibnu Taimiyah dikatakan
menyimpang terkait pembahasan aqidah. Namun, banyak hal menarik yang juga bisa
di ambil hikmah dari fatwa-fatwa beliau tentang menghadiahkan pahala kepada
orang mati termasuk menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk orang mati (mayyit).
QS. an-Najm Ayat 39 dan Hadits Terputusnya Amal
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang QS. an-Najm 39 dan hadits terputusnya
amal sebagaimana tercantum didalam kitabnya sebagai berikut :
سئل: عن قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا
ما سعى} وقوله - صلى الله عليه وسلم -: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من
ثلاث صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فهل يقتضي ذلك إذا مات لا
يصل إليه شيء من أفعال البر؟
Ibnu
Taimiyah di tanya tentang firman Allah {tiada bagi manusia kecuali apa yang
diusahakan} dan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {apabila anak adam
wafat maka terputuslah amalanya kecuali 3 hal yakni shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat untuknya dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, apakah hal itu
menunjukkan apabila seseorang wafat tidak perbuatan-perbuatan kebajikan tidak
sampai kepadanya ?
الجواب: الحمد لله رب العالمين. ليس في
الآية، ولا في الحديث أن الميت لا ينتفع بدعاء الخلق له، وبما يعمل عنه من البر بل
أئمة الإسلام متفقون على انتفاع الميت بذلك، وهذا مما يعلم بالاضطرار من دين
الإسلام، وقد دل عليه الكتاب والسنة والإجماع، فمن خالف ذلك كان من أهل البدع
Jawab
; al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, tiada didalam ayat dan tidak pula didalam
hadits bahwa mayyit (orang mati) tidak mendapat manfaat dengan do’a untuknya
dan dengan apa yang amalkan (kerjakan) untuknya seperti kebajikan bahkan
para Imam telah sepakat bahwa mayyit (orang mati) mendapatkan manfaat atas hal
itu, dan ini diketahui dengan jelas dari agama Islam, dan sungguh al-Kitab
(al-Qur’an), as-Sunnah dan Ijma’ telah menunjukkannya, oleh karena itu
barangsiapa yang menyelisihi hal itu maka ia termasuk dari ahli bid’ah. [1]
Karena panjangnya bahasan inii (ulasan Ibnu Taimiyah) yang intinya baik
ibadah maliyah dan badaniyah bisa sampai kepada mayyit dan memberikan manfaat
bagi orang mati, telah tersebar pembahasan ini dalam kitab-kitab beliau, maka
kami singkatkan (cukupkan) untuk menyoroti hadits Inqatha'a Amaluhu menurut
Ibnu Taimiyah :
أما الحديث فإنه قال: «انقطع عمله إلا من
ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فذكر الولد، ودعاؤه له
خاصين؛ لأن الولد من كسبه، كما قال: {ما أغنى عنه ماله وما كسب} [المسد: 2] .
قالوا: إنه ولده. وكما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «إن أطيب ما أكل الرجل
من كسبه، وإن ولده من كسبه» . فلما كان هو الساعي في وجود الولد كان عمله من كسبه،
بخلاف الأخ، والعم والأب، ونحوهم. فإنه ينتفع أيضا بدعائهم، بل بدعاء الأجانب، لكن
ليس ذلك من عمله
“Mengenai
hadits bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda : "apabila
seorang manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang
berasal dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak
shalih yang berdo’a untuknya". Disini menyebutkan walad (anak-anak) dan
do'anya kepadanya secara khusus karena sungguh seorang anak termasuk dari
usahanya, sebagaimana firman Allah Ta'alaa : "Tidaklah berfaedah kepadanya
harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (QS. Al-Lahaab : 2). Ulama telah
berkata : sesungguhnya yang dimaksud itu adalah anaknya, dan sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : "Sungguh sebaik-baiknya apa yang
dimakan oleh seseorang adalah yang berasal dari usahanya dan sungguh anaknya
bagian dari usahanya". Maka ia sebagai orang yang berusaha (sa’i)
didalam hal wujudnya seorang anak maka amalnya (amal anaknya) termasuk dari
kasabnya (usahanya), berbeda halnya dengan saudara, paman, ayah dan
seumpama mereka. Namun, mereka itu bisa memberikan manfaat juga dengan do’a
mereka bahkan juga do’a yang lainnya, akan tetapi yang demikian itu bukan dari
amalnya.
والنبي - صلى الله عليه وسلم - قال: «انقطع
عمله إلا من ثلاث» لم يقل: إنه لم ينتفع بعمل غيره. فإذا دعا له ولده كان هذا من
عمله الذي لم ينقطع، وإذا دعا له غيره لم يكن من عمله، لكنه ينتفع به
“Dan
Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda : "terputus amalnya kecuali 3
hal", namun tidak dikatakan : sesunggguhnya tidak mendapat manfaat
dari amal orang lain. Maka ketika anaknya berdo'a untuknya, itu menjadi
bagian dari amalnya yang tidak terputus,sedangkan apabila orang lain yang
berdo'a untuknya, maka itu tidak menjadi bagian dari amalnya, akan tetapi bisa
mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. [] [2]
|||
HUKUM KELUAR ALMARHUM MEMBACA QUR'A UNTUK MAYYIT |||
Berikut merupakan jawaban Ibnu Taimiyah ketika di tanya tentang keluarga
al-marhum yang membaca al-Qur’an untuk orang mati :
سئل: عن قراءة أهل الميت تصل إليه؟
والتسبيح والتحميد، والتهليل والتكبير، إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم
لا؟. الجواب: يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله
تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه، والله أعلم
(Ibnu
Taimiyah) ditanya tentang keluarga al-Marhum yang membaca al-Qur’an yang
disampaikan kepada mayyit ? Tasybih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila
menghadiahkannya kepada mayyit, apakah pahalanya sampai kepada mayyit ataukah
tidak ?
Jawab
: Pembacaaan al-Qur’an oleh keluarga almarhum sampai kepada mayyit, dan
tasbih mereka, takbir dan seluruh dziki-dzikir karena Allah Ta’alaa apabila
menghadiahkannya kepada mayyit, maka sampai kepada mayyit. Wallahu A’lam. [3]
|||
BACAAN AL-QUR'AN SAMPAI ATAU TIDAK ? |||
Ibnu Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama
سئل: هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا؟ على مذهب الشافعي
(Ibnu
Taimiyah) ditanya tentang pembacaan al-Qur’an oleh seorang anak apakah sampai
kepada mayyit atau tidak ? Bagaimana menurut madzhab asy-Syafi’i ?
الجواب: أما وصول ثواب العبادات البدنية: كالقراءة، والصلاة،
والصوم، فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل،
وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل، والله أعلم.
Jawab
: Adapun sampai pahala ibadah-ibadah badaniyah seperti membaca al-Qur’an,
shalat dan puasa, oleh karena itu madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan
sekelompok dari Ashhab Malik dan asy-Syaf’i menyatakan sampai, sedangkan
pendapat kebanyakan Ashhab Malik dan asy-Syafi’i menyatakan tidak sampai.
Wallahu A’lam. [4]
||| BERTAHLIL 70.000 DAN DIHADIAHKAN KEPADA MAYYIT |||
سئل: عمن
«هلل سبعين ألف مرة، وأهداه للميت، يكون براءة للميت من النار» حديث صحيح؟ أم لا؟
وإذا هلل الإنسان وأهداه إلى الميت يصل إليه ثوابه، أم لا؟ الجواب: إذا هلل الإنسان هكذا: سبعون
ألفا، أو أقل، أو أكثر. وأهديت إليه نفعه الله بذلك، وليس هذا حديثا صحيحا، ولا
ضعيفا. والله أعلم.
“Ibnu
Taimiyah ditanya tentang orang yang bertahlil 70.000 kali dan menghadiahkannya
kepada mayyit, supaya memberikan keringan kepada mayyit dari api neraka,
haditsnya shahih ataukah tidak ? Apakah seseorang manusia yang bertahlil dan
menghadiahkan kepada mayyit, pahalanya sampai kepada mayyti ataukah tidak ?
Jawab
: Apabila seseorang bertahlil sejumlah yang demikian ; 70.000 kali
atau lebih sedikit atau lebih banyak dari itu dan menghadiahkannya kepada
mayyit niscaya Allah akan memberikan kemanfaatan kepada mayyit dengan hal
tersebut, dan tidaklah hadits ini shahih dan tidak pula dlaif.
Wallahu A’lam”. [] [5]
||| PASAL KHUSUS TENTANG MEMBACA AL-QUR'AN UNTUK MAYYIT |||
Berikut merupakan penjabaran Ibnu Taimiyyah di dalam sebuah pasal khusus
yang membahas pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :
فصل : وأما القراءة، والصدقة وغيرهما من
أعمال البر، فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية،
كالصدقة والعتق، كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار، والصلاة عليه صلاة الجنازة،
والدعاء عند قبره
Sebuah
pasal : Qira’ah dan shadaqah serta selain keduanya seperti amal-amal kebajikan
: tidak ada perselisihan diantara ‘ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama'ah tentang
sampainya pahala ibadah-ibadah maliyah, seperti shadaqah, memerdekakan budak,
sebagaimana sampainya do’a dan istighafar kepada orang mati, shalat untuk orang
mati yakni shalat jenazah, dan do’a disamping kubur orang mati.
وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم، والصلاة، والقراءة، والصواب أن
الجميع يصل إليه
Ulama
Ahlussunnah wal Jama'ah telah berselisih pendapat tentang sampainya amal-amal badaniyah,
seperti puasa, shalat dan pembacaan al-Qur’an, namun yang shawab (benar)
bahwa semuanya sampai kepada orang mati,
فقد ثبت في الصحيحين عن النبي - صلى الله
عليه وسلم - أنه قال: «من مات وعليه صيام صام عنه وليه» وثبت أيضا: «أنه أمر امرأة
ماتت أمها، وعليها صوم، أن تصوم عن أمها» . وفي المسند عن النبي - صلى الله عليه
وسلم - أنه قال لعمرو بن العاص: «لو أن أباك أسلم فتصدقت عنه، أو صمت، أو أعتقت
عنه، نفعه ذلك» وهذا مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي
Sungguh
telah tsabit didalam Ash-Shahihain (Bukhari Muslim) dari Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam bahwa beliau bersabda : “barangsiapa yang wafat dan masih
memiliki tanggungan puasa, maka hendaknya walinya berpuasa untuknya”, dan telah
tsabit juga “bahwa Nabi memerintahkan perempuan yang ibunya wafat sedangkan
masih memiliki tanggungan puasa, agar berpuasa untuknya”, dan didalam al-Musnad
dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau berkata kepada ‘Amru bin
‘Ash “seandainya ayahmu masuk Islam maka engkau bershadaqahlah menggantikannya
(untuknya), atau engkau berpuasa, atau memerdekan budak untuknya, niscaya itu
bermanfaat untuknya”, dan inilah madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah, sekelompok
dari Ashhab Malik dan asy-Syafi’i.
وأما احتجاج بعضهم بقوله تعالى: {وأن ليس
للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فيقال له قد ثبت بالسنة المتواترة وإجماع الأمة:
أنه يصلى عليه، ويدعى له، ويستغفر له وهذا من سعي غيره. وكذلك قد ثبت ما سلف من
أنه ينتفع بالصدقة عنه، والعتق، وهو من سعي غيره. وما كان من جوابهم في موارد
الإجماع فهو جواب الباقين في مواقع النزاع. وللناس في ذلك أجوبة متعددة
Adapun
sebagian mereka yang berhujjah dengan firman Allah Ta'alaa {tiada bagi manusia
kecuali apa yang diusahakan} maka dikatakan kepadanya (jawaban untuknya),
sungguh telah tsabit berdasarkan Sunnah yang Mutawatir dan Ijma’ Umat :
bahwa sesungguhnya mayyit dishalatkan atasnya, dido’akan untuknya, di
istighfarkan (dimohonkan ampun) untuknya dan ini dari usaha orang lain, dan
sebagaimana juga telah tsabit pada salafush shaleh seperti mayyit mendapatkan
manfaat dengan shadaqah untuknya dan membebaskan budak, dan semua itu dari
usaha orang lain, dan jawaban mereka didalam masalah yang bersifat ijma'
merupakan jawaban yang telah berlalu sebelumnya terhadap yang diperselisihkan,
dan masalah tersebut bagi umat Islam terdapat jawaban yang bermacam-macam.
لكن الجواب المحقق في ذلك أن الله تعالى
لم يقل: إن الإنسان لا ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: {وأن ليس للإنسان إلا ما
سعى} [النجم: 39] فهو لا يملك إلا سعيه، ولا يستحق غير ذلك. وأما سعي غيره فهو له،
كما أن الإنسان لا يملك إلا مال نفسه ونفع نفسه. فمال غيره ونفع غيره هو كذلك
للغير؛ لكن إذا تبرع له الغير بذلك جاز
Akan
tetapi jawaban ulama ahli Tahqiq terhadap masalah tersebut (an-Najm : 39)
adalah yakni Allah Ta'alaa tidak berfirman : "bahwasanya manusia tidak
bisa mendapatkan manfaat kecuali dengan amalnya sendiri", sebaliknya Allah
Ta'alaa berfirman : "dan tiada bagi manusia kecuali apa yang
diusahakan", maka ia tidak memiliki kecuali yang diusahakannya dan juga
tidak berhak selain yang demikian. adapun usaha orang lain maka itu untuk orang
lain tersebut, sebagaimana manusia tidak memiliki (harta) kecuali harta yang ia
usahakan sendiri dan memanfaatkannya sendiri, maka harta orang lain dan manfaat
orang lain itu sebagaimana untuk orang lain itu sendiri, akan tetapi jika orang
lain memberikan untuknya dengan hal yang demikian maka itu boleh
وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه
الله بذلك، كما ينفعه بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل
مسلم، سواء كان من أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند
قبره
Dan
seperti itu juga apabila orang lain memberikan untuknya dengan usaha orang
tersebut niscaya Allah memberikan manfaat dengan hal tersebut, sebagaimana
bermanfaatnya do'a orang tersebut untuknya, juga shadaqah untuknya, dan itu
berarti mendapatkan manfaat dengan setiap yang sampai kepadanya yang berasal
dari setiap muslim, sama saja baik yang berasal dari kerabatnya atau orang
lain, sebagaimana mendapatkan manfaat dengan shalat umat Islam atas mayyit dan
do'a umat islam untuk mayyit disamping quburnya. [] [6]
|||
IBNU TAIMIYYAH BICARA MASALAH KEUTAMAAN (AFDLALIYAH) |||
Ibnu Taimiyyah Hanya Bicara Soal Keutamaan
(Afdlaliyah) Bukan Membid’ahkan. Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mana yang
lebih utama (afdlal) antara menghadiahkan pahala kepada orang tua atau kepada
kaum Muslimin. Dalam hal ini, pembahasan Ibnu Taimiyah hanya menguraikan
masalah keutamaan. Berikut adalah redaksinya :
سئل: عمن يقرأ القرآن العظيم، أو شيئا منه، هل الأفضل أن يهدي
ثوابه لوالديه، ولموتى المسلمين؟ أو يجعل ثوابه لنفسه خاصة؟
“Ibnu
Taimiyah ditanya tentang orang yang membaca al-Qur’an al-‘Adhim atau sebagian
dari al-Qur’an, apakah lebih utama (afdlall) agar menghadiahkan pahalanya
kepada kedua orang tuanya, dan kepada orang muslim yang wafat ? atau hanya
menjadikan pahalanya untuk dirinya sendiri saja ?
الجواب: أفضل العبادات ما وافق هدي رسول الله - صلى الله عليه وسلم
- وهدي الصحابة، كما صح عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه كان يقول في خطبته: «خير
الكلام كلام الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة» .
وقال - صلى الله عليه وسلم -: خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم
Jawab
: Ibadah-ibadah yang lebih utama adalah yang sesuai dengan pentunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam dan petunjuk para sahabat, sebagaimana telah
shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang mana beliau bersabda
didalam khutbahnya : "sebaik-baiknya perkataan adalah Kalamullah dan
sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruknya
perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid'ah itu sesat", Nabi
shallallahu 'alayhi wa salam juga bersabda : "sebaik-baiknya qurun
(generasi) adalah kurun-ku, kemudian yang datang setelah mereka".
وقال ابن مسعود: من كان منكم مستنا فليستن بمن قد مات؛ فإن الحي لا
تؤمن عليه الفتنة، أولئك أصحاب محمد
Ibnu
Ma'sud berkata : barangsiapa diantara kalian yang ingin mengikuti petunjuk,
maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang
masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para
sahabat Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam
فإذا عرف هذا الأصل. فالأمر الذي كان معروفا بين المسلمين في
القرون المفضلة، أنهم كانوا يعبدون الله بأنواع العبادات المشروعة، فرضها ونفلها،
من الصلاة، والصيام، والقراءة، والذكر، وغير ذلك وكانوا يدعون للمؤمنين والمؤمنات،
كما أمر الله بذلك لأحيائهم، وأمواتهم، في صلاتهم على الجنازة، وعند زيارة القبور،
وغير ذلك
Maka
apabila telah diketahui pondasi (pokok) ini, maka perkara yang telah ma’ruf
diantara kaum muslimin pada qurun mufadldlalah (penuh karunia), bahwa mereka
beribadah kepada Allah dengan berbagai macam ibadah yang masyru’, baik fardlu
maupun nafilah (sunnah), seperti shalat, puasa, qiraa’ah (membaca
al-Qur'an), dzikir dan yang lainnya, mereka berdo’a untuk mukminin dan mukminat,
sebagaimana Allah perintahkan dengan hal itu untuk orang-orang yang hidup dan
orang mati, baik didalam shalat jenazah juga ketika ziarah kubur dan yang
lainnya.
وروي عن طائفة من السلف عند كل ختمة دعوة مجابة، فإذا دعا الرجل
عقيب الختم لنفسه، ولوالديه، ولمشايخه، وغيرهم من المؤمنين والمؤمنات، كان هذا من
الجنس المشروع. وكذلك دعاؤه لهم في قيام الليل، وغير ذلك من مواطن الإجابة
Telah
diriwayatkan dari sekelompok salafush shaleh dimana setiap kali khatam
(al-Qur’an) merupakan waktu do’a yang di ijabah, maka apabila seseorang
berdo’a mengiringi khatmil Qur’an untuk dirinya sendiri, kedua orang tuanya,
masyayikh-nya dan yang lainnya seperti mukminin dan mukminaat, hal ini
merupakan termasuk dari jenis ibadah yang masyru’, dan sebagaimana juga do’anya
untuk mereka ketika qiyamul lail (shalat malam), dan yang lainnya seperti
momen-momen yang di ijabah
وقد صح عن النبي - صلى الله عليه وسلم -: أنه أمر بالصدقة على
الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم. فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما
جاءت به السنة في الصوم عنهم. وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء
ثواب العبادات المالية، والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد، وأبي
حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي
Dan
telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau memerintahkan
bershadaqah untuk mayyit dan puasa untuk mayyit. Shadaqah untuk mayyit termasuk
dari amal-amal shalih, dan demikian juga perkara yang berasal dari sunnah
tentang puasa untuk mereka, dan berdasarkan hal ini serta berdasarkan yang
lainnya sebagian ulama berhujjah : bahwa boleh menghadiahkan (memberikan)
pahala ibadah-ibadah maliyah dan badaniyah kepada orang muslim yang meninggal,
sebagaimana itu adalah madzhab Ahmad, Abu Hanifah dan sekelompok ulama dari
Ashhab Malikk dan asy-Syafi’i
فإذا أهدي لميت ثواب صيام، أو صلاة، أو قراءة، جاز ذلك، وأكثر
أصحاب مالك، والشافعي يقولون: إنما يشرع ذلك في العبادات المالية، ومع هذا لم يكن
من عادة السلف إذا صلوا تطوعا، وصاموا، وحجوا، أو قرءوا القرآن. يهدون ثواب ذلك
لموتاهم المسلمين، ولا لخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم، فلا ينبغي للناس أن يعدلوا
عن طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل. والله أعلم.
Maka
(oleh karena itu), apabila puasa, shalat dan qiraa’ah di hadiahkan untuk
mayyit maka itu boleh, namun kebanyakan Ashhab Malik dan Ashhab asy-Syafi’i
mengatakan : sesungguhnya yang demikian disyariatkan pada ibadah-ibadah maliyah
saja, dan bersamaan hal ini tiada dari kebiasaan salafush shaleh ketika mereka
shalat sunnah, puasa, haji atau membaca al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahala
yang demikian untuk orang-orang mati diantara mereka yang muslim, tidak pula
kepada orang-orang khusus diantara mereka, bahkan itu menjadi kebiasaan mereka
sebagaimana (pemaparan) sebelumnya, maka tidak sepatutnya bagi manusia untuk
mengadili dari jalan shalafush shaleh, sebab itu lebih utama (afdlaliyah)
dan lebih sempurna. Wallahu A’lam. [] [7]
||| KOMENTAR IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYYAH |||
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah merupakan murid dari Ibnu Taimiyah, yang juga
menjadi rujukan kaum Wahhabiyah. Didalam salah satu kitabnya yaitu ar-Ruh
termaktub hal-hal sebagai berikut :
وَقد ذكر عَن جمَاعَة من السّلف أَنهم
أوصوا أَن يقْرَأ عِنْد قُبُورهم وَقت الدّفن قَالَ عبد الْحق يرْوى أَن عبد الله
بن عمر أَمر أَن يقْرَأ عِنْد قَبره سُورَة الْبَقَرَة وَمِمَّنْ رأى ذَلِك
الْمُعَلَّى بن عبد الرَّحْمَن وَكَانَ الامام أَحْمد يُنكر ذَلِك أَولا حَيْثُ لم
يبلغهُ فِيهِ أثر ثمَّ رَجَعَ عَن ذَلِك
“dan
sungguh telah disebutkan dari jama’ah salafush shalih bahwa mereka berwasiat
agar dibacakan al-Qur’an disisi qubur mereka waktu dimakamkan, Abdul Haq
berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa-
memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang
meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman, sedangkan awalnya Imam
Ahmad mengingkari yang demikian karena atsar tentang hal itu tidak sampai
kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’ dari yang demikian”
وَقَالَ الْخلال فِي الْجَامِع كتاب
الْقِرَاءَة عِنْد الْقُبُور اُخْبُرْنَا الْعَبَّاس بن مُحَمَّد الدورى حَدثنَا
يحيى بن معِين حَدثنَا مُبشر الحلبى حَدثنِي عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء بن
اللَّجْلَاج عَن أَبِيه قَالَ قَالَ أَبى إِذا أنامت فضعنى فِي اللَّحْد وَقل بِسم
الله وعَلى سنة رَسُول الله وَسن على التُّرَاب سنا واقرأ عِنْد رأسى بِفَاتِحَة الْبَقَرَة
فإنى سَمِعت عبد الله بن عمر يَقُول ذَلِك قَالَ عَبَّاس الدورى سَأَلت أَحْمد بن
حَنْبَل قلت تحفظ فِي الْقِرَاءَة على الْقَبْر شَيْئا فَقَالَ لَا وَسَأَلت يحيى
ابْن معِين فحدثنى بِهَذَا الحَدِيث
“dan
al-Khallal didalam al-Jami’ kitab tentang pembacaan al-Qur’an disisi kubur,
telah mengkhabarkan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad ad-Dauri, menceritakan
kepada kami Yahya bin Mu’in, menceritakan kepada kami Mubasysyir al-Halabi,
menceritakan kepadaku Abdurrahman bin al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia
berkata : ayahnya berkata : apabila aku mati, kuburlah aku didalam liang lahad
dan ucapakanlah “dengan asma Allah dan atas Sunnah Rasulillah”, kemudian
ratakanlah diatas tanah, dan bacalah disisi (qubur) kepalaku pembukaan surah
al-Baqarah, sebab aku mendengar Abdullah bin ‘Umar mengatakan hal itu, ‘Abbas
ad-Dauri lalu berkata : aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, aku katakan
: Ia hafal sesuatu tentang pembacaan al-Qur’an diatas qubur, ia menjawab :
tidak, dan aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in, maka ia menceritakan kepadaku
hadits ini.
قَالَ الْخلال وَأَخْبرنِي الْحسن بن
أَحْمد الْوراق حَدَّثَنى على بن مُوسَى الْحداد وَكَانَ صَدُوقًا قَالَ كنت مَعَ
أَحْمد بن حَنْبَل وَمُحَمّد بن قدامَة الجوهرى فِي جَنَازَة فَلَمَّا دفن
الْمَيِّت جلس رجل ضَرِير يقْرَأ عِنْد الْقَبْر فَقَالَ لَهُ أَحْمد يَا هَذَا
إِن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر بِدعَة فَلَمَّا خرجنَا من الْمَقَابِر قَالَ
مُحَمَّد بن قدامَة لِأَحْمَد بن حَنْبَل يَا أَبَا عبد الله مَا تَقول فِي مُبشر
الْحلَبِي قَالَ ثِقَة قَالَ كتبت عَنهُ شَيْئا قَالَ نعم فَأَخْبرنِي مُبشر عَن
عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء اللَّجْلَاج عَن أَبِيه أَنه أوصى إِذا دفن أَن
يقْرَأ عِنْد رَأسه بِفَاتِحَة الْبَقَرَة وخاتمتها وَقَالَ سَمِعت ابْن عمر يُوصي
بذلك فَقَالَ لَهُ أَحْمد فَارْجِع وَقل للرجل يقْرَأ
“al-Khallal
berkata : telah mengkhabrkan kepadaku al-Hasan bin Ahmad al-Warraq,
menceritakan kepadaku ‘Ali bin Musa al-Haddad sedangkan ia adalah orang yang
jujur (shaduq), ia berkata : aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin
Qudamah al-Jauhari pada sebuah jenazah, ketika itu telah selesai pemakaman
mayyit maka duduklah seorang laki-laki buta membacakan al-Qur’an disisi qubur,
kemudian Ahmad berkata kepadanya : “hai.. apa ini ? sesungguhnya pembacaan
al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah”. Maka ketika kami keluar dari area
pekuburan, kemudian Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal :
“wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Mubasysyir al-Halabi ?”
Ahmad berkata : “tsiqah”, al-Jauhari berkata : “apakah engkau
meriwayatkan sesuatu darinya ?” Ahmad berkata : “iya”. Maka mengkhabarkan
kepada Mubasyyir dari Abdurrahman bin al-‘Alaa’ al-Lajlaj dari ayahnya bahwa ia
berwasiat apabila dimakamkan agar membaca disisi kepala (qubur) nya dengan
pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu
‘Umar mewasiatkan hal itu, kemudian Ahmad berkata kepadanya : maka kembalilah
dan katakanlah kepada laki-laki agar membacanya”.
وَقَالَ
الْحسن بن الصَّباح الزَّعْفَرَانِي سَأَلت الشَّافِعِي عَن الْقِرَاءَة عِنْد
الْقَبْر فَقَالَ لَا بَأْس بهَا
“al-Hasan
bin ash-Shabbah az-Za’farani berkata ; aku bertanya kepada Imam asy-Syafi’i
tentang pembacaan al-Qur’an disisi qubur, maka beliau menjawab : hal itu tidak
apa-apa”.
وَذكر الْخلال عَن الشّعبِيّ قَالَ كَانَت
الْأَنْصَار إِذا مَاتَ لَهُم الْمَيِّت اخْتلفُوا إِلَى قَبره يقرءُون عِنْده
الْقُرْآن قَالَ وَأَخْبرنِي أَبُو يحيى النَّاقِد قَالَ سَمِعت الْحسن بن الجروى
يَقُول مَرَرْت على قبر أُخْت لي فَقَرَأت عِنْدهَا تبَارك لما يذكر فِيهَا
فَجَاءَنِي رجل فَقَالَ إنى رَأَيْت أختك فِي الْمَنَام تَقول جزى الله أَبَا على
خيرا فقد انتفعت بِمَا قَرَأَ أَخْبرنِي الْحسن بن الْهَيْثَم قَالَ سَمِعت أَبَا
بكر بن الأطروش ابْن بنت أبي نصر بن التمار يَقُول كَانَ رجل يَجِيء إِلَى قبر أمه
يَوْم الْجُمُعَة فَيقْرَأ سُورَة يس فجَاء فِي بعض أَيَّامه فَقَرَأَ سُورَة يس
ثمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِن كنت قسمت لهَذِهِ السُّورَة ثَوابًا فاجعله فِي أهل
هَذِه الْمَقَابِر
“al-Khallal
menuturkan dari asy-Sya’bi, ia berkata : shahabat (qaum) Anshar ketika
seseorang antara mereka wafat, mereka saling datang ke quburnya dan membacakan
al-Qur’an disisi quburnya, Ia berkata : “dan mengkhabarkanepadaku Abu Yahya
an-Naqid, ia berkata : aku mendengar al-Hasan bin al-Jarwiy mengatakan : aku
berjalan ke qubur saudara perempuanku kemudian aku membaca surah Tabarak
(al-Mulk) disisi (qubur) nya, setelah menuturkan tentangnya maka seorang
laki-laki datang kepadaku, kemudian berkata : sesungguhnya aku melihat
saudara perempuanmu dalam mimpi mengatakan : semoga Allah membalas kebaikan Abu
‘Ali, sungguh memberikan manfaat kepadaku apa yang ia baca”, Telah mengkhabarkan
kepadaku al-Hasan bin al-Haitsam, ia berkata : aku mendengar Abu Bakar bin
al-Athrusy Ibnu binti Abu Nashr bin at-Tamar mengatakan : seorang laki-laki
datang ke qubur ibunya pada hari Jum’at kemudian membaca surah Yasiin, pada
sebgian hari yang lain ia juga datang membaca surah Yasiin, kemudian berdoa :
“ya Allah jika Engkau membagikan pahala dengan surah ini, maka jadikanlah
pahalanya untuk penghuni pekuburan ini”.
فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْجُمُعَة الَّتِي
تَلِيهَا جَاءَت امْرَأَة فَقَالَت أَنْت فلَان ابْن فُلَانَة قَالَ نعم قَالَت
إِن بِنْتا لي مَاتَت فرأيتها فِي النّوم جالسة على شَفير قبرها فَقلت مَا أجلسك
هَا هُنَا فَقَالَت إِن فلَان ابْن فُلَانَة جَاءَ إِلَى قبر أمه فَقَرَأَ سُورَة
يس وَجعل ثَوَابهَا لأهل الْمَقَابِر فأصابنا من روح ذَلِك أَو غفر لنا أَو نَحْو
ذَلِك
“Ketika
telah tiba hari Jum’at berikutnya, seorang perempuan datang menemuinya kemudian
perempuan itu berkata : apakah engkau Fulan bin Fulanah ? ia berkata : “betul”,
perempuan itu berkata : sesungguhnya putriku meninggal dunia dan aku melihat
didalam mimpi ia sedang duduk diatas quburnya, kemudian aku berkata : kenapa
engkau duduk disini ? ia berkata : sesungguhnya Fulan bin Fulanah datang ke
quburnya ibunya kemudian membaca surah Yasiin, dan menjadikan pahalanya untuk
seluruh penghuni quburan, maka kami mendapatkan dari ruh yang demikian atau
pengampunan bagi kami atau seumpama itu”. [8]
Masih terkait penuturan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah tentang membaca al-Qur’an
untuk orang mati :
وأما قراءة القرآن وإهداؤها
له تطوعا بغير أجرة فهذا يصل إليه كما يصل ثواب الصوم والحج
“Adapun
membaca al-Qur’an dan menghadiahkannya kepada mayyit merupakan anjuran dengan
tanpa bayaran, maka ini sampai kepada mayyit sebagaimana sampainya pahala puasa
dan haji.” [9]
CATATAN KAKI :
[3]
Lihat : Ibid [3/38].
[4] Lihat : Ibid [3/38].
[5]
Lihat : Ibid [3/38]
[6]
Lihat : Ibid [3/63-64].
[7] Lihat : Ibid [3/37-38]. Ada
juga hal menarik yang berasal dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah
mengenai pertanyaan yang di ajukan kepada Ibnu Taimiyah, yang mana pertanyaan
tersebut “mirip” dengan kegiatan majelis dzikir berupa tahlilan beserta
bacaannya seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan sebagainya :
وسئل: عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم: هذا الذكر بدعة وجهركم
في الذكر بدعة وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات
ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة ويصلون على النبي صلى الله
عليه وسلم والمنكر يعمل السماع مرات بالتصفيق ويبطل الذكر في وقت عمل السماع.
فأجاب: الاجتماع لذكر الله واستماع كتابه
والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات في الأوقات ففي الصحيح عن النبي
صلى الله عليه وسلم أنه قال: {إن لله ملائكة سياحين في الأرض فإذا مروا بقوم
يذكرون الله تنادوا هلموا إلى حاجتكم} وذكر الحديث وفيه {وجدناهم يسبحونك
ويحمدونك} لكن ينبغي أن يكون هذا أحيانا في بعض الأوقات والأمكنة فلا يجعل سنة
راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه في
الجماعات؟ من الصلوات الخمس في الجماعات ومن الجمعات والأعياد ونحو ذلك. وأما
محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة أو القراءة أو الذكر أو الدعاء طرفي النهار
وزلفا من الليل وغير ذلك: فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من
عباد الله قديما وحديثا
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang
seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia mengatakan kepada
mereka (ahli dzikir) “ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir
kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya
dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum muslimin
yang hidup maupun yang mati, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih,
tahmid, tahlil, takbir, hawqalah [Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah], mereka
juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.. .
Jawab : Berkumpul untuk
dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih,
dan itu termasuk dari paling utamanya qurubaat (amal mendekatkan diri kepada
Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits
Shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “sesungguhnya
Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati
sebuah qaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat)
berseru : “silahkan sampaikan hajat kalian”. dan disebutkan didalam hadits
tersebut, terdapat redaksi “dan kami menemukan mereka sedangkan bertasbih
kepada-Mu dan bertahmid (memuji)-Mu”, akan tetapi selayaknya ha ini di
hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah
yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam yang berketerusan dalam jama’ah ? seperti shalat 5 waktu (dilakukan)
dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas
wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat
Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya,
maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam,
orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang.
[8]
Lihat : ar-Ruh fil Kalami ‘alaa Arwahil Amwat wal Ahya’ bid-Dalaili minal Kitab
was Sunnah [1/10-11], Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
[9]
Lihat : Ibid [1/142].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar