Membaca
Sayyidina Ketika Bershalawat Kepada Nabi Muhammad
|
Menambah
lafazh "sayyid" sebelum menyebut nama Nabi adalah hal yang
diperbolehkan karena kenyataannya beliau memang Sayyid al 'Alamin ;
penghulu dan pimpinan seluruh makhluk. Jika Allah ta'ala dalam al Qur'an
menyebut Nabi Yahya dengan :
... وسيدا
وحصورا ونبيا من الصالـحين (سورة آل عمران : 39)
Padahal
Nabi Muhammad lebih mulia daripada Nabi Yahya. Ini berarti mengatakan sayyid
untuk Nabi Muhammad juga boleh, bukankah Rasulullah sendiri pernah
mengatakan tentang dirinya :
"
أنا سيد ولد ءادم يوم القيامة ولا فخر " رواه الترمذي
Maknanya
: "Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat" (H.R.
at-Turmudzi)
Jadi
boleh mengatakan " اللهم صل على
سيدنا محمد " meskipun tidak pernah ada pada lafazh-lafazh shalawat yang
diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah). Karena menyusun dzikir
tertentu; yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang
ma'tsur. Sayyidina umar dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim
menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Nabi, lafazh
talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah :
" لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد
والنعمة لك والملك ، لا شريك لك "
Umar
menambahkan :
"لبيك
اللهم لبيك وسعديك ، والخير في يديك، والرغباء إليك والعمل"
Ibnu
Umar juga menambah lafazh tasyahhud menjadi :
"
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له "
Ibnu
Umar berkata : " وأنا زدتها
" ; "Saya yang menambah
وحده لا شريك له ". (H.R. Abu Dawud)
Karena itulah al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al
Bari, Juz. II, hlm. 287 ketika menjelaskan hadits Rifa'ah ibn Rafi',
Rifa'ah mengatakan : Suatu hari kami sholat berjama'ah di belakang Nabi shallallahu
'alayhi wasallam, ketika beliau mengangkat kepalanya setelah ruku' beliau
membaca : سمع الله لمن حمده , salah seorang makmum
mengatakan: " ربنا ولك
الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه " , maka ketika sudah selesai
sholat Rasulullah bertanya : "Siapa tadi yang mengatakan kalimat-kalimat
itu ?" , Orang yang mengatakan tersebut menjawab: Saya , lalu Rasulullah
mengatakan :
" رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها أيهم يكتبها
أول"
Maknanya
: "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba untuk menjadi
yang pertama mencatatnya".
al
Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : "Hadits ini adalah dalil yang
menunjukkan;
Bolehnya menyusun
dzikir di dalam sholat yang tidak ma'tsur selama tidak menyalahi yang ma'tsur.
Boleh mengeraskan
suara berdzikir selama tidak mengganggu orang di dekatnya.
Dan bahwa orang yang
bersin ketika sholat boleh mengucapkan al Hamdulillah tanpa ada kemakruhan di
situ". Demikian perkataan Ibnu Hajar.
Jadi boleh mengatakan " اللهم صل على سيدنا محمد " dalam sholat sekalipun
karena tambahan kata sayyidina ini tambahan yang sesuai dengan asal dan tidak
bertentangan dengannya.[]
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan
nama Muhammad Rasulallah saw., dengan alasan bahwa Rasulallah saw. sendiri yang
menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau saw.
Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa
melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat
Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj
dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa
Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas
mengatakan: Menyebut nama Rasulallah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan
kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim
yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat
dan ketinggian kedudukan beliau. Allah swt.memerintahkan ummat Islam supaya
menjunjung tinggi martabat Rasulallah saw., menghormati dan memuliakan beliau,
bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara
sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut
tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulallah
saw. Allah swt.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil
Rasul (Muhammad) seperti
kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat
diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah
janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama
beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai
Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh
hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud
oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau
saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik
dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan
Allah swt. Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat
tersebut berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap
demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir,
dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan
Rasulallah saw.
Dalam kitab Al-Iklil
Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya
ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil
beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan
Ya Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan
demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh
Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan
tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang
diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin
memanggil Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai
Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah swt.
melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan tadi.
Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya
Nabiyullah.
Hampir seluruh ulama Islam dan
para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal
tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan
sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut
diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak
terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain
firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4
dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah swt. memuji kaum muslimin yang
bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai
orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah swt. mengajarkan kepada kita tatakrama
yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya
dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan
kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah swt.
tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah swt. mengangkat dan
menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau
junjungan kita Muhammad Rasulallah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali
dengan kata yang menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidinatidak
sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39
Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira
kepadamu (Hai
Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan
kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka,
panutan), (sanggup) menahan diri(dari hawa nafsu) dan Nabi
dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun
menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak
dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan
Allah swt.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata
: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin(sadatanaa) dan
para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat
disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt.
dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik
qamis (baju) Yusuf
dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid(suami) wanita
itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja
Mesir.
Demikian juga kata Maula yang
berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat
didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41
Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana
seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun
kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan
tertolong”.
Juga dalam firman Allah swt.
dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah swt., Rasul dan
orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu
dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan
untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut
pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak
sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika
seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan
awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut
nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para president, para raja atau
menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak
dituduh berbuat bid’ah ? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa
sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk
mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan
kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan
kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita ketahui,
dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulallah saw. tanpa diawali
dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi
wasallam (saw). Menyebut nama Rasulallah dengan cara demikian menunjukkan sikap
tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim
dilakukan oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain
sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih
yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah
sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah
sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan
Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam
saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan
paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim terdapat
sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. memberitahu para sahabatnya, bahwa
pada hari kiamat kelak Allah swt. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah
engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa
usawwiduka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa
Allah swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap
manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah
manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia
dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau
manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa
Rasulallah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang
membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits
palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya
“Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw) sayyid didalam sholat”. Tampaknya
pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulallah saw. untuk
mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengertibahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat
kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali
Rasulallah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti
yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi
bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk
lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami
kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi ,
atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab
tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi
dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu
tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam
As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih
madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan :
“Hadits itu sama sekali tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits
palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii
fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi
Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful
Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil
!”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang
berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini:
“Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada
orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan
aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab
ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau
dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulallah saw. atau
sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatupemalsuan yang
terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang
hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam
Shohihnya bahwa Rasulallah saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” .
Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang
paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga
dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan,
bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang
yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulallah
saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulallah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam
pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa
Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna
oleh Rasulallah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam
dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan
lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid
dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana
tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa
Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka
dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan
keharusan menyebut nama Rasulallah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan
oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad
shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai
berikut:
“Pada suatu hari kulihat
Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami
menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi
siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin
‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan
: ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan
kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut
nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu
menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul
terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas
menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulallah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid
kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak
diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama
Rasulallah saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang
mencintai beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam
Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i
dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun
maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali
(bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun
mengetahui dengan jelas bahwa Rasulallah saw. adalah sayyidinadan maulana (pemimpin
kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina.
Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata kepada puteri
beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina
an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati”
artinya :“Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum
mu’minin (kaum orang-orang yang beriman)atau sayyidah kaum wanita
ummat ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa
Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata
nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak
puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang
beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad,
Rasulallah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii
sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah
engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum
wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya
terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu
‘anhuma.Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad
shohih bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua
orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits
diatas itu kita menyebut puteri Rasulallah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan
kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang
cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulallah
saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada
kekuasaan kaum muslimin), Rasulallah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad
supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu
Rasulallah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum
au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid(pemimpin) kalian,
atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulallah saw. menyuruh mereka
berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad
turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad
dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat
kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong
Sa’ad.
Sekalipun –misalnya– Rasulallah
saw. melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau saw, tetapi beliau
sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz,
apakah artinya ? Itulahtatakrama Islam. Kita harus dapat memahami
apa yang dikehendaki oleh Rasulallah saw. dengan larangan danperintahnya mengenai
soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara
terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak,
si adik dan si murid harus merasa dirinya wajibmenghormati ayahnya,
ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulallah saw. sekalipun beliau
menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah swt,
beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan
mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulallah saw.,
harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah swt. berfirman dalam
Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad
saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya
adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan:
Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci diatas ini
jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulallah saw.
lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau
wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama
beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina ataumaulana pantas
dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada kita semua.
Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan
kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan
shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya.
Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw.,
karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan
berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan
Rasulallah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang
bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga
menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama
masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai.
Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits
dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam
Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”.
Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah
saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam
bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat
Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati
jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam
bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi
orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama
pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulallah saw. yang tidak
tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah
uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali
penyebutan nama Rasulallah saw.. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi
yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah
masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut
nama beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu
hendak mengingkari martabat Rasulallah saw. sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu
para Rasulallah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang
berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka
nama beliau saw.? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan
pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid
atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
Mengucapkan
“Sayyidina”
Kata-kata
“sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum
muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan
yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi
Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
الأوْلَى
ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ
“Yang lebih utama
adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih
utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).
Pendapat ini
didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن
أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ
يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ
وأول مُشَافِعٍ
“Diriwayatkan dari
Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid
(penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur,
orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak
untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).
Hadits ini
menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi
Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW
menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:
“Kata sayyidina ini
tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana
yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits 'saya adalah
sayyidnya anak cucu adam di hari kiamat.' Tapi Nabi SAW menjadi sayyid
keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi
Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)
Ini sebagai
indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena
memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat
manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.
Lalu bagaimana
dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam
shalat?
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ
“Janganlah kalian
mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”
Ungkapan ini memang
diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi SAW. Sehingga mereka
mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah
bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.
Akan tetapi
ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab,
susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak
dikatakan سَادَ- يَسِيْدُ ,
akan tetapi سَادَ
-يَسُوْدُ
, Sehingga tidak bisa dikatakan لَاتُسَيِّدُوْنِي
Oleh karena itu,
jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu’. Yakni hadits
palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun
kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk
melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat?
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi
Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca
tasyahud di dalam shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar