Jika kitab “As-Showa’iq
al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahhabiyah” adalah merupakan surat teguran
Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab terhadap adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab)
secara langsung, namun kitab kedua beliau; “Fashlul Khitab fi Mazhab
Muhammad bin Abdul Wahhab” adalah surat yang ditujukan kepada “Hasan
bin ‘Idan”, salah satu sahabat dan pendukung setia nan fanatik Muhammad bin
Abdul Wahhab (pencetus Wahabisme). Jadi ada dua karya yang berbeda dari Syeikh
Sulaiman bin Abdul Wahhab yang keduanya berfungsi sama, mengkritisi ajaran
Wahabisme, walaupun keduanya berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara. Dan
tidak benar jika dikatakan bahwa terjadi perubahan judul dari karya beliau
tadi. Karena ada dua buku dengan dua judul yang berbeda.
—————————————————-
Benarkah Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah
Bertaubat?
Salah
seorang teman Wahhaby menyatakan bahwa di akhir hayat Syeikh Sulaiman bin Abdul
Wahhab –salah seorang ulama mazhab Hambali, saudara tua dan sekandung Muhammad
bin Abdul Wahhab, pendiri Wahabisme- beliau bertaubat dan menyesali segala yang
telah dilakukannya berupa penentangan keras terhadap ajaran adiknya, Wahabisme.
Penentangan itu dilakukannya dengan berupa nasehat kepada Sang adik, baik
melalui lisan maupun dengan menulis surat (risalah) yang selama ini
dilakukannya atas keyakinan ajaran Sang adik. Bukti-bukti konkrit, kuat dan
ilmiah telah beliau sampaikan ke Sang adik, namun apa daya, ikhtiyar menerima
kebenaran bukan terletak pada tangan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Apakah
benar Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab tobat dari memusuhi sekte ajaran adiknya
yang dikenal dengan Wahabiyah itu?
Namun salah
satu pendapat teman Wahaby tadi tidak sendiri. Sebelumnya, terdapat individu lain
yang menyatakan hal yang sama. Bedanya individu Wahaby tersebut merupakan
seorang penulis, bukan hanya seorang bloger ataupun yang hanya punya hoby
mengintip-ngintip blog orang. Namun kesamaannya adalah, selain dia sesama
pengikut Wahaby, ia juga sama-sama malu-malu (mungkin masih ragu dan takut
salah) untuk menyatakan hal itu, karena tidak punya bukti konkrit yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Orang yang saya maksud adalah Khairuddin
az-Zarkali yang bermazhab Wahaby asal Syiria. Dalam kitab “al-A’lam”
jilid 3 halaman 130 dia menyatakan dalam karyanya tersebut; “Ada yang
menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah bertaubat dalam
menentang pemikiran adiknya, Muhammad bin Abdul Wahhab”. Namun dalam bukunya
itu dia tidak berani memberi isyarat tentang kebenaran pernyataan tadi, apalagi
meyakininya dengan menyebut bukti-bukti konkrit. Hal itu karena memang
ketiadaan bukti yang konkrit serta otentik akan ke-taubat-an Syeikh Sulaiman
dalam penentangannya atas ajaran adiknya.
Ada seorang
penulis lain asal Syiria yang juga menjelaskan tentang pribadi Syeikh Sulaiman
bin Abdul Wahhab. Dia adalah Umar Ridho Kahhalah pengarang kitab “Mu’jam
al-Mu’allifin” (lihat jilid 4 halaman 269, tentang Syeikh Sulaiman bin
Abdul Wahhab). Cuman terjadi perbedaan di antara kedua penulis tadi sewaktu
menyebut tahun wafat Syeikh Sulaiman. Al-Kahhalah menyebutkan bahwa Syeikh
Sulaiman meninggal tahun 1206 Hijriyah. Sedang az-Zarkali menyebutkannya pada
tahun 1210 Hijriyah.
Mengenai
karya-karya Syeikh Sulaiman yang menangkal ajaran adiknya (Wahabisme),
Al-Kahhalah dalam kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (jilid 4 halaman 269)
menyebutkan judul kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahhabiyah”
(Petir-Petir Ilahi pada Mazhab Wahabisme). Begitu juga yang dinyatakan dalam
kitab “Idhoh al-Maknun” (lihat jilid 2 halaman 72). Dan di dalam kitab “Idhoh
al-Maknun” juga disinggung tentang kitab lain karya Syeikh Sulaiman bin
Abdul Wahhab yang berjudul “Fashlul Khitab fi Mazhab Muhammad bin Abdul
Wahhab” (Seruan Utama pada Mazhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Namun,
surat panjang yang kemudian dicetak menjadi kitab yang sudah beberapa kali
dicetak itu memiliki judul panjang; “Fashlul Khitab min Kitab Rabbil
Arbab, wa Hadis Rasul al-Malak al-Wahhab, wa kalaam Uli al-Albab fi Mazhab
Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan Utama dari Kitab Penguasa dari
segala penguasa (Allah SWT), dan hadis utusan Maha Kuasa dan Maha Pemberi
anugerah (Muhammad SAW), dan ungkapan pemilik akal sehat pada mazhab Muhammad
bin Abdul Wahhab). Kitab ini telah dicetak di beberapa Negara; di India pada
tahun 1306 H, di Turkia pada tahun 1399 H, di Mesir, Lebanon dan beberapa
Negara lainnya.
Jika kitab “As-Showa’iq
al-Ilahiyah fi Mazhab al-Wahhabiyah” adalah merupakan surat teguran
Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab terhadap adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab)
secara langsung, namun kitab kedua beliau; “Fashlul Khitab fi Mazhab
Muhammad bin Abdul Wahhab” adalah surat yang ditujukan kepada “Hasan
bin ‘Idan”, salah satu sahabat dan pendukung setia nan fanatik Muhammad bin
Abdul Wahhab (pencetus Wahabisme). Jadi ada dua karya yang berbeda dari Syeikh
Sulaiman bin Abdul Wahhab yang keduanya berfungsi sama, mengkritisi ajaran
Wahabisme, walaupun keduanya berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara. Dan
tidak benar jika dikatakan bahwa terjadi perubahan judul dari karya beliau
tadi. Karena ada dua buku dengan dua judul yang berbeda. Alhamdulillah, di
perpustakaan pribadi kami, kedua kitab tadi tersimpan secara rapih dan menjadi
salah satu koleksi berharga -dari sekian banyak buku dan referensi- dalam
menyingkap hakekat Wahabisme, terkhusus Wahabisme (Salafy gadungan) yang berada
di Indonesia.
Kedua surat
itu walaupun memiliki perbedaan dari sisi obyek yang diajak bicara (satu buat
sang adik, dan satu lagi buat pendukung fanatik buta adiknya), namun memiliki
kesamaan dari sisi kekuatan dan keilmiahan argumentasinya, baik argument dari
al-Quran, Hadis dan Salaf Saleh. Tentu sebagai seorang kakak, Syeikh Sulaiman
tahu betul sifat dan watak adiknya yang hidup bersamanya dari semenjak kecil.
Dia paham bahwa apa yang dilakukannya akan sia-sia, namun apa yang dilakukannya
itu tidak lain hanya sebagai argumentasi pamungkas (Itmam al-Hujjah)
akan segala perbuatan adiknya. Sehingga ia berpikir, dengan begitu ia tidak
akan dimintai pertanggungjawaban lagi oleh Allah, kelak di akherat, sebagai
seorang kakak dan seorang ulama yang dituntut harus sigap dalam melihat dan
menyikapi segala penyimpangan, berdasarkan konsep “Amar Makruf Nahi Munkar”
yang diperintahkan (diwajibkan) Islam.
Namun secara
realita, usaha Syeikh Sulaiman tidak memberi hasil. Muhammad bin Abdul Wahhab
tetap menjadi Muhammad bin Abdul Wahhab Sang pencetus Wahabisme, Syeikhul
Wahhabiyah. Apalagi dia merasa di atas angin setelah mendapat dukungan
penuh Klan Saud, dari sisi harta dan kekuatan. Sedang sejarah telah menulis
bahwa kekuatan Klan Saud tadi didapat dari dukungan kerajaan Inggris, penjajah
Jazirah Arab kala itu dalam memenangkan Klan Saud di atas semua kabilah Arab
yang ada dan menentang keberadaan imperialis Inggris kala itu. Muhammad bin
Abdul Wahhab tidak lagi bisa mendengar (tuli) dan melihat (buta) akan kebenaran
argumen al-Quran, hadis dan ungkapan Salaf Saleh yang keluar dari siapapun,
termasuk Sang kakak yang tergolong salah seorang ulama mazhab Hambali di
zamannya. Segala usaha Syeikh Sulaiman terhadap Sang adik dan pendukung setia
adiknya tadi ibarat apa yang pernah Allah SWT singgung dalam al-Quran yang
berbunyi; “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk” (QS al-Qoshosh: 56). Karena orang-orang semacam itu (Muhammad bin
Abdul Wahhab beserta pengikut setianya) ibarat apa yang telah disinggung dalam
al-Quran:
“Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS az-Zukhruf: 40)
Atau ayat:
“Apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan” (QS Yunus 43).
“Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS az-Zukhruf: 40)
Atau ayat:
“Apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan” (QS Yunus 43).
Dari sini
jelas sekali bahwa, kebenaran pernyataan yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman
bin Abdul Wahhab telah bertobat merupakan pernyataan yang tidak berdasar.
Karena tidak ada bukti konkrit dan otentik akan kebenaran hal itu, seperti
bukti tertulis karya Syeikh Sulaiman sendiri atau paling tidak orang yang
sezaman dengan beliau. Yang ada hanya pengakuan-pengakuan dari para ulama
Wahaby kontemporer (yang tidak mengetahui ihwal meninggalnya Syeikh Sulaiman,
apalagi hidupnya) yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman telah tobat dan bahkan
telah mengikuti bahkan menyokong sekte ajaran adiknya. Ini adalah pembohongan
atas nama Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Semua itu mereka lakukan tidak lain
hanya untuk membersihkan pengaruh negatif akibat pengingkaran kakak kandung
pencetus Wahabisme yang akan memberikan image negatif terhadap perkembangan
sekte Wahabisme ini.
Jadi, atas
dasar itu jangan heran jika pengikut Wahhaby seperti Khairuddin az-Zarkali
tidak berani dengan terang-terangan bahkan cenderung ragu dalam menghukumi
kebenarannya. Apalagi ditambah dengan kenyataan yang ada di luar bahwa para
pengikut sekte Wahhaby ini –terkhusus para dedengkotnya yang berada di Saudi,
Yaman dan Kuwait- sangat membenci Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Jika Syeikh
Sulaiman benar-benar telah bertaubat, kenapa ada kesepakatan (terkhusus antar
ulama Wahaby beserta para santri mereka) untuk mencela dan menghina ulama
mazhab Hambali (salah satu mazhab Ahlussunah wal Jamaah) ini? Jika mazhab
Hambali (yang metode mazhabnya banyak diadopsi oleh Wahhaby) saja diolok-olok,
bagaimana dengan mazhab lain Ahlussunah seperti mazhab Hanafi, Maliki dan
Syafi’i? Maka jangan heran jika para pengikut Wahaby akhirnya mudah
mengolok-olok mazhab-mazhab resmi Ahlussunah wal Jamaah. Layakkah mereka
mengaku sebagai Ahlussunah wal Jamaah?
[Sastro H]
NB:
Adapun orang-orang Wahaby kontemporer (tidak sezaman bahkan hidup jauh pasca Syeikh Sulaiman wafat) yang menulis tentang taubatnya Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab dari penentangan ajaran Wahabisme (sekte bikinan adiknya) adalah:
Adapun orang-orang Wahaby kontemporer (tidak sezaman bahkan hidup jauh pasca Syeikh Sulaiman wafat) yang menulis tentang taubatnya Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab dari penentangan ajaran Wahabisme (sekte bikinan adiknya) adalah:
“Ibnu
Ghannam (Tarikh Nejed 1/143), Ibnu Bisyr (Unwan Majd hal. 25), Syaikh Mas’ud An
Nadawi (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum 48-50), Syaikh Abdul
Aziz bin Baaz (Ta’liq Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 95), Syaikh Ahmad
bin Hajar Alu Abu Thami (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 30), Syaikh
Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwa’ir (Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh
muftara ‘alaihi lihat majalah Buhuts Islamiyah edisi 60/1421H), Syaikh Nashir
Abdul Karim Al Aql (Islamiyah la Wahhabiyah hal. 183), Syaikh Muhammad As
Sakakir (Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab wa Manhajuhu fi Dakwah hal. 126),
Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman Al Huqail (Hayat Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab hal. 26. yang diberi kata pengantar oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz
Alu Syaikh), dll.”
Jika kita
lihat masa hidup mereka semua, maka bagaimana mungkin mereka akan bisa memberi
kesaksian atas pertaubatan Syeikh Sulaiman sedang mereka tidak sezaman bahkan
jauh dari zaman Syeikh Sulaiman wafat? Mungkinkah (secara logis dan ilmiah)
orang-orang itu mampu memberikan secara langsung (tanpa merujuk orang-orang
yang sezaman dengan Syeikh Sulaiman) kesaksian pertaubatan syeikh Sulaiman?
Silahkan pembaca yang budiman renungkan!?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar