Senin, 28 Maret 2016

Salafy Kena Batunya

Salafy Kena Batunya
Salafush-shalih adalah para sahabat RA dan siapa saja yang mengikuti cara dan jalan mereka di antara para tabi’in yang mengikuti mereka pada tiga abad masa Islam yang pertama, yang telah disaksikan kebaikan mereka. Namun tidak ada satu pun nash yang membolehkan kita memutlakkan diri sendiri sebagai yang paling salafi, karena sifat-sifat kita belum teruji. Misalnya dengan membuat Yayasan Ihya as-Sunnah, Ihya at-Turats, Ihya as-Salafi, dan Daarus-Salafi belum tentu salafi…. Oleh karenanya dimanapun kelompok Salafy muncul maka di situ pasti akan muncul pertikaian di antara kaum muslimin, akibat kekakuan ajaran mereka.
———————————————
Salafy Kena Batunya
Setelah beberapa saat yang lalu terjadi pertikaian antara Salafy dan MMI yang ajarannya juga masih berbau wahabisme, kini kembali hubungan di antara mereka memanas. Kini Salafy yang menjadi sasaran tohokan Fauzan Anshari, salah satu orang penting di tubuh MMI. Kelompok Salafy yang merasa paling berpegang kepada Salaf Saleh (nyalaf) sehingga seakan-akan Salaf Saleh adalah kakek mereka sendiri, kini ia kena batu yang dilemparkannya sendiri. Karena selama berdirinya kelompok ini, ia selalu merasa sok paling benar dan menyesatkan kelompok lain dengan alasan telah berlaku syirik, bid’ah, khurafat, hizbi dan sebagainya. Oleh karenanya dimanapun kelompok Salafy muncul maka di situ pasti akan muncul pertikaian di antara kaum muslimin, akibat kekakuan ajaran mereka. Maka dari itu, ajaran Salafy tidak akan pernah cocok dengan sikon Indonesia yang beradat ketimuran. Ia lebih cocok di daerah yang mayoritas penduduknya berwatak keras, seperti Arab Saudi. KAli ini kita akan simak tulisan Fauzan Anshari yang mengkritisi ust Jakfar Umar Thalib salah seorang tokoh Salafy yang kita ambil dari;
Siapa Salafi ?
Kolom bertitel “Salafi Mesti Berani” tulisan Ja’far Umar Thalib (JUT), yang dimuat majalah Gatra edisi 20 Juni lalu, menarik dicermati. Jika logika JUT ini dilanjutkan, maka yang tergolong teroris daftarnya akan cukup panjang dan mengejutkan. Hal ini sudah dilakukan oleh Luqman Ba’abduh, mantan Wakil Panglima Laskar Jihad. Dalam pandangan Luqman, yang tergolong teroris adalah mereka yang dikenal umat Islam pada umumnya sebagai mujahid, seperti Syekh Ahmad Yasin, Rantisi, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, Khattab, Abdullah Azzam, Zarqawi, serta para syuhada lainnya. Apakah Osama bin Laden, Ayman Zawahiri, Omar Abdurrahman, Al-Muhajeer, Kholid Misy’al adalah teroris? Apa pula argumen yang dibangun dalam memvonis mereka sebagai teroris? Karena itu, apa yang ditulis JUT di Gatra dengan titel “Salafi Mesti Berani” itu betul. Jangan cuma berani bicara di majelisnya sendiri. Dialog terbuka untuk mengkaji definisi, metode, dan amaliah salafi perlu digelar.
Kolom bertitel “Salafi Mesti Berani” tulisan Ja’far Umar Thalib (JUT), yang dimuat majalah Gatra edisi 20 Juni lalu, menarik dicermati. Poinnya, JUT merasa jengah ketika laskar Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) melabrak tempat pengajian kelompok salafi di Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pengajian yang mestinya membawa kesejukan itu berubah mencaci maki MMI dan mengkhawarijkan amirnya, Ustad Abu Bakar Ba’asyir.
Kelompok salafi di Grogol itu memprotes berita yang dimuat majalah Risalah Mujahidin (RM) edisi 7 (April 2007) halaman 42, berjudul “Mengenal Agen Mossad dalam Gerakan Islam”. Berita itu dianggap melecehkan kelompok salafi. Itulah klaim Ayip Syaifuddin, pengajar Pesantren Daarus Salafi dan Abu Karimah Asykary yang bertindak sebagai penceramah acara “Membongkar Kedustaan Risalah Mujahidin”.
Sebenarnya ada dua hal yang secara substansi perlu mendapat tanggapan. Pertama, dalam memahami makna salafi. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Wajib atasmu mengikuti sunahku dan sunah khulafaur-rasyidin al-mahdiyin. …” Imam Muslim dan Bukhari juga meriwayatkan hadis yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, “Sebaik-baiknya zaman bagi kalian adalah zamanku ini, kemudian selanjutnya zaman yang mengikuti mereka, kemudian selanjutnya lagi zaman yang mengikuti mereka.” Salafiyah terkait dengan kualitas ahl salaf atau salafush-shalih (generasi terdahulu yang salih) melekat dengan kehidupan para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’ in.
Jadi, salafush-shalih adalah para sahabat RA dan siapa saja yang mengikuti cara dan jalan mereka di antara para tabi’in yang mengikuti mereka pada tiga abad masa Islam yang pertama, yang telah disaksikan kebaikan mereka. Namun tidak ada satu pun nash yang membolehkan kita memutlakkan diri sendiri sebagai yang paling salafi, karena sifat-sifat kita belum teruji. Misalnya dengan membuat Yayasan Ihya as-Sunnah, Ihya at-Turats, Ihya as-Salafi, dan Daarus-Salafi belum tentu salafi. Adalah Abdullah bin Mas’ud pernah berujar, “Jamaah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, walau engkau seorang diri.”
Kedua, definisi khawarij. Dalam sejarahnya, kaum khawarij adalah mereka yang tidak terima dengan keputusan Khalifah Ali RA berdamai (tahkim) dengan Muawiyah. Kemudian khawarij membunuh Ali RA. Sekarang istilah khawarij itu oleh JUT ditujukan kepada siapa pun yang dianggap tidak loyal kepada pemerintah yang sah. Dalam konteks Indonesia, siapa pun yang tidak patuh kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) masuk dalam kategori khawarij. Alasannya, karena SBY-JK adalah ulil amri, pemerintah Islam. Walau tidak menerapkan hukum Islam, mereka masih salat, maka harus ditaati.
Lalu, bagaimana dengan ulah JUT sendiri yang pada tahun 2000 meminta izin pada Presiden Abdurrahman Wahid untuk berjihad ke Ambon dan tidak diperbolehkan, tetapi JUT dan Laskar Jihad-nya nekat berangkat ke Ambon? Bukankah itu tindakan khawarij?
Kalau mengikuti logika tersebut, maka Ibnu Taimiyah adalah khawarij. Ini karena Ibnu Taimiyah menentang pemerintah penjajah Holako yang berhasil menguasai Irak pada masa khilafah Abbasiyah. Holako itu muslim, bahkan memberi kebebasan pada rakyat Irak untuk bersyariat Islam, tetapi justru diperangi oleh Imam Ibnu Taimiyah, sehingga beliau dipenjara di Damaskus sampai menjemput syahidnya.
Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab yang membangkang (bughat) dari kekhilafahan Turki Utsmani, lalu mendirikan Kerajaan Arab Saudi sekarang, bersama keluarga Ibnu Saud. Mengapa JUT dan kelompok salafinya tidak berani mengkhawarijkan kedua imam salafush-shalih tersebut? JUT hanya berani menempatkan Ustad Abu Bakar Ba’asyir sebagai khawarij, bahkan menyebutnya sebagai teroris bersama para tersangka teroris yang ditangkap Densus 88.
Jika logika JUT ini dilanjutkan, maka yang tergolong teroris daftarnya akan cukup panjang dan mengejutkan. Hal ini sudah dilakukan oleh Luqman Ba’abduh, mantan Wakil Panglima Laskar Jihad. Dalam pandangan Luqman, yang tergolong teroris adalah mereka yang dikenal umat Islam pada umumnya sebagai mujahid, seperti Syekh Ahmad Yasin, Rantisi, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, Khattab, Abdullah Azzam, Zarqawi, serta para syuhada lainnya.
Pertanyaan berikutnya, apakah Osama bin Laden, Ayman Zawahiri, Omar Abdurrahman, Al-Muhajeer, Kholid Misy’al adalah teroris? Apa pula argumen yang dibangun dalam memvonis mereka sebagai teroris?
Karena itu, apa yang ditulis JUT di Gatra dengan titel “Salafi Mesti Berani” itu betul. Jangan cuma berani bicara di majelisnya sendiri. Dialog terbuka untuk mengkaji definisi, metode, dan amaliah salafi perlu digelar. Mengklaim sebagai salafi, sementara metode dakwahnya jauh dari kesejukan, hanya akan membuat umat menjadi bingung.
Dengan adanya dialog itu, selain mengurangi fitnah antarkomunitas, umat akan mendapatkan pencerahan. Siapa salafi yang sebenarnya, umatlah yang akan menilainya.
Fauzan Al-Anshari
Mantan Pemred Risalah Mujahidin
[Kolom, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 5 Juli 2007]



Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...