Salafy Kena Batunya
Salafush-shalih
adalah para sahabat RA dan siapa saja yang mengikuti cara dan jalan mereka di
antara para tabi’in yang mengikuti mereka pada tiga abad masa Islam yang
pertama, yang telah disaksikan kebaikan mereka. Namun tidak ada satu pun nash
yang membolehkan kita memutlakkan diri sendiri sebagai yang paling salafi,
karena sifat-sifat kita belum teruji. Misalnya dengan membuat Yayasan Ihya
as-Sunnah, Ihya at-Turats, Ihya as-Salafi, dan Daarus-Salafi belum tentu
salafi…. Oleh karenanya dimanapun kelompok Salafy muncul maka di situ pasti
akan muncul pertikaian di antara kaum muslimin, akibat kekakuan ajaran mereka.
———————————————
Salafy Kena Batunya
Setelah
beberapa saat yang lalu terjadi pertikaian antara Salafy dan MMI yang ajarannya
juga masih berbau wahabisme, kini kembali hubungan di antara mereka memanas.
Kini Salafy yang menjadi sasaran tohokan Fauzan Anshari, salah satu orang
penting di tubuh MMI. Kelompok Salafy yang merasa paling berpegang kepada Salaf
Saleh (nyalaf) sehingga seakan-akan Salaf Saleh adalah kakek mereka sendiri,
kini ia kena batu yang dilemparkannya sendiri. Karena selama berdirinya
kelompok ini, ia selalu merasa sok paling benar dan menyesatkan kelompok lain
dengan alasan telah berlaku syirik, bid’ah, khurafat, hizbi dan sebagainya.
Oleh karenanya dimanapun kelompok Salafy muncul maka di situ pasti akan muncul
pertikaian di antara kaum muslimin, akibat kekakuan ajaran mereka. Maka dari
itu, ajaran Salafy tidak akan pernah cocok dengan sikon Indonesia yang beradat
ketimuran. Ia lebih cocok di daerah yang mayoritas penduduknya berwatak keras,
seperti Arab Saudi. KAli ini kita akan simak tulisan Fauzan Anshari yang
mengkritisi ust Jakfar Umar Thalib salah seorang tokoh Salafy yang kita ambil
dari;
Siapa Salafi ?
Kolom
bertitel “Salafi Mesti Berani” tulisan Ja’far Umar Thalib (JUT), yang dimuat
majalah Gatra edisi 20 Juni lalu, menarik dicermati. Jika logika JUT ini
dilanjutkan, maka yang tergolong teroris daftarnya akan cukup panjang dan
mengejutkan. Hal ini sudah dilakukan oleh Luqman Ba’abduh, mantan Wakil
Panglima Laskar Jihad. Dalam pandangan Luqman, yang tergolong teroris adalah
mereka yang dikenal umat Islam pada umumnya sebagai mujahid, seperti Syekh
Ahmad Yasin, Rantisi, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, Khattab, Abdullah Azzam,
Zarqawi, serta para syuhada lainnya. Apakah Osama bin Laden, Ayman Zawahiri,
Omar Abdurrahman, Al-Muhajeer, Kholid Misy’al adalah teroris? Apa pula argumen
yang dibangun dalam memvonis mereka sebagai teroris? Karena itu, apa yang
ditulis JUT di Gatra dengan titel “Salafi Mesti Berani” itu betul. Jangan cuma
berani bicara di majelisnya sendiri. Dialog terbuka untuk mengkaji definisi, metode,
dan amaliah salafi perlu digelar.
Kolom
bertitel “Salafi Mesti Berani” tulisan Ja’far Umar Thalib (JUT), yang dimuat
majalah Gatra edisi 20 Juni lalu, menarik dicermati. Poinnya, JUT merasa jengah
ketika laskar Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) melabrak tempat pengajian
kelompok salafi di Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pengajian yang mestinya
membawa kesejukan itu berubah mencaci maki MMI dan mengkhawarijkan amirnya,
Ustad Abu Bakar Ba’asyir.
Kelompok
salafi di Grogol itu memprotes berita yang dimuat majalah Risalah Mujahidin
(RM) edisi 7 (April 2007) halaman 42, berjudul “Mengenal Agen Mossad dalam
Gerakan Islam”. Berita itu dianggap melecehkan kelompok salafi. Itulah klaim
Ayip Syaifuddin, pengajar Pesantren Daarus Salafi dan Abu Karimah Asykary yang
bertindak sebagai penceramah acara “Membongkar Kedustaan Risalah Mujahidin”.
Sebenarnya
ada dua hal yang secara substansi perlu mendapat tanggapan. Pertama, dalam
memahami makna salafi. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda, “Wajib atasmu mengikuti sunahku dan sunah khulafaur-rasyidin
al-mahdiyin. …” Imam Muslim dan Bukhari juga meriwayatkan hadis yang bersumber
dari Abdullah bin Mas’ud, “Sebaik-baiknya zaman bagi kalian adalah zamanku ini,
kemudian selanjutnya zaman yang mengikuti mereka, kemudian selanjutnya lagi
zaman yang mengikuti mereka.” Salafiyah terkait dengan kualitas ahl salaf atau
salafush-shalih (generasi terdahulu yang salih) melekat dengan kehidupan para
sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’ in.
Jadi,
salafush-shalih adalah para sahabat RA dan siapa saja yang mengikuti cara dan
jalan mereka di antara para tabi’in yang mengikuti mereka pada tiga abad masa
Islam yang pertama, yang telah disaksikan kebaikan mereka. Namun tidak ada satu
pun nash yang membolehkan kita memutlakkan diri sendiri sebagai yang paling
salafi, karena sifat-sifat kita belum teruji. Misalnya dengan membuat Yayasan
Ihya as-Sunnah, Ihya at-Turats, Ihya as-Salafi, dan Daarus-Salafi belum tentu
salafi. Adalah Abdullah bin Mas’ud pernah berujar, “Jamaah adalah apa yang
sesuai dengan kebenaran, walau engkau seorang diri.”
Kedua,
definisi khawarij. Dalam sejarahnya, kaum khawarij adalah mereka yang tidak
terima dengan keputusan Khalifah Ali RA berdamai (tahkim) dengan Muawiyah.
Kemudian khawarij membunuh Ali RA. Sekarang istilah khawarij itu oleh JUT
ditujukan kepada siapa pun yang dianggap tidak loyal kepada pemerintah yang
sah. Dalam konteks Indonesia, siapa pun yang tidak patuh kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) masuk dalam
kategori khawarij. Alasannya, karena SBY-JK adalah ulil amri, pemerintah Islam.
Walau tidak menerapkan hukum Islam, mereka masih salat, maka harus ditaati.
Lalu,
bagaimana dengan ulah JUT sendiri yang pada tahun 2000 meminta izin pada Presiden
Abdurrahman Wahid untuk berjihad ke Ambon dan tidak diperbolehkan, tetapi JUT
dan Laskar Jihad-nya nekat berangkat ke Ambon? Bukankah itu tindakan khawarij?
Kalau
mengikuti logika tersebut, maka Ibnu Taimiyah adalah khawarij. Ini karena Ibnu
Taimiyah menentang pemerintah penjajah Holako yang berhasil menguasai Irak pada
masa khilafah Abbasiyah. Holako itu muslim, bahkan memberi kebebasan pada
rakyat Irak untuk bersyariat Islam, tetapi justru diperangi oleh Imam Ibnu
Taimiyah, sehingga beliau dipenjara di Damaskus sampai menjemput syahidnya.
Begitu juga
dengan Muhammad bin Abdul Wahhab yang membangkang (bughat) dari kekhilafahan
Turki Utsmani, lalu mendirikan Kerajaan Arab Saudi sekarang, bersama keluarga
Ibnu Saud. Mengapa JUT dan kelompok salafinya tidak berani mengkhawarijkan
kedua imam salafush-shalih tersebut? JUT hanya berani menempatkan Ustad Abu
Bakar Ba’asyir sebagai khawarij, bahkan menyebutnya sebagai teroris bersama
para tersangka teroris yang ditangkap Densus 88.
Jika logika
JUT ini dilanjutkan, maka yang tergolong teroris daftarnya akan cukup panjang
dan mengejutkan. Hal ini sudah dilakukan oleh Luqman Ba’abduh, mantan Wakil
Panglima Laskar Jihad. Dalam pandangan Luqman, yang tergolong teroris adalah
mereka yang dikenal umat Islam pada umumnya sebagai mujahid, seperti Syekh
Ahmad Yasin, Rantisi, Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, Khattab, Abdullah Azzam,
Zarqawi, serta para syuhada lainnya.
Pertanyaan
berikutnya, apakah Osama bin Laden, Ayman Zawahiri, Omar Abdurrahman,
Al-Muhajeer, Kholid Misy’al adalah teroris? Apa pula argumen yang dibangun
dalam memvonis mereka sebagai teroris?
Karena itu,
apa yang ditulis JUT di Gatra dengan titel “Salafi Mesti Berani” itu betul.
Jangan cuma berani bicara di majelisnya sendiri. Dialog terbuka untuk mengkaji
definisi, metode, dan amaliah salafi perlu digelar. Mengklaim sebagai salafi,
sementara metode dakwahnya jauh dari kesejukan, hanya akan membuat umat menjadi
bingung.
Dengan
adanya dialog itu, selain mengurangi fitnah antarkomunitas, umat akan
mendapatkan pencerahan. Siapa salafi yang sebenarnya, umatlah yang akan
menilainya.
Fauzan
Al-Anshari
Mantan Pemred Risalah Mujahidin
[Kolom, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 5 Juli 2007]
Mantan Pemred Risalah Mujahidin
[Kolom, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 5 Juli 2007]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar