KALAM DAN PEMBAGIANNYA
(فَأَمَّا أَقْسَامُ الْكَلَامُ فَأقَلُّ مَا
يَتَرَكَّبُ مِنْهُ الْكَلَامُ اسْمَانِ نَحْوُ زَيْدٌ قَائِمٌ (أَوْ اسْمٌ
وَفِعْلٌ) نَحْوُ قَامَ زَيْدٌ (أَوْ فِعْلٌ وَحَرْفٌ) نَحْوُ مَا قَامَ،
أَثْبَتَهُ بَعْضُهُمْ، وَلَمْ يَعُدَّ الضَّمِيْرَ فِيْ قَامَ الرَّاجِعَ إِلَى
زَيْدٌ مَثَلاً لِعَدَمِ ظُهُوْرِهِ،
وَالْجُمْهُوْرُ
|
|
Beberapa
pembagian kalam. Batas minimal susunan kalam adakalanya dua isim, contoh زَيْدٌ قَائِمٌ atau
isim dan fiil, contoh قَامَ
زَيْدٌ atau
fiil dan huruf, contoh مَا قَامَ ditetapkan
oleh sebagian ulama dan mereka tidak menghitung dhamir dalam lafadz قَامَ yang
kembali semisal pada Zaid, karena dhamir
tersebut tidak nampak.
|
عَلَى عَدِّهِ كَلِمَةً (أَوْ اسْمٌ وَحَرْفٌ) وَذَلِكَ فِيْ النِّدَاءِ،
نَحْوُ يَا زَيْدُ وَإِنْ كَانَ الْمَعْنَى أَدْعُوْ أَوْ أُنَادِيْ زَيْداً
|
|
Menurut jumhur,
dhamir tersebut dihitung satu kalimat. Atau isim dan huruf, yang terdapat
dalam nida’, contoh يَا
زَيْدُ, walaupun
maknanya adalah “saya menyeru atau memanggil Zaid”
|
Penjelasan :
Batas minimal susunan sebuah kalam adalah dua kalimat, yakni;
1.
Terdiri dari dua isim, dapat dipilah dalam empat bentuk.
No
|
Susunan
|
Contoh
|
1.
|
Mubtada dan khabar
|
زَيْدٌ قَائِمُ (Zaid yang berdiri)
|
2.
|
Mubtadak dan fail yang
menempati kedudukan khabar
|
أَقَائِمٌ زَيْدٌ (Apakah Zaid berdiri)
|
3.
|
Mubtadak dan naibul fail
yang menempati kedudukan khabar
|
أَمَضْرُوْبٌ زَيْدَانِ (Apakah Zaid dipukul)
|
4.
|
Isim fiil dan fail
|
هَيْهَاتَ العَتِيْقُ (Jauh sekali lembah Aqiq)
|
2.
Isim
dan fiil contohقَامَ زَيْدٌ (Zaid berdiri)
3.
Fiil
dan huruf contoh ماَ قَامَ (Zaid tidak berdiri)
4.
Isim
dan huruf contoh يَا زَيْدٌ
(Wahai Zaid)
Pertanyaan :
Mengapa dalam lafadz مَا قَامَ, dhamir dikatakan sebagai sesuatu yang tidak nampak?
Jawab :
Karena dhamir merupakan gambaran akal yang
keberadaannya tidak bisa dinyatakan dan tidak wujud dalam kenyataan, sebab
tidak berbentuk lafadz dan juga tidak ada lafadz yang dibuat untuknya
Referensi :
وَإِنَّمَا لَمْ يُعَدَّ لِعَدَمِ ظُهُوْرِهِ لِأَنَّهُ
صُوْرَةٌ عَقْلِيَّةٌ لَا تَحَقُّقَ لَهُ وَلَا وُجُوْدَ لَهُ فِيْ الْخَارِجِ
إِذْ لَيْسَ بِلَفْظٍ وَلَا وُضِعَ لَهُ لَفْظٌ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 37)
“Dan sesungguhnya tidak dihitungnya dhamir karena
tidak nampak, karena dhamir merupakan gambaran akal yang keberadaannya tidak
bisa dinyatakan dan tidak wujud dalam kenyataan, sebab tidak berbentuk lafadz
dan juga tidak ada lafadz yang dibuat untuknya”
(وَالْكَلَامُ
يَنْقَسِمُ إِلَى أَمْرٍ وَنَهْيٍ) نَحْوُ قُمْ وَلَا تَقْعُدْ (وَخَبَرٍ)
نَحْوُ جَاءَ زَيْدٌ (وَاسْتِخْبَارٍ) وَهُوَ الْاِسْتِفْهَامُ نَحْوُ هَلْ
قَامَ زَيْدٌ؟ فَيُقَالُ: نَعَمْ أَوْ لَا
(وَيَنْقَسِمُ أَيْضاً إِلَى تَمَنٍّ) نَحْوُ لَيْتَ
الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْماً (وَعَرْضٍ) نَحْوُ أَلَا تَنْزِلُ عِنْدَنَا
(وَقَسَمٍ) نَحْوُ وَاللهِ لَأَفْعَلَنَّ كَذَا
|
|
Kalam
terbagi menjadi,
1. Amr,
contoh قُمْ
2. Nahi,
contoh لَا
تَقْعُدْ
3. Khabar,
contoh جَاءَ
زَيْدٌ
4. Istikhbar,
yakni istifham, contoh:
هَلْ قَامَ زَيْدٌ؟ maka
dijawab ya atau tidak.
Kalam
terbagi lagi menjadi,
1. Tamanni,
contoh لَيْتَ
الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْمًا
2. ‘Ardhi,
contoh أَلَا
تَنْزِلْ عِنْدَنَا
3. Qasam,
contoh وَاللهِ
لَأَفْعَلَنَّ كَذَا
|
Penjelasan :
Dari sisi kandungannya, kalam terbagi beberapa macam
:
1.
Amr, yaitu kalam yang mengandung arti menuntut
dilakukannya pekerjaan, contoh قُمْ (berdirilah!).
2.
Nahi, yaitu kalam yang yang mengandung arti menuntut
ditinggalkannya pekerjaan, contoh لَا تَقْعُدْ (jangan
duduk!).
3.
Khabar (berita), yaitu kalam yang mengandung arti
sebuah berita yang mungkin benar dan bohong secara dzatiyah, contoh جَاءَ زَيْدٌ (Zaid telah
datang).
4.
Istikhbar (istifham), yaitu kalam yang mengandung arti
tuntutan untuk menjelaskan sesuatu, contoh: هَلْ قَامَ زَيْدٌ؟ (Apakah Zaid berdiri?) maka dijawab ya atau tidak.
5.
Tamanni, yaitu kalam yang mengandung arti menginginkan
sesuatu yang tidak mungkin didapatkan, contoh: لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْمًا (Andai masa muda kembali suatu
hari), atau sulit didapatkan, contoh orang miskin berkata : لَيْتَ لِيْ قِنْطَارًا مِنْ ذَهَبٍ فَأَحُجَّ
مِنْهُ (Andai
aku punya segudang emas, maka akan aku gunakan berangkat haji).
6.
‘Ardhi, yaitu kalam yang dimulai dengan lafadz أَلَا dan menunjukan arti permintaan
halus dan santai, contoh أَلَا تَنْزِلْ عِنْدَنَا (mari
singgah ke tempatku).
7.
Tahdhidh, yaitu kalam yang dimulai dengan lafadz هَلَا dan menunjukan arti permintaan
dengan keras dan menghardik, contoh : هَلَا أَكْرَمْتَ زَيْدًا (Ayo muliakanlah Zaid). Kalam ini tidak disebutkan
pengarang karena hakikatnya sama dengan ‘ardhi, yakni meminta sesuatu yang
disukai.[1][13]
8.
Qasam, yaitu kalam yang mengandung arti sumpah,
contoh:
وَاللهِ لَأَفْعَلَنَّ كَذَا (demi
Allah pasti aku akan melakukan demikian).
(وَمِنْ وَجْهٍ آخَرَ يَنْقَسِمُ إِلَى حَقِيقَةٍ
وَمَجَازٍ فَالْحَقِيْقَةُ مَا بَقِيَ فِيْ الْاسْتِعَمَالِ عَلَى مَوْضُوْعِهِ
وَقِيلَ مَا اسْتُعْمِلَ فِيْمَا اصْطُلِحَ عَلَيْهِ مِنْ المُخَاطَبَةِ) وَإِنْ
لَمْ يَبْقَ عَلَى مَوْضُوْعِهِ كَالصَّلَاةِ فِي الْهَيْئَةِ الْمَخْصُوْصَةِ،
فَإِنَّهُ لَمْ يَبْقَ عَلَى مَوْضُوْعِهِ اللُّغَوِيِّ وَهُوَ الدُّعَاءُ
بِخَيْرٍ، وَالدَّابَّةِ لِذَاتِ الْأَرْبَعِ كَالْحِمَارِ فَإِنَّهُ لَمْ
يَبْقَ عَلَى مَوْضُوْعِهِ وَهُوَ كُلُّ مَا يَدُبُّ عَلَى الْأَرْضِ.
|
|
Dari
sisi lain kalam terbagi menjadi hakikat dan majaz. Hakikat adalah lafadz yang dalam
penggunaannya sesuai makna asal lughat. Menurut pendapat lain, hakikat ialah
lafadz yang digunakan pada arti yang diistilahkan perbincangan[2][14], walaupun tidak
bergeser dari arti asal (arti lughat). Seperti lafadz shalat, digunakan untuk
(hakikat syar’i) berupa ibadah dengan tata cara tertentu. Penggunaan ini
sudah tidak menetapi arti asal lughat, yakni berdoa dengan kebaikan.
Contoh
lain kata ad-dabbah, digunakan untuk (hakikat urfi) berupa binatang berkaki
empat. Penggunaan ini sudah tidak menetapi makna asal lughat, yakni setiap
binatang melata di atas bumi.
|
Penjelasan :
Mengenai definisi hakikat, terdapat dua pendapat.
1.
Pendapat pertama, hakikat adalah lafadz yang digunakan sesuai makna asal lughatnya, contoh;
§ Lafadzأَسَدٌ digunakan untuk makna hewan buas
§ Lafadzالصَّلَاة digunakan untuk makna berdoa kebaikan
§ Lafadzالدَّابَة digunakan untuk makna setiap binatang
melata di muka bumi
2.
Pendapat kedua, hakikat adalah lafadz
yang digunakan dalam makna yang dijadikan istilah perbincangan (istilah at-takhathub), meskipun telah keluar dari makna
lughatnya. Contoh;
§ Lafadzالصَّلَاة digunakan untuk makna ibadah dengan tatacara tertentu oleh kelompok
fuqaha.
§ Lafadzالدَّابَة digunakan untuk makna hewan berkaki empat seperti kambing kelompok urf (manusia umum).
Maskipun kedua makna di
atas telah keluar dari makna lughatnya.
(وَالْمَجَازُ مَا تُجُوِّزَ) أَيْ تُعُدِّيَ بِهِ
(عَنْ مَوْضُوْعِهِ) وَهَذَا عَلَى المَعْنَى الْأَوَّلِ للْحَقِيْقَةِ، وَعَلَى
الثَّانِيْ : هُوَ مَا اسْتُعْمِلَ فِيْ غَيْرِ مَا اُصْطُلِحَ عَلَيْهِ مِنَ
الْمُخَاطِبَةِ
|
|
Penjelasan :
Dua pendapat
mengenai pengertian hakikat, mempengaruhi difinisi dari majaz. Berpijak dari pendapat pertama, majaz ialah,
مَا تُجُوِّزَ عَنْ مَوْضُوْعِهِ
“Lafadz yang digunakan pada selain arti lughatnya”
Contoh, lafadzالصَّلَاة dianggap majaz,
apabila ahli lughat menggunakannya untuk makna ibadah dengan tatacara tertentu, karena makna asal lughatnya adalah berdoa.
َ مَا
اسْتُعْمِلَ فِيْ غَيْرِ مَا اُصْطُلِحَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُخَاطِبَةِ
“Lafadz
yang digunakan untuk
menunjukkan arti selain makna yang dibuat istilah
dari perbincangan”
Contoh;
§
Lafadzالصَّلَاة dianggap majaz apabila golongan ahli fiqh
menggunakannya untuk makna doa. Karena makna asal yang dibuat oleh mereka
adalah ibadah dengan tatacara tertentu.
§
Lafadzالدَّابَة dianggap majaz apabila golongan ahli urfi
menggunakannya untuk makna binatang yang melata di muka bumi. Karena makna asal
yang dibuat oleh mereka adalah hewan berkaki empat.
Dalam majaz diharuskan memenuhi dua
persyaratan, adanya ‘alaqah dan qarinah. ‘Alaqah adalah sesuatu yang menghubungkan antara makna pertama dan
makna kedua yang digunakan, sehingga dengan perantara ini hati berpindah menuju
makna kedua. Dan qarinah adalah sesuatu yang berbarengan yang
menunjukkan pada makna yang dimaksud dan memastikan bukan makna pertama yang
dikehendaki. Persyaratan adanya qarinah ini menurut ulama yang melarang
penggunaan makna hakikat dan majaz
secara bersamaan [3][15].
Dari pengertian majaz di atas, disimpulkan bahwa dalam majaz disyaratkan
terlebih dahulu harus ada wadl’u (penetapan lafadz untuk sebuah makna)
atas makna pertama, namun tidak disyaratkan terlebih dahulu ada isti’mal (penggunaan
makna).
Catatan
Menurut
pendapat Ashah, ketika sebuah lafadz mashdar digunakan dalam makna
aslinya, maka lafadz yang musytaq (tercetak) dari mashdar
tersebut sah dibuat majaz,
meskipun mashdar tersebut tidak terpakai pada musytaq lahu (perkara
yang dibuatkan lafadz musytaq). Contoh, lafadzالرَّحْمَنُ tercetak dari mashdar رَحْمَةٌ, dan mashdar ini
terpakai dalam makna aslinya, yakni kelembutan hati. Namun makna ini tidak sah
dipakai dalam musytaq lahu (perkara yang dibuatkan lafadz musytaq),
yaitu Allah swt, karena muhal (tidak diterima akal). Sehingga pembuatan majaz dalam الرَّحْمَنُ dianggap sudah sah [4][16].
Pertanyaan
:
Jawab :
Faktor-faktornya
adalah sebagai berikut;
1.
Lafadz dari
makna hakikat berat pengucapannya. Contoh lafadz خَنْفِقِيْقٍ yang berarti marabahaya, dipindah menjadi lafadz مَوْتٌ
2.
Kurang enak didengar, misalnya lafadz خِرَاءَةٌ, artinya kotoran yang diganti dengan lafadz غَائِطٌ, arti hakikatnya dataran rendah.
3.
Ketidaktahuan baik dari mutakallim atau mukhathab atas makna hakikat, bukan makna majaznya.
4.
Karena nilai
sastra yang terkandung. Contoh, lafadz زَيْدٌ أَسَدٌ (Zaid seperti singa) dalam
keberaniannya. Ini memiliki nilai sastra lebih tinggi dibandingkan lafadz زَيْدٌ شُجَاعٌ
Referensi :
وَإِنَمَا يُعْدِلُ عَنِ الْحَقِيْقَةِ إِلَى الْمَجَازِ لِثِقَلِ
الْحَقِيْقَةِ عَلَى اللِّسَانِ كَالخَنْفِقِيْقِ اِسْمٌ لِلدَاهِيَةِ يُعْدِلُ
عَنْهُ اِلَى الْمَوْتِ مَثَلاً أَوْ بَشَاعَتِهَا كَالْخِرَاءَةِ يَعْدِلُ
عَنْهَا اِلَى الْغَائِطِ وَحَقِيْقَتُهُ الْمَكَانُ الْمُنْخَفِضُ أَوْ جَهْلِ
المتُكَلِّمِ أَوْ الْمُخَاطَبِ بِهَا دُوْنَ الْمَجَازِ أَوْ بَلاَغَتِهِ نَحْوُ
زَيْدٌ أُسُدٌ فَاِنَّهُ أَبْلَغُ مِنْ شُجَاعٍ أَوْ شُهْرَتِهِ دُوْنَ
الْحَقِيْقَةِ أَوْ غَيْر ذَلِكَ (النَّفَحَاتُ صـ 49)
“Sesungguhnya berpindah dari hakikat menuju majaz, karena lafadz dari
makna hakikat berat pengucapannya. Contoh lafadz خَنْفِقِيْقٍ yang berarti
marabahaya, dipindah menjadi lafadz مَوْتٌ.
Atau kurang enak didengar, misalnya lafadz خِرَاءَةٌ,
artinya kotoran yang diganti dengan lafadz غَائِطٌ,
arti hakikatnya dataran rendah. Atau ketidaktahuan baik dari mutakallim atau
mukhathab atas makna hakikat, bukan makna majaznya. Atau karena nilai sastra yang tinggi. Contoh, lafadz زَيْدٌ أَسَدٌ (Zaid seperti singa) dalam
keberaniannya. Bahasa ini memiliki nilai sastra lebih tinggi dibandingkan
lafadz زَيْدٌ شُجَاعٌ. Atau makna majaz lebih dikenal daripada makna hakikatnya. Atau faktor yang lain”
(وَالْحَقِيْقَةُ إمَّا لُغَوِيَّةٌ) بِأَنْ وَضَعَهَا
أَهْلُ اللُّغَةِ، كَالْأَسَدِ لِلْحَيَوَانِ الْمُفْتَرِسِ.
(وَإمَّا شَرْعِيَّةٌ) بِأَنْ وَضَعَهَا الشَّارِعِ،
كَالصَّلَاةِ لِلْعِبَادَةِ الْمَخْصُوْصَةِ.
(وَإمَّا
عُرْفِيَّةٌ) بِأَنْ وَضَعَهَا أَهْلُ الْعُرْفِ العَامُّ كَالدَّابَةِ لِذَاتِ
الْأَرْبَعِ كَالْحِمَارِ، وَهِيَ لُغَةً لِكُلَّ مَا يَدُبُّ عَلَى الْأَرْضِ، وَالْخَاصُّ كَالْفَاعِلِ لِلْاِسْمِ
|
|
Hakikat
adakalanya berbentuk lughawiyyah (bahasa), yakni yang dibuat oleh ahli
bahasa. Contoh, lafadz al-asad untuk makna hewan buas.
Dan
berbentuk syar’iyyah, yang dibuat oleh pemegang syariat. Contoh, shalat untuk
makna ibadah dengan cara tertentu.
Serta
berbentuk ‘urfiyyah, yang dibuat oleh ahli urfi umum, contoh lafadz ad-dabbah
untuk hewan berkaki empat, seperti himar. Lafadz ini secara lughat bermakna
setiap hewan melata di muka bumi. Dan
oleh ahli urfi
khash, seperti
|
الْمَعْرُوْفِ
عِنْدَ النُّحَاةِ.
وَهَذَا
التَّقْسِيْمُ مَاشٍ عَلَى التَعْرِيْفِ الثَّانِيْ لِلْحَقِيْقَةِ دُوْنَ
الْأَوَّلِ الْقَاصِرِ عَلَى اللُّغَوِيَّةِ
|
|
lafadz al-fail,
untuk makna isim yang dikenal menurut ahli ilmu nahwu.
Pembagian
ini diselaraskan dengan definisi hakikat yang kedua, bukan yang pertama yang
hanya terbatas pada hakikat lughawiyah saja.
|
Penjelasan :
Hakikat terbagi menjadi beberapa macam.
1.
Hakikat
lughawi (bahasa), yaitu lafadz yang dibuat dan digunakan oleh ahli
lughat untuk menunjukkan makna asal secara bahasa, seperti lafadz as-shalat
digunakan untuk makna doa.
2.
Hakikat syar’i
(syari’at), yaitu
lafadz yang dibuat dan digunakan oleh pembuat syariat untuk menunjukkan makna
asal secara syara’, seperti lafadz as-shalat digunakan untuk makna perbuatan
dan ucapan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
3.
Hakikat urfi (terlaku di tengah manusia), yaitu
lafadz yang dibuat dan digunakan oleh ahli urf untuk menunjukkan makna asal
urf. Terbagi dua;
a.
Urf ‘ Am, yaitu makna urf
yang pencetusnya tidak ditentukan dari satu golongan. Contoh lafadz ad-dabbah yang
digunakan untuk menunjukkan makna hewan berkaki
empat.
b.
Urf Khash, yaitu
makna urf yang pencetusnya dari kelompok
tertentu. Contoh lafadz al-fi’lu yang digunakan oleh kelompok ahli nahwu untuk
makna lafadz yang dapat menunjukkan makna dengan sendirinya dan disertai zaman.
Penjelasan :
1.
Majaz ziyadah
(penambahan), yaitu lafadz yang digunakan pada selain makna asalnya karena ‘alaqah (hubungan)
berbentuk penambahan kalimat. Penambahan ini tidak memiliki arti, namun ada fungsi tertentu seperti
menggukuhkan. Contoh:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ
“Tiada
sesuatu yang menyerupai allah”
Huruf kaf
memiliki arti مِثْلٌ,
yang apabila difungsikan maknanya maka akan terjadi pemahaman yang muhal
(tidak
diterima akal). Karena maksud ayat di
atas adalah menafikan sesuatu yang menyerupai Allah swt. Sehingga kaf di sini dihukumi ziyadah (tambahan)
[5][17].
2.
Majaz nuqshan
(pengurangan), yaitu lafadz yang
digunakan pada selain makna asalnya karena ‘alaqah (hubungan) berbentuk pengurangan kalimat. Contoh:
وَاسْئَلِ الْقَرْيَةَ
“Bertanyalah pada (penduduk) desa”
Dalam contoh
ini ada pengurangan lafadz أَهْلَ (penduduk) dengan qarinah, tidak mungkin
bertanya pada desa yang berwujud benda mati[6][18].
3.
Majaz naql
(memindah), yaitu pemindahan makna oleh ahli urf ‘am (umum) dari makna lughat
menuju makna yang dipakai sebagai istilah oleh manusia umum. Contoh lafadz الغَائِطُ,
dipindah dari arti lughat yaitu tanah yang rendah
yang digunakan untuk membuang kotoran, menuju arti kotoran yang keluar dari
manusia.
4.
Majaz istia’rah, yaitu lafadz
yang digunakan pada selain makna asalnya karena ‘alaqah (hubungan)
berbentuk keserupaan. Contoh, firman Allah swt:
جِدَاراً يُرِيْدُ أَنْ يَنْقَضّ
“Dinding rumah yang hampir roboh”
Miringnya tembok
yang akan roboh disamakan dengan menghendaki roboh yang merupakan sifat makhluk
hidup bukan untuk benda mati.
Pertanyaan :
Naql atau manqul dalam kitab lain dimasukkan dalam bagian hakikat,
mengapa pengarang memasukkannya dalam bagian majaz?
Jawab :
Karena maksud pengarang di sini adalah pengertian
naql secara lughat, yakni pengalihan secara mutlak dari makna satu ke
makna lainnya. Dan Beliau tidak menghendaki naql secara istilah, yakni
pemindahan dari makna pertama ke makna kedua disertai adanya kesesuaian (munasabah)
dan dengan meninggalkan makna pertama.
Sedangkan naql atau manqul yang
termasuk bagian hakikat adalah naql yang menggunakan definisi secara
istilah.
Referensi :
فَإِنْ قُلْتَ أَنَّ كَوْنَهُ
مَنْقُوْلاً يُناَفِيْ كَوْنَهُ مَجَازًا لِأَنَّ المَنْقُوْلَ مِنْ أَقْسَامِ
الحَقِيْقَةِ كَمَا تَقَرَّرَ فيِ مَحَلِهِ وَالمُصَنِّفُ قَدْ جَعَلَهَا مِنْ
أَقْسَامِ المَجَازِ أُجِيْبُ بِأَنَّهُ لاَ مُناَفاَةَ لِأَنَّهُ أَرَادَ
النَّقْلَ بِالمَعْنىَ اللُّغَوِيِّ وَهُوَ مُطْلَقُ المُجَاوَزَةِ بِاللَّفْظِ
عَنْ مَعْنىً إِلىَ مَعْنىً آخَرَ لاَ بِالمَعْنىَ الإِصْطِلاَحِيِّ وَهُوَ مَا
يَكُوْنُ لِمُنَاسَبَةٍ مَعَ هَجْرِ المَعْنىَ الأَوَّلِ وَالمَنْقُوْلُ الَّذِيْ
هُوَ مِنْ أَقْسَامِ الحَقِيْقَةِ هُوَ المَنْقُوْلُ بِالمَعْنىَ الإِصْطِلاَحِيِّ
دُوْنَ مَعْنىَ اللُّغَوِيِّ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 45)
“Jika kamu
mengatakan bahwa adanya status manqul menafikan keberadaannya sebagai majaz, karena manqul
termasuk bagian hakikat seperti yang dijelaskan pada pembahasannya, dan
pengarang menjadikannya termasuk bagian majaz. Maka aku menjawab, bahwa tidak ada
pertentangan. karena maksud pengarang di sini adalah pengertian naql secara
lughat, yakni pengalihan secara mutlak dari makna satu ke makna lainnya, tidak
menghendaki naql secara istilah, yakni pemindahan dari makna pertama ke makna
kedua disertai adanya kesesuaian (munasabah) dan dengan meninggalkan makna
pertama. Sedangkan naql atau manqul yang termasuk bagian hakikat adalah naql
yang menggunakan definisi secara istilah, bukan secara lughat.”
Pertanyaan :
Ada kemiripan istilah di saat sebuah lafadz
memiliki beberapa pemahaman makna, yakni musytarak, naql, murtajal dan majaz bi an-naql. Apa
perbedaan istilah-istilah ini?
Jawab :
Perbedaannya adalah sebagai berikut;
1.
Musytarak : lafadz yang memiliki beberapa pemahaman makna dan
antara pemahaman makna tersebut tidak diselingi proses pemindahan (naql)
2.
Murtajal : antara
pemahaman makna tersebut diselingi proses pemindahan (naql), namun antara makna awal dan makna yang
digunakan tidak ada keserasian.
3.
Manqul (naql) : seperti murtajal di atas,
namun ada keserasian makna dan kemudian makna awal ditinggalkan
(dilupakan). Manqul model ini termasuk kategori hakikat.
4.
Majaz bi an-naql : seperti
manqul di atas, namun makna awal masih terpakai. Ini termasuk manqul
(naql) kategori majaz.
Referensi :
قَالُوا اَللَّفْظُ إِذَا
تَعَدَّدَ مَفْهُوْمُهُ فَاِنْ لَمْ يَتَخَلَّلْ بَيْنَهُمَا نَقْلٌ فَهُوَ الْمُشْتَرَكُ
وَإِنْ تَخَلَّلَ فَاِنْ لَمْ يَكُنْ النَّقْلُ لِمُنَاسَبَةٍ فَمُرْتَجَلٌ وَاِنْ
كَانَ لِمُنَاسَبَةِ فَاِنْ هُجِرَ الْمَعْنَى الْأَوَّلُ فَهُوَ الْمَنْقُوْلُ
الَّذِى هُوَ مِنْ أَقْسَامِ الْحَقِيْقَةِ وَإِلاَّ فَهُوَ الْمَنْقُوْلُ الَّذِى
هُوَ مِنْ أَقْسَامِ الْمَجَازِ وَيُسَمَّى مَجَازًا بِالنَّقْلِ (النَّفَحَاتُ
صـ45)
“Ulama
mengatakan, ketika suatu lafadz memiliki beberapa pemahaman makna, maka apabila
antara dua pemahaman makna tidak diselingi proses pemindahan (naql), maka
disebut musytarak. Dan jika diselingi proses pemindahan (naql), maka apabila
pemindahan tersebut bukan karena keserasian makna, maka dinamakan murtajal.
Apabila karena keserasian makna, kemudian makna awal ditinggalkan (dilupakan),
maka dinamakan manqul (naql) yang termasuk kategori hakikat. Dan jika
sebaliknya (makna awal masih terpakai), maka dinamakan manqul (naql) yang
termasuk kategori majaz
dan dinamakan majaz
dengan naql”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar