MUKADDIMAH
(بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ) أَمَّا بَعْدُ (فَهَذِهِ وَرَقَاتٌ) قَلِيْلَةٌ (تَشْتَمِلُ عَلَى
مَعْرِفَةِ فُصُوْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الْفِقْهِ) يَنْتَفِعُ بِهَا الْمُبْتَدِئُ
وَغَيْرُهُ (وَذَلِكَ) أَيْ لَفْظُ أُصُوْلِ الْفِقْهِ (مُؤَلَّفٌ مِنْ
جُزْئَيْنِ مُفْرَدَيْنِ) مِنَ الْأَفْرَادِ الْمُقَابِلِ لِلتَّرْكِيْبِ لَا
الْجَمْعِ وَالْمُؤَلَّفُ يُعْرَفُ بِمَعْرِفَةِ مَا أُلِّفُ مِنْهُ
(فَالْأَصْلُ) الَّذِيْ هُوَ
مُفْرَدُ الْجُزْءِ الْأَوَّلِ، (مَا يُبْنىَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ)، كَأَصْلِ
الْجِدَارِ أَيْ أَسَاسِهِ، وَأَصْلِ الشَّجَرَةِ أَيْ طَرَفِهَا الثَّابِتِ
فِيْ الْأَرْضِ (وَالفَرْعُ) الَّذِيْ هُوَ مُقَابِلُ الأَصْلِ (مَا يُبْنَى
عَلَى غَيْرِهِ) كَفُرُوْعِ الشَّجَرَةِ لِأَصْلِهَا، وَفُرُوْعِ الْفِقْهِ
لِأُصُوْلِهِ
|
|
Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Usai membaca
basmalah, bahwa karya tulisan ini adalah lembaran yang sedikit, memuat
pengetahuan fashal-fashal masalah ushul fiqh yang dapat dimanfaatkan oleh
pelajar tingkat dasar dan yang selainnya. Lafadz ushul fiqh tersusun dari dua
juz yang keduanya mufrad, dari
pengertian mufrad yang lawan katanya tarkib
bukan lawan katanya jamak. Suatu
susunan dapat diketahui melalui bahan yang digunakan untuk menyusun.
Ashl yang
merupakan bentuk mufrad yang menjadi juz yang pertama (dari ushul fiqh)
adalah sesuatu yang adanya perkara lain dibangun di atasnya. Seperti asalnya
tembok yaitu pondasi tembok asalnya pohon yaitu akar yang menancap di dalam
tanah. Sedangkan far’u (lawan kata
dari ashl) adalah sesuatu yang dibangun di atas perkara lain,
sebagaimana cabangnya pohon yang berdiri di atas pangkalnya dan juga seperti
beberapa cabangnya fiqh yang berdiri di atas ushulnya.
|
Penjelasan :
Kitab Al-Waraqat merupakan kitab kecil yang di dalamnya berisi beberapa
fashal pembahasan disiplin ilmu ushul fiqh.
Usul fiqh ditinjau dari segi lafadz terdiri dari dua suku kata yang
keduanya mufrad, yakni:
1.
Ushul
2.
Fiqh
Mufrad di sini memiliki beberapa pengertian :
1.
مُفْرَدٌ الْمُقَابِلُ لِلتَّثْنِيَّةِ وَالْجَمْعِ (mufrad yang
lawan katanya tatsniyah dan jamak)
2.
مُفْرَدٌ الْمُقَابِلُ لِلتَّرْكِيْبِ (mufrad yang lawan katanya tarkib)
Pengertian mufrad al-muqabil lit tatsniyah wal jam’i
merupakan pengertian mufrad yang
terdapat dalam ilmu nahwu, yakni lafadz yang memiliki arti satu seperti lafadz رَجُلٌ (laki-laki
satu). Sedangkan lawan katanya (الْمُقَابِلُ) adalah tatsniyah
dan jamak. Ketika lafadz tersebut
tidak menunjukkan arti satu, maka tidak dinamakan mufrad. Dan dinamakan tatsniyah apabila menunjukkan arti dua,
serta jamak jika menunjukkan arti
banyak.
Pengertian mufrad al muqabil lit
tarkib merupakan mufrad dalam
pengertian ilmu Mantiq, yakni اَلَّذِيْ لَاَ يَدُلُّ جُزْؤُهُ عَلَى جُزْءِ مَعَنَاهُ(suatu lafadz yang disusun dari
dua atau beberapa bagian yang setiap bagiannya tidak mempunyai arti). Seperti
lafadz زَيْدٌ (terdiri
bagian-bagian berupa za’, ya dan dal) dan dari tiap bagian ini tidak dapat
menunjukkan arti manakala terpisah.[1][1]
Ashl merupakan mufrad dari lafadz ushul. Makna secara lughat ialah sesuatu
yang adanya perkara lain dibangun di atasnya, seperti asalnya tembok yaitu
pondasi, asalnya pohon yaitu akar yang berada di dalam tanah,
Catatan
1.
Pengarang kitab Waraqat adalah al-Imam al-‘Alamah Abu
Al-Ma’ali Abdul Malik bin Yusuf Muhammad al-Juwaini al-‘Iraqi asy-Syafi’i.
Beliau lahir pada tahun 419 H dan wafat pada tahun 478 H, dengan demikian usia
beliau ± 59 tahun. Gelar beliau ialah Imam al-Haramain (imam dua tanah haram).
Gelar ini diberikan karena beliau menjadi mufti di Makkah dam Madinah. Imam
al-Ghazali merupakan salah satu dari murid beliau [2][2].
2.
Orang pertama yang membuat dan membukukan ilmu ushul
fiqh adalah imam asy-Syafi’i. Hasil pembukuannya yang pertama diberi nama
Ar-Risalah yang memuat tentang amr, nahi, bayan, khabar,
nasakh, mengenai hukum ‘illat manshushah di antara permasalahan qiyas.[3][3]
Pertanyaan :
Lafadz أُصُوْلٌ yang artinya beberapa asal, secara ilmu nahwu dihukumi
jamak. Mengapa dalam pembahasan ini
dikatakan sebagai lafadz mufrad?
Jawab :
Karena yang dikehendaki mufrad
dalam pembahasan ini adalah pengertian dalam ilmu mantiq bukan pengertian dalam
ilmu nahwu.
Referensi :
وَفِيْ الْمَنْطِقِ عَلَى مَا يُقَابِلُ الْمُرَكَّبَ فَحِيْنَئِذٍ لَمَّا
احْتَمَلَ هُنَا أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ مَا يُقَابِلُ التَّثْنِيَّةَ
فَيُعْرَضُ عَلَيْهِ بِأَنَّ الْجُزْءَ الْأَوَّلَ هُنَا لَيْسَ بِمُفْرَدٍ
فَكَيْفَ يَقُوْلُ إِنَّهُمَا مُفْرَدَانِ دَفَعَ هَذَا الْإِعْتِرَاضَ
الشَارِحُ بِقَوْلِهِ الْإِفْرَادَ
الْمُقَابِلَ لِلتَّرْكِيْبِ الَّذِيْ هُوَ اِصْطِلَاحُ الْمَنَاطِقَةِ هُوَ
الّذِيْ لَا يَدُلُّ جُزْؤُهُ عَلَى جُزْءِ مَعَنَاهُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 12)
“Mufrad
dalam pengertian ilmu mantiq ialah lafadz yang lawan katanya tarkib. Tatkala
ada kefahaman bahwa mufrad yang dimaksud adalah mufrad yang lawan katanya
tatsniyah, maka muncul sebuah sangkalan bahwa bagian (juz) yang pertama bukan
termasuk mufrad, bagaimana keduanya dikatakan berupa mufrad. Maka pensyarah
menanggapi sangkalan tersebut dengan ucapannya, “mufrad yang lawan katanya
tarkib” dimana hal
tersebut merupakan istilah
ahli ilmu mantiq. Yakni suatu lafadz (yang disusun dari dua atau beberapa
bagian) yang
setiap bagiannya tidak mempunyai arti”
Pertanyaan
:
Kenapa أُصُوْلُ الْفِقْهِ dikatakan
dua juz yang keduanya berupa mufrad?, semestinya memandang ushul fiqh
sebagai nama ilmu, maka kata-kata yang benar adalah ushul fiqh merupakan dua
juz yang keduanya dihukumi satu mufrad.
Jawab :
Karena
yang dikehendaki oleh pengarang adalah lafadz ushul fiqh sebelum dijadikan
sebuah nama fan ilmu.
Referensi :
فَإِنْ قُلْتَ إِذَا كَانَ الْمُفْرَدُ هُنَا بِهَذِهِ الْمَعْنَى كَانَ
حَقُّهُ أَنْ يَقُوْلَ وَذَلِكَ مُفْرَدٌ لِأَنَّ أُصُوْلَ الْفِقْهِ لَقَبٌ
لِهَذَا الْعَلَمِ فَلَا يَدُلُّ جُزْؤُهُ عَلَى جُزْءِ مَعْنَاهُ فَكَيْفَ
يَقُوْلُ مُفْرَدَيْنِ قُلْتُ هَذَا لَا يَرِدُ إِلَّا لَوْ قَالَ وَذَلِكَ
جُزْئِيَانِ مُفْرَدَانِ وَهُوَ لَمْ يَقُلْ ذَلِكَ بَلْ قَالَ مُؤَلَّفٌ إلخ أَيْ
أَنَّ الْأَصْلَ هَذَا الْاِسْمِ اللَّقَبِيِّ قَوْلٌ مُؤَلَّفٌ مِنْ
مُفْرَدَيْنِ. (اَلنَّفَحَاتُ صـ 12)
“Seandainya tuan bertanya : ketika mufrad yang
dikehendaki adalah makna ini (mufrad dalam ilmu mantiq), semestinya ucapan anda
yang benar, “lafadz ushul fiqh ialah mufrad”, karena ushul fiqh adalah nama (‘alam laqab) yang
tentunya setiap bagiannya tidak mempunyai arti. Tapi mengapa pensyarah mengucapkan “disusun dari dua
juz yang keduanya mufrad)”?. Maka saya jawab : ini tidaklah janggal kecuali
jika pengarang mengatakan; “lafadz ushul fiqh adalah dua juz yang mufrad
keduanya”, dan pengarang tidak mengatakan seperti ini, tapi mengatakan; “lafadz ushul
fiqh tersusun…dan seterusnya”. Artinya, bahwa asal dari ‘alam laqab ini adalah
ucapan yang tersusun dari dua mufrad”
Pertanyaan :
Apa yang
di maksud الْتَرْكِيْبُ dalam lafadz مِنَ
الْأَفْرَدِ الْمُقَابِلِ لِلتَّرْكِيْبِ ?
Jawab :
Suatu
lafadz yang tersusun dari dua atau beberapa bagian, yang setiap bagiannya
mempunyai arti sendiri.
Referensi :
ثُمَّ اللَّفْظُ يَنْقَسِمُ بِاعْتِبَارٍ آخَرَ إِلَى مُرَكَّبٍ وَمُفْرَدٍ
لِأَنَّهُ إِنْ دَلَّ جُزْؤُهُ الَّذِيْ بِهِ تَرْكِيْبُهُ عَلَى جُزْءِ مَعْنَاهُ
فَمُرَكَّبٌ (غاَيَةُ الوُصُوْلِ صـ 36)
“Kemudian lafadz dipandang dari sisi lain terbagi menjadi
murakkab dan mufrad. Karena apabila juz (bagian) yang merupakan susunan lafadz,
mempunyai arti sendiri, maka dinamakan murakkab berbentuk tarkib isnadi. Contoh
: زَيْدٌ قَائِمٌ (zaid berdiri) [4][4]”.
(وَالْفِقْهُ) الَّذِيْ هُوَ الْجُزْءُ الثَّانِيْ
لَهُ مَعْنًى لُغَوِيٌّ وَهُوَ
الْفَهْمُ، وَمَعْنًى
|
|
Fiqh
yang menjadi juz kedua (dari lafadz ushul fiqh) memiliki makna lughat, yakni
faham. Juga memiliki makna syar’i,
|
شَرْعِيٌّ وَهُوَ: (مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الَّتِيْ طَرِيْقُهَا الْإِجْتِهَادُ) كَالْعِلْمِ بِأَنَّ
النِّيَّةَ فِيْ الْوُضُوْءِ وَاجِبَةٌ، وَأَنَّ الْوِتْرَ مَنْدُوْبٌ، وَأَنَّ
النِّيَّةَ مِنَ اللَّيْلِ شَرْطٌ فِيْ صَوْمِ رَمَضَانَ، وَأَنَّ الزَّكَاةَ
وَاجِبَةٌ فِيْ مَالِ الصَّبِيِّ غَيْرُ وَاجِبَةٍ فِيْ الْحُلِيِّ الْمُبَاحِ،
وَأَنَّ الْقَتْلَ بِمُثَقَّلٍ يُوْجِبُ الْقِصَاصَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ
مَسَائِلِ الْخِلَافِ بِخِلَافِ مَا لَيْسَ طَرِيْقُهُ الْإِجْتِهَادَ،
كَالْعِلْمِ بِأَنَّ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَاجِبَةٌ، وَأَنَّ الزِّنَى
مُحَرَّمٌ، وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنَ الْمَسَائِلِ الْقَطْعِيَّةِ، فَلَا يُسَمَّى
فِقْهاً فَالْمَعْرِفَةُ هُنَا العِلْمُ بِمَعْنَى الظَنِّ
|
|
mengetahui
hukum-hukum syar’i melalui jalan ijtihad, seperti mengetahui hukum wajibnya
niat dalam melakukan wudlu’, mengetahui hukum sunnah dalam shalat witir,
mengetahui bahwa niat pada malam hari merupakan syarat dalam puasa Ramadhan,
mengetahui hukum wajibnya zakat atas hartanya anak kecil, dan mengetahui
tidak wajibnya zakat pada perhiasan yang boleh dipakai, dan mengetahui
pembunuhan memakai benda tumpul menetapkan qishas dan contoh lain yang
tergolong masalah-masalah khilafiyah.
Beda
halnya dengan hukum-hukum yang diperoleh tanpa melalui ijtihad, seperti
mengetahui shalat lima waktu hukumnya wajib, melakukan zina haram, dan contoh
lain yang tergolong masalah qath’iyah maka bukan di namakan fiqh.
Lafad makrifat dalam pembahasan ini ialah yakin yang bermakna dhan
(persangkaan).
|
Penjelasan
:
Fiqh
adalah pengetahuan atas hukum syar’i melalui jalan ijtihad (terkait dengan masalah-masalah khilafiyah). Contoh, wajibnya niat di
dalam wudhu’. Sedangkan contoh mengetahui wajibnya shalat lima waktu, bukanlah
fiqh, sebab bukan tergolong masalah-masalah khilafiyah, namun tergolong masalah
qath’i (pasti).
Pertanyaan :
Apa yang
dimaksud makrifat (dalam lafadz ma’rifatul ahkam) ?
Jawab :
Potensi
pada seseorang yang dihasilkan dari penelitian kaidah hingga melahirkan
kemampuan menghasilkan sebuah hukum yang dikehendakinya, walaupun hasil
hukumnya belum terwujud secara nyata.
Referensi :
(قَوْلُهُ مَعْرِفَةٌ) .... أَعْنِيْ الْمَلَكَةُ
الْحَاصِلَةُ مِنْ تَتَبُّعِ الْقَوَاعِدِ بِحَيْثُ يَقْتَدِرُ بِهَا عَلَى
تَحْصِيْلِ التَّصْدِيْقِ بِأَيِّ حُكْمٍ أَرَادَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَاصِلًا
بِالْفَعْلِ كَمَا وَقَعَ ذَلِكَ لِمَنْ هُوَ فَقِيْهٌ بِالْإِجْمَاعِ فِيْ بَعْضِ
الْأَحْكَامِ كَمَالِكٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى حِيْنَ سُئِلَ عَنْ أَرْبَعِيْنَ
مَسْأَلَةً فَقَالَ فِيْ سِتٍّ وَ ثَلَاثِيْنَ لَا أَدْرِيْ لِجَوَازِ أَنْ
يَكُوْنَ ذَلِكَ لِعَدَمِ التَّمَكُّنِ مِنَ الْاِجْتِهَادِ فِيْ الْحَالِ
(اَلنَّفَحَاتُ صـ 14)
“(Ucapan pengarang : pengetahuan)….yang dimaksud ialah
sebuah potensi (kemampuan) pada seseorang dari penelitian terhadap kaidah, yang
dengan penelitian tersebut mampu menghasilkan sebuah hukum (tashdiq) yang ia
kehendaki, walaupun hasil hukumnya belum terwujud secara nyata. Seperti yang
terjadi pada seseorang yang memahami ijma’ dalam sebagian hukum. Seperti imam Malik ra tatkala beliau ditanya tentang
40 permasalahan, (4 masalah beliau jawab) dan beliau berkata dalam 36 masalah;
“saya tidak tahu jawabanya”. Demikian itu dikarenakan mungkin tidak ada
kesempatan untuk berijtihad seketika itu”
Pertanyaan :
Apa yang
dimaksud masail al-khilafiyah (مَسَائِلِ
الْخِلَافِ) dan masalah
qathiyahمَسَائِلِ
الْقَطْعِيَّةِ) ) ?
Jawab :
Masail al-khilafiyah
yaitu hukum yang proses penggaliannya melalui ijtihad. Sedangkan
yang dimaksud masalah qath’iyah adalah hukum
yang proses penggaliannya tanpa melalui ijtihad.
Referensi :
(وَالفِقْهُ
عِلْمُ كُلَّ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ # جَاءَ اجْتِهَادًا دُوْنَ حُكْمٍ قَطْعِيٍّ)
وَإِنَّمَا احْتَاجَ إِلَى التَّقْيِيْدِ
بِقَوْلِهِ جَاءَ اجْتِهَادًا دُوْنَ حُكْمٍ قَطْعِيٍّ الَّذِيْ هُوَ بِمَعْنَى
قَوْلِ الْأَصْلِ الَّتِيْ طَرِيْقِهَا الْاِجْتِهَادُ أَيْ جَاءَ ثُبُوْتُهُ
وَظُهُوْرُهُ بِالْاِجْتِهَادِ وَهُوَ بَذْلُ الْوَسْعِ فِيْ بُلُوْغِ الْغَرَضَ
لِأَنَّ الْحُكْمَ ثَابِتَةٌ فِيْ نَفْسِهَا بِدُوْنِ الْاِجْتِهَادِ لَكِنَ
الْاِجْتِهَادُ هُوَ الْمُظْهِرُ الْمُثْبِتُ لَهَا عِنْدَ الْمُجْتَهِدِ
فَالْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ يَنْقَسِمُ إِلَى مَا طَرِيْقُهُ الْاِجْتِهَادُ
الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ جَاءَ اِجْتِهَادًا كَقَوْلِنَا النِّيَّةُ فِيْ
الْوُضُوْءِ وَاجِبَةٌ....وَإِلَى مَا طَرِيْقُهُ الْقَطْعُ لَا الْاِجْتِهَادُ
مِنْ قَوْلِهِ دُوْنَ حُكْمٍ قَطْعِيٍّ كَالْعِلْمِ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى
وَاحِدٌ مَوْجُوْدٌ وَأَنَّ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَاجِبَةٌ وَأَنَّ الزِّنَا
مُحَرَّمٌ وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْمَسَائِلِ الْقَطْعِيَّةِ مِمَا يَشْتَرِكُ
فِيْ مَعْرِفَتِهَا الْخَاصُّ وَالْعَامُ فَلَا يُسَمَّى فِقْهًا فَلِذَلِكَ
قُيِّدَ الْحُكْمُ بِالْاِجْتِهَادِ (لَطَائِفُ الإِشَارَاتِ صـ9)
“(Fiqh
yaitu pengetahuan tentang hukum berbentuk syar’i yang datang melalui ijtihad,
bukan hukum qath’i). Dibutuhkannya batasan “melalui ijtihad, bukan hukum
qath’i” dimana artinya sama dengan kitab asal (warakat) yang redaksinya
“melalui proses ijtihad”, artinya tetap dan munculnya melalui ijtihad. Ijtihad
ialah pengerahan kemampuan untuk mencapai tujuan. Karena sebenarnya hukum itu
terlebih dahulu telah wujud tanpa ijtihad, sedangkan keberadaan ijtihad hanya
untuk menampakkan dan menetapkannya di tangan mujtahid. Dengan demikian hukum itu syar’i
terbagi menjadi dua. 1). Adakalanya proses
penggaliannya melalui ijtihad, dan ini yang
dikehendaki redaksi “datang melalui
ijtihad”, seperti niat di dalam wudhu’ adalah wajib…..2).
Adakalanya proses penggaliannya tidak menggunakan
ijtihad seperti pengetahuan kita bahwa Allah swt itu satu dan wujud, adanya
shalat lima waktu hukumnya wajib, perbuatan zina hukumnya haram dan contoh-contoh lain
yang tergolong qath’iyyah. Yakni dari beberapa masalah,
yang orang pintar maupun orang awam dapat
mengetahuinya. Pengetahuan terhadap hukum tersebut tidak
dinamakan fiqh. Sehingga hukum dalam hal ini perlu dibatasi
dengan yang proses penggaliannya melalui ijtihad”
(وَالْأَحْكًامُ) الْمُرَادَةُ
فِيْمَا ذُكِرَ (سَبعَةٌ: الوَاجِبُ والمَندُوبُ وَالمُبَاحُ والمَحْظُورُ
والمَكْرُوهُ والصَّحِيْحُ وَالبَاطِلُ)
فَالْفِقْهُ الْعِلْمُ بِالْوَاجِبِ وَالْمَنْدُوْبِ
إِلَى أَخِرِ السَّبْعَةِ أَيْ بِأَنَّ هَذَا الْفِعْلَ وَاجِبٌ وَهَذَا
مَنْدُوْبٌ وَهَذَا مُبَاحٌ وَهَكَذَا إِلَى أَخِرِ السَّبْعَةِ
|
|
Dan
hukum yang dimaksud pada keterangan yang telah lewat ada tujuh macam, wajib,
mandub, mubah, mahdhur (haram), makruh, sah, dan batal.
Maka
yang dinamakan fiqh ialah pengetahuan tentang hukum wajib, sunnah, sampai
ketujuh hukum di atas. Artinya bahwa pekerjaan ini hukumnya wajib, mandub,
dan pekerjaan ini mubah sampai akhir ke tujuh hukum di atas.
|
Penjelasan :
Hukum
ialah khithab Allah swt yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Terbagi
menjadi dua :
1. Hukum Taklifi
2. Hukum Wadl’i
Hukum taklifi ialah hukum yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, baik bersifat tuntutan, atau bersifat
memilih (mengerjakan atau meninggalkan). Kemudian
diperinci sebagai berikut;
1.
Khithab yang
menuntut sebuah perbuatan dengan tuntutan yang bersifat mengharuskan, maka dinamakan wajib.
2.
Khithab yang menuntut sebuah perbuatan dengan
tuntutan yang bersifat tidak mengharuskan, maka dinamakan sunnah
(nadbu).
3.
Khithab yang menuntut ditinggalkannya sebuah perbuatan
dengan tuntutan yang bersifat mengharuskan disebut haram.
4.
Khithab yang menuntut ditinggalkannya sebuah perbuatan
dengan tuntutan yang bersifat tidak mengharuskan, disertai larangan yang khusus disebut makruh.
5.
Khithab yang menuntut ditinggalkannya sebuah perbuatan
dengan tuntutan yang bersifat tidak mengharuskan, disertai larangan yang tidak khusus disebut khilaful `aula.
Hukum Wadl’i ialah khithab Allah swt yang
menjadikan sesuatu sebagai sabab, syarat,
mani’ (pencegah), shahih (sah) atau fasid
(rusak).
Pertanyaan :
Ada berapa macam hubungan (ta’alluq) khithab dengan perbuatan
mukallaf?
Jawab :
Ada dua.
1.
Maknawi yang disebut juga shuluhi qadim, yakni hubungan sebelum wujudnya
mukallaf, dengan arti sewaktu-waktu seseorang ditemukan telah memenuhi
persyaratan taklif, maka sebuah khithab akan terhubung dengannya.
2.
Tanjizi, yakni setelah wujudnya mukallaf dan setelah bi’tsah (diutusnya
seorang utusan). Ini merupakan hubungan dengan ciptaan yang baru (hadits)
setelah wujud.
Referensi :
وَالتَّعَلُقُ إِمَّا مَعْنَوِيٌّ وَهُوَ
الصُّلُوْحِيُّ القَدِيْمُ قَبْلَ وُجُوْدِ المُكَلَّفِ عَلىَ مَعْنىَ أَنَّهُ
إِذَا وُجِدَ مُسْتَجْمِعًا لِشُرُوْطِ التَّكْلِيْفِ كاَنَ مُتَعَلِّقاً بِهِ.
وَإِماَّ تَنْجِيْزِيٌّ وَهُوَ بَعْدَ وُجُوْدِ المُكَلَّفِ بَعْدَ البِعْثَةِ
إِذْ لاَ حُكْمَ قَبْلَهَا وَهُوَ تَعَلُّقٌ حَادِثٌ (اَلوَجِيْزُ صـ 39)
“Ta’alluq ada
maknawi yang disebut juga shuluhi qadim, yakni hubungan sebelum wujudnya mukallaf,
dengan arti sewaktu-waktu seseorang ditemukan telah memenuhi persyaratan
taklif, maka sebuah khithab akan terhubung dengannya. Dan ada tanjizi, yakni
setelah wujudnya mukallaf dan setelah bi’tsah (diutusnya seorang utusan),
karena sebelum bi’tsah tidak ada hukum. Ini merupakan hubungan yang hadits”.
Pertanyaan :
Sabab, syarat
dan mani’ tergolong khithab apa? dan kenapa
ketiganya tidak disebutkan?
Jawab :
Tergolong
khithab wadl’i. Dan tidak disebutkan karena bermaksud meringkas.
Referensi :
(وَالصَحِيْحُ)
وَالفَسَادُ وَهَذاَ مِنْ أثارِ خِطَابِ الوَضْعِ كَمَا عَرَفْتَ أنِفًا وَلَمْ
يَذْكُرْ بَقِيَتَهُ وُهُو السَبَبُ والشرطُ والمانعً لَعَلَّهُ لِقَصْدِ
الاِخْتِصَارِ . (اَلنَّفَحَاتُ صـ 17)
“(Hukum sah) dan fasad (rusak), tergolong khithab
wadl’i dan sebentar lagi engkau akan mengetahuinya. Pengarang tidak menyebutkan
khithab wadl’i yang lain, yakni sabab, syarat, dan mani’, barangkali karena
tujuan meringkas”
1 komentar:
untuk pengertian ta'alluq dengan sumber al wajiz. al wajiz yang dimaksud karangan siapa?
Posting Komentar