(فالوَاجِبُ)
مِنْ حَيْثُ وَصْفُه بِالْوُجُوْبِ (مَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَيُعَاقَبُ
عَلَى تَرْكِهِ) وَيَكْفِيْ فِيْ صِدْقِ الْعِقَابِ وُجُوْدُهُ لِوَاحِدٍ مِنَ
الْعُصَاةِ، مَعَ الْعَفْوِ عَنْ غَيْرِهِ وَيَجُوْزُ أَنْ يُرِيْدَ وَيَتَرَتَّبُ الْعِقَابُ عَلَى تَرْكِهِ كَمَا
عَبَّرَ بِهِ غَيْرُهُ فَلَا يُنَافِيْ الْعَفْوَ
|
|
Wajib,
dilihat dari sisi perkara itu dinamakan
wajib, ialah sesuatu yang berpahala jika dikerjakan dan disiksa jika
ditinggalkan. Pengertian menyiksa dianggap cukup bila dilaksanakan pada satu
orang dari beberapa pelaku maksiat, serta mengampuni yang lain. Dan pengarang
bisa jadi menghendaki maksudnya adalah ‘meninggalkannya akan berakibat
siksaan’, seperti ungkapan ulama lain, sehingga tidak menutup peluang adanya
pengampunan.
|
Penjelasan :
Ta’rif
(definisi) dalam pembahasan ushul fiqh
sama dengan pembahasan yang ada dalam ilmu mantiq. Macam
ta’rif ada tiga.
1.
Ta’rif hadd
2.
Ta’rif rasm
3.
Ta’rif lafdli
Ta’rif hadd ialah
suatu ta’rif (definisi) yang menggunakan rangkai lafadz kulli jinsi dan fashl. Contoh, الْإِنْسَانُ
حَيَوَانٌ نَاطِقٌ (Manusia adalah hewan yang bisa berfikir). Definisi ini
menggunakan lafadz kulli jinsi
(binatang) dan fashl (bisa
berfikir).
Ta’rif rasm[1][6] ialah ta’rif yang
menggunakan kulli jinsi dan sifat khusus. Contoh, manusia
adalah binatang yang dapat tertawa. Lebih
jelasnya lihat dalam buku mantiq dalam pembahasan definisi rasm.
Definisi
hukum wajib yang disampaikan pengarang (musannif) di atas memandang dari sisi
akibat hukum. Artinya, definisi tersebut berbentuk rasm, karena
menggunakan akibat hukum, sebagaimana keterangan di atas.
Pertanyaan :
Dalam
kitab-kitab ushul lain ditemukan definisi, bahwa hukum wajib
ialah sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan bersifat
mengharuskan. Termasuk ta’rif apakah ini?
Jawab :
Termasuk
ta’rif hadd (bukan rasm)
Referensi :
ثُمَّ إِنَّ هَذِهِ
التَّعَارِيْفَ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ تَعَرِيْفَاتُ بِالْأَثَرِ
لِأَنَّ الثَّوَابَ وَالْعِقَابَ مِنْ آثَارِ الْحُكْمِ وَهُوَ تَعْرِيْفٌ
بِالرَّسْمِ وَقَدْ يُعَرَّفُ بِالْحَدِّ بِأَنْ يُقَالَ فِيْ الْوَاجِبِ هُوَ مَا
يُطْلَبُ فِعْلُهُ طَلَبًا جَازِمًا (اَلنَّفَحَاتُ صـ 7)
“Selanjutnya, definisi-definisi yang disebutkan
pengarang adalah definisi dengan akibat hukum, karena pahala dan siksaan
termasuk akibat sebuah hukum, dan ini disebut ta’rif (definisi) rasm. Terkadang
hukum wajib juga didefinisikan dengan ta’rif hadd, seperti diucapkan, wajib
ialah sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan dengan tuntutan yang mantap
(mengharuskan)” [2][7].
(وَالمَندُوبُ) مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالنَّدْبِ
(مَا يُثَابُ عَلَى فِعلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ)
|
|
Mandub (sunnah), dilihat dari sisi perkara itu dinamakan mandub yaitu
sesuatu yang dapat pahala jika dikerjakan dan tidak mendapat siksa bila
ditinggalkan.
|
Penjelasan :
Istilah mandub, mushtahab, tathawwu’, dan sunnah
merupakan kata-kata muradif (tiga
lafadz satu pengertian), yakni,
مَا
يُثَابُ عَلَى فِعلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
“Sesuatu
yang dapat pahala jika dikerjakan dan tidak mendapat siksa jika ditinggalkan”.
Sedangkan
menurut Imam al-Qadhi
Husein dan ulama lain, istilah mushtahab, tathawwu’, sunnah tidak sama pengertiannya (bukan muradif). Definisi masing-masing adalah sebagai berikut.
Sunnah adalah perbuatan
yang dilakukan Nabi saw secara terus menerus. Mustahab, adalah yang
dilakukan Nabi saw satu atau dua kali dan tidak secara terus
menerus. Sedangkan tathawwu’ ialah yang
sama sekali belum pernah dilakukan oleh Nabi saw. Hanya
saja perbuatan tersebut merupakan kebiasaan (wirid) yang dibuat
oleh manusia.
Pertanyaan :
Disebutkan di atas bahwa sunnah boleh ditinggalkan (tidak disiksa). Apakah
boleh memutus di tengah-tengah setelah dikerjakan?
Jawab :
Menurut Imam as-Syafi’i ra diperbolehkan, sedangkan menurut Imam Malik ra
dan Abi Hanifah, tidak diperbolehkan dan wajib disempurnakan.
Referensi :
ثُمَّ إِنَّهُ لَايَجِبُ
اِتْمَامُ الْمَنْدُوْبِ بِالشُّرُوْعِ فِيْهِ عِنْدَ الشَّافِعِى رَضِيَ اللهُ
تَعَالَى عَنْهُ لِأَنَّهُ جَائِزُ التَّرْكِ خِلَافًا لِأَبِيْ حَنِيْفَةَ
وَمَالِكِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا فِىْ قَوْلِهِمَا بِوُجُوْبِ
اِتْمَامِهِ مُسْتَدِلَّيْنِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى (وَلَا تُبْطِلُوْا
أَعْمَالَكُمْ) فَيَجِبُ عِنْدَهُمَا بِتَرْكِ اِتْمَامِ الْمَنْدُوْبِ قَضَاءُهُ
وَأُجِيْبَ عَنِ الْآيَةَ بِأَنَّهَا مُخَصَّصَةٌ بِمَا صَحَّحَهُ الْحَاكِمُ مِنْ
رِوَايَةِ التِّرْمِذِى (الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيْرُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ
صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ) وَيُقَاسُ عَلَى الصَّوْمِ غَيْرُهُ مِنَ
الْمَنْدُوْبَاتِ وَإِنَّمَا وَجَبَ اِتْمَامُ النُّسُكِ الْمَنْدُوْبِ مِنْ حَجٍّ
أَوْ عُمْرَةٍ لِأَنَّ نَفْلَهُ كَفَرْضِهِ فِىْ كَثِيْرٍ مِنَ الْأَحْكَامِ
كَالنِّيَةِ فَإِنَّهَا فِىْ كُلٍّ مِنْ فَرْضِهِ وَنَفْلِهِ قَصْدُ الدُّخُوْلِ
فِىْ الْحَجِّ وَالْعُمْرِةِ وكَالْكَفَارَةِ فَإِنَّهَا تَجِبُ فِىْ كُلٍّ
مِنْهُمَا بِالْجِمَاعِ الْمُفْسِدِ لَهُ وَكَعَدَمِ الْخُرُوْجِ بِالْفَسَادِ
فَإِنَّ كُلًّا مِنْهُمَا يَجِبُ الْمُضِيِّ فِىْ فَاسَدِهِ وَلَيْسَ نَفْلُ
غَيْرِهِمَا وَفَرْضُهُ سَوَاءٌ فِيْمَا ذُكِرَ كَمَا هُوَ مَعْلُوْمٌ (لَطَائِفُ الإِشاَرَاتِ صـ 11)
“Kemudian
sesungguhnya tidak wajib hukumnya menyempurnakan ritual ibadah sunnah setelah
mulai dikerjakan menurut Imam Syafi’i RA. Karena ibadah sunnah itu hukumnya
boleh untuk ditinggalkan. Lain halnya dengan Imam Hanafi RA dan Imam Malik RA,
beliau berdua berpendapat bahwasanya wajib hukumnya menyempurnakan ritual
ibadah sunnah tersebut, dengan berlandaskan pada ayat, “Dan janganlah kamu
sekalian membatalkan amal kamu sekalian”. Maka menurut beliau berdua, tidak
disempurnakannya sunnah, mewajibkan qadha’. Dalil ayat di atas ditanggapi
bahwasanya ayat tersebut telah ditakhsish dengan hadits yang dishahihkan oleh
Imam Hakim dari riwayat Imam At Tirmidzi : “orang yang berpuasa sunnah itu berhak
memerintah dirinya, jika dia berkehendak maka dia berpuasa dan jika dia
berkehendak dia boleh membatalkannya (berbuka)”. Ibadah sunnah lain diqiyaskan
dengan puasa ini. Sedangkan mengenai wajibnya menyempurnakan ritual ibadah haji
dan umrah sunnah, hal ini disebabkan karena sunnah dan fardhunya ibadah
tersebut memiliki banyak kesamaan hukum. Semisal dalam niat, karena niat baik
dalam haji dan umrah wajib, atau haji dan umrah sunnah adalah sama, yaitu
menyengaja untuk masuk dalam ritual haji atau umrah. Juga dalam kafarat, karena
kafarot diwajibkan baik dalam wajib maupun sunnah, akibat melakukan
persetubuhan yang merusak ibadah tersebut. Serta dalam hukum tidak bisa keluar
(masih berstatus ihram) karena rusaknya ibadah tersebut. Karena baik wajib atau
sunnah, haji dan umrah yang rusak tetap diwajibkan untuk melanjutkannya sampai
selesai. Dan tidak ada ibadah-ibadah sunnah selain keduanya memiliki kesamaan
dengan ibadah fardhunya, dalam permasalahan yang telah disebutkan, sebagaimana
sudah dimaklumi”.
(وَالْمُبَاحُ) مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْإِبَاحَةِ
(مَا لا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ) وَ تَرْكِهِ (وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ)
وَ فِعْلِهِ أَيْ ماَ لَا يَتَعَلَّقُ بِكُلٍّ مِنْ فِعْلِهِ وَتَرْكِهِ ثَوَابٌ
وَلَا عِقَابٌ
|
|
Mubah dipandang sebagai perkara itu dinamakan mubah yaitu sesuatu yang
tidak mendapat pahala ataupun siksa jika dikerjakan atau ditinggalkan.
Artinya, pahala ataupun siksa tidak ada keterkaitan dengan melakukan atau
meninggalkannya.
|
Penjelasan :
Mubah
secara bahasa artinya dilapangkan atau diluaskan. Sedangkan
secara istilah ialah,
مَا
لا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
“Sesuatu yang melakukan dan meninggalkannya tidak mendapat pahala dan siksa”
Pertanyaan :
Dari definisi di
atas, apakah tidak bertentangan dengan perkataan bahwa seorang yang makan dengan niat mengusahakan
kekuatan beribadah, akan mendapatkan pahala?
Jawab :
Tidak
bertentangan, karena ta’rif mubah (sesuatu yang melakukan dan meninggalkannya
tidak mendapat pahala dan siksa) di atas adalah dari sisi pandang sesuatu itu
disifati mubah. Sedangkan perkataan ‘seorang yang makan dengan niat
mengusahakan kekuatan beribadah, akan mendapatkan pahala’, adalah memandang
dari sisi yang berbeda, yakni dari aspek tha’at (ketaatan).
Referensi :
(مِنْ
حَيْثُ وَصْفُهُ) دَفَعَ بِهَذَا أَنَّ الْمُبَاحَ قَدْ يُثَابُ عَلَى
فِعْلِهِ اِذَا نَوَى بِهِ طَاعَة كمَا قَالَ اِبْنُ رُسْلاَنْ:
لَكِنْ اِذَا نَوَى بِأَكْلِهِ القُوَى
# لِطَاعَةِ اللهِ لَهُ مَا قَدْ
نَوَى
فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَا يُثَابُ عَلَى فِعْلِهِ مِنْ
حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْإِبَاحَةِ وَلَا يُنَافِي أَنَّهُ يُثَابُ مِنْ حَيْثُ
الطَّاعَةِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 19)
“(dipandang
dari sesuatu itu disifati mubah), lafadz ini sebagai
sangkalan atas ucapan yang mengatakan, “Sesuatu yang mubah terkadang mendapat pahala jika dilakukan
dengan niat tha’at”, sebagaimana ucapan Ibnu
Ruslan (dalam syair):
“Akan tetapi ketika makan
disertai niat agar kuat
Untuk tha’at pada Allah swt, maka baginya
(pahala) dari niat itu”.
Maka pensyarah menjawab, bahwa mubah itu tidak ada kaitannya
dengan pahala memandang dari sisi sesuatu itu dihukumi mubah. Tidak munutup kemungkinan melakukan hal
yang mubah mendapat pahala karna dari sisi tha’at-nya”
(وَالْمَحْظُوْرُ) مِنْ حَيْثُ وَصْفِهِ بِالْحَظْرِ أَيْ
الْحُرْمَةِ (مَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ) اِمْتِثَالًا (وَيُعَاقَبُ عَلَى
فِعْلِهِ)
وَيَكْفِيْ فِيْ
صِدْقِ الْعِقَابِ وُجُوْدُهُ لِوَاحِدٍ مِنَ الْعُصَّاةِ مَعَ الْعَفْوِ عَنْ
غَيْرِهِ.
وَيَجُوْزُ أَنْ
يُرِيْدَ وَيَتَرَتَّبَ الْعِقَابُ عَلَى فِعْلِهِ كَمَا عَبَّرَ بِهِ غَيْرُهُ
فَلَا يُنَافِيْ الْعَفْوَ
|
|
Haram
dilihat dari sisi sebagai perkara haram yaitu suatu perkara yang mendapat
pahala jika kita tinggalkan karena niat mengikuti perintah Allah, dan
mendapat siksa bila melakukannya.
Dan
pengertian menyiksa dianggap cukup bila dilaksanakan pada satu orang dari
beberapa orang yang maksiat, serta mengampuni yang lain. Dan pengarang bisa
jadi menghendaki maksudnya adalah ‘melakukannya ditindaklanjuti dengan
siksaan’, seperti ungkapan ulama lain, sehingga tidak menutup peluang adanya
pengampunan.
|
Penjelasan :
Hukum haram didefinisikan sebagai berikut,
مَا يُثَابُ
عَلَى تَرْكِهِ اِمْتِثَالًا وَيُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ
“Suatu perkara
yang meninggalkannya akan mendapat pahala, dengan niat melaksanakan perintah
Allah, dan melakukannya akan mendapat siksa”.
Contoh, perbuatan zina, mencuri dan lain sebagainya.
Pertanyaan :
Apa perbedaan antara haram dan makruh tahrim?
Jawab :
Hukum haram ditetapkan berdasarkan dalil qath’i (arah maknanya
pasti), sedangkan makruh tahrim dengan dalil dhanni (mungkin diarahkan
pada makna lain).
Referensi :
الْحَرَامُ مَا ثَبَتَ نَهْيُهُ
بِدَلِيْلٍ قَطْعِيٍّ لَا يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلَ, وَالْمَكْرُوْهُ كَرَاهَةَ
تَحْرِيْمٍ مَا ثَبَتَ نَهْيُهُ بِدَلِيْلٍ يَحْتَمِلُ التَّأْوِيْلَ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 20)
“Haram ialah sesuatu yang dilarang berdasarkan dalil
qath’i (pasti dilalahnya) yang tidak mungkin diarahkan pada makna lain. Makruh
tahrim adalah setiap perkara yang dilarang berdasarkan sebuah dalil yang
memungkinkan diarahkan pada makna lain”.
(قَوْلُهُ كَرَاهَةَ تَحْرِيمِ) أَىْ يَأْثِمُ
فاعِلُها وَذَكَرَ بَعْضُهُمْ الفَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الحَرَامِ مَعَ اَنّ
كُلاً يَقْتَضِى الإِثْمَ بِأَنَّ الأَوَلَ مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلِ يَحْتَمِلُ
التَأْوِيْلَ وَالثَّانِى مَا ثَبَتَ بِدَلِيْلِ قَطْعِىِ أَوْاِجْمَاعِ
أَوْقِيَاسٍ أَوْلَوِىٍّ أَوْمُسَاوٍ (طَرِيْقَةُ الحُصُوْلِ صـ81)
“(Ucapan pengarang: makruh tahrim), yakni yang
pelakunya berdosa. Sebagian ulama membedakan antara makruh tahrim dengan haram,
dengan sisi kesamaan keduanya menetapkan dosa. Bahwa yang pertama (makruh
tahrim) adalah yang tetap berdasarkan dalil yang mungkin diarahkan pada makna
lain. Dan kedua (haram) ialah yang tetap berdasarkan dalil qath’i (pasti),
ijma’, qiyas awlawiy, atau qiyas musawi”.
(وَالْمَكْرُوْهُ) مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْكَرَاهَةِ (مَا
يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ) امْتِثَالًا (وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ)
|
|
Makruh
dilihat dari sisi sebagai perkara yang makruh yaitu perkara yang apabila
ditinggalkan disertai niat untuk menjalankan perintah Allah akan mendapat
pahala dan apabila dilakukan tidak akan mendapat siksa.
|
Penjelasan :
Pengertian makruh;
مَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ امْتِثَالًا وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ
“Setiap perkara
yang meninggalkannya dengan diniati karena Allah akan mendapat pahala, dan
melakukannya tidak akan mendapat siksa”.
Pertanyaan :
Apakah ada perbedaan antara makruh tahrim dan makruh tanzih?
Jawab :
Ada, yakni melakukan makruh tanzih tidak mendapat siksaan, dan
melakukan makruh tahrim mendapat siksaan.
Referensi :
وَالْفَرْقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ كَرَاهَةِ التَّنْزِيْهِ أَنَّ كَرَاهَةَ
التَّنْزِيْهِ مَا لَا يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ بِخِلَافِ كَرَاهَةِ
التَّحْرِيْمِ فَإِنَّهُ يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 20)
“Perbedaan antara makruh tahrim dan makruh tanzih adalah bahwa melakukan makruh tanzih, tidak
mendapat siksa, berbeda dengan makruh tahrim, maka melakukannya akan mendapat
siksa”.
Pertanyaan :
Apakah ada perbedaan antara makruh dengan khilaful aula?
Jawab :
Menurut ulama ushul dan mutaqaddimin dari golongan fuqaha, keduanya sama.
Menurut ulama mutaakhirin dari golongan fuqaha, keduanya beda.
Referensi :
(وَالْمَكْرُوْهُ) الخ اَلشَّامِلُ
لِخِلاَفِ الْأَوْلَى وَهُوَ مَا كاَنَ بِنَهْيٍ غَيْرِ مَخْصُوْصٍ كَالنَّهْيِ
عًنْ تَرْكِ الْمَنْدُوْبَاتِ الْمُسْتَفَادِ مِنْ أَوَامِرِهَا لِاَنَّ الْأَمْرَ
بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ وَهُوَ اَصْلُ اِصْطِلاَحِ الْأُصُوْلِى وَاِنْ
خَالَفَ فِيْهِ بَعْضُ مُتَأَخِّرِى الْفُقَهَاءِ وَمِنْهُمْ اَلْمُصَنِّفُ
فَخَصُّوا الْأَوَّلَ بِالْمَكْرُوْهِ وَالثَّانِى بخِلاَفَ الْأَوْلَى (اَلنَّفَحَاتُ صـ 21)
“(Ucapan pengarang : makruh),
mencangkup khilaful aula,
yakni yang tidak menggunakan shighat larangan khusus (jelas), seperti larangan
meninggalkan sunnah-sunnah yang diambil dari perintah-perintah sunnah. Karena
perintah atas sesuatu adalah larangan untuk melakukan kebalikannya. Ini adalah
asal istilah dari ahli ushul, meskipun tidak disepakati sebagian fuqaha
mutaakhirin, termasuk pengarang. Mereka menentukan yang pertama (disertai
shighat larangan khusus) dengan nama makruh, dan yang kedua (tanpa shighat
larangan khusus) dengan nama khilaful aula”
وَتَقْسِيمُ خِلَافِ الْأَوْلَى زَادَهُ الْمُصَنِّفُ عَلَى الْأُصُولِيِّينَ
أَخْذًا مِنْ مُتَأَخِّرِي الْفُقَهَاءِ حَيْثُ قَابَلُوا الْمَكْرُوهَ بِخِلَافِ
الْأَوْلَى فِي مَسَائِلَ عَدِيدَةٍ وَفَرَّقُوا بَيْنَهُمَا وَمِنْهُمْ إمَامُ
الْحَرَمَيْنِ فِي النِّهَايَةِ بِالنَّهْيِ الْمَقْصُودِ وَغَيْرِ الْمَقْصُودِ
وَهُوَ الْمُسْتَفَادُ مِنْ الْأَمْرِ وَعَدَلَ الْمُصَنِّفُ إلَى الْمَخْصُوصِ
وَغَيْرِ الْمَخْصُوصِ أَيْ الْعَامِّ نَظَرًا إلَى جَمِيعِ الْأَوَامِرِ
النَّدْبِيَّةِ وَأَمَّا الْمُتَقَدِّمُونَ فَيُطْلِقُونَ الْمَكْرُوهَ عَلَى ذِي
النَّهْيِ الْمَخْصُوصِ وَغَيْرِ الْمَخْصُوصِ وَقَدْ يَقُولُونَ فِي الْأَوَّلِ
مَكْرُوهٌ كَرَاهَةً شَدِيدَةً كَمَا يُقَالُ فِي قِسْمِ الْمَنْدُوبِ سُنَّةٌ
مُؤَكَّدَةٌ (جَمْعُ الجَوَامِعِ صـ10)
“Pembagian
khilaful aula adalah tambahan pengarang dari istilah ulama ushul, mengutip dari
fuqaha mutaakhirin, dimana mereka membandingkan makruh dan khilaful aula di
beberapa masalah. Mereka, termasuk
Imam Haramain dalam an-Nihayah membedakan keduanya dengan shighat larangan jelas dan yang tidak jelas,
yakni yang diambil dari amr (perintah). Pengarang beralih dengan membahasakan
shighat larangan khusus dan yang tidak khusus, yakni yang umum, memandang pada
semua perintah-perintah sunnah. Sedangkan fuqaha mutaqaddimin memutlakkan
makruh atas semua yang memiliki shighat larangan khusus dan yang tidak. Kadang
mereka sebut yang pertama dengan makruh berat (syadidah), sebagaimana dalam
sunnah ada sebutan sunnah muakkadah”.
(وَالصَّحِيحُ) مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالصِّحَةِ (مَا
يَتَعلَّقُ بِهِ النُّفُوذُ وَيُعتَدُّ بِهِ) بِأَنِ اسْتَجْمَعَ مَا يُعْتَبَرُ
فِيْهِ شَرْعاً، عَقْداً كَانَ أَوْ عِبَادَةً
|
|
Sah ditinjau dari sesuatu itu disifati sah yaitu perkara yang berkaitan
dengan nufudz, dan i’tidad. Yakni di saat perkara tersebut
telah melengkapi hal-hal yang dipertimbangkan syara’, baik berupa akad atau
ibadah.
|
Penjelasan :
Hukum shahih ialah,
مَا يَتَعلَّقُ بِهِ النُّفُوذُ وَيُعتَدُّ بِهِ
“Sesuatu yang telah
berhubungan dengan nufudz, dan i’tidad”
Nufudz adalah
tercapainya suatu tujuan, seperti jual beli,
tujuannya ialah supaya pembeli dapat memiliki barang yang dibeli dan penjual
dapat hak milik atas uang yang diterima. Sedangkan
i’tidad ialah telah melengkapinya seseorang atas perkara yang telah ditetapkan
syara seperti syarat dan rukun.
Dari pengertian di atas, ketika ibadah dinyatakan sah, berarti syarat dan
rukun di dalamnya telah terpenuhi (dalam ibadah tidak ada istilah nufudz).
Dan ketika jual beli dinyatakan sah, maka artinya jual beli tersebut telah
berkaitan dengan dua hal. Pertama, nufudz, dengan
pengertian pembeli boleh menggunakan
barang yang dibeli, begitu juga pihak penjual mendapat hak milik atas uang yang
diterima. Kedua, i’tidad, dengan pengertian si pembeli dan penjual
telah melaksanakan rukun dan syarat yang terdapat dalam jual beli.
Catatan : secara istilah, akad dapat disifati dengan nufudz dan i’tidad. Sedangkan ibadah hanya disifati dengan i’tidad saja.
Pertanyaan :
Apakah standar atau tolak ukur sah tidaknya ibadah atau akad?
Jawab :
Dalam ibadah ada dua aspek, persangkaan orang mukallaf dan kenyataan
sebenarnya. Sedangkan dalam akad hanya kenyataan sebenarnya.
Referensi :
(قَوْلُهُ
بِأَنْ لَمْ يَسْتَجْمِعْ)الخ......ثُمَّ العِبْرَةُ فِي اِسْتِجْمَاعِهِ
الشُّرُوْطِ اَوْ عَدَمِ اِسْتِجْمَاعِهِ فِي الْعِبَادَاتِ بِمَا فِي ظَنِّ
المُكلَفِ وَنَفْسِ الْأَمْرِ فَلِذَا لَوْ صَلَّى عَلَى اِعْتِقَاد أَنَّهُ
مُطَهِّرٌ فَبَانَ بَعْدَ الصَّلَاةِ أَنَّهُ مُحْدِثٌ وَجَبَ عَلَيْهِ الِاعَادةُ
وَيَكُوْنُ اَدَاءً اِنْ بَقِيَ الوَقْتُ وَقَضَاءً اِنْ خَرَجَ الوَقْتُ وَبِمَا
فِي الوَاقِعِ فِي العُقُوْدِ فَلِذَا لَوْ بَاعَ مَالَ مُوَرَّثَهُ مُعْتَقِدًا
حَيَاتَهُ فَبَانَ مَوْتَهُ صَحَّ البَيْعُ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 22)
“(Ucapan pensyarah: tidak melengkapi)…..tolak ukur melengkapi syarat atau
belum dalam permasalahan ibadah yaitu sesuai dengan persangkaan orang mukallaf
dan juga kenyataan sebenarnya. Dengan demikian seumpama ada seseorang melakukan
shalat dengan berkeyakinan dirinya telah suci, namun setelah shalat ternyata
nyata-nyata ia berhadats, maka ia wajib mengulangi shalatnya, dan dihukumi ada’
jika waktu shalat masih tersisa, dan dihukumi qadha’ jika waktu sudah habis. Dan dalam permasalahan akad, yang menjadi tolak ukur
yaitu kenyataan sebenarnya. Dengan demikian seumpama ada seseorang yang menjual harta orang yang akan diwarisinya
(semisal ayahnya) dengan berkeyakinan bahwa ayahnya masih hidup, namun kenyataannya ternyata ayahnya sudah meninggal, maka penjualannya dianggap sah”.
(وَالبَاطِلُ) مِنْ
حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْبُطْلَانِ (مَا لَا يَتعَلَّقُ بِهِ النُّفُوذُ وَلَا
يُعتَدُّ بِهِ) بِأَنْ لَمْ يَسْتَجْمِعْ مَا يُعْتَبَرُ فِيْهِ شَرْعاً،
عَقْداً كَانَ أَوْ عِبَادَةً.
وَالْعَقْدُ يَتَّصِفُ بِالنُّفُوْذِ وَالْإِعْتِدَادِ، وَالْعِبَادَةُُ
تَتَّصِفُ بِالْإِعْتِدَادِ فَقَطْ اصْطِلاَاحًا.
|
|
Bathil ditinjau dari sesuatu itu disifati batal yaitu perkara yang tidak
berkaitan dengan nufudz dan i’tidad. Yakni di saat perkara
tersebut belum melengkapi hal-hal yang dipertimbangkan syara’, baik berupa
akad atau ibadah.
Akad disifati dengan nufudz dan i’tidad, sedangkan ibadah
disifati hanya disifati dengan i’tidad saja secara istilah.
|
Penjelasan :
Batal merupakan lawan kata dari shahih (sah) dengan demikian batal ialah,
مَا لَا
يَتعَلَّقُ بِهِ النُّفُوذُ وَلَا يُعتَدُّ بِهِ
“Sesuatu yang belum berhubungan dengan nufudz dan i’tidad”
Dari pengertian bathil ini, ketika sebuah ibadah dinyatakan batal, maka
artinya syarat dan rukun didalamnya belum terpenuhi (dalam ibadah tidak ada istilah nufudz). Dan ketika sebuah akad, seperti jual beli dinyatakan batal, maka
artinya jual beli tersebut belum
berkaitan dengan dua hal. Pertama, nufud, dengan pengertian pembeli tidak boleh
menggunakan barang yang dibeli, begitu juga pihak penjual belum mendapat hak
milik atas uang yang diterima. Kedua, i’tidad, dengan pengertian si pembeli dan penjual
belum melaksanakan rukun dan syarat dalam jual beli.
Pertanyaan :
Apakah sama batal dengan fasad?
Jawab :
Menurut kalangan Syafi’iyyah sama, sedangkan menurut kalangan Hanafiyah
batal dengan fasad tidak sama.
Referensi :
(قَوْلُهُ وَالبَاطِلُ
)الخ.....وَفي التَّعْرِيْفِ بِالبَاطِلِ إِشَارَةٌ إِلَى اِتِّحَادِهِمَا إِلاَّ
فِي صُوَرٍ مِنْهاَ الحَجُّ فَإِنَّهُ يَبْطُلُ بِالرِّدَةِ وَيَخْرُجُ مِنْهُ
وَيَفْسُدُ بِالوَطْءِ وَلاَ يَخْرُجُ مِنْهُ وَيَلْزَمُهُ إِتْماَمُهُ خِلَافًا
لِأَبِي حَنِيفَةَ فِي قَوْلِهِ بِتخَالُفِهِمَا وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنْ مَا
كَانَ النَّهْيُ رَاجِعًا لِأَصْلِهِ فَهُوَ البُطْلَانٌ كَمَا فِي الصَّلَاةِ
بِدُونِ بَعْضِ الشُّرُوطِ أَوْ الْأَرْكَانِ أَوْ لِوَصْفِهِ فَهِيَ الْفَسَادُ كَمَا
فِي صَوْمِ يَوْمِ النَّحْرِ لِلْإِعْرَاضِ بِصَوْمِهِ عَنْ ضِيَافَةِ اللَّهِ
لِلنَّاسِ بِلُحُومِ الْأَضَاحِيّ الَّتِي شَرَعَهَا فِيهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ22)
“(Ucapan pengarang : bathil)….dalam
ta’rif menggunakan lafad batal mengisyaratkan semaknanya batal dan fasid….berbeda dengan Imam Abi Hanifah dalam statemennya,
bahwa keduanya berbeda. Beliau membedakan antara keduanya, bahwa hukum yang
larangan di dalamnya mengarah pada asalnya (syarat
atau rukun), maka dinamakan batal. Seperti melakukan shalat tanpa memenuhi
sebagian rukun atau syaratnya. Atau mengarah pada sifatnya ibadah, maka dinamakan fasad, seperti puasa pada hari raya
kurban, karena berpaling dari suguhan Allah bagi manusia berupa
daging kurban
yang telah di syariatkan di hari itu”.
Pertanyaan :
Apakah khilaf di atas (bahwa batal apakah sama dengan fasad) tergolong
lafdhi atau ma’nawi?
Jawab :
Tergolong khilaf lafdhi.
Referensi :
ثُم
الْخِلَافُ بَيْنَهُمَا لَفْظِيٌّ لِأَنَّ حَاصِلَهُ أَنَّ مُخَالَفَةَ ذِي
الْوَجْهَيْنِ الشَّرْع بِالنَّهْيِ عَنْهُ لِأَصْلِهِ كَمَا تُسَمَّى بُطْلَانًا
هَلْ تُسَمَّى فَسَادًا أَوْ لِوَصْفِهِ كَمَا تُسَمَّى فَسَادًا هَلْ تُسَمَّى
بُطْلَانًا فَعِنْد أبِي حَنِيفَةَ لاَ تُسَمَّى وَعِنْدَنَا نَعَمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ22)
“Kemudian perbedaan antara Syafi’iyah dengan Hanafiyah hanyalah seputar khilaf lafdhi. Karena
secara kesimpulan, tidak sesuainya dua perkara yang memiliki dua wajah terhadap
syara’ (devinisi lain dari batal) dengan sebuah larangan yang
mengarah pada asal (syarat dan rukun) selain dinamakan
batal, apa juga bisa dinamakan fasad? Atau adanya larangan mengarah pada
sifatnya, selain dinamakan fasad, apa juga dapat disebut batal?. Menurut Imam Abi Hanifah tidak
bisa, menurut kita (Syafi’iyah) bisa”.
Pertanyaan :
Mengapa definisi sah dan batal dalam Waraqat tidak sama dengan kebanyakan
kitab ushul?. Seperti dalam Jam’ul Jawami dam Lubbul Ushul definisi sah ialah,
وَالصِّحَّةُ مُوَافَقَةُ الْفِعْلِ ذِي الْوَجْهَيْنِ وُقُوعًا الشَّرْعَ
“Sah ialah kesesuaian perbuatan yang
adanya memiliki dua wajah dan terjadi dengan syari’at”
Definisi batal ialah,
وَيُقَابِلُهَا أَيْ الصِّحَّةَ الْبُطْلَان فَهُوَ
مُخَالَفَةُ الْفِعْلِ ذِي الْوَجْهَيْنِ وُقُوعًا الشَّرْع
“Kebalikan dari sah adalah batal, yakni
tidak sesuainya perbuatan yang adanya memiliki dua wajah dengan syari’at”.
Jawab :
Karena
definisi yang terdapat di Al-Waraqat termasuk ta’rif rasm, sedangkan
ta’rif yang terdapat kebanyakan kitab ushul, seperti dalam Jam’ul Jawami’ dan
Lubbul Ushul di atas termasuk ta’rif hadd.
Referensi :
(مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالوُجُوْبِ)
ثُمَّ إِنَّ هَذِهِ التَّعَارِيْفَ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ تَعَرِيْفَاتُ
بِالْأَثَرِ الخ....وَهُوَ تَعْرِيْفٌ بِالرَّسْمِ وَقَدْ يُعَرَّفُ
بِالْحَدِّ....بِأَنْ يُقَالَ الصَّحِيحُ مَا وَافَقَ الشَّرْعَ مِمَّا يَقَعُ
عَلَى وَجْهَيْنِ وَاْلبَاطِلُ مَا خَاَلفَ الشَّرْعَ مِمَّا يَقَعُ عَلَى
وَجْهَيْنِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ 18)
“(Ucapan pensyarah: ditinjau dari sesuatu itu disifati
wajib) kemudian ta’rif-ta’rif ini yang telah disebutkan pengarang adalah ta’rif
rasm….dan kadang juga dita’rifi dengan hadd…dengan dikatakan sah ialah suatu
perbuatan yang sesuai dengan syari’at yang adanya perbuatan tersebut memiliki
dua wajah. Batal ialah suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan syara’ yang
adanya perbuatan tersebut memiliki dua wajah”.
Catatan
Mulai
dari pengertian wajib, sunnah, mubah, haram, makruh, sah dan batal yang
terdapat dalam Al-Waraqat semuanya menggunakan ta’rif rasm.
Untuk lebih jelasnya,
pengertian ta’rif hadd atau rasm dapat
dilihat dalam kitab ilmu mantiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar