LAFADZ MUJMAL DAN NASH
وَالْمُجْمَلُ مَا يَفْتَقِرُ اِلَى الْبَيَانِ) نَحْوُ ثَلَاثَةُ
قُرُوْءٍ فَاِنَّهُ يَحْتَمِلُ الْأَطْهَارَ وَالْحَيْضَ لِاشْتِرَاكِ اْلقُرْءِ
بَيْنَ الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ
(وَالْبَيَانُ
اِخْرَاجُ الشَّئِ مِنْ حَيِّزِ الْإِشْكاَلِ اِلَى حَيِّزِ التَّجَلِّى) أَى
اْلإِيْضَاحِ وَالْمُبَيَّنِ هُوَ
النَّصُّ
|
|
Mujmal
adalah dalil yang membutuhkan bayan (penjelasan). Contoh ثَلَاثَةُ قُرُوْءٍ dimana lafadz ini mungkin diartikan suci dan haid,
karena lafadz قُرْءٌ musytarak
(dimiliki bersama) oleh makna haid dan suci.
Bayan
adalah mengeluarkan sesuatu dari keadaan musykil menuju keadaan transparan
atau jelas. Mubayyan (dalil yang dijelaskan) adalah nash.
|
Penjelasan :
Mujmal secara bahasa adalah bercampur. Secara istilah, mujmal adalah
ucapan atau perbuatan yang dalalah
(arah maknanya) tidak jelas dan membutuhkan bayan (penjelasan).
Ketidak jelasan dalam mujmal dikarenakan dalalah atas beberapa makna yang
terkandung setara, tanpa ada yang diunggulkan satu dengan yang lain. Contoh mujmal
dalam ucapan seperti di atas, sedangkan contoh mujmal dalam perbuatan
seperti hadits yang menjelaskan bahwa Nabi saw meninggalkan tasyahud dan
berdiri melakukan rakaat ketiga. Ada kemungkinan Nabi meninggalkan dengan
sengaja, sehingga hukum tasyahud hanya sunnah dan boleh ditinggalkan.
Kemungkinan yang lain Nabi saw meninggalkan karena lupa, sehingga hukum tasyahud
adalah wajib.
Sedangkan bayan secara bahasa adalah penjelasan.
Secara istilah, bayan adalah mengeluarkan sesuatu dari keadaan musykil
menuju keadaan transparan atau jelas.
Rukun dari bayan ada tiga macam;
1.
Mubayyan (yang
dijelaskan), yakni dalil mujmal di atas.
2.
Mubayyan lahu, yakni
mereka orang mukallaf yang terkena khithab.
3.
Mubayyin (yang
menjelaskan), ada beberapa macam;
a. Berbentuk ucapan. Adakalanya dari Allah swt
contoh QS. Al-Baqarah:69;
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً
“Adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua
warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya”
Sebagai bayan dari firman Allah swt QS. Al-Baqarah:
صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina”
Adakalanya dari Nabi saw, contoh, sabda Nabi;
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ
“Dalam tanaman yang diairi dengan air hujan ada
kewajiban zakat sepersepuluh”.
Sebagai bayan dari firman Allah swt QS. Al-An’am:141:
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya”
b. Berbentuk perbuatan, contoh, sabda Nabi saw;
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku
melakukan shalat”
Sebagai bayan dari firman Allah swt QS. Al-An’am:72
أَقِيمُوا الصَّلَاةَ
“Dirikanlah
shalat”
c. Berbentuk surat, contoh surat yang dikirim Nabi
saw pada penduduk Yaman tentang penjelasan diyat nyawa dan anggota badan. Juga
surat yang dikirimkan Nabi saw tentang penjelasan kadar zakat.
d. Berbentuk isyarah, contoh isyarat Nabi saw
dengan kesepuluh jarinya sebanyak tiga kali sebagai penjelasan tentang bilangan
hari dalam satu bulan, yakni tiga puluh hari. Kemudian Beliau mengulangi
isyaratnya tiga kali dan pada ketiga kalinya mengurangi satu jarinya, yang
artinya bulan terkadang hanya dua puluh sembilan hari [1][47].
Pertanyaan :
Ada berapakah pembagian mujmal?
Jawab :
Ada tiga macam.
1. Lafadz yang secara lughat tidak dipahami
maknanya. Penyebabnya adalah lafadz tersebut gharib (tidak terpakai
umum), seperti kata اَلهُلُوْعُ sebelum ditafsiri.
2. Lafadz yang maknanya diketahui secara lughat,
namun tidak dikehendaki, dan justru menghendaki makna lain. Penyebabnya adalah
pembicara sengaja menyamarkan. Seperti kata; ar-Riba, as-Shalat dan az-Zakat.
3. Lafadz yang maknanya diketahui secara lughat,
namun berjumlah banyak dan yang dikehendaki hanya satu serta tidak mungkin
menentukannya karena buntunya metode tarjih. Seperti lafadz musytarak. Penyebabnya
adalah banyaknya wadli’ (pembuat bahasa) atau terlupakannya pembuat
bahasa pertama, jika pembuatnya selain Allah SWT.
Referensi :
وَاعْلَمْ
أَنَّ الإِجْماَلَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَنْوَاعٍ لِأَنَّهُ إِماَّ أَنْ لاَ يُفْهَمَ
مَعْناَهُ لُغَةً وَسَبَبُهُ غَرَابَةُ اللَّفْظِ كَالهُلُوْعِ مَثَلاً أَوْ
فُهِمَ ذَلِكَ المَعْنىَ لَكِنَّهُ غَيْرَ مُرَادٍ بَلْ أُرِيْدَ مَعْنًى آخَرُ
وَسَبَبُهُ اِيْهَامُ المُتَكَلِّمِ كَالرِّبَى وَالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ أَوْ
ذَلِكَ المَعْنَى اللُّغَوِيِّ مُتَعَدِّدٌ وَالمُرَادُ وَاحِدٌ مِنْهُ وَلَمْ
يُمْكِنْ تَعْيِيْنُه لِعَدَمِ تَرَجُّحِ أَحَدِهِمَا عَلىَ الآخَرِ كَمَا فِي
المُشْتَرَكِ وَسَبُبُهُ إِمَّا تَعَدُّدُ الوَاضِعِ أَوْ الغَفْلَةِ عَنِ
الوَاضِعِ الأَوَّلِ إِنْ كاَنَ الوَاضِعُ غَيْرَهُ تَعَالَى (اَلنَّفَحاَتُ صـ
87)
“Ketahuilah mujmal ada tiga macam. Karena adakalanya secara lughat tidak
dipahami maknanya. Penyebabnya adalah lafadznya gharib seperti kata اَلهُلُوْعُ. Atau maknanya difahami,
namun tidak dikehendaki, dan menghendaki makna lain. Penyebabnya adalah
pembicara menyamarkan, seperti kata; ar-Riba, as-Shalat dan az-Zakat. Atau
makna lughat tersebut ada banyak dan yang dikehendaki hanya satu, serta tidak
mungkin ditentukan karena tidak ada yang unggul satu dari yang lain. Seperti
dalam lafadz musytarak. Penyebabnya adalah banyaknya pembuat bahasa atau lupa
dengan pembuat bahasa pertama, jika pembuatnya selain Allah SWT”
Pertanyaan :
Apa perbedaan mujmal dan musytarak?
Jawab :
Mujmal memunculkan dua kemungkinan makna yang
sama dari sisi pemahaman, baik wadla’-nya hakikat keduanya, atau hanya
salah satunya. Musytarak dua kemungkinan makna dipandang dari sisi wadla’ (pembuatannya).
Jika tidak sama dari sisi pemahaman, maka tidak disebut mujmal.
Referensi :
الْفَرْقُ بين الْمُجْمَلِ وَالْمُشْتَرَكِ أَنَّ
الْمُجْمَلَ يَسْتَدْعِي ثُبُوتَ احْتِمَالَيْنِ مُتَسَاوِيَيْنِ بِالنِّسْبَةِ
إلَى الْفَهْمِ سَوَاءٌ وُضِعَ اللَّفْظُ لَهُمَا على وَجْهِ الْحَقِيقَةِ أو في
أَحَدِهِمَا مَجَازٌ وفي الْآخَرِ حَقِيقَةٌ فَالْإِجْمَالُ إنَّمَا هو
بِالنِّسْبَةِ إلَى الْفَهْمِ فإن الْمُشْتَرَكَ قد يَتَسَاوَى بِالنِّسْبَةِ إلَى
الْوَضْعِ وَلَا يَتَسَاوَى بِالنِّسْبَةِ إلَى الْفَهْمِ فَلَا يَكُونُ مُجْمَلًا
(اَلبَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الثَّالِثُ صـ 46)
“Perbedaan antara mujmal dan musytarak, bahwa mujmal memunculkan dua
kemungkinan makna yang sama dari sisi pemahaman, baik wadla’-nya hakikat
keduanya, atau salah satunya majaz
yang lain hakikat. Mujmal sisi pandangnya adalah pemahaman. Dan bahwa musytarak
terkadang (dua kemungkinan makna) sama dipandang dari sisi wadla’, namun tidak
sama dari sisi pemahaman, maka menjadi tidak disebut mujmal”.
(وَالنَّصُّ
مَا لاَ يَحْتَمِلُ إِلاَّ مَعْنىً وَاحِدًا) كَزَيْدٍ فِى رَأَيْتُ زَيْدًا
(وَقِيْلَ مَا تَأْوِيْلُهُ تَنْزِيْلُهُ) نَحْوُ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
بِاَنَّهُ بِمُجَرَّدِ مَا يُنَزَّلُ يُفْهَمُ مَعْنَاهُ
(وَهُوَ
مُشْتَقٌ مِنْ مَنْصَةِ العَرُوْسِ وَهُوَ اَلكُرْسِيُّ) لِارْتِفَاعِهِ عَلَى
غَيْرِهِ فيِ فَهْمِ مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِ تَوَقُّفٍ
|
|
Nash adalah lafadz yang tidak memiliki kemungkinan
makna, kecuali satu makna saja. Seperti lafadzزَيْدًا dalam contoh رَأَيْتُ زَيْدًا. Menurut pendapat lain, nash
adalah lafadz yang penjelasan maknanya sesuai turunnya lafadz tersebut.
Contoh : “maka wajib berpuasa tiga hari”. Bahwasanya ayat ini, dengan hanya memandang apa yang
turun, dapat dipahami maknanya.
Kata nash diambil dari kata-kata “pelaminan pengantin”, atau kursi,
dikarenakan statusnya yang tinggi dibanding dalil lain dari segi pemahaman
maknanya tidak tergantung pada hal lain.
|
Penjelasan :
Pengertian nash secara lughat adalah jelas dan tinggi. Secara istilah ada
beberapa versi, di antaranya;
1.
Nash adalah
lafadz yang tidak memiliki kemungkinan makna, kecuali satu makna saja.
2.
Nash adalah
lafadz yang penjelasan dan pemahaman maknanya sesuai turunnya lafadz tersebut,
tanpa membutuhkan hal lain.
3.
Nash adalah
lafadz yang kejelasan maksudnya melebihi yang dihasilkan dari dalil dhahir.
Status nash lebih tinggi dari dalil-dalil
lain dikarenakan maknanya yang lebih mudah dipaham, tanpa membutuhkan perkara
lain.
Pertanyaan :
Apa perbedaan nash dan dhahir?
Jawab :
Imam ar-Rauyani membedakan antara nash dan dhahir dari dua
sisi. Pertama, nash adalah yang lafazdnya menjadi dalil, dan dhahir
adalah lafadz dimana makna yang dikehendaki mudah ditangkap oleh pemahaman
pendengar. Kedua, nash tidak dihadapkan pada kemungkinan makna lain, dan
dhahir adalah yang dihadapkan pada kemungkinan makna lain.
Referensi :
وَقَالَ
الرُّويَانِيُّ في الْبَحْرِ في الْفَرْقِ بين النَّصِّ وَالظَّاهِرِ وَجْهَانِ
أَحَدُهُمَا أَنَّ النَّصَّ ماَ كاَنَ لَفْظُهُ دَلِيلَهُ وَالظَّاهِرُ ماَ سَبَقَ
مُرَادُهُ إلَى فَهْمِ سَامِعِهِ وَالثَّانِي النَّصُّ ماَ لَمْ يَتَوَجَّهْ
إلَيْهِ احْتِمَالٌ وَالظَّاهِرُ مَا تَوَجَّهَ إلَيْهِ احْتِمَالٌ (البَحْرُ
المُحِيْطُ الجُزْءُ الأَوَّلُ صـ 375)
“Imam ar-Rauyani
berkata dalam kitab al-Bahr dalam membedakan antara nash dan dhahir dari dua
sisi. Pertama, nash adalah yang lafazdnya menjadi dalil, dan dhahir adalah
lafadz dimana makna yang dikehendaki mudah ditangkap oleh pemahaman pendengar.
Kedua, nash yang tidak dihadapkan pada kemungkinan makna lain, dan dhahir
adalah yang dihadapkan pada kemungkinan makna lain”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar