PERTENTANGAN DALIL-DALIL
(فَصْلٌ) فِى التَّعَارُضِ
(اِذَا تَعَارَضَ نُطْقَانِ فَلَا يَخْلُوْ اِمَّا اَنْ يَكُوْنَا عَامَّيْنِ
أَوْ خَاصَّيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا عَامًّا وَالْأخَرُ خَاصًّا أَوْ كُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَامًا مِنْ وَجْهٍ وَخَاصًّا مِنْ وَجْهٍ
(فَاِنْ كَانَ عَامَّيْنِ
فَاِنْ اَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا يُجْمَعُ) بِحَمْلِ كُلٍّ مِنْهُمَا
عَلَى حَالٍ مِثَالُهُ حَدِيْثُ شَرُّ الشُّهُوْدِ الَّذِى يَشْهَدُ قَبْلَ اَنْ
يُسْتَشْهَدَ وَحَدِيْثُ خَيْرُ
الشُّهُوْدِ الَّذِى يَشْهَدُ
قَبْلَ اَنْ
|
|
Ketika ada dua dalil ucapan bertentangan, maka tidak
terlepas adakalanya keduanya ‘am (umum), keduanya khash (khusus), salah
satunya umum dan yang lain khusus, atau masing-masing dari keduanya umum dari
satu segi, khusus dari segi yang lain.
Apabila keduanya umum, maka jika keduanya mungkin
dikompromikan (jam’u), maka harus
dikompromikan dengan mengarahkan masing-masing pada keadaan tertentu.
Misalnya, hadits :
“Sejelek-jeleknya saksi adalah orang yang
bersaksi sebelum diminta bersaksi”
Dan
hadits:
“Sebaik-baiknya saksi adalah orang yang
bersaksi sebelum diminta bersaksi”
Hadits pertama diarahkan pada keadaan dimana
orang yang berhak
|
يُشْتَشْهَدَ فَحُمِلَ اْلأَوَّلُ عَلَى مَا
اِذَا كَانَ مَنْ لَهُ الشَّهَادَةُ عَالِمًا بِهَا وَالثّاَنىِ مَا اِذَا لَمْ
يَكُنْ عَالِمًا بِهَا ,وَالثَّانِى رَوَاهُ مُسْلِمُ بِلَفْظِ اَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهُوْدِ الَّذِى يَأْتِى بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ اَنْ
يُسْأَلَهَا وَالْأَوَّلُ مُتَّفَقٌ عَلَى مَعْنَاهُ فِى حَدِيْثِ خَيْرُكُمْ
قَرْنِى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ اِلَى قَوْلِهِ ثُمَّ يَكُوْنُ
بَعْدَهُمْ قَوْمٌ يَشْهَدُوْنَ قَبْلَ اَنْ يُسْتَشْهَدُوْا
(فَاِنْ
لَمْ يُمْكِنْ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا يُتَوَقَّفُ فِيْهِمَا اِنْ لَمْ يُعلَمْ
التَّارِيْخُ) أَىْ اِلَى اَنْ يَظْهَرَ مُرَجِّحُ اَحَدِهِمَا مِثَالُهُ
قَوْلُهُ تَعالَى:
"أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ"
وَقَوْلُهُ تعالَى:
"وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ"
فَالْأَوَّلُ يُجَوِّزُ ذَلِكَ بِمِلْكِ
الْيَمِيْنِ وَالثَّانِى يُحَرِّمُ ذَلِكَ فَرُجِّحَ اَلتَّحْرِيْمُ لِأَنَّهُ
أَحْوَطُ
(فَاِنْ عُلِمَ التَّارِيْخُ نُسِخَ
الْمُتَقَدِّمُ بِالْمُتَأَخِّرِ) كَمَا فِى أَيَتَيْ عِدَّةِ الْوَفَاةِ
وَأَيتَيِ الْمُصَابَرَةِ وَقَدْ تَقَّدَمَتْ الأَرْبَعُ
|
|
bersaksi
mengetahui adanya persaksian, dan hadits kedua diarahkan pada keadaan orang
tersebut tidak mengetahuinya. Hadits kedua diriwayatkan Imam Muslim dengan
redaksi :
“Apakah aku belum mengkhabarkan kepada
kalian tentang sebaik-baiknya saksi, yakni orang yang menyampaikan
persaksiannya sebelum diminta bersaksi”
Dan hadits pertama disepakati maknanya dalam hadits:
“Sebaik-baik kalian adalah di masaku,
kemudian orang-orang setelahnya…...sampai sabda Nabi saw…kemudian akan ada
setelah mereka kaum yang bersaksi sebelum dimintai persaksian”
Apabila keduanya tidak mungkin dikompromikan, maka
keduanya ditangguhkan, jika penanggalannya tidak diketahui. Artinya,
(ditangguhkan) sampai datangnya murajjih
(faktor yang mengunggulkan) atas salah satunya. Contoh, firman Allah swt QS.
An-Nisa:03:
“Atau budak-budak yang kamu miliki”
Dan
firman Allah swt QS. An-Nisa’:23:
“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara”
Ayat pertama memperbolehkan mengumpulkan dua wanita
bersaudara dengan kepemilikan sahaya, dan ayat kedua mengharamkannya.
Kemudian sisi haram diunggulkan, karena lebih berhati-hati.
Jika penanggalan (dari keduanya) diketahui, maka
dalil yang lebih dahulu dinasakh dengan dalil yang akhir. Seperti contoh
dalam dua ayat tentang ‘iddah kematian dan dua ayat mushabarah
(bertahan dalam peperangan). Keempat ayat tersebut telah disebutkan di atas.
|
Penjelasan :
Apabila dua dalil ucapan bertentangan, maka dipilah sebagai berikut:
1.
Keduanya ‘am (umum)
2.
Keduanya khash (khusus)
3.
Salah satunya umum dan yang lain khusus
4.
Masing-masing dari keduanya memiliki sisi umum,
dan sisi lain yang khusus.
Apabila keduanya umum, maka diperinci sebagai berikut;
1.
Keduanya mungkin dikompromikan (jam’u), maka harus dikompromikan dengan
mengarahkan masing-masing pada keadaan tertentu. Contoh tentang masalah saksi
di atas.
2.
Keduanya tidak mungkin dikompromikan, maka;
a.
Jika penanggalannya tidak diketahui, maka
ditangguhkan sampai datangnya murajjih.
Contoh ayat tentang mengumpulkan dua wanita bersaudara di atas.
b.
Jika penanggalan diketahui, maka dalil umum yang
lebih dahulu dinasakh dengan dalil umum yang akhir. Seperti contoh ayat tentang
‘iddah kematian dan ayat mushabarah (bertahan dalam peperangan) di atas.
Pertanyaan :
Apa pengertian tarjih?dan apa
saja syarat-syaratnya?
Jawab :
Secara bahasa artinya taghlib (memenangkan).
Secara istilah adalah menguatkan salah satu dari dua amarah (tanda-tanda) dari yang lain dalam rangka untuk diamalkan.
Di antara syarat-syarat tarjih adalah;
1.
Dilakukan atas beberapa dalil. Tidak berlaku
atas statement ijtihad dalam madzhab.
2.
Dalil-dalil tersebut menerima dipertentangkan
secara dhahir. Sehingga tidak berlaku dalam dalil-dalil qath’i.
3.
Tarjih dilakukan berdasarkan dalil. Namun
menurut ahli fiqh hanya mensyaratkan tidak mungkin diamalkannya satu persatu
dalil yang bertentangan, meskipun hanya dari satu sisi.
4.
Diunggulkan berdasarkan maziyyah (nilai lebih) bukan dengan dalil tersendiri (terpisah).
Mengenai boleh tidaknya tarjih menggunakan dalil tersendiri, ulama berbeda
pendapat.
Referensi :
اَلتَّرْجِيْحُ
فيِ اللُّغَةِ هُوَ اَلتَّغْلِيْبُ وَفيِ الاِصْطِلاَحِ تَقْوِيَةُ اِحْدَى
الاَمَارَتَيْنِ عَلىَ الأُخْرَىْ لِيَعْمَلَ بِهِ اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ 473)
“Tarjih secara
bahasa artinya taghlib (memenangkan). Secara istilah adalah menguatkan salah
satu dari dua amarah (tanda-tanda) dari yang lain dalam rangka untuk
diamalkan”.
ثُمَّ
لِلتَّرْجِيحِ شُرُوطٌ : الْأَوَّلُ : أَنْ يَكُونَ بَيِّنَ الْأَدِلَّةِ
فَالدَّعَاوَى لَا يَدْخُلُهَا التَّرْجِيحُ وَانْبَنَى عَلَيْهِ أَنَّهُ لَا
يَجْرِي فِي الْمَذَاهِبِ لِأَنَّهَا دَعَاوَى مَحْضَةٌ تَحْتَاجُ إلَى
الدَّلِيلِ....الثَّانِي : قَبُولُ الْأَدِلَّةِ التَّعَارُضَ فِي الظَّاهِرِ
وَيُبْنَى عَلَيْهِ مَسَائِلُ : (أَحَدُهَا) : أَنَّهُ لَا مَجَالَ لَهُ فِي
الْقَطْعِيَّاتِ....الثَّالِثُ : أَنْ يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى التَّرْجِيحِ وَهَذَا
عَلَى طَرِيقَةِ كَثِيرٍ مِنْ الْأُصُولِيِّينَ لَكِنَّ الْفُقَهَاءَ
يُخَالِفُونَهُمْ وَتَابَعَهُمْ فِي الْمَحْصُولِ وَشَرَطُوا أَنْ لَا يُمْكِنَ
الْعَمَلُ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَإِنْ أَمْكَنَ وَلَوْ مِنْ وَجْهٍ
امْتَنَعَ بَلْ يُصَارُ إلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوْلَى مِنْ إلْقَاءِ أَحَدِهِمَا
وَالِاسْتِعْمَالُ أَوْلَى مِنْ التَّعْطِيلِ....الشَّرْطُ الرَّابِعُ : أَنْ
يَتَرَجَّحَ بِالْمَزِيَّةِ الَّتِي لَا تَسْتَقِلُّ وَهَلْ يَجُوزُ التَّرْجِيحُ
بِالدَّلِيلِ الْمُسْتَقِلِّ ؟ فِيهِ قَوْلَانِ : (أَحَدُهُمَا) : نَعَمْ
كَالْمَزِيَّةِ بَلْ أَوْلَى فَإِنَّ الْمُسْتَقِلَّ أَقْوَى مِنْ غَيْرِ الْمُسْتَقِلِّ
وَ (الثَّانِي) : وَاخْتَارَهُ الْقَاضِي وَعَزَاهُ إلَى الْأَكْثَرِينَ الْمَنْعُ
لِأَنَّ الرُّجْحَانَ وَصْفٌ لِلدَّلِيلِ وَالْمُسْتَقِلُّ لَيْسَ وَصْفًا لَهُ
(البَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الرَّابِعُ ص 432)
“Kemudian dalam
tarjih terdapat beberapa syarat. Pertama, dilakukan atas beberapa dalil.
Beberapa dakwa (statemen) tidak bisa dimasuki tarjih. Disimpulkan dari sini,
bahwa tarjih tidak berlaku dalam madzhab, karena berisi murni dakwa yang butuh
dalil…..Kedua, dalil-dalil tersebut menerima dipertentangkan secara dhahir.
Dari sini disimpulkan beberapa masalah, (pertama) bahwa tarjih tidak berlaku
dalam dalil-dalil qath’i…..Ketiga, tarjih dilakukan berdasarkan dalil. Ini
mengikuti jalan pemikiran ulama ushul, tetapi ahli fiqh berbeda dengan mereka, dan
diikuti Ibn Arabi dalam al-Mahshul. Ahli fiqh mensyaratkan tidak mungkin
diamalkannya satu persatu dalil yang bertentangan. Jika mungkin, meskipun hanya
dari satu sisi, maka tarjih dilarang. Justru harus melakukan pengamalan dalil,
karena hal itu lebih baik dari pada membuang salah satunya. Dan memakai lebih
baik dari pada menganggurkan….Keempat, diunggulkan berdasarkan maziyyah (nilai
lebih) bukan dengan dalil tersendiri (terpisah). Apakah boleh tarjih
menggunakan dalil tersendiri?, ada dua pendapat. (pertama) ya boleh, seperti
maziyyah, bahkan lebih baik, karena dalil tersendiri lebih baik daripada yang
tidak. (kedua) dipilih oleh Al-Qadli dan disandarkan pada banyak ulama,
dilarang, karena unggul merupakan sifat dalil, tersendiri bukan sifat dalil itu.”
Pertanyaan :
Apakah pertentangan terjadi dalam dalil yang berbentuk perbuatan (fi’liy)?
Jawab :
Dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama;
1.
Menurut pendapat masyhur, tidak terjadi.
2.
Menurut Imam Ibn al-‘Arabi ada tiga pendapat
ulama.
3.
Menurut ulama lain seperti Imam al-Qurthubi,
terjadi. Hal ini apabila mengikuti pendapat bahwa dalil perbuatan menunjukkan
hukum wajib.
Referensi :
فَالْمَشْهُورُ
أَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّعَارُضُ بَيْنَ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ الْبَعْضُ
مِنْهَا نَاسِخًا لِبَعْضٍ أَوْ مُخَصِّصًا لَهُ لِجَوَازِ أَنْ يَكُونَ الْفِعْلُ
فيِ ذَلِكَ الْوَقْتِ وَاجِبًا وَفِي مِثْلِ ذَلِكَ الْوَقْتِ بِخِلَافِهِ لِأَنَّ
الْفِعْلَ لَا عُمُومَ له وَتَأَخُّرُ أَحَدِهِمَا لَا يَكُونُ هُوَ النَّاسِخُ في
الْحَقِيقَةِ لِأَنَّ فِعْلَهُ الْأَوَّلَ لَا يَنْتَظِمُ جَمِيعَ الْأَوْقَاتِ
الْمُسْتَقْبَلَةِ وَلَا يَدُلُّ على التَّكْرَارِ هَكَذَا جَزَمَ بِهِ الْقَاضِي
أبو بَكْرٍ وَغَيْرُهُ من الْأُصُولِيِّينَ على اخْتِلَافِ طَبَقَاتِهِمْ وَحَكَى
ابن الْعَرَبِيِّ في كِتَابِ الْمَحْصُولِ ثَلَاثَةَ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا
التَّخْيِيرُ وَثَانِيهَا تَقْدِيمُ الْمُتَأَخِّرِ كَالْأَقْوَالِ إذَا تَأَخَّرَ
بَعْضُهَا وَالثَّالِثُ حُصُولُ التَّعَارُضِ وَطَلَبُ التَّرْجِيحِ من خَارِجٍ
قال كما اتَّفَقَ في صَلَاةِ الْخَوْفِ صُلِّيَتْ على أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ صِفَةٍ
يَصِحُّ منها سِتَّةَ عَشَرَ خَيَّرَ أَحْمَدُ فيها وقال مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ
يَتَرَجَّحُ بِمَا هو أَقْرَبُ لِهَيْئَةِ الصَّلَاةِ وَقَدَّمَ بَعْضُهُمْ
الْأَخِيرَ منها إذَا عُلِمَ....وقال الْقُرْطُبِيُّ يَجُوزُ التَّعَارُضُ بين
الْفِعْلَيْنِ عِنْدَ مَنْ قاَلَ بِأَنَّ الْفِعْلَ يَدُلُّ على الْوُجُوبِ فَإِنْ
عُلِمَ التَّارِيخُ فَالنَّسْخُ وَإِنْ جُهِلَ فَالتَّرْجِيحُ وَإِلَّا فَهُمَا
مُتَعَارِضَانِ كَالْقَوْلَيْنِ وَأَمَّا على الْقَوْلِ بِأَنَّهُ يَدُلُّ على
النَّدْبِ أو الْإِبَاحَةِ فَلَا تَعَارُضَ (البَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الثالث
ص 261)
“Menurut
pendapat masyhur tidak boleh terjadi pertentangan antara beberapa perbuatan,
sekira sebagian menasakh yang lain atau mentakhsishnya, karena bisa jadi
perbuatan di satu waktu wajib, dan di waktu yang menyamainya tidak wajib. Sebab
perbuatan tidak bersifat umum, dan ada di akhirnya salah satu perbuatan tidak
menjadikannya menasakh secara hakikat, karena perbuatan yang pertama tidak
selalu berurutan di setiap waktu yang akan datang. Dan juga tidak menunjukkan
pengulangan. Ini ditetapkan oleh Al-Qadli Abu Bakar dan ulama ushul lain dalam
berbagai tingkatan. Ibn al-Arabi meriwayatkan tiga pendapat dalam kitab
al-Mahshul. Pertama, boleh memilih (antara beberapa perbuatan). Kedua,
mendahulukan yang akhir, sebagaimana beberapa ucapan saat sebagian ada di
akhir. Ketiga, terjadi pertentangan dan menuntut tarjih dari faktor luar.
Seperti yang disepakati dalam shalat khauf (takut musuh) yang dilakukan dalam
dua puluh empat cara yang enam belas di antaranya shahih. Imam Ahmad
memperbolehkan memilih. Imam Malik dan as-Syafi’i diunggulkan cara yang lebih
mendekati tata cara shalat. Dan sebagian ulama mengunggulkan cara yang paling
akhir jika diketahui….Imam al-Qurthubi mengatakan, boleh terjadi pertentangan
antara dua perbuatan, menurut ulama yang mengatakan bahwa perbuatan menunjukkan
hukum wajib. Jika penanggalannya diketahui, maka nasakh, jika tidak, maka
tarjih. Jika tidak keduanya maka keduanya bertentangan seperti dalil ucapan.
Namun menurut pendapat bahwa perbuatan menunjukkan sunnah atau ibahah
(boleh), maka tidak pertentangan”
(وَكَذَلِكَ
اِنْ كَانَا خَاصَّيْنِ) أَىْ فَاِنْ أَمْكَنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا يُجْمَعُ
كَمَا فِى حَدِيْثِ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ وَغَسَلَ
رِجْلَيْهِ وَهَذَا مَشْهُوْرٌ فِى الصَّحِيْحَيْنِ وَغَيْرِهِمَا وَحَدِيْثِ
أَنَّهُ تَوَضَّأَ وَرَشَّ الْمَاءَ عَلَى قَدَمَيْهِ وَهُمَا فِى النَّعْلَيْنِ
رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَاْلبَيْهَقِى وَغَيْرُهُمَا فَجُمِعَ بَيْنَهُمَا
بِاَنَّ الرَّشَّ فِى حَالِ التَّجْدِيْدِ كَمَا فِى بَعْضِ الطُّرُقِ اِنَّ
هَذَا وُضُوْءُ مَنْ لَمْ يُحْدِثْ
|
|
Sebagaimana (perincian) dalam dalil umum, apabila
kedua dalil tersebut khusus. Yakni, jika keduanya mungkin dikompromikan (jam’u), maka harus dikompromikan,
seperti hadits bahwa Nabi saw berwudhu’ dan membasuh kedua kakinya. Hadits
ini masyhur dalam shahih Bukhari-Muslim dan selainnya. Serta hadits bahwa
Nabi saw berwudlu’ dan memercikkan air pada kedua telapak kakinya yang ada di
dalam sandal, diriwayatkan Imam an-Nasa’I, al-Baihaqi dan selainnya. Kemudian
dikompromikan bahwa memercikkan air adalah dalam keadaan tajdid
(memperbaharui wudlu’), sebagaimana sebagian riwayat menjelaskan bahwa hal
ini merupakan wudhu seseorang yang belum hadats.
|
فَاِنْ لَمْ يُمْكِنْ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يُعْلَمْ التَّارِيْخُ
يُتَوَقَّفُ فِيْهِمَا اِلَى ظُهُوْرِ مُرَجِّحٍ لِاَحَدِهِمَا مِثَالُهُ مَا
جَاءَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَمَّا يَحِلُّ
لِلرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ وَهِيَ حَائِضٌ فَقَالَ مَا فَوْقَ الْإِزَارِ
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَجَاءَ أَنَّهُ قَالَ اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ اِلاَّ
النِّكَاحَ أَىِ الْوَطْءَ رَوَاهُ مُسلِمُ وَمِنْ جُمْلَتِهِ الْوَطْءُ فِيْمَا
فَوْقَ اْلإِزَارِ فَتَعَارَضَا فِيْهِ فَرَجَّحَ بَعْضُهُمْ التَّحْرِيْمَ
اِحْتِيَاطًا وَبَعْضُهُمْ الْحِلَّ لِاَنَّهُ اْلأَصْلُ فىِ الْمَنْكُوْحَةِ
وَاِنْ عُلِمَ التَّارِيْخُ نُسِخَ الْمُتَقَدِّمِ بِالْمُتَأَخِّرِ كَما
تَقَدّمَ فىِ حَدِيْثِ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ.
(وَاِنْ كَانَ اَحَدُهُماَ عَامًّا وَالْأَخَرُ خَاصًّا فَيُخَصُّ
الْعَامُ بِالخَاصِّ) كَتَخْصِيْصِ حَدِيْثِ الصَّحِيْحَيْنِ فِيْمَا سَقَتِ
السَّمَاءُ الْعُشْرُ بِحَدِيْثِهِمَا لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ
صَدَقَةٌ كَمَا تَقَدَّمَ
|
|
Apabila keduanya tidak mungkin dikompromikan, dan
penanggalannya tidak diketahui, maka keduanya ditangguhkan sampai munculnya
murajjih (faktor yang mengunggulkan) atas salah satunya. Misalnya, hadits
yang menjelaskan bahwa Nabi saw ditanyai tentang hal-hal yang halal bagi
laki-laki dari istrinya di saat haid, kamudian beliau menjawab, “semua yang
berada di atas izar (kain
panjang)”, diriwayatkan Imam Abu Dawud. Dan riwayat lain menjelaskan bahwa
Nabi saw mengatakan, “berbuatlah apapun selain jimak” yakni bersetubuh,
diriwayatkan Imam Muslim. Termasuk salah bentuk jimak, adalah jimak di daerah
atas izar dan terjadilah
pertentangan dalam masalah ini. Sebagian ulama mengunggulkan hukum haram demi
kehati-hatian, dan sebagian yang lain mengunggulkan hukum halal, karena
merupakan hukum asal atas wanita yang dinikahi.
Jika penanggalan diketahui, maka dalil khas yang
terdahulu dinasakh dengan dalil khas yang akhir, seperti yang telah lewat
dalam hadits tentang ziarah kubur.
Apabila salah satu dari dua dalil tersebut umum dan
yang lain khusus, maka dalil umum ditakhsish dalil khusus. Seperti
ditakhsishnya hadits shahih Bukhari-Muslim:
“Dalam tanaman yang diairi dengan air hujan
ada kewajiban zakat sepersepuluh”.
Dengan hadits shahih Bukhari-Muslim lainnya :
“Tidak ada kewajiban zakat dalam hasil panen
yang kurang lima wasaq”
Seperti keterangan terdahulu.
|
Penjelasan :
Apabila keduanya khash, maka diperinci sebagai berikut;
1.
Keduanya mungkin dikompromikan (jam’u), maka harus dikompromikan,
seperti hadits bahwa Nabi saw berwudhu’ dan membasuh kedua kakinya di atas.
2.
Keduanya tidak mungkin dikompromikan, maka;
a.
Penanggalannya tidak diketahui, maka keduanya
ditangguhkan sampai munculnya murajjih. Contoh hadits tentang hal-hal yang
halal di saat haid di atas.
b.
Penanggalan diketahui, maka dalil khas yang
terdahulu dinasakh dengan dalil khas yang akhir, seperti yang telah lewat dalam
hadits tentang ziarah kubur.
Apabila salah satunya umum dan yang lain khusus, maka dalil umum ditakhsish
dalil khusus. Contoh hadits tentang zakat di atas.
(وَاِنْ كَانَ كُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَامًّا مِنْ وَجْهٍ وَخَاصًّا مِنْ وَجْهٍ فَيُخَصُّ
عُمُوْمُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِخُصُوْصِ الْأَخَرِ) بِاَنْ يُمْكِنَ ذَلِكَ
مِثَالُهُ حَدِيْثُ أَبِى دَاوُدَ وَغَيْرُهُ اِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ
فَاِنَّهُ لاَ يَنْجُسُ مَعَ حَدِيْثِ اْبنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِ اَلماَءُ لاَ
يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ اِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
فَالْأَوَّلُ خَاصٌّ بِالْقُلَّتَيْنِ عَامٌّ فِى اْلمُتَغَيِّرِ
وَغَيْرِهِ وَالثَّانِى خَاصٌّ فِى الْمُتَغَيِّرِ عَامٌّ فِى الْقُلَّتَيْنِ وَمَا دُوْنَهُمَا
|
|
Apabila masing-masing dari dua dalil tersebut umum
dari satu sisi dan khusus dari sisi yang lain, maka keumuman masing-masing
ditakhsish dengan kekhususan dalil yang lain, jika hal tersebut memungkinkan.
Contoh HR. Abu Dawud dan selainnya:
“Ketika
air mencapai dua kullah, maka sungguh air itu tidak menjadi najis”
Dan HR. Ibnu Majah dan selainnya:
“Air
tidak menjadi najis sebab sesuatu, selain yang dominan atas bau, rasa dan
warnanya”
Hadits pertama khusus tentang air dua kullah, umum
tentang air yang berubah maupun yang tidak. Hadits kedua khusus tentang air
yang berubah, umum tentang air dua kullah maupun yang kurang dua kullah. Maka
keumuman hadits pertama ditakhsish dengan kekhususan hadits
kedua, sehingga
|
فَخُصَّ عُمُوْمُ الْأَوَّلِ بِخُصُوْصِ
الثَّانِى حَتَّى يُحْكَمَ بِاَنَّ مَاءَ الْقُلَّتَيْنِ يَنْجُسُ
بِالتَّغَيُّرِ وَخُصَّ عُمُوْمُ الثَّانِى بِخُصُوْصِ الْأَوَّلِ حَتَّى
يُحْكَمَ بِاَنَّ مَا دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ يَنْجُسُ وَاِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ
فَاِنْ لَمْ يُمْكِنْ تَخْصِيْصُ عُمُوْمِ كُلٍّ
بِخُصُوْصِ الْأَخَرِ اِحْتِيْجَ اِلَى التَّرْجِيْحِ بَيْنَهُمَا فِيْمَا
تَعَارَضَا فِيْهِ مِثَالُهُ حَدِيْثُ الْبُخَارِى مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ
فَاقْتُلُوْهُ وَحَدِيْثُ الصَّحِيْحَيْنِ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ فاَلْأَوَّلُ عَامٌّ فِى الرَّجُلِ
وَالنِّسَاءِ خَاصٌّ بِأَهْلِ الرِّدَّةِ وَالثَّانِى خَاصٌّ فِى النِّسَاءِ
عَامٌّ فِى الْحَرْبِيَّاتِ وَالْمُرْتَدَّاتِ فَتَعَارَضَ فِى الْمُرْتَدَّةِ
هَلْ تُقْتَلُ أَمْ لَا وَالرَّاجِحُ أَنَّهَا تُقْتَلُ
|
|
dihukumi
bahwa air dua kullah menjadi najis dengan sebab berubah. Kemudian keumuman
hadits kedua ditakhsish dengan kekhususan hadits pertama, sehingga dihukumi
bahwa air kurang dua kullah menjadi najis, meskipun tidak berubah.
Apabila tidak mungkin mentakhsish keumuman
masing-masing dengan kekhususan dalil yang lain, maka dibutuhkan adanya
tarjih (pengunggulan) antara keduanya pada bagian yang dipertentangkan.
Contohnya adalah HR. Bukhari:
“Barangsiapa
mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”
Dan
hadits shahih Bukhari-Muslim:
“Nabi melarang membunuh kaum wanita”
Hadits pertama umum atas laki-laki dan perempuan dan
khusus tentang orang murtad. Hadits kedua khusus tentang perempuan dan umum
atas perempuan kafir harbi dan murtad. Hingga terjadi pertentangan pada
masalah wanita murtad, apakah dibunuh atau tidak?. Menurut pendapat Rajih
(unggul), wanita murtad dihukum bunuh.
|
Penjelasan :
Apabila masing-masing dari dua dalil tersebut umum dari satu sisi dan
khusus dari sisi yang lain, maka diperinci;
1.
Jika memungkinkan, keumuman masing-masing
ditakhsish dengan kekhususan dalil yang lain. Contoh hadits tentang masalah air
di atas.
2.
Jika hal di atas tidak memungkinkan, maka
dibutuhkan tarjih (pengunggulan)
antara keduanya pada bagian yang dipertentangkan. Contoh hadits tentang wanita
murtad di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar