Tawassul dengan Hamba Pilihan Allah SWT
Al-Syaikh Jamil Afandi
Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud istighatsah dan tawassul
dengan para nabi dan orang-orang
yang shaleh ialah menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SWT untuk mencapai
tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah
pelaku yang sebenarnya (yang mengabulkan doa). Sebagai contoh, pisau tidak mempunyai kemampuan memotong dari dirinya sendiri karena
pemotong yang sebenarnya adalah Allah
SWT. Pisau hanya sebagai penyebab yang alamiah (berpotensi untuk memotong), Allah SWT menciptakan memotong melalui
pisau tersebut. (Al-Fajr
al-Shadiq, hal. 53-54).
Ada banyak dalil yang menjelaskan keutamaan
tawassul. Di antaranya adalah
firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِى سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (المائدة، 35)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah SWT. Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT.
Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu mendapat keuntungan”. (QS. al-Ma‘idah: 35).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ
وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (النساء: 64)
“Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya
(berbuat dosa),
lalu mereka datang kepadamu (hai Muhammad) dan meminta ampunan kepada Allah SWT, kemudian Rasul
memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT Yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan
menerima taubat mereka." (QS. al-Nisa': 64).[1]
Sahabat Umar D ketika melakukan shalat istisqa’ juga
melakukan tawassul.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ D كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخاري، 954)
“Dari Anas bin Malik D, beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin al-Khaththab D bertawassul dengan Abbas bin Abdul
Muththalib, kemudian berdoa, “Ya Allah , kami pernah berdoa dan bertawassul
kepada-Mu dengan Nabi J, maka Engkau turunkan
hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah
hujan”. Anas berkata, “Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari [954]).
Menyikapi tawassul Sayyidina Umar D tersebut, Sayyidina Abbas D kemudian berdoa:
اَللّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلاَءٌ اِلاَّبِذَنْبٍ وَلاَ يُكْشَفُ اِلاَّبِتَوْبَةٍ قَدْ
تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَانِي مِنْ نَبِيِّكَ
.. الخ اخرجه الزبير بن بكار (التحذير من الإغترار، 125)
“Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu
tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku
untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu. ..... diriwayatkan
oleh al-Zubair bin
Bakkar.” (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal. 125).
Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi
al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan,
pada hakikatnya tawassul
yang dilakukan Sayyidina Umar D dengan sayyidina Abbas D merupakan tawassul dengan Nabi J (yang pada waktu itu telah wafat), disebabkan posisi Abbas sebagai paman nabi J dan karena kedudukannya di
sisi Nabi J. (Al-Tahdzir min al-Ightirar, hal.
125).
Memang di hadapan Allah SWT, semua manusia
mempunyai kedudukan yang sama, semasa hidup atau setelah meninggal dunia.
Al-Qur’an menegaskan bahwa orang yang shaleh atau para syuhada itu tetap hidup
di sisi Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur di dalam tanah. Sebagaimana
firman Allah SWT:
وَلاَتَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا، بَلْ اَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ (آل عمران: 169)
“Dan janganlah kamu menyangka orang-orang
yang gugur di jalan Allah SWT itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” (QS. Ali ‘Imran: 169).
Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ فِى سَبِيْلِ اللهِ اَمْوَاتٌ بَلْ اَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ (البقرة: 154)
“Dan
Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu)
mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. al-Baqarah: 154).
Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani
menyatakan “Dalam hal bertawassul itu, tidak ada
perbedaan antara tawassul
kepada Nabi Muhammad J atau para nabi yang lainnya, juga kepada para Wali Allah
serta orang-orang shaleh. Dan tidak
ada perbedaan pula antara bertawassul kepada orang yang hidup ataupun orang yang telah meninggal dunia. Sebab pada hakikatnya mereka
tidak dapat mewujudkan serta tidak dapat memberi pengaruh apapun. Mereka diharapkan barokahnya karena mereka adalah para kekasih Allah
SWT. Yang menciptakan dan yang mewujudkan (apa yang diminta oleh orang yang
bertawassul) hanyalah Allah SWT semata. Orang-orang yang membedakan antara
tawassul kepada orang hidup dan orang yang telah wafat meyakini bahwa ada
pengaruhnya (manfaatnya) jika bertawassul kepada orang yang hidup, tapi manfaat
itu tidak ada apabila bertawassul kepada orang mati. Menurut hemat kami
orang-orang yang membolehkan tawassul kepada orang yang hidup tapi mengharamkan
tawassul kepada orang mati tersebut, sebenarnya telah terjebak pada kesyirikan,
sebab mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu
(pengaruh) kepada seseorang, tapi orang yang mati tidak dapat memberikan
manfaat apapun. Maka pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang meyakini bahwa ada makhluk
lain selain Allah SWT yang
dapat memberi pengaruh dan mewujudkan sesuatu. Maka bagaimana mungkin mereka
mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang menjaga tauhid (akidah), dan menuduh
kelompok lain berbuat kesyirikan?” (Syawahid al-Haqq, hal. 158-159).
Memang kalau direnungkan dengan seksama,
manusia itu hanya berusaha,
yang menentukan segalanya adalah Allah SWT. Dalam ungkapan sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata berobatlah agar sembuh,
berolahragalah agar sehat, makanlah agar kenyang,
belajarlah agar pandai. Padahal hakikatnya
yang menyembuhkan, yang menyehatkan, yang mengenyangkan, yang menjadikan pandai, hanya Allah
SWT semata. Jika terbersit di dalam hati bahwa yang menentukan sesuatu itu
bukan Allah SWT, pada saat itu telah terjadi perbuatan syirik.
Maka begitu pula dalam masalah tawassul
ini. Pada hakikatnya bertawassul itu menjadikan sesuatu sebagai perantara agar doa yang dipanjatkan dapat
segera diterima. Orang yang bertawassul tidak bermaksud
untuk memohon atau menyembah kepada
orang atau suatu benda. Karena itu mereka bukanlah termasuk orang yang mendapat
peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an:
أَلاَ للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى
(الزمر: 23)
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama
yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. al-Zumar: 23).
Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan
cermat, Syaikh Abdul Hayyi al-‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan
“Perkataan para penyembah berhala "Kami menyembah mereka (berhala-berhala
itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka
menyembah berhala untuk tujuan
tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para rasul
itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tahu bahwa orang yang di-tawassul-i tersebut memiliki
keutamaan di hadapan Allah SWT dengan kedudukannya sebagai
rasul, ilmu yang dimiliki atau karena kenabiannya. Dan
karena kelebihannya
itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al-Tahdzir
min al-Ightirar, hal. 113).
Maka jelas bedanya antara orang yang
menyembah berhala yang memang benar-benar menyembah berhala, yakni dalam
ungkapan mereka “Kami menyembah berhala-berhala itu”. Sementara orang yang bertawassul hanya
meminta dan menyembah Allah SWT semata. Tidak terbersit di dalam hatinya seujung rambutpun
keyakinan adanya kekuatan dan kekuasaan lain di luar kekuatan dan kekuasaan
Allah SWT.
[1] Setelah mengamati ayat ini, KH. Sirajuddin Abbas
menyimpulkan bahwa orang yang telah melakukan kesalahan, baik kecil atau besar,
boleh datang kepada Rasulullah J, orang-orang shaleh, para guru serta orang-orang yang dekat kepada Allah SWT untuk
melakukan tawassul dalam rangka pertaubatan. Dan mengharap mereka
untuk memintakan ampun kepada Allah SWT atas
segala dosa yang telah dilakukan orang tersebut. (Empat Puluh Masalah Agama,
Jilid I, hal 137-138)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar