*SOAL*
Bahsulmasail#
1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon saja*?
2_ *Bagaimana hukumnya orang muslim menyusui ank orang non muslim*??
*JAWABAN*
Jawaban 1:
Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat memenuhi mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.
Dalam keterangan lain, akad jual beli melalui alat elektronik hukumnya di-tafshil sebagai berikut :
1.Jika mabi’ (barang yang dijual)-nya sudah dilihat dengan jelas oleh kedua belah pihak sebelum melakukan transaksi maka hukumnya sah.
2.Jika mabi’ belum dilihat dengan jelas maka hukumnya tidak sah, kecuali apabila mabi’ dijelaskan sifat dan jenisnya.
Refensi:
الثاني: التلفظ - بحيث يسمعه من بقربه عادة، وإن لم يسمعه المخاطب - ويتصور وجود القبول منه مع عدم سماعه، بما إذا بلغه السامع فقبل فورا، أو حمل الريح إليه لفظ الايجاب فقبل كذلك، أو قبل اتفاقا - كما في البجيرمي، نقلا عن سم - فلو لم يسمعه من بقربه لم يصح.
Yang kedua adalah melafadzkannya sekira didengar oleh orang di dekatnya meskipun mukhothab tidak mendengarnya, dan dapat digambarkan adanya serah terima darinya meskipun tanpa mendengar suaranya dengan sesuatu yang dapat didengarkan oleh pendengar kemudian ia terima seketika atau suara ijabnya dibawa oleh angin kemudian juga ia terima seketika atau ia terima sesuai kesepakatan. [ I’aanah at-Thoolibiin III/9 ].
(قَوْلُهُ فَاعْتُبِرَ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ اللَّفْظِ ) أَيْ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ مِمَّا هُوَ عِبَارَةٌ عَنْهُ كَالْخَطِّ أَوْ قَائِمٍ مَقَامَهُ كَإِشَارَةِ الْأَخْرَسِ ا ه.
(Maka diperhitungkan apapun yang dapat menunjukkan pada lafadz/serah terima) artinya atau sesuatu yang sepadan pengertiannya dengan ucapan serah terima secara langsung seperti tulisan atau menduduki kedudukannya seperti isyaratnya orang bisu. [ Hasyiyah al-Jamal IV/301 ].
والعبرة في العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ.... وعن البيع و الشراء بواسطة التليفون والتلكس والبرقيات, كل هذه الوسائل وأمثالها معتمدة اليوم وعليها العمل.
Yang dipertimbangkan dalam akad-akad adalah subtansinya bukan bentuk lafadznya, dan jual beli via telpon, teleks, telegram dan sejenisnya telah menjadi alternatif yang utama dan dipraktekkan. [ Syarh al-Yaaquut an-Nafiis II/22 ].
(وينعقد ) البيع من غير السكران الذي لا يدري ; لأنه ليس من أهل النية على كلام يأتي فيه في الطلاق (بالكناية) مع النية ...والكتابة لا على مائع أو هواء كناية فينعقد بها مع النية ولو لحاضر فليقبل فورا عند علمه ويمتد خيارهما لانقضاء مجلس قبوله . ( قوله : والكتابة إلخ ) ومثلها خبر السلك المحدث في هذه الأزمنة فالعقد به كناية فيما يظهر.
Dan sah jual beli dari selain orang yang mabuk yang tidak mengerti sebab ia tidak termasuk orang yang sah niatnya seperti keterangan dalam bab Talak yang akan datang dengan sighat kinayah dengan disertai niat.... Menulis yang tidak pada zat cair dan udara termasuk kinayah, maka jual beli dengannya disertai niat hukumnya sah, meskipun bertransaksi dengan orang yang hadir dalam majlis akad, maka ia harus segera menerima akad tersebut ketika mengetahuinya dan khiyar bagi mereka berdua berlaku hingga bubarnya majlis penerimaan akad. (Keterangan Ibn Hajar “dan menulis....”) dan sama dengannya berita via teknologi kabel -telepon- yang dikembangkan di zaman sekarang ini, maka akad dengannya termasuk kinayah menurut kajian yang kuat. [ Hawaasyi as-Syarwaani wal ‘Abbaadi ala at-Tuhfah IV/221-222 ].
والله اعلم بالصواب.
Dengan akad bay’ as-salam atau as-salaf dua kata tersebut merupakan kata yang sinonim.
Secara terminology ulama’ fiqih mendefinisikannya :
بيع اجل معاجل او بيع شيئ موصوف في الذمة اي انه يتقدم فيه رأس المال ويتأخر المثمن لأجله
“menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal di awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian”.
Sedangkan Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut :
عقدعلى موصوف بذمة مقبوض بمجلس عقد
“akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majelis akad”.
Dengan adanya pendapat pendapat diatas sudah cukup untuk memberikan perwakilan penjelasan dari akad tersebut, dimana inti dari pendapat tersebut adalah; bahwa akad salam merupakan akad pesanan dengan membayar terlebih dahulu dan barangnya diserahkan kemudian, tapi ciri-ciri barang tersebut haruslah jelas penyifatannya.
Dalam transaksi salam ini diperlukan adanya keterangan mengenai pihak-pihak yang terlibat, yaitu orang yang melakukan transaksi secara langung, juga syarat-syarat ijab qabul :
a.Pihak-pihak yang terlibat.
Adapun pihak-pihak yang terlibat langsung adalah al-muslim (si pembeli atau pemesan) dan juga muslim ilaihi (si penjual atau orang yg dipesani).
Sedangkan syarat dari penjual dan pemesan diantaranya yaitu mereka bukan orang-orang yang dilarang bertindak sendiri, seperti anak-anak kecil, orang gila dll.
b.Syarat-syarat ijab qabul
pernyataan dalam ijab qabul ini bisa disampaikan secara lisan, tulisan (surat menyurat, isyarat yang dapat memberi pengertian yang jelas), hingga perbuatan atau kebiasaan dalam melakukan ijab qabul.
Adapun syarat-syaratnya adalah :
-Dilakukan dalam satu tempo
-Antara ijab dan qabul sejalan
-Menggunakan sighat assalam atau assalaf. Sighah(kata) penawaran( ijab ) dan persetujuan (qabul ). Contohnya pemilik modal berkata :
اسلمتُ اليك الفا فى عشرة ثوب صفته كذا وكذا....
"Saya salamkan(pesan dan serahkan) kepadamu 1000 rupiah untuk mendapatkan 10 helai baju yg sifatnya (begini sebut.....)"atau
اسلفتُ اليك الفا فى عشرة ثوب صفته كذا وكذا....
”Saya dahulukan 1000 dinar ini untuk mendapatkan 100 helai baju yang sifat-sifatnya (begini sebut.....”)
Sementara penerima pula berkata : ”Saya setuju atau saya terima pembayaran yg diserahkan / yang didahulukan ini".
atau sighah yang seumpamanya”.
والله اعلم بالصواب
Jawaban 2 :
*Boleh*
Anaknya orang non muslim(kafir) tidak punya dosa selagi ia perlu bantuan boleh bagi siapapun untuk membantunya termasuk bantuan menyusui. Dengan terpenuhinya 3 syarat (yg disebutkan dibawah). maka sang bayi menjadi anak sususan dari ibu yang menyusui.
Seseorang dianggap sebagai ibu susuan jika memenuhi 3 syarat:
1- Telah menyusui tidak kurang dari 5 susuan yang setiap susuan mengenyangkan bayi.
2- Bayi berumur di bawah 2 tahun, maksimal 2 tahun hijriyah.
3- Susu keluar dari ibu yang masih hidup biarpun diminumnya setelah meninggalnya(si ibu).
Adapun keadaan yang disusui itu anak orang muslim atau anak orang kafir itu tidak ada beda. Artinya asal 3 syarat tersebut terpenuhi maka anak tersebut dianggap sebagai anak susuan.
Setiap anak yang terlahir ke dunia ini dihukumi fitrah walaupun orang tuanya non muslim, sebagaimana sabda Nabi SAW :
ما من مولود إلا يولد على الفطرة ، فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah ( bersih dan suci ); maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”.
*Adapun;*
- Bila anak kecil dari muslimin meninggal, maka dihukumi sebagai muslim dan menjadi ahli surga :
أجمع من يعتد به من علماء المسلمين على أن من مات من أطفال المسلمين فهو من أهل الجنة ; لأنه ليس مكلفا
- Bila anak kecil dari non muslim meninggal, ada/ ikhtilaf ulama :
وأما أطفال المشركين ففيهم ثلاثة مذاهب . قال الأكثرون : هم في النار تبعا لآبائهم . وتوقفت طائفة فيهم . *والثالث ، وهو الصحيح الذي ذهب إليه المحققون أنهم من أهل الجنة،* ويستدل له بأشياء منها حديث إبراهيم الخليل صلى الله عليه وسلم حين رآه النبي صلى الله عليه وسلم في الجنة ، وحوله أولاد الناس قالوا : يا رسول الله ، وأولاد المشركين ؟ قال : " وأولاد المشركين " رواه البخاري في صحيحه . ومنها قوله تعالى : وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا ولا يتوجه على المولود التكليف ويلزمه قول الرسول حتى يبلغ ، وهذا متفق عليه . والله أعلم .
- Aktsar ulama : dihukumi kafir karena mengikuti orang tuanya
- Sebagian Ulama : Tawaquf
- *Qoul Shohih : Dihukumi muslim dan menjadi ahli surga.*
Sumber : SYARAH IMAM NAWAWI 'ALA MUSLIM.
والله اعلم بالصواب.
*Pengertian*
Radha ‘ (menyusui) secara kata berarti menyusu dari seorang ibu serta meminum susunya, sedangkan berdasarkan pengertian syar’i berarti sampainya air susu dari seorang wanita ke dalam perut seorang bayi dengan syarat tertentu. Dasar hukumnya adalah :
Dan wanita yang menyusui kalian adalah ibu-bu kalian (QS An-Nissa :23)
Hadist riwayat Ibnu Abbas ra:
"(seseorang) menjadi mahram karena sebab radha, sebagaimana (seseorang) menjadi mahram karena sebab nasab." (Muttafaq ‘alaih)
Dari kedua dasar hukum tersebut, para ulama menetapkan suatu hukum, yaitu jika seorang bayi menyusu pada seorang wanita atau meminum air susunya, wanita itu menjadi ibu susuannya dan suaminya menjadi ayah susuannya dan keduanya serta anak-anaknya mahram (haram menikah) dengan bayi tersebut. Ketetapan hukum ini meliputi beberapa persyaratan, baik itu bagi si wanita maupun bagi si bayi.
*Syarat-syarat wanita yang menyusui:*
1. Wanita tersebut sudah berumur Sembilan tahun atau lebih, dalam hitungan tahun hijriyyah, jika kurang dari itu, tidak dapat ditetapkan sebagai hukum radha’.
2. Ketika menyusui atau pada saat diambil air susunya dalam keadaan hidup (bernyawa). Lain halnya jika si bayi menyusui/meminum susu yang diambil dari seorang wanita yang sudah meninggal dunia maka itu tidak ditetapkan sebagai hukum radha’.
*Syarat-syarat pada bayi yang menyusu:*
1. Bayi tersebut belum berumur dua tahun dalam hitungan tahun hijriyyah, jika umur bayi dua tahun atau lebih dari dua tahun dalam hitungan tahun hijriyyah maka tidak ditetapkan sebagai hukum radha’. Berdasarkan hadist dari Ibnu Abbas berikut;
"Maka tidak ditetapkan hukum radha’ kecuali jika anak tersebut belum berumur dua tahun." (Mutafaq’ alaih).
2. Bayi tersebut sudah menyusu dari wanita yang menyusuinya sebanyak lima kali kesempatan menyusu dalam beberapa waktu, bukan hanya lima kali sedotan dalam satu kali kesempatan menyusu dan juga tidak harus beberapa hari walaupun semuanya dalam satu hari. Yang penting adalah lima kali kesempatan menyusu secara terpisah. (Mengenyangkan hanya istilah(kebiasaannya) tidak menjadi qaid(syarat mutlak).
Hal2 yang berkaitan dengan lima kali kesempatan menyusu;
a. Jika si bayi sendiri yang melepas (puting susu) karena sudah tidak mau lagi, lalu kembali menyusu, maka dihitung dua kali kesempatan menyusu. Tetapi jika bayi itu melepasnya dikarenakan ada sesuatu yang menarik perhatian dia untuk bermain-main kemudian menyusu lagi tidak dihitung dua kali kesempatan.
b. Jika yang melepasnya adalah wanita yang menyusuinya, karena suatu pekerjaan yang membutuhkan waktu yang lama, misalnya untuk memasak atau mencuci dihitung dua kali kesempatan. Adapun jika karena melakukan pekerjaan ringan seperti membetulkan posisi si bayi atau mengambil benda yang terjatuh lalu menyusui lagi maka tidak dihitung dua kali kesempatan.
c. Jika si bayi ketika menyusu kemudian tertidur dan saat terbangun puting susu wanita itu masih menempel di mulut si bayi sedangkan tidurnya tidak lama maka tidak dihitung dua kali kesempatan. Tetapi jika tidurnya lama atau ketika bangun puting susu si wanita tersebut terlepas dari mulut si bayi maka hal itu dihitung dua kali kesempatan menyusu.
3. Air susu wanita yang menyusui telah sampai ke dalam perut si bayi walaupun setelah itu dimuntahkan kembali oleh si bayi, maka hal ini telah masuk dalam hukum radha’.
Jika si bayi menyusu dari wanita yang tidak keluar air susunya maka tidak ditetapkan sebagai hukum radha’.
Hukum yang berkaitan dengan radha;
Jika sudah ditetapkan sebagai hukum radha’ yaitu wanita menyusui seorang bayi dan syarat-syaratnya terpenuhi, maka hukum yang terkait masalah ini adalah,
1. Wanita yang menyusui dan suaminya menjadi mahramnya (ibu dan bapak susuan).
2. Anak-anak wanita yang menyusui menjadi mahram (saudara sepersusuan).
3. Saudara dan saudari si wanita yang menyusui menjadi mahram (paman dan bibi susuan) begitu pula dengan saudara dan saudari suaminya.
4. Bayi yang disusui oleh wanita tersebut menjadi anak susuannya, dan anak keturunan bayi tersebut juga menjadi mahram bagi yang menyusui dan juga suami dari wanita itu.
Perlu diketahui juga pengertian mahram di sini adalah sebatas tidak boleh menikahinya, boleh meli
hatnya dan tidak batal wudhu pada saat menyentuhnya. Mahram di sini juga tidak berkaitan dengan pemberian nafkah dan saling mewarisi, sebagaimana halnya mahram dikarenakan nasab.
Dan juga berkaitan dengan ini adalah, masalah terpenuhinya syarat lima kali kesempatan menyusu ini merupakan hukum yang ditetapkan dalam mahzab Imam Syafi’I sedangkan bagi mahzab Imam Malik dan Imam Abu Hanifah akan terpenuhi syarat hukum radha’ walaupun hanya satu kali kesempatan menyusu.
Fuqaha telah sependapat bahwa menyusu pada usia tidak lebih dua tahun mengharamkan(jadi mahram). kemudian mereka berselisih pendapat tentang penyusuan anak yang sudah besar.
Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan lainnya berpendapat bahwa penyusuan anak besar tidak mengharamkan(menjadikan mahram).
Daud dan fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa penyusuan tersebut mengharamkan. Ini juga pendapat ‘Aisyah ra.
Sedang pendapat jumhur fuqaha (di atas) merupakan pendapat Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Umar ra., Abu Hurairah ra., Ibnu Abbas ra., dan seluruh istri-istri Nabi saw.
Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut. Demikian itu karena dalam hal ini terdapat dua hadits.
Pertama: Hadits tentang Salim yang telah saudara sebutkan itu.
Kedua: Hadits ‘Aisyah ra. Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut ini:
قَالَتْ : دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَعِنْدِى رَجُلٌ فَاشْتَدَّ ذَالِكَ عَلَيْهِ وَرَأَيْتُ الغَضَبَ فِى وَجْهِهِ, فَقُلْتُ : يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنَّهُ اَخِىْ مِنَ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ, أُنْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ فَاِنَّ الرَّضَاعَةَ مِنَ اْلمَجَاعَةِ.
“ ‘Aisyah berkata: Rasulullah saw. masuk kerumahku, sedang aku mempunyai tamu seorang lelaki, maka hal itu membuat beliau marah, dan aku melihat (tanda-tanda) kemarahan di wajahnya. Kemudian aku berkata, “ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah saudaraku sesusuan. “ maka berkatalah Nabi saw., “ Perhatikanlah siapa saudara-saudaramu sesusuan, karena sesungguhnya penyususan itu disebabkan kelaparan.
Bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadits terakhir ini(ke 2), maka mereka mengatakan bahwa air susu yang tidak dapat berfungsi sebagai makanan bagi orang yang menyusu, tidak menyebabkan keharaman.
Hanya saja, hadits tentang Salim merupakan suatu kejadian yang nyata, dan seluruh istri Nabi saw. menganggap kejadian tersebut sebagai suatu kemurahan (rukhshah) bagi Salim sendiri.
Sedang bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadits(pertama) tentang Salim, dan tidak menganggap hadits 'Aisyah.Ra(dgn bbrp alasan) maka mereka mengatakan bahwa penyusuan anak besar menyebabkan keharaman.
والله اعلم بالصواب