|||
FATWA MUHAMMAD BIN SHALIH AL-'UTSAIMIN |||
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin merupakan Syaikhul Wahhabiyah yang
fatwa-fatwanya juga banyak menjadi rujukan pengikut sekte Wahhabiyah. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin
al-Wahib at-Tamimi atau lebih dikenal dengan Syaikh al-Utsaimin. Dalam beberapa
fatwanya, terdapat pernyataan menarik yang mungkin jarang di publikasikan oleh
pengikut Wahhabiyah tentang bacaaan al-Qur'an untuk orang mati. Berikut
diantara pernyataan beliau :
PENDAPAT YANG SHAHIH TENTANG MEMBACA AL-QUR'AN UNTUK ORANG MATI
وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان
يقرأوينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو
لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
"Pembacaan
al-Qur'an untuk orang mati dengan pengertian bahwa manusia membaca al-Qur'an
serta meniatkan untuk menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama
telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah
tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang
shahih adalah bahwa membaca al-Qur'an untuk orang mati memberikan manfaat,
akan tetapi do'a adalah yang lebih utama (afdlal).". [1]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin pernah ditanya tentang hukum
membaca al-Qur’an untuk roh orang mati. Menariknya adalah bahwa menurut
pandangan beliau ; yang rajih adalah bahwa bacaan al-Qur’an sampai kepada orang
mati apabila ditujukan untuk orang mati tersebut ;
PENDAPAT YANG RAJIH TENTANG MEMBACA AL-QUR'AN UNTUK ORANG MATI
سئل فضيلة الشيخ: عن حكم التلاوة لروح
الميت؟
Fadlilatusy
Syaikh ditanya tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk orang mati ?
فأجاب قائلًا: التلاوة لروح الميت يعني أن
يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين هذه المسألة محل خلاف بين
أهل العلم على قولين: القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا
ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن
يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبًا أو غير قريب.
Jawaban
: Tilawah untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin
memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) yang muslim, masala h ini
terdapat perselisihan diantara ahlul ilmi atas dua pendapat : Pertama, sungguh
itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak
mendapat manfaat dengan hal itu yakni tidak mendapatkan manfaat dengan
pembacaan al-Qur’an pada perkara ini. Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan
manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi umat Islam untuk membaca
al-Qur’an dengan meniatkan pahalanya untuk fulan atau fulanah yang beragama
Islam, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh).
والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس
العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد ابن عبادة -رضي الله عنه- حين تصدق
ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ-: «إن أمي افْتُلِتَت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال
النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: "نعم» وهذه قضايا أعيان تدل على
أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو
للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ- قال: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم
ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» . ولم يقل: أو ولد صالح يتلو له أو يصلي له أو
يصوم له أو يتصدق عنه بل قال: - «أو ولد صالح يدعو له» والسياق في سياق العمل، فدل
ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت لا أن يجعل له شيئًا من الأعمال الصالحة،
والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخرًا عند الله -عز وجل-.
Dan
yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang kedua, karena sesungguhnya
telah warid sebagai sebuah jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk
mayyit (orang mati) karena sesungguhnya telah warid sebagai , sebagaimana
pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan
kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata
kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku telah meninggal
dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk
bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa
memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh,
dan demikian juga terkait membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih
utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan
amal-amal shalih untuk dirimu sendiri, karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa
sallam bersabda : “Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3
hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali
mendo’akannya”. Tidak dikatakan, “atau anak shalih yang melakukan tilawah untuknya,
atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya, akan tetapi
Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”,
Maka
ini menunjukkan bahwa seorang manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama
(afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya lainnya untuk mayyit, dan
manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah
‘Azza wa Jalla.” [2]
Tidak hanya itu, Syaikh al-Utsaimin al-Wahhabi juga pernah ditanya tentang
surah an-Najm ayat 39. Ulama sendiri memiliki berbagai jawaban dalam
menjelaskan ayat ini namun ulama tidak menafikan bahwa seseorang memang bisa
memperoleh manfaat dari orang lain, sebab nas untuk hal ini telah mutawatir
baik didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Seperti itu juga Syaikh al-Utsaimin
yang tidak menafikan bahwa seseorang bisa memperoleh manfaat dari amal orang
lain :
KOMENTAR TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL
وسئل فضيلة الشيخ: هل قوله تعالى: {وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} يدل على أن الثواب لا يصل إلى الميت إذا
أهدي له؟
Fadlilatusy
Syaikh ditanya : apakah firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa
sa’aa} menunjukkan atas bahwa pahala tidak sampai kepada mayyit apabila di
hadiahkan untuknya ?
فأجاب بقوله: قوله - تعالى-: {وَأَنْ
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} المراد -والله أعلم- أن الإنسان لا يستحق
من سعي غيره شيئًا، كما لا يحمل من وزر غيره شيئًا، وليس المراد أنه لا يصل إليه
ثواب سعي غيره؛ لكثرة النصوص الواردة في وصول ثواب سعي الغير إلى غيره وانتفاعه به
إذا قصده به، فمن ذلك:
Jawab
: tentang firman Allah { wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa } maksudnya
–wallahu a’lam- bahwa manusia tidak berhak terhadap usaha orang lain, sebagaimana
seseorang tidak memikul sesuatu tanggungan orang lain, namun maksudnya
bukanlah bahwa pahala usaha orang lain tidak sampai kepadanya, sebab
banyak nas-nas yang warid tentang sampainya pahala usaha orang lain kepada
orang lain dan memberi manfaat dengan hal itu apabila di qashadkan (ditujukan)
untuknya. Diantara yang demikian adalah :
الدعاء فإن المدعو له ينتفع به بنص القرآن
والسنة وإجماع المسلمين، ... الصدقة عن الميت ... الصيام عن الميت ... الحج عن
غيره ... الأضحية عن الغير ... اقتصاص المظلوم من الظالم بالأخذ من صالح أعماله
.... انتفاعات أخرى بأعمال الغير: كرفع درجات الذرية في الجنة إلى درجات آبائهم،
وزيادة أجر الجماعة بكثرة العدد، وصحة صلاة المنفرد بمصافة غيره له، والأمن والنصر
بوجود أهل الفضل
“Do’a,
maka sesungguhnya orang yang berdo’a untuk mayit niscaya bermanfaat dengan hal
tersebut, berdasarkan nash al-Qur’an , As-Sunnah dan Ijma’ Muslimi ; shadaqah
atas nama mayyit ; puasa atas nama mayyit ; haji dari orang lain ; sembelihan
dari orang lain ; orang yang terdlalimin mendapatkan kebaikan yang diambil dari
amal orang yang mendlalimi, ; mendapatkan manfaat yang lain dengan amal orang
lain seperti anak-anak diangkat derajatnya di surga ke derajat ayah-ayah mreka,
shalat pahala berjama’ah bertambah karena banyaknya jumlah (orang lain) ;
sahnya shalat orang yang sendiri dengan adanya orang yang mengikut kepadanya ;
aman dan tentram karena adanya orang-orang yang bijak sana”. [3]
Masih seputar hal yang sama yang pernah di tanyakan kepada beliau :
YANG DISEPAKATI DAN DIPERSELISIHKAN
سئل فضيلة الشيخ رحمه الله تعالى: ما حكم
الصلاة عن الميت والصوم له؟ فأجاب فضيلته بقوله: هناك أربعة أنواع من العبادات تصل
إلى الميت بالإجماع، وهي: الأول: الدعاء. الثاني: الواجب الذي تدخله النيابة.
الثالث: الصدقة. الرابع: العتق. وما عدا ذلك فإنه موضع خلاف بين أهل
العلم: فمن العلماء من يقول: إن الميت لا ينتفع بثواب الأعمال الصالحة إذا
أهدي له في غير هذه الأمور الأربعة
“Al-Utsaimin
di tanya : Apa hukum shalat dan puasa dari orang lain untuk mayyit ? Jawab :
terdapat 4 macam jenis ibadah yang sampai kepada mayyit berdasarkan ijma’,
yakni
1.
Do’a
2.
Ibadah
wajib yang bisa di pindahkan
3.
Shadaqah
4.
Membebaskan
budak
Dan
yang tidak terhitung pada hal itu maka itu berada pada kedudukan yang
diperselisihkan diantara ulama. Sebagian ulama ada yang mengatakan :
sesungguhnya mayyit tidak mendapatkan manfaat dengan pahala amal-amal shalih
yang dihadiahkan untuknya selain empat hal tersebut.
ولكن الصواب: أن الميت ينتفع بكل عمل
صالح جعل له إذا كان الميت مؤمناً، ولكننا لا نرى أن إهداء القرب للأموات من
الأمور المشروعة التي تطلب من الإنسان، بل نقول: إذا أهدى الإنسان ثواب عمل من
الأعمال، أو نوى بعمل من الأعمال أن يكون ثوابه لميت مسلم فإنه ينفعه، لكنه غير
مطلوب منه أو مستحب له ذلك
Akan
tetapi yang shawab (yang benar) : bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat
dengan setiap amal shalih yang dijadikan untuk mayyit apabila mayyitnya mukmin,
namun kami tidak melihat bahwa menghadiahkan amal kebajikan untuk orang mati
termasuk perkara masyru’ yang dituntut dari manusia, bahkan kami katakan :
apabila seorang manusia menghadiahkan pahala amal dari berbagai amal atau
meniatkan dengan beramal dari berbagai amal agar dijadikan pahalanya untuk
orang mati yang muslim maka itu bermanfaat bagi orang mati tersebut, tetapi
tanpa ada tuntutan atau anjuran baginya untuk melakukan hal demikian.
والدليل على هذا أن النبي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لم يرشد أمته إلى هذا العمل، بل ثبت عنه صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في صحيح مسلم من حديث أبي هريرة أنه قال: "إذا مات
الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: من صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح
يدعو له". ولم يقل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أو ولد صالح
يعمل له، أو يتعبد له بصوم أو صلاة أو غيرهما
Dalil
atas hal ini bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak menunjuki umatnya
kepada amal ini, bahkan telah tsabit dari Nabi shalallallahu ‘alayhi wa sallam
didalam shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah, bahwa beliau bersabda :
“apabila seorang manusia mati maka terputus amalnya kecuali yang berasal dari
tiga hal yakni dari shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yanng
berdo’a untuknya”, Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam tidak mengatakan : “atau
anak shalih yang beramal untuknya, atau beribadah untuknya dengan puasa, shalat
atau selainnya”
وهذا إشارة إلى أن الذي ينبغي والذي يشرع
هو الدعاء لأمواتنا، لا إهداء العبادات لهم، والإنسان العامل في هذه الدنيا محتاج
إلى العمل الصالح، فليجعل العمل الصالح لنفسه، وليكثر من الدعاء لأمواته، فإن ذلك
هو الخير وهو طريق السلف الصالح رضي الله عنهم
Ini
sebuah isyarat bahwa yang layak serta yang disyariatkan adalah do’a untuk
orang-orang mati diantara kita, bukan menghadiahkan ibadah-ibadah kepada
mereka, sebab manusia sebagai pelaku didunia ini butuh kepada amal shalih, maka
hendaklah menjadikan amal shalih untuk dirinya sendiri, serta memperbanyak do’a
untuk orang-orang yang mati, sebab itu adalah baik dan merupakan jalan salafush
shalih radliyallahu ‘anhum”. [4]
CATATAN KAKI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar