AL-AF’AL (BEBERAPA PERBUATAN)
(فِعْلُ صَاحِبِ الشَّرِيْعَةِ) يَعْنِى النَّبِي
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَايَخْلُوْ اِمَّا اَنْ يَكُوْنَ عَلَى
وَجْهِ الْقُرْبَةِ وَالطَّاعَةِ أَوْ لَا
يَكُوْنُ)
|
|
Perbuatan
dari pemilik (penyampai) syariat, yakni Nabi Muhammad saw tidak lepas
adakalanya dilakukan sebagai pendekatan diri dan ketaatan, atau tanpa ada
unsur semacam ini.
|
(فَاِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ
وَالطَّاعَةِ فَاِنْ دَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى الإِخْتِصَاصِ بِهِ يُحْمَلُ عَلىَ
الإِخْتِصَاصِ) كَزِيَادَتِهِ فِى النِّكَاحِ عَلَى أَرْبَعَةِ نِسْوَةٍ (وَاِنْ
لَمْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ لاَ يَخْتَصُّ بِهِ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فَيُحْمَلُ عَلَى
الْوُجُوْبِ عِنْدَ بَعْضِ أَصْحَابِنَا) فِى حَقِّهِ وَحَقِّنَا لِأَنَّهُ
اْلأَحْوَطُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يُحْمَلُ عَلىَ النَّدْبِ لِأَنَّهُ
الْمُحَقَّقِ بَعْدَ الطَّلَبِ (وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يُتَوَقَّفُ فِيْهِ)
لِتَعَارُضِ الْأَدِلَّةِ فِى ذَلِكَ
(فَاِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ غَيْرِ وَجْهِ اْلقُرْبَةِ
وَالطَّاعَةِ فَيُحْمَلُ عَلَى اْلإِبَاحَةِ) كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فِى
حَقِّهِ وَحَقَّنَا
|
|
Jika
perbuatan tersebut sebagai pendekatan diri dan ketaatan, manakala ditemukan
dalil yang mengkhususkan bagi Nabi, maka diarahkan khusus bagi Nabi. Seperti
Nabi saw menikahi lebih dari empat istri. Dan apabila dalil tersebut tidak
ada, maka perbuatan tersebut tidak dikhususkan bagi Nabi. Sebab Allah swt
telah berfirman, QS. Al-Ahzab : 21: “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. Kemudian
perbuatan tersebut diarahkan pada wajib menurut sebagian Ashhab Syafi’iyyah,
baik bagi Nabi maupun bagi kita, karena hal ini lebih berhati-hati. Sebagian
Ashhab ada yang menyatakan, diarahkan pada sunnah, karena hal ini lebih
diyakini setelah adanya tuntutan. Sebagian Ashhab yang lain menyatakan
ditangguhkan, karena dalil-dalil yang menjelaskan wajib dan sunnah saling
bertentangan.
Apabila
perbuatan tersebut memiliki unsur selain sebagai pendekatan diri dan
ketaatan, maka diarahkan pada mubah (boleh dilakukan), seperti makan dan
minum, baik bagi nabi maupun bagi kita.
|
Penjelasan :
Perbuatan dari Nabi Muhammad saw ada dua jenis;
A.
Memiliki unsur pendekatan diri dan ketaatan,
diperinci;
1.
Ada dalil yang mengkhususkan bagi nabi, maka diarahkan
khusus bagi nabi. Seperti nabi yang memiliki lebih dari empat istri dalam
pernikahan.
2.
Tidak ada dalil (yang mengkhususkan bagi nabi), maka
tidak dikhususkan bagi nabi. Dan diarahkan pada wajib menurut sebagian Ashhab
Syafi’iyyah, bagi Nabi dan bagi kita. Sebagian Ashhab menyatakan, diarahkan
pada sunnah. Ashhab yang lain menyatakan ditangguhkan.
B.
Memiliki unsur selain pendekatan diri dan ketaatan,
maka diarahkan pada mubah (boleh dilakukan), seperti makan dan minum, bagi Nabi
maupun bagi kita.
Secara lebih terperinci perbuatan Nabi saw dibagi
delapan macam:
1.
Jibiliyyah, yakni perbuatan yang dihasilkan dari perwatakan asli manusia, berupa
duduk, berdiri, tidur, makan, minum, bergerak dan hal-hal lain yang tidak
berhubungan dengan ibadah. Menurut jumhur menunjukkan ibahah (boleh).
2.
Jibiliyyah disertai sifat tertentu, seperti contoh muwadhabah (secara rutin) Nabi saw minum sebanyak tiga kali, makan
di atas tanah, tidur bertumpu lambung sebelah kanan dan lain-lain yang tidak
secara jelas ada perintah atau larangan. Maka sifat muwadhabah menunjukkan perbuatan tersebut adalah sunnah.
3.
Perbuatan
berkutat antara jibiliyyah dan syar’i, contoh Nabi saw berangkat untuk
melakukan shalat Ied lewat satu jalan dan pulang lewat jalan yang lain. Menurut
ahli fiqh madzhab Syafi’iyyah diunggulkan sisi sunnah dari pada ibahah
(boleh).
4.
Perbuatan khusus
bagi Nabi saw. Baik wajib atau mubah semuanya hanya terkhusus bagi Nabi dan
tidak boleh diikuti umatnya.
5.
Perbuatan
sebagai penjelas (bayan) hukum. Ini
menjadi dalil bagi umat dan wajib diikuti. Hukum yang dihasilkan sesuai dengan
dalil mujmal yang diperjelas. Jika hukum dalam mujmal wajib, maka perbuatan
Nabi saw yang menjadi penjelas juga dihukumi wajib.
6.
Perbuatan yang
tidak mengandung unsur jibilliyah, khusus
Nabi dan bayan di atas. Dalam hal ini terbagi dua:
a.
Diketahui arah
hukumnya, baik berbentuk ibadah atau yang lain. Dalam hal ini umat sama dengan
Nabi saw. Jika wajib bagi Nabi saw, maka wajib juga bagi umat.
b.
Tidak diketahui
arah hukumnya. Apabila ada tujuan pendekatan diri (qurbah), maka menurut pendapat Ashah menunjukkan sunnah. Apabila
tidak ada tujuan qurbah, maka menurut
pendapat Ashah menunjukkan wajib bagi Nabi saw dan bagi umat.
7.
Sesuatu yang
ingin dilakukan, tapi tidak dilakukan Nabi saw. Seperti contoh sabda Nabi yang
menjelaskan Beliau akan membakar rumah-rumah mereka yang enggan melaksanakan
shalat berjamaah. Hal ini tidak bisa disebut perintah atau perbuatan Nabi saw,
dan hanya sekedar hamm (keinginan).
Dan umat tidak diperintahkan mengikuti, dengan membakar rumah dan juga tidak
diperintah ingin membakar rumah, karena Nabi saw tidak melakukan apa yang
awalnya ingin dilakukan [1][50].
Pertanyaan :
Apa perbedaan qurbah
(pendekatan diri), tha’ah (taat)
dan ibadah?
Jawab :
Menurut sebagian ulama, tha’ah adalah mentaati perintah dan larangan. Qurbah adalah sesuatu yang digunakan mendekatkan diri dengan syarat
mengetahui dzat yang hendak didekati. Dan ibadah adalah sesuatu yang digunakan
untuk menyembah dengan syarat niat dan mengetahui dzat yang disembah.
Referensi :
قَالَ بَعْضُهُمْ اَلطَّاعَةُ
غَيْرُ القُرْبَهِ وَالعِبَادَةِ لِأَنَّ الطَّّاعَةَ اِمْتِثَالُ الاَمْرِ
وَالنَّهْيِ وَالقُرْبَةُ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ بِشَرْطِ مَعْرِفَةِ المُتَقَرَّبِ
إِلَيْهِ وَالعِبَادَةُ مَا يُتَعَبَّدُ بِهِ بِشَرْطِ النِّيَّةِ وَمَعْرِفَةِ
المَعْبُوْدِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ93)
“Sebagian ulama mengatakan, tha’ah berbeda dengan qurbah dan ibadah. Karena
tha’ah adalah mentaati perintah dan larangan. Qurbah adalah sesuatu yang
digunakan mendekatkan diri dengan syarat mengetahui dzat yang hendak didekati.
Dan ibadah adalah sesuatu yang digunakan untuk menyembah dengan syarat niat dan
mengetahui dzat yang disembah”.
(وَإِقْرَارُ صَاحِبِ الشَّرِيْعَةِ عَلَى
الْقَوْلِ) مِنْ أَحَدٍ (هُوَ قَوْلُ صَاحِبِ الشَّرِيْعَةِ) أَىْ كَقَوْلِهِ (وَإِقْرَارُهُ
عَلَى الْفِعْلِ) مِنْ أَحَدٍ (كَفِعْلِهِ) لِأَنَّهُ مَعْصُوْمٌ عَنْ اَنْ
يُقِرَّ أَحَدًا عَلَى مُنْكَرٍ مِثَالُ ذَلِكَ إِقْرَارُهُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ عَلَى قَوْلِهِ بِإِعْطَاءِ سَلْبِ الْقَتِيْلِ
لِقَاتِلِهِ وَإِقْرَارُهُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ عَلَى أَكْلِ الضَّبِّ
مُتَفَقٌّ عَلَيْهِماَ
(وَمَا فُعِلَ فِى وَقْتِهِ) صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ (فِى غَيْرِ مَجْلِسِهِ وَعَلِمَ بِهِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ فَحُكْمُهُ
حُكْمُ مَا فُعِلَ فِى مَجْلِسِهِ) كَعِلْمِهِ بِحَلْفِ أَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّهُ لاَ يَأْكُلُ الطَّعَامَ فِى وَقْتِ غَيْظِهِ ثُمَّ أَكَلَ
لَمَّا رَأَى الْأَكْلَ خَيْرًا لَهُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ حَدِيْثِ مُسْلِمٍ فِى
اْلأَطْعِمَةِ
|
|
Iqrar
(pengakuan) pemilik syariah atas ucapan dari seseorang, statusnya adalah
sebagaimana ucapan pemilik syariah. Artinya menyamai ucapan pemilik syariat.
Sedangkan iqrar pemilik syariah atas perbuatan seseorang, statusnya
adalah sebagaimana perbuatan pemilik
syariah. Karena beliau terjaga dari memberi pengakuan pada seseorang atas
kemunkaran. Contoh dari iqrar-iqrar di atas adalah pengakuan nabi saw
pada Abu Bakar atas pernyataannya memberikan harta salb (harta hasil lucutan) dari musuh yang terbunuh, kepada
pembunuhnya. Contoh lain, pengakuan nabi pada Khalid ibn Walid atas
perbuatannya memakan hewan dhab (biawak arab). Keduanya diriwayatkan muttafaq
alaih.
Perbuatan
yang dilakukan semasa nabi saw hidup di selain majlis nabi dan nabi
mengetahui serta tidak mengingkarinya, maka hukumnya seperti perbuatan yang
dilakukan di majlis beliau. Seperti mengetahuinya nabi saw tentang sumpah Abu
Bakar ra untuk tidak memakan makanan saat dalam keadaan emosi, dan kemudian
Abu Bakar (kembali) makan setelah menyadari bahwa makan lebih baik baginya.
Sebagaimana keterangan yang dikutip dari HR. Muslim dalam bab Ath’imah.
|
Penjelasan :
Iqrar secara bahasa adalah mengakui. Secara istilah iqrar atau taqrir adalah
Nabi saw diam (tidak mengingkari) atas sebuah perkataan atau perbuatan. Menurut
sebagian pendapat, iqrar juga
mencakup perbuatan yang dilakukan di depan atau di masa hidup Nabi saw dan
Beliau mengetahuinya. Karena hal ini diposisikan sama dengan perbuatan Nabi
saw.
Pertanyaan :
Apa syarat iqrar atau taqrir bisa menjadi hujjah?
Jawab :
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut;
1.
Nabi saw mengetahui. Jika Nabi saw tidak
mengetahuinya, maka tidak dapat menjadi hujjah.
2.
Kondisi Nabi saw mampu mengingkarinya.
3.
Orang yang diakui ucapan atau perbuatannya termasuk
mereka yang tunduk dan taat syariat. Jika orang tersebut kafir atau munafiq
maka iqrar tidak menunjukkan bolehnya
perbuatan yang dilakukan.
Referensi :
فَإِنَّمَا يَكُونُ
التَّقْرِيرُ حُجَّةً بِشُرُوطٍ أَحَدُهَا أَنْ يَعْلَمَ بِهِ فَإِنْ لم يَعْلَمْ
بِهِ لَا يَكُونُ حُجَّةً....الشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ قَادِرًا على
الْإِنْكَارِ كَذَا قال ابن الْحَاجِبِ وَغَيْرُهُ....الشَّرْطُ الثَّالِثُ كَوْنُ
الْمُقَرِّ على الْفِعْلِ مُنْقَادًا لِلشَّرْعِ سَامِعًا مُطِيعًا فَالْمُمْتَنِعُ
كَالْكَافِرِ لَا يَكُونُ التَّقْرِيرُ في حَقِّهِ دَالًّا على الْإِبَاحَةِ
وَأَلْحَقَ بِهِ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ الْمُنَافِقَ اهـ (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ
الجُزْءُ الثاَّلِثُ صـ 271-273)
“Sesungguhnya
taqrir dapat dijadikan hujjah dengan beberapa syarat. Pertama, Nabi saw
mengetahui. Jika Nabi saw tidak mengetahuinya, maka tidak dapat menjadi
hujjah…..Kedua, Nabi saw mampu mengingkarinya….. Ketiga, orang yang diakui
ucapan atau perbuatannya termasuk mereka yang tunduk, mendengar dan taat
syariat. Jika orang tersebut pembangkang, seperti orang kafir, maka iqrar
baginya tidak menunjukkan bolehnya perbuatan yang dilakukan. Imam Haramain
menyamakan orang munafiq dengan kafir”.
Pertanyaan :
Apakah ada perbuatan yang dilakukan di jaman Nabi saw yang tidak bisa
dijadikan hujjah?
Jawab :
Ada, yakni perbuatan yang bersifat privasi per individu (lumrahnya tidak
diketahui umum), contoh hubungan intim. Atau yang tidak jelas sampai tidaknya
kabar pada nabi [2][51].
Referensi :
وَخَرَجَ مِنْ هَذَا مَا
فُعِلَ في عَصْرِهِ مِمَّا لم يَطَّلِعْ عليه غَالِبًا كَقَوْلِهِمْ كنا نُجَامِعُ
وَنَكْسَلُ وما فُعِلَ في عَهْدِهِ عليه السَّلَامُ ولم يُعْلَمْ انْتِشَارُهُ
انْتِشَارًا يَبْلُغُ النبي عليه السَّلَامُ اهـ(اَلبَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ
الثاَّلِثُ صـ 273)
“Mengecualikan
(dari perbuatan dimasa Nabi yang diketahui) perbuatan yang dilakukan di masa
Nabi saw yang berupa hal-hal yang umumnya tidak terlihat, seperti ucapa
shahabat “kami bersetubuh dan mengalami kendur”. Serta perbuatan yang dilakukan
di masa Nabi saw dan tidak diketahui tersebarnya kabar hingga sampai pada Nabi
saw”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar