Rabu, 20 Juli 2016

AL-AF’AL (BEBERAPA PERBUATAN)

AL-AF’AL (BEBERAPA PERBUATAN)

(فِعْلُ صَاحِبِ الشَّرِيْعَةِ) يَعْنِى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَايَخْلُوْ اِمَّا اَنْ يَكُوْنَ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ وَالطَّاعَةِ أَوْ لَا  يَكُوْنُ)

Perbuatan dari pemilik (penyampai) syariat, yakni Nabi Muhammad saw tidak lepas adakalanya dilakukan sebagai pendekatan diri dan ketaatan, atau tanpa ada unsur semacam ini.

(فَاِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ وَالطَّاعَةِ فَاِنْ دَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى الإِخْتِصَاصِ بِهِ يُحْمَلُ عَلىَ الإِخْتِصَاصِ) كَزِيَادَتِهِ فِى النِّكَاحِ عَلَى أَرْبَعَةِ نِسْوَةٍ (وَاِنْ لَمْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ لاَ يَخْتَصُّ بِهِ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فَيُحْمَلُ عَلَى الْوُجُوْبِ عِنْدَ بَعْضِ أَصْحَابِنَا) فِى حَقِّهِ وَحَقِّنَا لِأَنَّهُ اْلأَحْوَطُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ يُحْمَلُ عَلىَ النَّدْبِ لِأَنَّهُ الْمُحَقَّقِ بَعْدَ الطَّلَبِ (وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ يُتَوَقَّفُ فِيْهِ) لِتَعَارُضِ الْأَدِلَّةِ فِى ذَلِكَ
(فَاِنْ كَانَ عَلَى وَجْهِ غَيْرِ وَجْهِ اْلقُرْبَةِ وَالطَّاعَةِ فَيُحْمَلُ عَلَى اْلإِبَاحَةِ) كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فِى حَقِّهِ وَحَقَّنَا

Jika perbuatan tersebut sebagai pendekatan diri dan ketaatan, manakala ditemukan dalil yang mengkhususkan bagi Nabi, maka diarahkan khusus bagi Nabi. Seperti Nabi saw menikahi lebih dari empat istri. Dan apabila dalil tersebut tidak ada, maka perbuatan tersebut tidak dikhususkan bagi Nabi. Sebab Allah swt telah berfirman, QS. Al-Ahzab : 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. Kemudian perbuatan tersebut diarahkan pada wajib menurut sebagian Ashhab Syafi’iyyah, baik bagi Nabi maupun bagi kita, karena hal ini lebih berhati-hati. Sebagian Ashhab ada yang menyatakan, diarahkan pada sunnah, karena hal ini lebih diyakini setelah adanya tuntutan. Sebagian Ashhab yang lain menyatakan ditangguhkan, karena dalil-dalil yang menjelaskan wajib dan sunnah saling bertentangan.
Apabila perbuatan tersebut memiliki unsur selain sebagai pendekatan diri dan ketaatan, maka diarahkan pada mubah (boleh dilakukan), seperti makan dan minum, baik bagi nabi maupun bagi kita.

Penjelasan :
Perbuatan dari Nabi Muhammad saw ada dua jenis;
A.      Memiliki unsur pendekatan diri dan ketaatan, diperinci;
1.    Ada dalil yang mengkhususkan bagi nabi, maka diarahkan khusus bagi nabi. Seperti nabi yang memiliki lebih dari empat istri dalam pernikahan.
2.    Tidak ada dalil (yang mengkhususkan bagi nabi), maka tidak dikhususkan bagi nabi. Dan diarahkan pada wajib menurut sebagian Ashhab Syafi’iyyah, bagi Nabi dan bagi kita. Sebagian Ashhab menyatakan, diarahkan pada sunnah. Ashhab yang lain menyatakan ditangguhkan.
B.       Memiliki unsur selain pendekatan diri dan ketaatan, maka diarahkan pada mubah (boleh dilakukan), seperti makan dan minum, bagi Nabi maupun bagi kita.

Secara lebih terperinci perbuatan Nabi saw dibagi delapan macam:
1.     Jibiliyyah, yakni perbuatan yang dihasilkan dari perwatakan asli manusia, berupa duduk, berdiri, tidur, makan, minum, bergerak dan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan ibadah. Menurut jumhur menunjukkan ibahah (boleh).
2.     Jibiliyyah disertai sifat tertentu, seperti contoh muwadhabah (secara rutin) Nabi saw minum sebanyak tiga kali, makan di atas tanah, tidur bertumpu lambung sebelah kanan dan lain-lain yang tidak secara jelas ada perintah atau larangan. Maka sifat muwadhabah menunjukkan perbuatan tersebut adalah sunnah.
3.     Perbuatan berkutat antara jibiliyyah dan syar’i, contoh Nabi saw berangkat untuk melakukan shalat Ied lewat satu jalan dan pulang lewat jalan yang lain. Menurut ahli fiqh madzhab Syafi’iyyah diunggulkan sisi sunnah dari pada ibahah (boleh).
4.     Perbuatan khusus bagi Nabi saw. Baik wajib atau mubah semuanya hanya terkhusus bagi Nabi dan tidak boleh diikuti umatnya.
5.     Perbuatan sebagai penjelas (bayan) hukum. Ini menjadi dalil bagi umat dan wajib diikuti. Hukum yang dihasilkan sesuai dengan dalil mujmal yang diperjelas. Jika hukum dalam mujmal wajib, maka perbuatan Nabi saw yang menjadi penjelas juga dihukumi wajib.
6.     Perbuatan yang tidak mengandung unsur jibilliyah, khusus Nabi dan bayan di atas. Dalam hal ini terbagi dua:
a.    Diketahui arah hukumnya, baik berbentuk ibadah atau yang lain. Dalam hal ini umat sama dengan Nabi saw. Jika wajib bagi Nabi saw, maka wajib juga bagi umat.
b.    Tidak diketahui arah hukumnya. Apabila ada tujuan pendekatan diri (qurbah), maka menurut pendapat Ashah menunjukkan sunnah. Apabila tidak ada tujuan qurbah, maka menurut pendapat Ashah menunjukkan wajib bagi Nabi saw dan bagi umat.
7.     Sesuatu yang ingin dilakukan, tapi tidak dilakukan Nabi saw. Seperti contoh sabda Nabi yang menjelaskan Beliau akan membakar rumah-rumah mereka yang enggan melaksanakan shalat berjamaah. Hal ini tidak bisa disebut perintah atau perbuatan Nabi saw, dan hanya sekedar hamm (keinginan). Dan umat tidak diperintahkan mengikuti, dengan membakar rumah dan juga tidak diperintah ingin membakar rumah, karena Nabi saw tidak melakukan apa yang awalnya ingin dilakukan [1][50].

Pertanyaan :
Apa perbedaan qurbah (pendekatan diri), tha’ah (taat) dan ibadah?
Jawab :
Menurut sebagian ulama, tha’ah adalah mentaati perintah dan larangan. Qurbah adalah sesuatu yang digunakan mendekatkan diri dengan syarat mengetahui dzat yang hendak didekati. Dan ibadah adalah sesuatu yang digunakan untuk menyembah dengan syarat niat dan mengetahui dzat yang disembah.
Referensi :
قَالَ بَعْضُهُمْ اَلطَّاعَةُ غَيْرُ القُرْبَهِ وَالعِبَادَةِ لِأَنَّ الطَّّاعَةَ اِمْتِثَالُ الاَمْرِ وَالنَّهْيِ وَالقُرْبَةُ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ بِشَرْطِ مَعْرِفَةِ المُتَقَرَّبِ إِلَيْهِ وَالعِبَادَةُ مَا يُتَعَبَّدُ بِهِ بِشَرْطِ النِّيَّةِ وَمَعْرِفَةِ المَعْبُوْدِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ93)
“Sebagian ulama mengatakan, tha’ah berbeda dengan qurbah dan ibadah. Karena tha’ah adalah mentaati perintah dan larangan. Qurbah adalah sesuatu yang digunakan mendekatkan diri dengan syarat mengetahui dzat yang hendak didekati. Dan ibadah adalah sesuatu yang digunakan untuk menyembah dengan syarat niat dan mengetahui dzat yang disembah”.
(وَإِقْرَارُ صَاحِبِ الشَّرِيْعَةِ عَلَى الْقَوْلِ) مِنْ أَحَدٍ (هُوَ قَوْلُ صَاحِبِ الشَّرِيْعَةِ) أَىْ كَقَوْلِهِ (وَإِقْرَارُهُ عَلَى الْفِعْلِ) مِنْ أَحَدٍ (كَفِعْلِهِ) لِأَنَّهُ مَعْصُوْمٌ عَنْ اَنْ يُقِرَّ أَحَدًا عَلَى مُنْكَرٍ مِثَالُ ذَلِكَ إِقْرَارُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا بَكْرٍ عَلَى قَوْلِهِ بِإِعْطَاءِ سَلْبِ الْقَتِيْلِ لِقَاتِلِهِ وَإِقْرَارُهُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ عَلَى أَكْلِ الضَّبِّ مُتَفَقٌّ عَلَيْهِماَ
(وَمَا فُعِلَ فِى وَقْتِهِ) صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (فِى غَيْرِ مَجْلِسِهِ وَعَلِمَ بِهِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَا فُعِلَ فِى مَجْلِسِهِ) كَعِلْمِهِ بِحَلْفِ أَبِى بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ لاَ يَأْكُلُ الطَّعَامَ فِى وَقْتِ غَيْظِهِ ثُمَّ أَكَلَ لَمَّا رَأَى الْأَكْلَ خَيْرًا لَهُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ حَدِيْثِ مُسْلِمٍ فِى اْلأَطْعِمَةِ

Iqrar (pengakuan) pemilik syariah atas ucapan dari seseorang, statusnya adalah sebagaimana ucapan pemilik syariah. Artinya menyamai ucapan pemilik syariat. Sedangkan iqrar pemilik syariah atas perbuatan seseorang, statusnya adalah sebagaimana perbuatan  pemilik syariah. Karena beliau terjaga dari memberi pengakuan pada seseorang atas kemunkaran. Contoh dari iqrar-iqrar di atas adalah pengakuan nabi saw pada Abu Bakar atas pernyataannya memberikan harta salb (harta hasil lucutan) dari musuh yang terbunuh, kepada pembunuhnya. Contoh lain, pengakuan nabi pada Khalid ibn Walid atas perbuatannya memakan hewan dhab (biawak arab). Keduanya diriwayatkan muttafaq alaih.
Perbuatan yang dilakukan semasa nabi saw hidup di selain majlis nabi dan nabi mengetahui serta tidak mengingkarinya, maka hukumnya seperti perbuatan yang dilakukan di majlis beliau. Seperti mengetahuinya nabi saw tentang sumpah Abu Bakar ra untuk tidak memakan makanan saat dalam keadaan emosi, dan kemudian Abu Bakar (kembali) makan setelah menyadari bahwa makan lebih baik baginya. Sebagaimana keterangan yang dikutip dari HR. Muslim dalam bab Ath’imah.

Penjelasan :
Iqrar secara bahasa adalah mengakui. Secara istilah iqrar atau taqrir adalah Nabi saw diam (tidak mengingkari) atas sebuah perkataan atau perbuatan. Menurut sebagian pendapat, iqrar juga mencakup perbuatan yang dilakukan di depan atau di masa hidup Nabi saw dan Beliau mengetahuinya. Karena hal ini diposisikan sama dengan perbuatan Nabi saw.

Pertanyaan :
Apa syarat iqrar atau taqrir bisa menjadi hujjah?
Jawab :
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut;
1.      Nabi saw mengetahui. Jika Nabi saw tidak mengetahuinya, maka tidak dapat menjadi hujjah.
2.      Kondisi Nabi saw mampu mengingkarinya.
3.      Orang yang diakui ucapan atau perbuatannya termasuk mereka yang tunduk dan taat syariat. Jika orang tersebut kafir atau munafiq maka iqrar tidak menunjukkan bolehnya perbuatan yang dilakukan.
Referensi :
فَإِنَّمَا يَكُونُ التَّقْرِيرُ حُجَّةً بِشُرُوطٍ أَحَدُهَا أَنْ يَعْلَمَ بِهِ فَإِنْ لم يَعْلَمْ بِهِ لَا يَكُونُ حُجَّةً....الشَّرْطُ الثَّانِي أَنْ يَكُونَ قَادِرًا على الْإِنْكَارِ كَذَا قال ابن الْحَاجِبِ وَغَيْرُهُ....الشَّرْطُ الثَّالِثُ كَوْنُ الْمُقَرِّ على الْفِعْلِ مُنْقَادًا لِلشَّرْعِ سَامِعًا مُطِيعًا فَالْمُمْتَنِعُ كَالْكَافِرِ لَا يَكُونُ التَّقْرِيرُ في حَقِّهِ دَالًّا على الْإِبَاحَةِ وَأَلْحَقَ بِهِ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ الْمُنَافِقَ اهـ (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الثاَّلِثُ صـ 271-273)
“Sesungguhnya taqrir dapat dijadikan hujjah dengan beberapa syarat. Pertama, Nabi saw mengetahui. Jika Nabi saw tidak mengetahuinya, maka tidak dapat menjadi hujjah…..Kedua, Nabi saw mampu mengingkarinya….. Ketiga, orang yang diakui ucapan atau perbuatannya termasuk mereka yang tunduk, mendengar dan taat syariat. Jika orang tersebut pembangkang, seperti orang kafir, maka iqrar baginya tidak menunjukkan bolehnya perbuatan yang dilakukan. Imam Haramain menyamakan orang munafiq dengan kafir”.

Pertanyaan :
Apakah ada perbuatan yang dilakukan di jaman Nabi saw yang tidak bisa dijadikan hujjah?
Jawab :
Ada, yakni perbuatan yang bersifat privasi per individu (lumrahnya tidak diketahui umum), contoh hubungan intim. Atau yang tidak jelas sampai tidaknya kabar pada nabi [2][51].
Referensi :
وَخَرَجَ مِنْ هَذَا مَا فُعِلَ في عَصْرِهِ مِمَّا لم يَطَّلِعْ عليه غَالِبًا كَقَوْلِهِمْ كنا نُجَامِعُ وَنَكْسَلُ وما فُعِلَ في عَهْدِهِ عليه السَّلَامُ ولم يُعْلَمْ انْتِشَارُهُ انْتِشَارًا يَبْلُغُ النبي عليه السَّلَامُ اهـ(اَلبَحْرُ المُحِيْطُ الجُزْءُ الثاَّلِثُ صـ 273)
“Mengecualikan (dari perbuatan dimasa Nabi yang diketahui) perbuatan yang dilakukan di masa Nabi saw yang berupa hal-hal yang umumnya tidak terlihat, seperti ucapa shahabat “kami bersetubuh dan mengalami kendur”. Serta perbuatan yang dilakukan di masa Nabi saw dan tidak diketahui tersebarnya kabar hingga sampai pada Nabi saw”.







Tidak ada komentar:

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...