Jumat, 21 Oktober 2016

AKHBAR



AKHBAR

(وَاَمَّا الْأَخْبَارُ فَالْخَبَرُ مَا يَدْخُلُهُ الصِّدْقُ وَالْكَذِبُ) لِاحْتِمَالِهِ لَهُمَا مِنْ حَيْثُ أَنَّهُ خَبَرٌ كَقَوْلِكَ قَامَ زَيْدٌ يَحْتَمِلُ اَنْ يَكُوْنَ صِدْقًا وَاَنْ يَكُوْنَ كِذْبًا وَقَدْ يُقْطَعُ بِصِدْقِهِ أَوْكِذْبِهِ لِاَمْرٍ خَارِجِيٍّ لَا لِذَاتِهِ فَالْأَوَّلُ كَخَبَرِ اللهِ وَالثَّانِى كَقَوْلِكَ الضِّدَّانِ يَجْتَمِعَانِ

Khabar adalah perkataan yang berpeluang dimasuki penilaian benar dan bohong. Karena perkataan tersebut memungkinkan dinilai benar dan bohong dipandang dari hal itu sebagai khabar. Seperti ucapanmu, ‘قَامَ زَيْدٌ’ (Zaid berdiri), maka mungkin hal itu benar dan mungkin juga bohong. Dan terkadang dapat dipastikan benarnya atau bohongnya berdasarkan amrin khariji (faktor eksternal) bukan karena dzatiahnya. Yang pertama (pasti benar) adalah seperti khabar Allah swt dan yang kedua (pasti bohong) adalah seperti ucapanmu, “dua hal yang bertolak belakang berkumpul menjadi satu”.

Penjelasan :
Kalam orang Arab terbagi dua, khabar dan insya’. Insya’ adalah kalam yang menunjukkan pada amr, nahi, su’al, du’a’, istifham, nida’, tamanni, tarajji, ‘ardhu, haddhu, dan nafi. Dan didefinisikan dengan kalam yang tidak memiliki kemungkinan benar dan bohong.
Kalam khabar secara lughat berasal dari kata ‘khabâr’ yang artinya tanah yang lunak. Karena khabar mendatangkan faidah, sebagaimana tanah lunak menimbulkan debu saat dilewati. Secara istilah khabar adalah kalam yang memiliki kemungkinan benar dan bohong secara dzatiah (faktor kalam itu sendiri). Mengecualikan khabar Allah swt dan Rasululloh yang dipastikan kebenarannya berdasarkan amrin khariji (faktor eksternal) bahwa Allah swt tidak mungkin berbohong dan bahwa Rasul terjaga dari kebohongan. Dan mengecualikan khabar yang pasti bohong, seperti khabar Musailamah al-Kaddzab. Dipastikan bohong berdasarkan qarinah kharijiah (bukti eksternal) bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Isi dalam kalam khabar adalah nisbat (penyandaran), yakni penyandaran hukum pada sesuatu yang dihukumi. Contoh Zaid berdiri, artinya hukum berdiri disandarkan pada Zaid. Penyandaran inilah yang dinilai benar dan bohong[1][60].

Pertanyaan :
Apa yang disebut shidqu (benar) dan kidzbu (bohong)?
Jawab :
Menurut pendapat yang kuat, definisi benar adalah sesuainya hukum yang dipahami dari lafadz dengan nisbat kharijiyah (penyandaran yang bersifat kenyataan di luar kalam) yang dihasilkan antara dua arah makna dari dua sisi. Sedangkan bohong adalah tidak sesuainya nisbat kalamiyah (penyandaran hukum dalam lafadz) dengan nisbat kharijiyah, dengan gambaran, keduanya berbeda tetapnya atau tidak tetapnya.
Referensi :
(قَوْلُهُ الصِّدْقُ) وَهُوَ عَلىَ المُعْتَمَدِ مُطَابَقَةُ الحُكْمِ اَلمَفْهُوْمِ مِنَ اللَّفْظِ لِلنِّسْبَةِ الخاَرِجِيَّةِ اَلحاَصِلَةِ بَيْنَ مَدْلُوْلَيْ الطَّرَفَيْنِ  (اَلنَّفَحَاتُ صـ126)
“(Ucapan pengarang: benar), menurut pendapat yang kuat adalah sesuainya hukum yang dipahami dari lafadz dengan nisbat kharijiyah yang dihasilkan antara dua arah makna dari dua sisi”
(قَوْلُهُ الكِذْبُ) أَيْ عَدَمُ مُطَابَقَةِ الكَلاَمِيَّةِ لِلْخَارِجِيَّةِ بِأَنْ يَخْتَلِفَا ثُبُوْتاً أَوْ سَلْباً (اَلنَّفَحَاتُ صـ126)
“(Ucapan pengarang: bohong), yakni tidak sesuainya nisbat kalamiyah (penyandaran hukum dalam lafadz) dengan nisbat kharijiyah, dengan gambaran, keduanya berbeda tetapnya atau tidak tetapnya”.
           
Pertanyaan :
Ada berapakah macam nisbat?dan bagaimana pengertiannya?
Jawab :
Ada 3 macam, kalamiyyah, dzihniyyah dan kharijiyyah.
1.      Nisbat kalamiyyah, yaitu yang dipahami dari sebuah kalam berupa ditetapkan atau ditiadakannya hukum pada sesuatu yang dihukumi.
2.      Nisbat dzihniyyah, yaitu yang ada di dalam hati, berbentuk iqa’ atau menemukan terjadinya nisbat, dan intiza’ atau menemukan tidak terjadinya nisbat.
3.      Nisbat kharijiyyah, yaitu yang dihasilkan antara dua sisi dan dibahasakan ulama dengan wuqu’ (terjadi) dan la wuqu’ (tidak terjadi).
Referensi :
وَاعْلَمْ أَنَّ النِّسَبَ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ نِسْبَةٌ كَلاَمِيَّةٌ وَنِسْبَةٌ ذِهْنِيَّةٌ وَنِسْبَةٌ خاَرِجِيَّةٌ. فَالنِّسْبَةُ الكَلاَمِيَّةُ هِيَ المَفْهُوْمَةُ مِنَ الكَلاَمِ مِنْ ثُبُوْتِ المَحْمُوْلِ لِلْمَوْضُوْعِ أَوْ نَفْيِهِ عَنْهُ وَالذِّهْنِيَّةُ النِّسْبَةُ القَائِمَةُ بِالذِّهْنِ المُسَمَّاةُ بِالإِيْقَاعِ وَالاِنْتِزَاعِ وَهُوَ إِدْرَاكُ وُقُوْعِ النِّسْبَةِ وَإِدْرَاكُ عَدَمِ وُقُوْعِهَا وَالخاَرِجِيَّةُ هِيَ النِّسْبَةُ الحاَصِلَةُ بَيْنَ الطَّرَفَيْنِ المُعَبَّرُ عَنْهَا عِنْدَهُمْ بِالوُقُوْعِ وَاللاَّوُقُوْعِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ126)
“Ketahuilah bahwa nisbat ada 3 macam, kalamiyyah, dzihniyyah dan kharijiyyah. Nisbat kalamiyyah, yaitu yang dipahami dari sebuah kalam berupa ditetapkan atau ditiadakannya hukum pada sesuatu yang dihukumi. Nisbat dzihniyyah, yaitu yang ada di dalam hati, berbentuk iqa’ atau menemukan terjadinya nisbat, dan intiza’ atau menemukan tidak terjadinya nisbat. Dan nisbat kharijiyyah, yaitu yang dihasilkan antara dua sisi dan dibahasakan ulama dengan wuqu’ (terjadi) dan la wuqu’ (tidak terjadi)”.
           
(وَالْخَبَرُ يَنْقَسِمُ اِلَى أَحَادٍ وَمُتَوَاتِرٍ فَالْمُتَوَاتِرُ مَا يُوْجِبُ الْعِلْمَ وَهُوَ اَنْ يَرْوِيَهُ جَمَاعَةٌ لاَ يَقَعُ التَّوَاطُؤُ عَلَى الْكِذْبِ عَنْ مِثْلِهِمْ وَهَكَذَا اِلَى اَنْ يَنْتَهِيَ اِلَى الْمُخْبَرِ عَنْهُ فَيَكُوْنُ فِى الْأَصْلِ عَنْ مُشَاهَدَةٍ أَوْ سَمَاعٍ لَا عَنْ اِجْتِهَادٍ) كَالْإِخْبَارِ عَنْ مُشَاهَدَةِ مَكَّةَ أَوْ سَمَاعِ خَبَرِ اللهِ تعالى مِنَ النَّبِيِّ صلَّى الله عليه وسلَّمَ بِخِلاَفِ الْإِخْبَارِ  عَنْ   مُجْتَهَدٍ   فِيْهِ   كَاِخْبَارِ

Khabar terbagi menjadi ahad dan mutawatir. Mutawatir adalah khabar yang menetapkan yakin, yaitu yang diriwayatkan jamaah (banyak orang) yang tidak bersepakat dalam kebohongan dari sesamanya dan seterusnya sampai mukhbar ‘anhu (pembawa khabar pertama). Maka pada asalnya (tingkat pertama) dihasilkan dari musyahadah (menyaksikan langsung) atau sama’ (mendengar langsung), bukan dari ijtihad. Seperti contoh, mengkhabarkan melihat langsung kota Makkah atau mendengar langsung khabar Allah swt dari Nabi saw. Lain halnya dengan mengkhabarkan hasil ijtihad,  seperti  khabar  dari  para  filosof

الْفَلَاسَفَةِ بِقِدَمِ الْعَالَمِ (وَالْأَحَادُ) وَهُوَ مُقَابِلُ الْمُتَوَاتِرِ (وَهُوَ الَّذِى يُوْجِبُ الْعَمَلَ وَلاَ يُوْجِبُ الْعِلْمَ) لِاحْتِمَالِ الْخَطَاءِ فِيْهِ

tentang sifat qidam (dahulu) alam semesta.
Berikutnya khabar ahad, yakni pembanding mutawatir. Adalah khabar yang menetapkan amal (diberlakukan) namun tidak menetapkan yakin, karena adanya kemungkinan salah di dalamnya.

Penjelasan :
Khabar terbagi dua, ahad dan mutawatir. Mutawatir adalah khabar yang diriwayatkan jamaah (banyak orang) dari sesamanya dan seterusnya sampai mukhbar ‘anhu (pembawa khabar). Mutawatir menetapkan yakin dengan beberapa syarat;
1.      Bilangan tawatur (banyak orang) ada di setiap tingkatan perawinya.
2.      Pembawa khabar bersandar pada musyahadah (menyaksikan langsung) atau sama’ (mendengar langsung), bukan dari ijtihad. Seperti contoh, mengkhabarkan melihat langsung kota Makkah atau mendengar langsung khabar Allah swt dari Nabi saw. Lain halnya dengan mengkhabarkan hasil ijtihad, seperti khabar dari para filosof tentang sifat qidam (dahulu) alam semesta.
3.      Para pembawa khabar lebih dari empat orang. Empat orang atau sebawahnya tidak menetapkan yakin.
4.      Penerima khabar tidak memahami madlul (arah makna) dari khabar secara dzarurah (pasti tahu).

Sedangkan khabar ahad adalah khabar yang menetapkan amal (diberlakukan) namun tidak menetapkan yakin, karena adanya kemungkinan salah di dalamnya. Baik berbentuk gharib, ‘aziz, masyhur atau mustafidh. Khabar ahad tidak diamalkan dalam persoalan akidah[2][61].

Pertanyaan :
Apa maksud ‘menetapkan yakin’ dalam keterangan di atas?
Jawab :
Maksudnya secara ‘adiy (kebiasaan) menetapkan keyakinan yang bersifat otomatis (dharuri) tanpa butuh pengantar dan dapat diperoleh mereka yang tidak memiliki kemampuan analisa, seperti anak kecil dan lain-lain.
Referensi :
(قَوْلُهُ مَا يُوْجِبُ العِلْمَ) أَيْ خَبَرٌ شَأْنُهُ أَنْ يُوْجِبَ العِلْمَ الضَّرُوْرِيَّ بِنَفْسِهِ إِيْجَاباً عَادِياً عَلىَ ماَ صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ وَإِنَّمَا كاَنَ ضَرُوْرِياًّ لِأَنَّهُ لاَ يَفْتَقِرُ إِلىَ تَوْسِيْطِ المُقَدِّمَتَيْنِ وَلِأَنَّهُ يَحْصُلُ لِمَنْ لاَ يَتَأَتَّى مِنْهُ النَّظَرُ وَالاِسْتِدْلاَلُ كاَلصِّبيْاَنِ  (اَلنَّفَحَاتُ صـ127)
“(Ucapan pengarang: khabar yang menetapkan yakin), yakni khabar yang secara karakteristik menetapkan keyakinan yang bersifat otomatis (dharuri) dengan dirinya sendiri secara ‘adiy (kebiasaan) menurut pendapat yang dijelaskan golongan ulama muhaqqiqin. Bahwa yakin tersebut bersifat dharuri (otomatis). tanpa butuh ditengahi mukaddimah dan karena dapat didapatkan oleh mereka yang tidak memiliki kemampuan analisa, seperti anak kecil”.
           
(وَيَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ اِلَى مُرْسَلٍ وَمُسْنَدٍ فَالْمُسْنَدُ مَا اتَّصَلَ اِسْنَادُهُ) بِاَنْ صُرِّحَ بِرُوَاتُهُ كُلُّهُمْ
(وَالْمُرْسَلُ مَا لَمْ يَتَّصِلْ اِسْنَادُهُ) بِاَنْ اُسْقِطَ بَعْضُ رُوَاتِهِ (فَاِنْ كَانَ مِنْ مَرَاسِيْلِ غَيْرِ الصَّحاَبَةِ) رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ (فَلَيْسَ بِحُجَّةٍ) لِاحْتِمَالِ اَنْ يَكُوْنَ السَّاقِطُ مَجْرُوْحًا (اِلَّا مَرَاسِيْلَ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ) مِنَ التَّابِعِيْنَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَسْقَطَ الصَّحَابِىَّ وَعَزَّاهَا لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَهِيَ حُجَّةٌ (فَاِنَّهَا فُتِّشَتْ) اَىْ فُتِّشَ عَنْهَا (فَوُجِدَتْ مَسَانِيْدُ)  اَىْ  رَوَاهَا  لَهُ (الصَّحَابِى)

Khabar ahad terbagi menjadi dua bagian, mursal dan musnad. Musnad adalah khabar yang muttasil (bersambung) sanadnya. Dengan cara para perawi menjelaskan sanadnya secara keseluruhan.
Dan mursal adalah khabar yang tidak bersambung sanadnya. Dengan cara sebagian perawinya ditiadakan. Apabila termasuk khabar-khabar mursal selain shahabat ra, maka tidak bisa dijadikan hujjah. Karena ada kemungkinan perawi yang ditiadakan dinilai cacat. Kecuali khabar-khabar mursal Said ibn Musayyab ra dari kalangan Tabi’in. Beliau meniadakan seorang perawi shahabat dan menyandarkan langsung pada Nabi saw. (Khabar beliau ini) dapat dijadikan hujjah, lantaran setelah diteliti, ditemukan khabar-khabar (yang diriwayatkan) ternyata khabar-khabar musnad. Dalam arti, diriwayatkan langsung kepada beliau  oleh

الَّذِى أَسْقَطَهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِى الْغاَلِبِ صِهْرُهُ اَبُو زَوْجَتِهِ اَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عنه. أَمَّا مَرَاسِيْلِ الصَّحَابَةِ بِاَنْ يَرْوِيَ صَحَابِيٌّ عَنِ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يُسْقِطُ الثَّانِى فَحُجَّةٌ لِاَنَّ الصَّحَابَةَ كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ

seorang shahabat dari Nabi saw. Dan shahabat tersebut mayoritas mertuanya sendiri, bapak dari istrinya, Abu Hurairah ra. Sedangkan khabar-khabar mursal shahabat, yaitu seorang shahabat meriwayatkan dari shahabat yang lain dari nabi saw, kemudian shahabat kedua ditiadakan, maka tetap menjadi hujjah, karena para shahabat semuanya dinilai adil.

Penjelasan :
Khabar ahad terbagi menjadi dua, mursal dan musnad. Musnad adalah khabar yang muttasil (bersambung) sanadnya. Dengan cara para perawi menjelaskan sanadnya secara keseluruhan. Dan mursal menurut ushuliyyin adalah khabar yang tidak bersambung sanadnya. Dengan cara sebagian perawinya ditiadakan. Terbagi empat macam;
1.        Khabar mursal shahabat, yaitu seorang shahabat meriwayatkan dari shahabat yang lain dari nabi saw, kemudian shahabat kedua ditiadakan. Ulama sepakat menjadikannya hujjah, karena para shahabat semuanya dinilai adil.
2.        Khabar mursal kurun kedua, yakni kurun tabi’in dan tabi’it tabi’in. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik, Ahmad dalam pendapat masyhur, Abu Hanifah dan pengikutnya dari ahli hadits, fiqh dan ushul, memilih menjadikan hujjah. Sedangkan mayoritas ahli hadits, Imam Syafi’i [3][62], Qadli Al-Baqilani, Imam Muslim, Abdul Barr, Ibnu Sholah menyatakan khabar ini dlaif dan tidak bisa dijadikan hujjah. Pendapat ini adalah pendapat pilihan madzhab.
3.        Khabar mursal orang adil di setiap masa. Sebagian ulama seperti al-Karkhi menerima khabar mursal dari setiap orang adil sebagai hujjah. Sebagian ulama yang lain seperti Ibn Aban, tidak menerima.
4.        Khabar mursal dari satu sisi dan musnad dari sisi yang lain. Yaitu khabar yang dimursalkan seorang ahli hadits kemudian dimusnadkan oleh ahli hadits tersebut atau oleh orang lain. Khabar ini diterima sebagai hujjah oleh mereka yang menjadikan mursal sebagai hujjah. Sedangkan ulama yang tidak menjadikan mursal sebagai hujjah berbeda pendapat. Sebagian menolak, namun mayoritas menerima [4][63].

Pertanyaan :
Apa beda pengertian mursal menurut ahli ushul dan ahli hadits?
Jawab :
Perbedaannya, mursal menurut ahli ushul adalah khabar yang di dalamnya perantara antar perawi dihilangkan, sehingga memasukkan khabar munqathi’, mu’dhal, dan mu’allaq[5][64] versi ahli hadits. Sedangkan menurut ahli hadits, mursal adalah khabar yang di dalamnya seorang perawi shahabat digugurkan. Dengan cara seorang tabi’in menyandarkan langsung pada Nabi saw, baik secara sharih atau kinayah, baik tabi’in biasa, seperti Abi Hatim dan Yahya bin Sa’id atau pembesar tabi’in, yakni yang mayoritas riwayatnya dari shahabat, seperti Ibn al-Musayyab dan Qais ibn Hazim.
Referensi :
(قَوْلُهُ وَيَنْقَسِمُ) أَيْ الآحَادُ إِلىَ قِسْمَيْنِ مُرْسَلٌ وَمُسْنَدٌ وَإِنَّماَ انْحَصَرَ فِيْهِمَا لِأَنَّ الإِرْسَالَ عِنْدَ الأُصُوْلِيِّيْنَ تَرْكُ الوَاسِطَةِ بَيْنَ الرَّاوِيْ عَنْهُ فَيَدْخُلُ حِيْنَئِذٍ المُنْقَطِعُ وَالمُعْضَلُ وَالمُعَلَّقُ عِنْدَ المُحَدِّثِيْنَ....وَأَماَّ عِنْدَ المُحَدِّثِيْنَ فَالمُرْسَلُ مَا سَقَطَ مِنْهُ صَحاَبِيٌّ بِأَنْ رَفَعَهُ تَابِعِيٌّ إِلىَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَرِيْحًا أَوْ كِناَيَةً صَغِيْرًا كَانَ كَأَبِي حَاتِمٍ وَيَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ أَوْ كَبِيْرًا وَهُوَ مَنْ كاَنَ جُلُّ رِوَايَتِهِ عَنِ الصَّحَابَةِ كاَبْنِ المُسَيِّبِ وَقَيْسِ بْنِ حَازِمٍ  (اَلنَّفَحَاتُ صـ130)
“(Ucapan pengarang: terbagi), yakni khabar ahad terbagi menjadi dua, mursal dan musnad. Pengarang meringkas menjadi dua, karena pengertian memursalkan menurut ahli ushul adalah menghilangkan perantara antar perawi, sehingga memasukkan khabar munqathi’, mu’dhal, dan mu’allaq versi ahli hadits…..Sedangkan menurut ahli hadits, mursal adalah khabar yang di dalamnya seorang perawi shahabat digugurkan. Dengan cara seorang tabi’in menyandarkan langsung pada Nabi saw, baik secara sharih atau kinayah, baik tabi’in biasa, seperti Abi Hatim dan Yahya bin Sa’id atau pembesar tabi’in, yakni yang mayoritas riwayatnya dari shahabat, seperti Ibn al-Musayyib dan Qais ibn Hazim”.

Pertanyaan :
Apa maksud bersambung (muttashil) dalam sanad?
Jawab :
Maksudnya adalah bersambung secara dhahir (lahiriyyah), sehingga mencakup khabar munqathi’ khafi (munqathi’ yang samar) seperti khabar ‘an’anah dari seorang muddalis (orang yang mengkaburkan khabar) atau orang yang semasa dan tidak bisa dipastikan pernah bertemu.
Referensi :
وَالمُرَادُ بِالاِتِّصَالِ اَلاِتِّصَالُ ظاَهِرًا فَيَشْمَلُ الاِنْقِطَاعَ الخَفِيَّ كَعَنْعَنَةِ المُدَلِّسِ وَالمُعَاصِرِ الَّذِيْ لَمْ يَثْبُتْ لَقْيُهُ  (اَلنَّفَحَاتُ صـ130-131)
“Maksud ittishal (bersambung) adalah bersambung secara dhahir (lahiriyyah), sehingga mencakup khabar munqathi’ khafi (samar terputusnya) seperti khabar ‘an’anah dari seorang muddalis (pelaku tadlis) atau orang yang semasa dan tidak bisa dipastikan pernah bertemu”.
           
(وَالْعَنْعَنَةُ) بِاَنْ يُقَالَ حَدَّثَنَا فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ اِلَى أَخِرِهِ (فَتَدْخُلُ عَلَى الْإِسْنَادِ) اَىْ عَلَى حُكْمِهِ فَيَكُوْنُ الْحَدِيْثُ الْمَرْوِيُّ بِهَا فِى حُكْمِ الْمُسْنَدِ لاَ فِى حُكْمِ الْمُرْسَلِ لِاتِّصَالِ سَنَدِهِ فِى الظَّاهِرِ

Khabar ‘an’anah, yakni yang diucapkan dengan حَدَّثَنَا فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ الخ (telah meriwayatkan hadits kepadaku, fulan dari fulan dst), maka termasuk musnad, atau sama hukumnya dengan musnad. Sehingga hadits yang diriwayatkan dengan ‘an’anah dihukumi musnad, bukan mursal, karena sanadnya secara lahiriah bersambung.
Penjelasan :
Khabar ‘an’anah atau mu'an'an adalah khabar yang diriwayatkan dengan dengan حَدَّثَنَا فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ الخ (telah meriwayatkan hadits kepadaku, fulan dari fulan dst) tanpa penjelasan telah ada periwayatan khabar atau telah mendengar sebuah khabar.
Eksistensi khabar ini dihukumi musnad, karena sanadnya secara lahiriyah bersambung. Dan bisa dihukumi shahih, hasan,dan dha'if tergantung pada kualitas matan dan sanadnya.

Pertanyaan :
Mengapa khabar mu'an'an oleh pengarang disebutkan khusus di sini, tidak khabar-khabar musnad yang lain? Dan apa syarat khabar mu’an’an dihukumi musnad?
Jawab :
Karena dalam khabar mu’an’an terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum musnadnya. Menurut Jumhur ahli hadits dan selainnya, khabar mu’an’an termasuk muttashil dengan syarat orang yang menyampaikan mu’an’an selamat dari tadlis (mengkaburkan khabar) dan disyaratkan juga dipastikan pernah bertemu dengan orang yang menyampaikan riwayat mu’an’an kepadanya, menurut pendapat yang dipilih Imam Bukhari dan gurunya Ibn al-Madini dan selain keduanya dari ahli hadits. Namun imam Muslim tidak mensyaratkan syarat kedua ini, dan mencukupkan kepastian bahwa kedua orang tersebut dari satu masa, meskipun sama sekali tidak pernah didengar kabar bahwa keduanya berkumpul atau berdialog dengan bertatap muka.
Referensi :
وَإِنَّمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ دُوْنَ بَقِيَّةِ المُسْنَدَاتِ لِأَنَّهُمْ اِخْتَلَفُوْا فيِ حُكْمِ اِسْناَدِ المُعَنْعَنِ فَالَّذِيْ صَحَّحَهُ جُمْهُوْرُ المُحَدِّثِيْنَ وَغَيْرُهُمْ أَنَّهُ مِنَ المُتَّصِلِ بِشَرْطِ سَلاَمَةِ مُعَنْعِنِهِ مِنَ التَّدْلِيْسِ وَيُشْتَرَطُ ثُبُوْتُ مُلاَقاَتِهِ لِمَنْ رَوَاهُ عَنْهُ بِالعَنْعَنَةِ عَلىَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ البُخَارِيُّ وَشَيْخُهُ اِبْنُ المَدِيْنِيْ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَئِمَّةِ الحَدِيْثِ وَمُسْلِمٌ لَمْ يَشْتَرِطْ الثَّانيِ بَلْ اكْتَفَى بِثُبُوْتِ كَوْنِهِمَا فيِ عَصْرٍ وَاحِدٍ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فيِ خَبَرٍ قَطُّ أَنَّهُماَ اِجْتَمَعاَ أَوْ تَشَافَهَا (اَلنَّفَحَاتُ صـ133)
“Pengarang mengingatkan tentang khabar mu’an’an, tidak khabar musnad yang lain, karena dalam khabar mu’an’an terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum musnadnya. Menurut yang dishahihkan Jumhur ahli hadits dan selainnya, khabar mu’an’an termasuk muttashil dengan syarat orang yang menyampaikan mu’an’an selamat dari tadlis (mengkaburkan khabar) dan disyaratkan juga dipastikan pernah bertemu dengan orang yang menyampaikan riwayat mu’an’an kepadanya, menurut pendapat yang dipilih Imam Bukhari dan gurunya Ibn al-Madini dan selain keduanya dari ahli hadits. Namun imam Muslim tidak mensyaratkan syarat kedua ini, dan mencukupkan kepastian bahwa kedua orang tersebut dari satu masa, meskipun sama sekali tidak pernah didengar kabar bahwa keduanya berkumpul atau berdialog langsung”.

(وَاِذَا قَرَأَ الشَّيْخُ) وَغَيْرُهُ يَسْمَعُهُ (يَجُوْزُ لِلرَّاوِى أَنْ يَقُوْلَ حَدَّثَنِى أَوْ أَخْبَرَنِى وَاِنْ قَرَأَ هُوَ عَلىَ الشَّيْخِ فَيَقُوْلُ أَخْبَرَنِى وَلَا يَقُوْلُ حَدَّثَنِى) لِاَنَّهُ لَمْ يُحَدِّثْهُ وَمِنْهُمْ مَنْ اَجَازَ حَدَّثَنِى وَعَلَيْهِ عُرْفُ اَهْلِ الْحَدِيْثِ لِاَنَّ الْقَصْدَ اْلِإعْلَامُ بِالرِّوَايَةِ عَنِ الشَّيْخِ (وَاِنْ أَجَازَه ُالشَّيْخُ مِنْ غَيْرِ قِرَاءَةٍ فَيَقُوْلُ اَجَازَنِى وَأَخْبَرَنِى اِجَازَةً)

Apabila seorang guru membaca dan yang lain mendengarkannya, maka diperbolehkan bagi perawi mengatakan حَدَّثَنِى (telah menyampaikan hadits padaku), atau أَخْبَرَنِى (telah memberi khabar padaku). Apabila orang tersebut membaca di depan guru, maka boleh mengatakan أَخْبَرَنِى tidak boleh mengatakan حَدَّثَنِى, karena guru tersebut tidak menyampaikan hadits padanya. Sebagian ulama memperbolehkan bahasa حَدَّثَنِى. Dan pendapat ini yang terpakai sebagai urf (kebiasaan) ahli hadits, karena tujuannya adalah memberitahukan tentang adanya riwayat dari guru. Apabila guru mengijazahi tanpa membaca, maka dia boleh mengatakan اَجَازَنِى (telah memberi ijazah padaku) atauأَخْبَرَنِى اِجَازَةً  (telah memberi khabar padaku dengan ijazah).

Penjelasan :
Pembahasan ini mengenai lafadz-lafadz riwayat dan tahammul (mengambil khabar dari orang lain). Sandaran penukilan hadits terbagi dua, sandaran shahabat dan selain shahabat.
1.    Sandaran (mustanad) shahabat. Terbagi dua macam;
a.    Yang tidak diperselisihkan. Yakni ketika lafadz yang digunakan tidak mungkin diartikan selain makna yang ditunjukkan. Karena lafadz ini menunjukkan mendengar langsung secara sharih (jelas), tanpa ada perantara.
Bagian ini termasuk derajat tertinggi dalam penukilan khabar. Seperti ucapan seorang shahabat;
§      حَدَّثَنِى رَسُوْلُ الله e “Rasulullah telah menyampaikan hadits padaku”
§      أَخْبَرَنِى رَسُوْلُ الله e   “Rasulullah telah memberi khabar padaku”
§      شَافَهَنِي رَسُوْلُ الله e  “Rasulullah mengatakan langsung kepadaku”
§      سَمِعْتُهُ e يَقُوْلُ  “Aku mendengar Rasulullah berkata”
§      رَأَيْتُهُ e يَفْعَلُ  “Aku melihat Rasulullah melakukan”

b.    Yang diperselisihkan, karena lafadz ini tidak menunjukkan mendengar langsung secara sharih (jelas), dan ada kemungkinan ada perantara antara perawi shahabat dengan Rasulullah. Menurut pendapat shahih, lafadz ini diarahkan pada mendengar langsung dan dijadikan hujjah. Urutan derajat lafadz-lafadz ini adalah sebagai berikut;
§      قاَلَ رَسُوْلُ الله“Rasulullah telah berkata”  e
§       أَمَرَناَ رَسُوْلُ الله e بِكَذَا / نَهىَ عَنْ كَذاَ
 “Rasulullah telah memerintahkan kami / melarang hal demikian”
§      أُمِرْناَ بكذا / نُهَيْناَ عَنْ كَذاَ / أُوْجِبَ كَذاَ / حُرِّمَ كَذاَ / رُخِّصَ فيِ كَذاَ
“Kami diperintah / dilarang / diwajibkan /diharamkan / diringankan hal demikian”
§       مِنَ السُّنَّةِ كَذاَ / جَرَتْ السُّنَّةُ عَلىَ كَذاَ / مَضَتْ السُّنَّةُ بِكَذاَ
“Demikian termasuk sunnah Nabi / sunnah telah memberlakukan demikian / sunnah terdahulu begini”
§      كُنَّا نَفْعَلُ فِي عَهْدِهِ e كَذَا / كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُوْنَ فِي عَهْدِهِ e كَذاَ
“Kami telah melakukan di masa Beliau saw perbuatan demikian / Manusia telah menjalankan begini semasa Nabi saw”

2.    Sandaran selain shahabat. Urutan derajat lafadz-lafadznya adalah sebagai berikut;
a.    Derajat tahammul (mengambil hadits dari guru) paling tinggi, yakni mendengar khabar dari lafadznya guru dengan cara membaca atau didikte (imla’). Apabila guru bertujuan memperdengarkan pada perawi itu sendiri atau bersama orang lain, maka perawi boleh mengatakan; حَدَّثَنِى / حَدَّثَناَ (telah menyampaikan hadits padaku /kami), atau أَخْبَرَنِى / أَخْبَرَناَ (telah memberi khabar padaku /kami). Namun bila guru tidak bertujuan demikian, maka kata-kata di atas tidak diperbolehkan. Dan hanya boleh mengatakan; قاَلَ فُلاَنٌ كَذاَ وَأَناَ أَسْمَعُهُ (Fulan mengatakan begini, dan aku mendengarkannya”), atau حَدَّثَ بِكَذَا (menyampaikan hadits begini), atau سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ كَذاَ (aku mendengarnya mengatakan begini).
b.    Murid (perawi) membaca di depan guru dan guru mendengarkannya. Maka boleh bagi perawi mengatakan حَدَّثَنِى (telah menyampaikan hadits padaku), atau أَخْبَرَنِى (telah memberi khabar padaku), atauسَمِعْتُهُ  (aku mendengarnya). Sebagian pendapat tidak memperbolehkan mengatakan حَدَّثَنِى (telah menyampaikan hadits padaku).
c.    Perawi mendengar bacaan orang lain di depan guru. Maka boleh bagi perawi mengatakan; حَدَّثَناَ قِرَاءَةً عَلَيْهِ (telah menyampaikan hadits pada kami dengan cara membaca di depannya),  atau   أَخْبَرَنا قِرَاءَةً عَلَيْهِ (telah memberi khabar padaku dengan membaca di depannya). Boleh juga tanpa menyebutkan atau قِرَاءَةً عَلَيْهِ (dengan membaca di depannya).
d.   Dengan model ijazah, yakni guru mengatakan pada murid; “Aku ijazahkan padamu untuk meriwayatkan hadits ini / kitab ini / beberapa kitab ini dariku”.
Derajat paling tinggi adalah yang dibarengi dengan munawalah (serah terima) atas ashl sama’ (hadits yang didengarkan), seperti, “Ini adalah hadits yang aku dengar”, atau yang setara, seperti, “Ini adalah riwayatku dari Fulan”, kemudian guru mengatakan; “Aku ijazahkan riwayat hadits ini dariku”.

Ijazah ada beberapa macam.
1)   Ijazah khusus dalam riwayat khusus, contoh “Aku ijazahkan padamu riwayat al-Bukhari”.
2)   Ijazah khusus dalam riwayat umum, contoh “Aku ijazahkan padamu riwayat semua hadits yang aku dengar”.
3)   Ijazah umum dalam riwayat khusus, contoh “Aku ijazahkan pada orang yang berjumpa denganku riwayat Muslim”.
4)   Ijazah umum dalam riwayat umum, contoh “Aku ijazahkan pada orang yang semasa denganku riwayat semua hadits yang aku dengar”.

Saat menyampaikan (ada’), bagi perawi yang menerima ijazah boleh mengatakan اَجَازَنِى (telah memberi ijazah padaku). Atau اِجَازَةً  أَخْبَرَنِى (telah memberi khabar padaku dengan cara ijazah).
e.    Dengan model munawalah (serah terima) tanpa ijazah, yakni seorang guru menyerahkan lembaran pada muridnya dengan mengatakan, “Ini adalah hadits yang aku dengar”, namun tidak memperbolehkan muridnya untuk meriwayatkan. Sehingga menurut pendapat shahih tidak boleh diriwayatkan.
f.     Dengan model wasiat, seperti guru memberi wasiat sebuah kitab atau semua kitab pada seorang murid atau beberapa muridnya saat bepergian atau akan meninggal dunia.
g.    Dengan model penemuan, seperti murid menemukan kitab atau hadits yang menggunakan khath (tulisan) guru terkenal. Maka boleh meriwayatkan jika yakin dengan tulisan tersebut [6][65].

Pertanyaan :
Apa perbedaan حَدَّثَناَ dan أَخْبَرَناَ ?
Jawab :
Lafadz حَدَّثَناَ menunjukkan bahwa yang terjadi adalah guru membaca dan orang lain mendengarkan. Sedangkan أَخْبَرَناَ menunjukkan hal yang lebih umum.
Referensi :
وَذَلِكَ لِأَنَّ التَّحْدِيْثَ فيِ عُرْفِهِمْ عِباَرَةٌ عَنْ قِرَاءَةِ الشَّيخِ وَغَيْرُهُ يَسْمَعُ بِخِلاَفِ الإِخْباَرِ فَهُوَ أَعَمُّ مِنْهُ مُطْلَقاً  (اَلنَّفَحَاتُ صـ135)
“Perbedaan itu adalah karena tahdits (akar kata حَدَّثَناَ) dalam tradisi ahli hadits merupakan bahasa untuk menunjukkan guru membaca dan orang lain mendengarkan. Berbeda dengan ikhbar (akar kata أَخْبَرَناَ), maka lebih umum dari tahdits secara mutlak”.
           










Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...