Selasa, 29 Oktober 2019

RIBUAN KITAB SALAFUS SHOLIH MENGALAMI PEMBAJAKAN

*WASPADALAH :*

*RIBUAN KITAB SALAFUS SHOLIH MENGALAMI PEMBAJAKAN*

Daftar Kitab Salaf Yang Dirubah Wahabi/Salafi Kaum Wahabi yang menyebut dirinya Salafi menghalalkan segala cara untuk mempromosikan ajaran mereka termasuk dengan cara menghapus bagian dari kitab para ulama salaf yang mengkritik mereka atau menyalahkan doktrin Wahabi.

Berikut daftar kitab yang dirubah, dihapus, disunting dan dipalsukan oleh kaum Wahabi:

1. Dalam kitab ad-Durar asSaniyyah, jilid 1, hal 228, diperintahkan untuk memusnahkan atau menghilangkan, sebagian isi Kitab-Kitab karya Ulama, jika tidak sesuai dengan aqidah Wahabi.

2. Kitab Riyadhus Sholihin, karya Imam Nawawi, memuat judul Doa Pasal Ziarah Kubur Nabi, dirubah menjadi Pasal Ziarah Masjid Nabi, karena Wahabi Anti Ziarah Kubur.

3. Perkataan Imam AsSubki, yang dinukilkan Imam Abul ‘Izz, dalam Syarah Aqidah Thohawiyah, dari kitab Mu’id An-Ni’am, hal 62, dirubah habis-habisan. Yang semula disebut Asy’ari sebagai isi Aqidah Thohawiyah, dihilangkan sama sekali. Yang semula disebut sebagian Hanbali ikut tajsim dihilangkan juga.

4. Kitab Aqidah AsSalaf Ashhabul Hadis, karya Syeikh Islam Abu Usman Ismail Ash-Shobuni, hal 6, aslinya tertulis Ziarah Kubur Nabi tapi diubah jadi Ziarah Masjid Nabi.

5. Kitab Hasyiyah AsSowi ‘ala Tafsir al-Jalalain, karya Syeikh Ahmad bin Muhammad asSowi al-Maliki, hal 78, aslinya tertulis, bahwa wahabi adalah Jelmaan Khawarij, yang telah merusak penafsiran al-Qur’an dan asSunnah, dan suka membunuh kaum muslimin, tapi dihapus semuanya.

6. Kitab Tafsir al-Kasysyaf, karya Imam az-Zamakhsyari, dalam tafsir Surat al-Qiyaamah, ayat 22-23, penafsiran si pengarang yang Mu’tazilah, diubah habis jadi penafsiran Wahabi.

7. Kitab al-Ibanah, karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari, yang terang-terangan menolak TAJSIM dan TASYBIH, dirubah habis-habisan menjadi mendukung TAJSIM dan TASYBIH.

8. Kitab al-Fawaid al-Muntakhobat, karya Ibnu Jami az-Zubairi, di hal 207 menyatakan, bahwa Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah THOGHUT BESAR, tapi dihapus sama sekali.

9. Semua cetakan kitab Diwan Imam Asy-Syafi’, di hal 47, ada bait berbunyi FAQIIHAN WA SHUFIYYAN FAKUN LAISA WAHIDAN, artinya Jadilah Ahli Fiqih dan Shufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Tapi dalam cetakan WAHABI, termasuk versi elektronik (e-book) dengan alamat http://www.almeshkat.net, bait tersebut dibuang karena Wahabi MUSUH SHUFI.

10. Kitab Shahih Bukhari dipalsukan juga. Imam Ibnu Hajar al-Asqolani, dalam Fathul Bari, menjelaskan adanya Pasal al-Ma’rifah, dan Bab al-Mazholim dalam Shahih Bukhari, tapi dalam Shahih Bukhari, cetakan Wahabi saat ini, Pasal dan Bab itu hilang.

11. Kitab Shahih Muslim dipalsukan juga. Hadits Fadhoil Maryam, Asiyah, Khadijah dan Fathimah, dihapus dari Shahih Muslim yang dicetak, padahal Mustadrok al-Hakim mencatat itu. Lucunya, Shahih Muslim, cetakan Masykul, jilid 7 hal 133, ada Bab Fadhoil Khadijah, tapi isinya tentang Fadhoil Maryam, Asiyah dan Aisyah.

12. Wahabi mengaku cinta Imam Ahmad, tapi Kitab Musnad Imam Ahmad diperkosa juga. Dalam Musnad Imam Ahmad, aslinya ada Hadits tentang Rasulullah mempersaudarakan Muhajirin dan Anshor, serta mempersaudarakan dirinya dengan Ali. Tapi kini oleh Wahabi, Hadis tersebut dibuang, tidak ada dalam Musnad cetakan mereka.

13. Kitab ash-Showa’iq al-Muhriqoh, karya Ibnu Hajar al-Haitami, tidak luput dari kejahatan Wahabi. Sejumlah Hadis tentang Ali dan Ahlul Bait Nabi, dipalsukan dengan dihapus sebagian dan diubah.

14. Dalam kitab Hasyiah Ibnu ‘Abidin, yang bermadzhab Hanafi, ada PASAL KHUSUS tentang Wali, Abdal dan orang-orang Sholeh, serta Karomah. Tapi kini oleh Wahabi, satu pasal full DIMUSNAHKAN.

15. Ucapan Syeikh as-Sakhawi tentang Imam al-A’la al-Bukhari yang menyatakan bahwa Sang Imam SANGAT TAKUT dekat dengan Penguasa, dirubah jadi SANGAT DEKAT dengan Penguasa.

16. Kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, jilid ke-10, tentang ILMU SULUK dan TASHAWWUF, pernah cukup lama tidak diterbitkan oleh Wahabi. Baru setelah diprotes banyak pihak, akhirnya disisipin lagi jilid tersebut.

17. Kitab Nihayatul Qoul al-Mufid, karya Syeikh Muhammad Makki Nashr al-Juraisi, yang menulis bahwa dirinya Madzhab Syafi’i dengan THORIQOH SYADZALI, tapi dibuang Thoriqohnya.

18. Dalam kitab al-Mughni, karya Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali, ada BAB ISTIGHOTSAH, tapi dalam cetakan ulang Wahabi, dibuang sama sekali.

19. Kitab Tarikh al-Ya’qubi, jilid 2 hal 37, aslinya menyebut “Nash” buat Ali di Ghadir Khum. Tapi dalam cetakan Wahabi, kata Nash dan Ghadir Khum dilenyapkan.

20. As-Syeikh al-Muhaddits Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari, dalam kitabnya, al-Burhan al-Jaliy, mencatat PEMALSUAN WAHABI terhadap Kitab Ahwal al-Qubur, karya Ibnu Rajab al-Hanbali, dan Kitab Tafsir al-Bahr al-Muhith, karya Abu Hayyan, serta sebuah kitab lainnya yang berjudul Iqtidho Ash-Shiroth Al-Mustaqim.

TAHKIM PERCERAIAN

TENTANG TAHKIM PERCERAIAN

Tanggal 22 Desember 2018

Kronologis Masalah :
Di daerah kami ada seorang wanita pernah merantau ke Malaysia, disana dia menikah dengan orang Padang tanpa daftar ke KUA, selang dua tahun mereka berdua pulang kampung. Dua bulan dikampung, suaminya pergi lagi ke Batam dan sampai sekarang sudah empat tahun lamanya dia tidak ada kabar dan tidak pernah menafkahi sehingga wanita itu ingin gugat cerai, karena ada laki-laki lain yang menaksirnya. Namun untuk mengajukan kepengadilan, dia tidak bisa karena pernikahannya cacat hukum.

Pertanyaan :
1.  Bolehkah tahkim untuk gugat cerai dalam kondisi seperti ini?

Jawaban :
1.  Boleh tahkim orang yang ahli fiqih selain mujtahid atau orang ‘adil jika tidak ada qodli/hakim atau ada qodli/hakim tapi masih memberikan ongkos walaupun sedikit.

Referensi jawaban no. 1 :
المجموع شرح المهذب (ج١٨ ص ٢٧٢)
وفيه وجه آخر حكاه المسعودي أنه يثبت لها الفسخ، لان الضرر يلحقها بمنعه النفقة فهو كالمعسر، وليس بشئ لان العسرة عيب وإن غاب عنها الزوج وانقطع خبره ولا مال له ينفق عليها منه فهل يثبت لها الفسخ؟ فيه وجهان: (أحدهما) يثبت كتعذرها بالاعسار (والثانى) وهو قول الشيخ أبى حامد أنه لا يثبت لها الفسخ، لان الفسخ إنما يثبت بالاعسار بالنفقة ولم يثبت إعساره.

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي - (ص 207)
(مسألة: ب ش): الحال في مسألة التحكيم أن تحكيم المجتهد في غير نحو عقوبة لله تعالى جائز مطلقاً، أي ولو مع وجود القاضي المجتهد، كتحكيم الفقيه غير المجتهد مع فقد القاضي المجتهد، وتحكيم العدل مع فقد القاضي أصلاً أو طلبه مالاً وإن قل، لا مع وجوده ولو غير أهل بمسافة العدوى، وكذا فوقها إن شملت ولايته بلد المرأة، بناء على وجوب إحضار الخصم من ذلك الذي رجح الإمام الغزالي والمنهاج وأصله عدمه

إعانة الطالبين - (ج 3 / ص 343)
(قوله: وعدالة) هي تتحقق باجتناب كل كبيرة وإصرار على صغيرة على غلبة طاعاته على معاصيه. ولم يذكر المروءة مع أنه عدها في باب الشهادة ويمكن أن يقال إن العدالة تستلزمها بناء على أن العدالة في العرف ملكة تمنع من اقتراف الذنوب الكبائر وصغائر الخسة، كسرقة لقمة والتنظيف بثمرة، أي نقصها من البائع وزياداتها من المشتري، والرذائل المباحة كالمشي حافيا أو مكشوف الرأس وأكل غير سوقي في سوق.

IMAM LUPA MENGERJAKAN ROKAAT

TENTANG IMAM LUPA MENGERJAKAN ROKAAT

Tanggal 20 Desember 2018

Kronologis Masalah :
Sholat imam saat rokaat terakhir, dia ragu tentang jumlah rokaat sholatnya, misal sholat isya', dia ragu apakah sudah rokaat keempat ataukah masih dirokaat ketiga, namun si imam dengan ragunya dia menganggap kalau itu sudah rokaat keempat atau terakhir dengan harapan agar makmumnya yang hanya berjumlah dua orang nanti menegurnya kalau memang si imam salah dalam anggapannya itu, maka iapun melakukan tahyat akhir juga dalam keadaan ragu dan juga sambil menunggu teguran dari makmunya yang hanya berjumlah dua orang saja, akan tetapi tiada teguran sama sekali dari makmum, maka si imampun melanjutkan tahyatnya juga dalam keaadan ragu dan dia pun melakukan salam, tapi setelah sholat selesai si imam bertanya kepada makmum tentang rokaat sholat mereka dan makmum menjawab kalau rokaatnya sempurna.

Pertanyaan :
1.  Apakah sholat imam itu sah atau tidak?

Jawaban :
1.  Tidak sah, karena ketika imam dalam keadaan ragu melakukan rokaat ketiga/keempat, semestinya ia menambah satu rokaat lagi. Sedangkan anggapan akan ada teguran atau pernyataan ma’mun “rokaatnya sempurna” setelah salam itu tidak dapat merubah sholat imam menjadi sah, karena penentuan keabsahan dalam ibadah itu harus memenuhi rukun dan syaratnya serta punya dugaan kuat sudah memenuhi rukun & syaratnya ketika melaksanakan ibadah bukan setelah selesai ibadah.

Keterangan :
•  Ketika musholli (orang yang sholat) ragu melaksanakan rokaat ketiga/keempat dan setelah sholat, temannya menyatakan “rokaat sholatnya sempurna”, maka status sholatnya khilaf :
1.  Sah jika jama’ah sholatnya mencapai ‘adadut tawatur (sejumlah orang/kelompok yang tidak mungkin berbuat kebohongan terhadap yang lain).
2.  Tidak sah, karena jama’ah sholat yang mencapai ‘adadut tawatur tidak dapat digunakan dasar hukum.

Referensi jawaban no. 1 :
روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 1 / ص 113)
ولو شك هل صلى ثلاثا أم أربعا أخذ بالأقل وأتى بالباقي وسجد للسهو ولا ينفعه الظن ولا أثر للاجتهاد في هذا الباب ولا يجوز العمل فيه بقول غيره وفي وجه شاذ أنه يجوز الرجوع إلى قول جمع كثير كانوا يرقبون صلاته وكذلك الإمام إذا قام إلى ركعة ظنها رابعة وعند القوم أنها خامسة فنبهوه لا يرجع إلى قولهم وفي وجه شاذ يرجع إن كثر عددهم.

فتح الوهاب - (ج 1 / ص 96)
(فلو شك) وهو في رباعية (أصلي ثلاثا أم أربعا أتى بركعة)، لان الاصل عدم فعلها (وسجد) وإن زال شكه قبل سلامه بأن تذكر قبله أنها رابعة للتردد في زيادتها. ولا يرجع في فعلها إلى ظنه ولا إلى قول غيره وإن كان جمعا كثيرا. والاصل في ذلك خبر مسلم: إذا شك أحدكم في صلاته فلم يدر أصلي ثلاثا أم أربعا فليطرح الشك وليبن على ما استيقن ثم يسجد سجدتين قبل أن يسلم، فإن كان صلى خمسا شفعن له صلاته، أي ردتها السجدتان وما تضمنتاه من الجلوس بينهما إلى الاربع.

شرح البهجة الوردية - (ج 5 / ص 10)
وَقَدْ يُؤَيَّدُ بِأَنَّ الْعِبْرَةَ فِي الْعِبَادَةِ بِمَا فِي نَفْسِ الْأَمْرِ، وَظَنِّ الْمُكَلَّفِ

فتح المعين - (ص 136)
(ورابعها: معرفة دخول وقت) يقينا أو ظنا. فمن صلى بدونها لم تصح صلاته وإن وقعت في الوقت، لان الاعتبار في العبادات بما في ظن المكلف، وبما في نفس الامر، وفي العقود بما في نفس الامر فقط.

إعانة الطالبين - (ج 3 / ص 16)
(قوله: وفي العبادات إلخ) أي ولان العبرة في العبادات بما في نفس الامر، وبما في ظن المكلف. وهذا يفيد أن العبرة في العبادات بمجموع الامرين: ما في نفس الامر وما في ظن المكلف. وصورته الآتية: وهي أنه لو توضأ إلخ، مع علتها، وهي قوله لان المدار الخ تفيد أن العبرة بالثاني فقط، وهذا خلف، ولا يصح أن يقال إن الواو في قوله وبما في ظن المكلف، بمعنى أو، لان ذلك يقتضي أن ما في نفس الامر كاف وحده في العبادات، وليس كذلك فتأمل.

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي - (ص 111)
(قلت): ومثلها في الإيعاب قال: والظاهر أنه لو تشهد إمامه في رابعة ظنها هو ثالثة، ووافقه جميع أهل المسجد وكثروا بحيث لا تجوّز العادة اتفاقهم على السهو أنه يرجع إليهم فيتشهد ويسلم معهم، ولا أثر لشكه لأنه حينئذ وسوسة اهـ. وهل للإمام الأخذ بفعل المأمومين بالقيد المذكور الظاهر؟ نعم كما قاله في التحفة فيما إذا أخبره عدد التواتر، وأن الفعل كالقول خلافاً لـ (مر).

كتاب إثمد العينين في بعض اختلاف الشيخين - (ص 28)
[مسألة]: لا يأخذ في نحو عدد الركعات أو السجدات أو ترك نحو قنوت بقول غيره ولا بفعله وإن كثروا، ما لم يبلغوا عدد التواتر، وإلا وجب عليه الأخذ بقولهم وكذا بفعلهم عند (حج).

إعانة الطالبين - (ج 1 / ص 237)
(قوله: ما لم يبلغوا عدد التواتر) أي فإن بلغوا عدده بحيث يحصل العلم الضروري بأنه فعلها رجع لقولهم لحصول اليقين له، لان العمل بخلاف هذا العلم تلاعب كما ذكر ذلك الزركشي، وأفتى به الوالد رحمه الله تعالى ويلحق بما ذكر ما لو صلى في جماعة وصلوا إلى هذا الحد فيكتفي بفعلهم فيما يظهر لكن أفتى الوالد رحمه الله بخلافه، ووجهه أن الفعل لا يدل بوضعه اهـ نهاية وجزم ابن حجر في التحفة بالاكتفاء بفعلهم، ومثله الخطيب في الاقناع والمغنى.

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج  - (ج 3 / ص 77)
وَلَوْ شَكَّ أَصَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا أَتَى بِرَكْعَةٍ وَسَجَدَ، وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ يَسْجُدُ وَإِنْ زَالَ شَكُّهُ قَبْلَ سَلَامِهِ، وَكَذَا حُكْمُ مَا يُصَلِّيهِ مُتَرَدِّدًا وَاحْتَمَلَ كَوْنَهُ زَائِدًا، وَلَا يَسْجُدُ لِمَا يَجِبُ بِكُلِّ حَالٍ إذَا زَالَ شَكُّهُ، مِثَالُهُ شَكَّ فِي الثَّالِثَةِ أَثَالِثَةٌ هِيَ أَمْ رَابِعَةٌ فَتَذَكَّرَ فِيهَا لَمْ يَسْجُدْ، أَوْ فِي الرَّابِعَةِ سَجَدَ.
( وَلَوْ شَكَّ ) أَيْ تَرَدَّدَ فِي رُبَاعِيَّةٍ ( أَصَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا أَتَى بِرَكْعَةٍ ) لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ فِعْلِهَا ( وَسَجَدَ ) لِلسَّهْوِ لِلتَّرَدُّدِ فِي زِيَادَتِهَا، وَلَا يَرْجِعُ فِي فِعْلِهَا إلَى ظَنِّهِ وَلَا إلَى قَوْلِ غَيْرِهِ وَإِنْ كَانَ جَمْعًا كَثِيرًا لِأَنَّهُ تَرَدَّدَ فِي فِعْلِ نَفْسِهِ، فَلَا يَأْخُذُ بِقَوْلِ غَيْرِهِ فِيهِ كَالْحَاكِمِ إذَا نَسِيَ حُكْمَهُ لَا يَأْخُذُ بِقَوْلِ الشُّهُودِ عَلَيْهِ. فَإِنْ قِيلَ : إنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاجَعَ الصَّحَابَةَ ثُمَّ عَادَ لِلصَّلَاةِ فِي خَبَرِ ذِي الْيَدَيْنِ. أُجِيبَ بِأَنَّ ذَلِكَ مَحْمُولٌ عَلَى تَذَكُّرِهِ بَعْدَ مُرَاجَعَتِهِ. قَالَ الزَّرْكَشِيُّ : وَيَنْبَغِي تَخْصِيصُ ذَلِكَ بِمَا إذَا لَمْ يَبْلُغُوا حَدَّ التَّوَاتُرِ وَهُوَ بَحْثٌ حَسَنٌ، وَيَنْبَغِي أَنَّهُ إذَا صَلَّى فِي جَمَاعَةٍ وَصَلَّوْا إلَى هَذَا الْحَدِّ أَنَّهُ يَكْتَفِي بِفِعْلِهِمْ وَالْأَصْلُ فِي ذَلِكَ خَبَرُ مُسْلِمٍ { إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ وَلَمْ يَدْرِ أَصَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا ؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ } أَيْ رَدَّتْهَا السَّجْدَتَانِ إلَى الْأَرْبَعِ، وَيَحْذِفَانِ الزِّيَادَةَ لِأَنَّهُمَا جَابِرَانِ الْخَلَلَ الْحَاصِلَ مِنْ النُّقْصَانِ تَارَةً وَمِنْ الزِّيَادَةِ أُخْرَى، لَا أَنَّهُمَا يُصَيِّرَانِهَا سِتًّا، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا رَغْمًا لِلشَّيْطَانِ ( وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ يَسْجُدُ وَإِنْ زَالَ شَكُّهُ قَبْلَ سَلَامِهِ ) بِأَنْ تَذَكَّرَ أَنَّهَا رَابِعَةٌ لِفِعْلِهَا مَعَ التَّرَدُّدِ. وَالثَّانِي : لَا يَسْجُدُ إذْ لَا عِبْرَةَ بِالتَّرَدُّدِ بَعْدَ زَوَالِهِ ( وَكَذَا حُكْمُ مَا يُصَلِّيهِ مُتَرَدِّدًا وَاحْتَمَلَ كَوْنَهُ زَائِدًا ) أَنَّهُ يَسْجُدُ لِلتَّرَدُّدِ فِي زِيَادَتِهِ وَإِنْ زَالَ شَكُّهُ قَبْلَ سَلَامِهِ ( وَلَا يَسْجُدُ لِمَا يَجِبُ بِكُلِّ حَالٍ إذَا زَالَ شَكُّهُ ، مِثَالُهُ شَكَّ ) فِي رُبَاعِيَّةٍ ( فِي ) الرَّكْعَةِ ( الثَّالِثَةِ ) فِي نَفْسِ الْأَمْرِ

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 2 / ص 187)
(ﻭﻟﻮ ﺷﻚ ﺃﺻﻠﻰ ﺛﻼﺛﺎ ﺃﻡ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﺃﺗﻰ ﺑﺮﻛﻌﺔ) ﻷﻥ اﻷﺻﻞ ﻋﺪﻡ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﺮﺟﻊ ﻟﻈﻨﻪ ﻭﻻ ﻟﻘﻮﻝ ﻏﻴﺮﻩ ﺃﻭ ﻓﻌﻠﻪ، ﻭﺇﻥ ﻛﺜﺮ ﻭﺇﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺒﻠﻐﻮا ﻋﺪﺩ اﻟﺘﻮاﺗﺮ ﺑﺤﻴﺚ ﻳﺤﺼﻞ اﻟﻌﻠﻢ اﻟﻀﺮﻭﺭﻱ ﺑﺄﻧﻪ ﻓﻌﻠﻬﺎ؛ ﻷﻥ اﻟﻌﻤﻞ ﺑﺨﻼﻑ ﻫﺬا اﻟﻌﻠﻢ ﺗﻼﻋﺐ ﻭﻣﻦ ﻧﺎﺯﻉ ﻓﻴﻪ ﻳﺤﻤﻞ ﻛﻼﻣﻪ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻭﺟﺪﺕ ﺻﻮﺭﺓ ﺗﻮاﺗﺮ ﻻ ﻏﺎﻳﺘﻪ ﻭﺇﻻ ﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﻟﻨﺰاﻋﻪ ﻭﺟﻪ.
(ﻗﻮﻟﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺒﻠﻐﻮا ﺇﻟﺦ) ﻗﻀﻴﺘﻪ ﺃﻧﻪ ﻳﺮﺟﻊ ﻟﻔﻌﻞ ﻏﻴﺮﻩ ﺇﺫا ﺑﻠﻐﻮا ﻋﺪﺩ اﻟﺘﻮاﺗﺮ ﻟﻜﻦ اﻟﺬﻱ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ ﺷﻴﺨﻨﺎ اﻟﺸﻬﺎﺏ اﻟﺮﻣﻠﻲ ﺁﺧﺮا ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ اﻟﻔﻌﻞ ﻛﺎﻟﻘﻮﻝ ﻓﻼ ﻳﺮﺟﻊ ﻟﻔﻌﻠﻬﻢ ﻭﺇﻥ ﺑﻠﻐﻮا ﻋﺪﺩ اﻟﺘﻮاﺗﺮ ﺳﻢ ﻭﻓﻲ اﻟﻤﻐﻨﻲ ﻣﺎ ﻳﻮاﻓﻖ ﻛﻼﻡ اﻟﺸﺎﺭﺡ ﻋﺒﺎﺭﺗﻪ ﻗﺎﻝ اﻟﺰﺭﻛﺸﻲ ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺗﺨﺼﻴﺺ ﺫﻟﻚ ﺃﻱ ﻋﺪﻡ ﺟﻮاﺯ ﺃﺧﺬ ﻗﻮﻝ اﻟﻐﻴﺮ ﺑﻤﺎ ﺇﺫا ﻟﻢ ﻳﺒﻠﻐﻮا ﺣﺪ اﻟﺘﻮاﺗﺮ ﻭﻫﻮ ﺑﺤﺚ ﺣﺴﻦ ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻧﻪ ﺇﺫا ﺻﻠﻰ ﻓﻲ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻭﺻﻠﻮا ﺇﻟﻰ ﻫﺬا اﻟﺤﺪ ﺃﻧﻪ ﻳﻜﺘﻔﻰ ﺑﻔﻌﻠﻬﻢ اﻩـ.
ﻭﻓﻲ ﻧﺴﺦ اﻟﻨﻬﺎﻳﺔ اﺧﺘﻼﻑ ﻋﺒﺎﺭﺗﻪ ﻓﻲ ﻧﺴﺨﺔ ﺑﻌﺪ اﺳﺘﺜﻨﺎﺋﻪ اﻟﺘﻮاﺗﺮ اﻟﻘﻮﻟﻲ ﻧﺼﻬﺎ ﻭﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﻠﺤﻖ ﺑﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﻣﺎ ﻟﻮ ﺻﻠﻰ ﻓﻲ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻭﺻﻠﻮا ﺇﻟﻰ ﻫﺬا اﻟﺤﺪ ﻓﻴﻜﺘﻔﻰ ﺑﻔﻌﻠﻬﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﻟﻜﻦ ﺃﻓﺘﻰ اﻟﻮاﻟﺪ - ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ - ﺑﺨﻼﻓﻪ ﻭﻭﺟﻬﻪ ﺃﻥ اﻟﻔﻌﻞ ﻻ ﻳﺪﻝ ﺑﻮﺿﻌﻪ اﻩـ ﻗﺎﻝ اﻟﺮﺷﻴﺪﻱ ﻗﻮﻟﻪ ﻣ ﺭ ﻭﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﻠﺤﻖ ﺇﻟﺦ ﻟﻔﻆ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺃﻥ ﺳﺎﻗﻂ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺴﺦ ﻣﻊ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻟﻔﻆ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﻗﺒﻞ ﻗﻮﻟﻪ ﻟﻜﻦ ﺃﻓﺘﻰ اﻟﻮاﻟﺪ ﺇﻟﺦ ﻭﻇﺎﻫﺮﻩ اﻋﺘﻤﺎﺩ ﺧﻼﻑ ﺇﻓﺘﺎء ﻭاﻟﺪﻩ ﻭﻓﻲ ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺴﺦ اﻟﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﻭﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﻭﻓﻴﻪ ﺗﺪاﻓﻊ اﻩـ ﻭﻗﺎﻝ ﻋ ﺷ ﻗﻮﻟﻪ ﻣ ﺭ ﻓﻴﻜﺘﻔﻰ ﺑﻔﻌﻠﻬﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﻈﻬﺮ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ اﺑﻦ ﺣﺞ ﻓﻲ ﺷﺮﺣﻪ ﻭاﻋﺘﻤﺪﻩ ﺷﻴﺨﻨﺎ اﻟﺰﻳﺎﺩﻱ ﻭﻧﻘﻠﻪ ﺳﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻨﻬﺞ ﻋﻦ اﻟﺸﺎﺭﺡ ﻣ ﺭ ﻭﻣﺎ ﻧﻘﻠﻪ ﻋﻦ ﻭاﻟﺪﻩ ﻻ ﻳﻨﺎﻓﻲ اﻋﺘﻤﺎﺩﻩ ﻟﺘﻘﺪﻳﻤﻪ ﻭاﺳﺘﻈﻬﺎﺭﻩ ﻟﻪ اﻩـ ﻭﻗﺎﻝ اﻟﺒﺼﺮﻱ ﻭﻳﻤﻜﻦ اﻟﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ اﻟﻜﻼﻣﻴﻦ ﺑﺤﻤﻞ اﻻﻛﺘﻔﺎء ﺑﺎﻟﺘﻮاﺗﺮ اﻟﻔﻌﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫا ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺘﺨﻠﻒ ﻋﻨﻬﻢ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﺮﺩﺩ ﻓﻲ ﻣﻔﻌﻮﻟﻬﻢ ﻫﻞ ﻫﻮ ﺛﻼﺙ ﺃﻭ ﺃﺭﺑﻊ ﻓﺈﻥ ﻫﺬا اﻟﺘﺮﺩﺩ ﻋﻠﻰ ﻫﺬا اﻟﺘﻘﺪﻳﺮ ﺧﻴﺎﻝ ﺑﺎﻃﻞ ﻳﺒﻌﺪ اﻟﺘﻌﻮﻳﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﺪﻡ اﻻﻛﺘﻔﺎء ﺑﻪ اﻟﺬﻱ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ اﻟﺸﻬﺎﺏ اﻟﺮﻣﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫا ﺗﺮﺩﺩ ﻓﻲ ﻣﻮاﻓﻘﺘﻪ ﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﻣﺎ ﻓﻌﻠﻮﻩ ﻭﺗﺨﻠﻒ ﻋﻨﻬﻢ ﻓﻲ ﺑﻌﻀﻪ اﻩـ

فتاوى الرملي - (ج 2 / ص 97)
( سُئِلَ ) عَمَّا إذَا أَخْبَرَ عَدَدُ التَّوَاتُرِ مُصَلِّيًا بِأَنَّهُ صَلَّى كَذَا أَوْ حَاكِمًا بِأَنَّهُ حَكَمَ بِكَذَا أَوْ شَاهِدًا بِأَنَّهُ شَهِدَ بِكَذَا هَلْ يُعْمَلُ بِهِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّهُ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْمَسَائِلِ الثَّلَاثِ خِلَافًا لِمَا أَفْتَى بِهِ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ.

الإحكام في أصول القرآن - (ص 114)
أما التواتر في اللغة فعبارة عن تتابع أشياء واحداً بعد واحد بينهما مهلة ومنه قوله تعالى: "ثم أرسلنا رسلنا تترى" (المؤمنون 44) أي واحداً بعد واحد بمهلة. وأما في اصطلاح الأصوليين فقد قال بعض أصحابنا إنه عبارة عن خبر جماعة بلغوا في الكثرة إلى حيث حصل العلم بقولهم وهو غلط فإن ما ذكره إنما هو حد الخبر المتواتر لا حد نفس التواتر وفرق بين التواتر والمتواتر وإنما التواتر في اصطلاح المتشرعة عبارة عن تتابع الخبر عن جماعة مفيد للعلم بمخبره.
وأما المتواتر فقد قال بعض أصحابنا أيضاً إنه الخبر المفيد للعلم اليقيني بمخبره وهو غير مانع لدخول خبر الواحد الصادق فيه كيف وفيه زيادة لا حاجة إليها وهي قوله العلم اليقيني فإن أحدهما كاف عن الآخر.
والحق أن المتواتر في اصطلاح المتشرعة عبارة عن خبر جماعة مفيد بنفسه للعلم بمخبره فقولنا خبر كالجنس للمتواتر والآحاد وقولنا جماعة احتراز عن خبر الواحد وقولنا مفيد للعلم احتراز عن خبر جماعة لا يفيد العلم فإنه لا يكون متواتراً وقولنا بنفسه احتراز عن خبر جماعة وافق دليل العقل أو دل قول الصادق على صدقهم كما سبق وقولنا بمخبره احتراز عن خبر جماعة أفاد العلم بخبرهم لا بمخبره فإنه لا يسمى متواتراً.

MENGAWETKAN MAYAT

TENTANG MENGAWETKAN MAYAT

Tanggal 18 Desember 2018

Pertanyaan :
1.  Telah mulai umum dikalangan sebagian umat islam menformalin mayat supaya awet, bolehkah?

Jawaban :
1.  Boleh bahkan sunnah mengawetkan mayat jika memakai kapur barus ataupun minyak khusus untuk mayat yang mengandung kapur barus, kayu cendana dan minyak tumbuh tumbuhan (termasuk formalin) supaya mayat awet tahan lama. Hal demikian ini boleh apabila tidak merusak kehormatan/menyakiti mayat, seperti tindak kekerasan, membedah atau memotong anggota mayat.

Referensi jawaban no. 1 :
مغني المحتاج - (ج 4 / ص 229)
( ويذر ) بالمعجمة في غير المحرم ( على كل واحدة ) من اللفائف قبل وضع الأخرى ( حنوط ) بفتح الحاء ، ويقال له الحناط بكسرها ، وهو نوع من الطيب يجعل للميت خاصة يشتمل على الكافور والصندل وذريرة القصب ، قاله الأزهري .وقال غيره : هو كل طيب خلط للميت ( وكافور ) - ونص الإمام وغيره على استحباب الإكثار منه فيه ، بل قال الشافعي : ويستحب أن يطيب جميع بدنه بالكافور ؛ لأنه يقويه ويشده

المجموع - (ج 5 / ص 202)
قال الشافعي في المختصر واستحب أن يطيب جميع بدنه بالكافور لانه يقويه ويشده قال الشافعي في المختصر والمصنف والاصحاب ويستحب ان يحنط رأسه ولحيته بالكافور كما يفعل الحي إذا تطيب قال الشافعي في البويطي ونقله المصنف والاصحاب ولو حنط بالمسك فلا بأس لحديث ابى سعيد السابق وروى البيهقى باسناد حسن عن علي رضي الله عنه انه كان عنده مسك فاوصي ان يحنط وقال هو من فضل حنوط رسول الله صلي الله عليه وسلم وروى في ذلك عن ابن عمر وانس رضى الله عنهم قال المصنف وهل يجب الحنوط والكافور ام لافيه قولان وقيل وجهان (احدهما) يجب لجريان العادة به فوجب كالكفن (والثاني) يستحب ولا يجب كما لا يجب الطيب للمفلس وان وجبت كسوته

أسنى المطالب شرح روض الطالب - (ج 4 / ص 252)
( وَيُذَرُّ ) بِالْمُعْجَمَةِ ( عَلَيْهِ ) أَيْ الْأَوْسَعُ ( الْحَنُوطُ ) بِفَتْحِ الْحَاءِ وَيُقَال لَهُ الْحِنَاطُ بِكَسْرِهَا ، وَهُوَ أَنْوَاعٌ مِنْ الطِّيبِ تُجْمَعُ لِلْمَيِّتِ وَلَا تُسْتَعْمَلُ فِي غَيْرِهِ . قَالَ الْأَزْهَرِيُّ وَيَدْخُلُ فِيهِ الْكَافُورُ وَذَرِيرَةُ الْقَصَبِ وَالصَّنْدَلُ الْأَحْمَرُ وَالْأَبْيَضُ ( وَكَذَا ) يُبْسَطُ فَوْقَهُ ( الثَّانِي ) وَيُذَرُّ عَلَيْهِ الْحَنُوطُ ( وَ ) فَوْقَ الثَّانِي ( الثَّالِثُ ) كَذَلِكَ لِئَلَّا يُسْرِعَ بَلَاؤُهَا مِنْ بَلَلٍ يُصِيبُهَا وَالثَّانِي بِالنِّسْبَةِ لِلثَّالِثِ كَالْأَوَّلِ بِالنِّسْبَةِ إلَيْهِمَا فِي الْحُسْنِ وَالسَّعَةِ ( وَيُزَادُ عَلَى مَا يَلِيهِ ) أَيْ الْمَيِّتُ مِنْ الْأَكْفَانِ ( كَافُورٌ ) لِدَفْعِ الْهَوَامِّ ، وَإِنَّمَا أَفْرَدَهُ بِالذِّكْرِ مَعَ دُخُولِهِ فِي الْحَنُوطِ وَنَدَبَهُ فِي غَيْرِ الْأَخِيرِ أَيْضًا لِتَأَكُّدِ أَمْرِهِ وَلِأَنَّ الْمُرَادَ زِيَادَتُهُ عَلَى مَا يُجْعَلُ فِي أُصُولِ الْحَنُوطِ وَنَصَّ الْإِمَامُ وَغَيْرُهُ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْإِكْثَارِ مِنْهُ فِيهِ بَلْ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَاسْتُحِبَّ أَنْ يُطَيَّبَ جَمِيعُ بَدَنِهِ بِالْكَافُورِ ؛ لِأَنَّهُ يُقَوِّيهِ وَيَشُدُّهُ وَلَوْ كُفِّنَ فِي خَمْسَةٍ جُعِلَ بَيْنَ كُلٍّ ثَوْبَيْنِ حَنُوطٌ ذَكَرَهُ فِي الْمَجْمُوعِ ( وَيُوضَعُ ) الْمَيِّتُ ( عَلَيْهَا ) بِرِفْقٍ ( مُسْتَلْقِيًا ) عَلَى قَفَاهُ ( وَيُدَسُّ بَيْنَ أَلْيَتَيْهِ ) . الْأَفْصَحُ أَلْيَيْهِ قُطْنٌ ( حَلِيجٌ عَلَيْهِ حَنُوطٌ وَكَافُورٌ ) حَتَّى يَتَّصِلَ بِالْحَلْقَةِ ( لِيَسُدَّ ) أَيْ لِيَرُدَّ ( الْخَارِجَ ) بِتَحْرِيكِهِ قَالَ فِي الْأَصْلِ وَلَا يُدْخِلُهُ بَاطِنَهُ أَيْ يُكْرَهُ ذَلِكَ قَالَ الْمُتَوَلِّي إلَّا أَنْ تَكُونَ بِهِ عِلَّةٌ يَخَافُ أَنْ يَخْرُجَ مِنْهُ شَيْءٌ بِسَبَبِهَا عِنْدَ تَحْرِيكِهِ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ وَنَصُّوا عَلَى الْكَافُورِ بَعْدَ الْحَنُوطِ لِمَا مَرَّ

فتاوى الأزهر (ج 8 / ص 46)
ما رأى الدين فى تحنيط الموتى ؟ الجواب التحنيط فى أصل اللغة العربية هو استعمال الحَنُوط - بفتح الحاء - وأكثر ما كان يوضع فى أكفان الموتى، والحنوط والحناط - بكسر الحاء- ما يخلط من الطيب لهذا الغرض .والتحنيط المعروف الآن بطريق المواد الكيماوية لمنع التعفن أو تأخيره إذا كان بهذا القدر ولهذا الغرض فلا مانع منه، وكان معروفا عند العرب حتى بعد الإسلام، ولم ينكر عليه أحد، وروى أحمد فى مسنده أن النبى صلى الله عليه وسلم قال "إذا أجمرتم الميت فأجمروه ثلاثا" وفى رواية البيهقى والحاكم وابن حبان وصححاه "إفا أجمرتم الميت فأوتروا" وقال أبو وائل : كان عند على رضى الله عنه مسك، فأوصى أن يحنط به، وقال هو فضل حنوط رسول الله صلى الله عليه وسلم وكان الغرض منه منع رائحة التعفن للجثة حتى يصلَّى عليها وتدفن. أما التحنيط القائم على انتزاع أجزاء من الجثة كما كان متبعا عند الفراعنة فإنه لا يجوز لأن فيه تمثيلا بجثة الميت دون ضرورة تقضى به، فقد روى مالك وابن ماجه وأبو داود بإسناد صحيح - ما عدا رجلا واحدا وثقه الأكثرون وروى له مسلم، وإن كان أحمد بن حنبل قد ضعفه - روى هؤلاء عن جابر رضى اللّه عنه. قال : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فى جنازة، فجلس عليه الصلاة والسلام على شفير القبر وجلسنا معه، فأخرج الحفَّار عظما فذهب ليكسره فقال النبى صلى الله عليه وسلم "لا تكسر، فإن كسرك إياه ميتا ككسرك إياه حيًّا، ولكن دُسَّه فى جانب القبر". فهذا الحديث يدل على حرمة إيذاء الميت، ولا شك أن عملية التحنيط على هذا الوجه فيها إيذاء كبير، وبصرف النظر عن كون هذا الإيذاء حسيًّا أو معنويًّا فإن الواجب احترام جثة الآدمى، حيث لا توجد ضرورة لاتخاذ مثل هذا الإجراء. وإذا كان التحنيط بهذه الصورة فى انتهاك حرمة الميت وإيذائه فإن إحراق جثته لنقل الرماد ودفنه فى مكان بعيد لتقليل تكاليف النقل - كما يفعل بعض المغتربين - يكون أولى بالمنع.

SHOLAT JUM’AT TIDAK MENDENGARKAN KHOTBAH DAN MENDENGARKAN KHOTBAH KEADAAN HADAS

TENTANG SHOLAT JUM’AT TIDAK MENDENGARKAN KHOTBAH
DAN MENDENGARKAN KHOTBAH KEADAAN HADAS

Tanggal 17 Desember 2018

Kronologis Masalah :
Pertama :
Saya berada di kota besar (musafir) saat itu hingga kesibukan melalaikan saya sampai-sampai saya mencari masjid setelah terdengar adzan dan sampai masjidpun sudah dalam khutbah kedua, ketika saya duduk sang khotib telah membaca doa lalu tidak lama shalat jumat dan sayapun ikut shalat, karena saya ragu maka saya shalat ikhtiyat (shalat dzuhur).
Kedua :
Ketika hendak ke masjid saya mampir ke warung dulu hendak membeli rokok, tak disangka adzan berkumandang lalu saya bergegas ke masjid hingga sampai pintu masjid saya baru sadar tadi di warung sempat menyentuh tangan (perempuan) pemilik warung karena kondisi di masjid sudah mau dimulai khutbah saya memaksakan diri utk duduk tanpa wudlu lagi.

Pertanyaan :
1.  Bagaimana hukum kedua shalat jumat tersebut?
2.  Taubat bagaimanakah yang sebaiknya harus lakukan untuk menebus kelalaian tersebut?

Jawaban :
1.  Sah Sholat Jum’at orang tersebut walaupun tanpa mendengarkan khotbah atau tanpa wudlu’ ketika mendengarkan khotbah. Namun pahalanya saja yang dikurangi (tidak mendapatkan pahala seperti orang yang datang sebelum khotbah atau mendengarkan khotbah Jum’at keadaan suci).
Sedangkan Sholat Dhuhur setelah melaksanakan Sholat Jum’at tidak boleh kecuali ragu akan keabsahan Sholat Jum’at atau menghindari perselisihan ulama dalam keabsahan Sholat Jum’at, seperti jumlah jama’ah Sholat Jum’at kurang 40 orang, cacat Sholat Jum’atnya atau berbilangan (2 atau lebih) mendirikan jama’ah Sholat Jum’at disatu kelurahan, desa, dusun, dukuh.
Catatan :
•  Membacakan dua khotbah sesuai rukun & syaratnya sebelum Sholat Jum’at adalah syarat mendirikan Sholat Jum’at.
•  Termasuk syarat dua khobah Sholat Jum’at adalah khotib (imam yang menbaca khotbah) keadaan suci dari hadas (mempunyai wudlu’). Sedangkan jama’ah/ma’mum yang mendengarkan khotbah tidak harus keadaan suci dari hadas.

2.  Khilaf :
a.  Menurut ulama fiqih, tidak harus bertaubat, karena dia tidak mendengarkan khutbah Jum’at atau mendengarkan khutbah Jum’at keadaan tidak berwudlu’ bukan berbuatan dosa.
b.  Menurut ulama Tasawuf, harus bertaubat karena hal demikian itu merupakan meninggalkan perbuatan yang lebih utama.
Sedangkan cara bertaubat sebagaimana berikut :
1.   Menyesal
2.   Meninggalkan hal yang menjadikan ia lalai
3.   Punya niatan kuat untuk tidak mengulanginya lagi
4.   Memperbanyak istighfar

Referensi jawaban no. 1 :
الفتاوى الفقهية الكبرى  - (ج 2 / ص 404)
( وسئل ) رضي الله عنه عمن كان بالخلاء ونحوه وهو يسمع الخطيب خارجا عن المسجد هل يعد من الأربعين أم لا ؟ ( فأجاب ) بأن الذي يصرح به كلامهم أن يعتد بسماع من بالخلاء ونحوه فقد قالوا لا بد من سماع أربعين من أهل الكمال والمراد بهم من تلزمهم الجمعة فتنعقد بهم ولا شك أن من بالخلاء ونحوه تلزمه الجمعة وتنعقد به.
وكونه حالة السماع على هيئة تنافي الصلاة لا أثر له؛ لأن القصد من اشتراط سماعهم اتعاظهم بما يسمعون في الجملة وهذا المقصود حاصل بسماع من بالخلاء ونحوه ومن عبر بأنه يشترط حضور أربعين لم يرد أنه لا بد من حضورهم في المسجد وإنما مراده أنه لا بد من سماعهم سواء كانوا في المسجد أو خارجه على أن الجمعة لا يشترط لصحة إقامتها المسجد كما صرحوا به فلو أقاموها في فضاء بين العمران صحت.

حاشية الشرقاوي - (ج ١ / ص ٢٦٥)
و سادسها تقدم خطبتين على الصلاة___بسماع هو أولى من قوله بحضور من تنعقد بهم الجمعة أى من يتوقف إنعقادها عليهم وهم أربعون أو تسعة وثلاثون سواه فيرفع الخطيب صوته بأركانهما حتى يسمعها تسعة وثلاثون سواه بالقوة لا بالفعل___فلا تكفي الإسرار ولا إسماع دون من ذكر ولا من لا تنعقد بهم ولا الحضور مع صمم أو بعد أو نوم على ما مر.

كاشفة السجا لنووي الجاوي - (ص 235)
(و) تاسعها: (أن يسمعهما أربعين) أي أن يسمع الخطيب أركان الخطبتين للأربعين الذين تنعقد بهم الجمعة ومنهم الإمام أي يجب الإسماع من الخطيب بالفعل بأن يرفع صوته حتى يسمعه الجالسون، أما السماع من الجالسين فيجب بالقوة بأن يكونوا بحيث لو أصغوا لسمعوا فلا يضر نحو لغط بخلاف الصمم والبعد والنوم الثقيل ولو لبعضهم لا مجرد النعاس فلا يضر، نعم لا يضر صمم الإمام لأنه يعرف ما يقول وإن لم يسمع كما قاله الشرقاوي، وقال الزيادي: ويعتبر على الأصح عند النووي والرافعي وغيرهما إسماعهم لها بالفعل لا بالقوة، فلا تجب الجمعة على أربعين بعضهم صم ولا تصح مع وجود لغط يمنع سماع ركن على المعتمد فيها انتهى. ونقل عن الأجهوري أنه يشترط سماع الأركان في آن واحد لأن المقصود ظهور الشعار ولا يوجد إلا بأربعين في آن واحد وبذلك أفتى شيخ الإسلام، فلو سمع الأركان عشرون مثلاً وذهبوا فجاء عشرون فأعاد لهم الأركان ثم حضر من سمع أولاً فلا يكفي، وسن لمن سمع الخطبة سكوت مع إصغاء، قال الرحماني: ويكره الكلام من المستمعين حال الخطبة خلافاً للأئمة الثلاثة حيث قالوا إنه يحرم، وحملنا الآية على الندب وهو قوله تعالى: وإذا قرىء القرآن فاستمعوا له وأنصتوا} ((7) الأعراف:204) فإنها نزلت في الخطبة وسميت قرآناً لاشتمالها عليه، نعم إن دعت له ضرورة وجب أو سن كالتعليم الواجب والنهي عن محرم ولايكره قبل الخطبة وبعدها وبينهما ولو لغير حاجة ويجب رد السلام وإن كره ابتداؤه.

حاشية الجمل - (ج 5 / ص 465)
( قَوْلُهُ : أَمَّا مَنْ لَمْ يَسْمَعْهُمَا إلَخْ ) أَيْ مِنْ مَكَان بِحَيْثُ لَا يَسْمَعْهُمَا لَوْ صَغَى انْتَهَى مِنْ الْحَلَبِيِّ ( قَوْلُهُ : فَيَسْكُتُ أَوْ يَشْتَغِلُ إلَخْ ) عِبَارَةُ ش م ر نَعَمْ الْأَوْلَى لِغَيْرِ السَّامِعِ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالتِّلَاوَةِ أَوْ الذِّكْرِ انْتَهَتْ، فَالِاشْتِغَالُ بِالتِّلَاوَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْلَى مِنْ السُّكُوتِ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ لَكِنْ فِي عِبَارَتِهِ تَصْرِيحٌ بِأَنَّ التَّخْيِيرَ بَيْنَ الثَّلَاثَةِ إنَّمَا يَأْتِي عَلَى الضَّعِيفِ أَنَّهُ يَحْرُمُ الْكَلَامُ فَلَوْ قَالَ وَيُسَنُّ لِمَنْ لَا يَسْمَعُهُمَا الِاشْتِغَالُ بِالذِّكْرِ أَوْ التِّلَاوَةِ لَوَافَقَ عِبَارَتَهُ وَهِيَ إنْ قُلْنَا لَا يَحْرُمُ الْكَلَامُ سُنَّ لَهُ الِاشْتِغَالُ بِالتِّلَاوَةِ وَالذِّكْرِ وَإِنْ قُلْنَا يَحْرُمُ كَلَامُ الْآدَمِيِّينَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ السُّكُوتِ وَالتِّلَاوَةِ وَالذِّكْرِ وَلَا خِلَافَ أَنَّ مَنْ يَسْمَعُ لَا يَقْرَأُ وَلَا يَذْكُرُ وَإِنْ جَازَ لَهُ الْكَلَامُ اهـ شَوْبَرِيٌّ وَفِي ع ش عَلَى م ر مَا نَصُّهُ قَوْلُهُ أَوْ يَشْتَغِلُ بِالذِّكْرِ أَوْ الْقِرَاءَةِ بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ إنَّ الْأَفْضَلَ لَهُ الِاشْتِغَالُ بِالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقَدِّمًا لَهَا عَلَى التِّلَاوَةِ لِغَيْرِ سُورَةِ الْكَهْفِ وَالذِّكْرِ؛ لِأَنَّهَا شِعَارُ الْيَوْمِ اهـ

أسنى المطالب  - (ج 3 / ص 469)
وَأَمَّا السَّامِعُونَ لِلْخُطْبَةِ فَلَا تُشْتَرَطُ طَهَارَتُهُمْ وَلَا سَتْرُهُمْ كَمَا نَقَلَهُ الْأَذْرَعِيُّ عَنْ بَعْضِهِمْ قَالَ وَأَغْرَبَ مَنْ شَرَطَ ذَلِكَ.

روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 1 / ص 156)
ثم إذا شرطنا الطهارة فسبقه حدث في الخطبة لم يعتد بما يأتي به في حال الحدث وفي بناء غيره عليه الخلاف الذي سبق فلو تطهر وعاد وجب الاستئناف وإن طال الفصل وشرطنا الموالاة فإن لم يطل أو لم نشرط الموالاة فوجهان أصحهما الاستئناف.

كاشفة السجا لنووي الجاوي - (ص 232)
(فصل): في شروط الخطبتين للجمعة (شروط الخطبتين عشرة) بل أكثر. أحدها: (الطهارة عن الحدثين الأصغر والأكبر) فلو أحدث في أثناء الخطبة استأنفها وجوباً وإن سبقه الحدث وقصر الفصل، بخلاف ما لو استخلف هو أو القوم واحداً من الحاضرين فإنه يبني على ما فعله الأول من الخطبة نعم لا يجوز البناء في الإغماء مطلقاً فإذا أغمي على الخطيب قبل أن يتم الخطبتين لم يجز البناء منه ولا من الخليفة لزوال الأهلية فيه دون الأول أو أحدث بين الخطبتين والصلاة وتطهر عن قرب لم يضر. (و) ثانيها: (الطهارة عن النجاسة في الثوب والبدن والمكان) وكذا ما يتصل بها ومنه سيف أو عكازة في أسفلها نجاسة أو موضوع عليها فلا يجوز قبض ذلك ولا قبض حرف منبر عليه نجاسة في محل آخر، ومن ذلك أن يكون فيه عظم عاج من عظم الفيل فإن قبض بيده على محل النجاسة بطلت خطبته مطلقاً وإن قبض على محل طاهر منه فإن كان ينجر بجره بطلت أيضاً وإلا فلا.

روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 1 / ص 155)
الشرط السادس الخطبة فمن شرائط الجمعة تقديم خطبتين وأركان الخطبة خمسة أحدها حمد الله تعالى ويتعين لفظ الحمد والثاني الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم ويتعين لفظ الصلاة وحكي في النهاية عن كلام بعض الأصحاب ما يوهم أنهما لا يتعينان ولم ينقله وجها مجزوما به الثالث الوصية بالتقوى وهل يتعين لفظ الوصية وجهان الصحيح المنصوص لا يتعين قال إمام الحرمين ولا خلاف أنه لا يكفي الاقتصار على التحذير من الاغترار بالدنيا وزخارفها فإن ذلك قد يتواصى به منكرو الشرائع بل لا بد من الحمل على طاعة الله تعالى والمنع من المعاصي ولا يجب في الموعظة كلام طويل بل لو قال أطيعوا الله كفى وأبدى الإمام فيه احتمالا ولا تردد في أن كلمتي الحمد والصلاة كافيتان ولو قال والصلاة على محمد أو على النبي أو رسول الله كفى.

فتح المعين - (ص 75)
(و) خامسها: (وقوعها) أي الجمعة، (بعد خطبتين) بعد زوال، لما في الصحيحين: أنه صلى الله عليه وسلم لم يصل الجمعة إلا بخطبتين (بأركانهما) أي يشترط وقوع صلاة الجمعة بعد خطبتين مع إتيان أركانهما الآتية.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 9 / ص 202)
وَسُئِلَ الْبُلْقِينِيُّ عَنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ لَا يَبْلُغُ عَدَدُهُمْ أَرْبَعِينَ هَلْ يُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ أَوْ الظُّهْرَ فَأَجَابَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّهُمْ يُصَلُّونَ الظُّهْرَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَقَدْ أَجَازَ جَمْعٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنْ يُصَلُّوا الْجُمُعَةَ وَهُوَ قَوِيٌّ فَإِذَا قَلَّدُوا أَيْ جَمِيعُهُمْ مَنْ قَالَ هَذِهِ الْمَقَالَةَ فَإِنَّهُمْ يُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ، وَإِنْ احْتَاطُوا فَصَلَّوْا الْجُمُعَةَ، ثُمَّ الظُّهْرَ كَانَ حَسَنًا فَتْحُ الْمُعِينِ وَتَقَدَّمَ عَنْ الْجَرْهَزِيُّ مَا يُوَافِقُهُ وَفِي رِسَالَةِ الْجُمُعَةِ لِلشَّيْخِ عَبْدِ الْفَتَّاحِ الْفَارِسِيِّ سُئِلَ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْكُرْدِيُّ، ثُمَّ الْمَدَنِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّ الْجُمُعَةَ إذَا لَمْ تَسْتَوْفِ الشُّرُوطَ وَصُلِّيَتْ بِتَقْلِيدِ أَحَدِ الْمَذَاهِبِ وَأَرَادَ الْمُصَلُّونَ إعَادَتَهَا ظُهْرًا هَلْ يَجُوزُ ذَلِكَ أَمْ لَا وَأَجَابَ بِأَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لَا مَنْعَ مِنْهُ بَلْ هُوَ الْأَحْوَطُ خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ وَمَا فِي الْإِمْدَادِ وَلَا يَجُوزُ إعَادَةُ الْجُمُعَةِ ظُهْرًا وَكَذَا عَكْسُهُ لِغَيْرِ الْمَعْذُورِ فَمَحَلُّهُ عِنْدَ الِاتِّفَاقِ عَلَى صِحَّةِ الْجُمُعَةِ لَا عِنْدَ وُجُودِ خِلَافٍ قَوِيٍّ فِي عَدَمِ صِحَّتِهَا نَعَمْ كَمَذْهَبِ الْغَيْرِ فِي صِحَّةِ الْجُمُعَةِ شُرُوطٌ لَا بُدَّ فِي جَوَازِ تَقْلِيدِهِ مِنْ وُجُودِهَا وَإِلَّا فَلَا تَصِحُّ الْجُمُعَةُ عَلَى مَذْهَبِهِ أَيْضًا فِرَارًا مِنْ التَّلْفِيقِ الْمَمْنُوعِ إجْمَاعًا وَمِنْ الشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي مَذْهَبِ مَالِكٍ الْقَائِلِ بِانْعِقَادِهَا بِاثْنَيْ عَشَرَ رَجُلًا طَهَارَةُ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ وَالْمَكَانِ عَنْ الْمَنِيِّ وَالْوُضُوءِ بِالشَّكِّ فِي الْحَدَثِ وَمَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ فِي الْوُضُوءِ وَالْمُوَالَاةُ بَيْنَ أَعْضَاءِ الْوُضُوءِ وَالدَّلْكُ فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلُ وَوَضْعُ الْأَنْفِ عَلَى الْأَرْضِ فِي السُّجُودِ وَوَضْعُ الْيَدَيْنِ مَكْشُوفَتَيْنِ عَلَى الْأَرْضِ فِيهِ وَنِيَّةُ الْخُرُوجِ مِنْ الصَّلَاةِ وَأَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ بَالِغًا وَأَنْ لَا يَكُونَ فَاسِقًا مُجَاهِرًا وَأَنْ يَكُونَ الْخَطِيبُ هُوَ الْإِمَامُ وَأَنْ تَكُونَ الصَّلَاةُ فِي الْمَسْجِدِ الْجَامِعِ وَسُئِلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إذَا فُقِدَتْ شُرُوطُ الْجُمُعَةِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ فَمَا حُكْمُهَا وَأَجَابَ بِأَنَّهُ يَحْرُمُ فِعْلُهَا حِينَئِذٍ ؛ لِأَنَّهُ تَلَبَّسَ بِعِبَادَةٍ فَاسِدَةٍ نَعَمْ إنْ قَالَ بِصِحَّتِهَا مَنْ يَجُوزُ تَقْلِيدُهُ وَقَلَّدَهُ الشَّافِعِيُّ تَقْلِيدًا صَحِيحًا مُجْتَمِعًا لِشُرُوطِهِ جَازَ فِعْلُهَا حِينَئِذٍ بَلْ يَجِبُ، ثُمَّ إذَا أَرَادُوا إعَادَتَهَا ظُهْرًا خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ فَلَا بَأْسَ بِهِ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ حِينَئِذٍ ، وَلَوْ مُنْفَرِدًا وَقَوْلُهُمْ لَا تُعَادُ الْجُمُعَةُ ظُهْرًا مَحَلُّهُ فِي غَيْرِ الْمَعْذُورِينَ وَمِنْهُمْ مَنْ وَقَعَ فِي صِحَّةِ جُمُعَتِهِ خِلَافٌ وَسُئِلَ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ صَالِحٌ الرَّئِيسُ مُفْتِي الشَّافِعِيَّةِ بِمَكَّةَ الْمُشَرَّفَةِ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى هَلْ يُسَنُّ إعَادَةُ الْجُمُعَةِ ظُهْرًا إذَا كَانَ إمَامُهَا مُخَالِفًا وَأَجَابَ بِقَوْلِهِ نَعَمْ تُسَنُّ إعَادَتُهَا ظُهْرًا حِينَئِذٍ، وَلَوْ مُنْفَرِدًا لِقَوْلِهِمْ كُلُّ صَلَاةٍ جَرَى فِيهَا خِلَافٌ تُسَنُّ إعَادَتُهَا ، وَلَوْ فُرَادَى وَلَا شَكَّ أَنَّ

هَذِهِ مِمَّا جَرَى الْخِلَافُ فِي صِحَّتِهَا كَمَا نَبَّهَ عَلَى ذَلِكَ التُّحْفَةُ فِي بَابِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَسُئِلَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ دُونَ الْأَرْبَعِينَ يُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ مُقَلِّدِينَ لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فِي الْعَدَدِ مَعَ جَهْلِهِمْ بِشُرُوطِ الْجُمُعَةِ عِنْدَهُ، وَقَالَ لَهُمْ إمَامُهُمْ صَلُّوا وَيَكْفِي ذَلِكَ التَّقْلِيدُ وَأَجَابَ بِقَوْلِهِ نَعَمْ حَيْثُ نَقَصُوا عَنْ الْأَرْبَعِينَ جَازَ التَّقْلِيدُ لِلْإِمَامِ مَالِكٍ لَكِنْ مَعَ الْعِلْمِ بِالشُّرُوطِ الْمُعْتَبَرَةِ عِنْدَهُ وَالْعَمَلُ بِهِ أَيْضًا وَتُسَنُّ الْإِعَادَةُ، وَأَمَّا قَوْلُ إمَامِهِمْ لَهُمْ وَيَكْفِي إلَخْ فَإِنْ أَرَادَ بِذَلِكَ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ الْعِلْمُ بِالشُّرُوطِ فَهُوَ قَوْلٌ غَيْرُ صَحِيحٍ انْتَهَى مَا تَيَسَّرَ نَقْلُهُ مِنْ تِلْكَ الرِّسَالَةِ بِاخْتِصَارٍ.

Referensi jawaban no. 2 :
اسعاد الرفيق (ج 2 / ص 141)
(فصل) في التوبة وشروطها وأحكامها وأركانها (يجب التوبة) وجوبا عينيا (من) جميع (الذنوب) الكبائر بالإتفاق والصغائر على خلاف فيها والذنب شرعا ماعصى الله به أوماذم مرتكبه في الشرع ولحقه بسببه عقاب فخرج المكروه وترادفه المعصية والسيئة والخطيئة والجريمة والمنهي عنه تحريما والمذموم شرعا تحريما.

إحياء علوم الدين - (ج ٤ ص ١٦)
الركن الثاني فيما عنه التوبة وهي الذنوب صغائرها وكبائرها
اعْلَمْ أَنَّ التَّوْبَةَ تَرْكُ الذَّنْبِ وَلَا يُمْكِنُ تَرْكُ الشَّيْءِ إِلَّا بَعْدَ مَعْرِفَتِهِ وَإِذَا كَانَتِ التَّوْبَةُ وَاجِبَةً كَانَ مَا لَا يُتَوَصَّلُ إِلَيْهَا إلا به واجباً فمعرفة الذنوب إذن وَاجِبَةٌ وَالذَّنْبُ عِبَارَةٌ عَنْ كُلِّ مَا هُوَ مُخَالِفٌ لِأَمْرِ اللَّهِ تَعَالَى فِي تَرْكٍ أَوْ فعل وتفصيل ذلك يستدعي شرح التكليفات من أولها إلى آخرها وليس ذلك من غرضنا ولكنا نشير إلى مجامعها وروابط أقسامها والله الموفق للصواب برحمته.

الرسالة القشيرية - (ج 1 / ص 44)
فأرباب الأصول من أهل السنةَّ قالوا: شرط التوبة، حتى تصح، ثلاثة أشياء: الندم على ما عمل من المخالفات وترك الزَّلة في الحال والعزمُ على أن لايعود إلى مثل ما عمل من المعاصي. فهذه الأركان لابد منها، حتى تصحَّ توبته.

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي - (ص 284)
(مسألة: ك): للتوبة ثلاثة شروط: الندم على الفعل، والإقلاع في الحال، والعزم على عدم العود، ويزيد حق العباد برد المظالم إليهم.

أسنى المطالب  - (ج 3 / ص 469)
( وَيَنْبَغِي ) أَيْ يُسْتَحَبُّ لِلْقَوْمِ السَّامِعِينَ وَغَيْرِهِمْ ( أَنْ يُقْبِلُوا عَلَيْهِ ) بِوُجُوهِهِمْ ؛ لِأَنَّهُ الْأَدَبُ وَلِمَا فِيهِ مِنْ تَوَجُّهِهِمْ الْقِبْلَةَ ( وَ ) أَنْ ( يُنْصِتُوا وَيَسْتَمِعُوا ) قَالَ تَعَالَى { وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا } ذَكَرَ كَثِيرٌ مِنْ الْمُفَسِّرِينَ أَنَّهُ وَرَدَ فِي الْخُطْبَةِ وَسُمِّيَتْ قُرْآنًا لِاشْتِمَالِهَا عَلَيْهِ قَالَ فِي الْأَصْلِ وَالْإِنْصَاتُ السُّكُوتُ وَالِاسْتِمَاعُ شُغْلُ السَّمْعِ بِالسَّمَاعِ انْتَهَى فَبَيْنَهُمَا عُمُومٌ وَخُصُوصٌ مِنْ وَجْهٍ.
( قَوْلُهُ وَأَنْ يَنْصِتُوا وَيَسْتَمِعُوا ) مُقْتَضَاهُ أَنَّ السَّمَاعَ الْمُحَقَّقَ لَا يُشْتَرَطُ وَإِلَّا كَانَ الْإِنْصَاتُ وَاجِبًا فَيُكْتَفَى بِالصَّوْتِ وَإِمْكَانِ السَّمَاعِ.

شرح البهجة الوردية - (ج 5 / ص 124)
تَقَدَّمَ أَنَّ الْوَاجِبَ السَّمَاعُ بِالْقُوَّةِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ، وَفِي ق ل عَلَى الْجَلَالِ قَوْلُهُ : يُسَنُّ الْإِنْصَاتُ هُوَ السُّكُوتُ مَعَ الْإِصْغَاءِ، وَهُوَ الِاسْتِمَاعُ فَلَا يُنَافِي مَا مَرَّ مِنْ وُجُوبِ السَّمَاعِ أَيْ : عَلَى طَرِيقَةِ الْإِسْنَوِيِّ الْقَائِلِ بِوُجُوبِ السَّمَاعِ بِالْفِعْلِ فَتَأَمَّلْ اهـ

غذاء الألباب في شرح منظومة الآداب - (ج 4 / ص 217)
قَالَ ابْنُ مُفْلِحٍ : وَظَاهِرُ كَلَامِ بَعْضِ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ صِحَّةُ التَّوْبَةِ مِنْ كُلِّ مَا حَصَلَتْ فِيهِ الْمُخَالَفَةُ أَوْ أَدْنَى غَفْلَةٍ وَإِنْ لَمْ يَأْثَمْ.

إحياء علوم الدين - (ج 3 / ص 119)
اعلم أن للإنسان أوصافاً وأخلاقاً كثيرة على ما عرف شرحه في كتاب عجائب القلب وغوائله، ولكن تنحصر مثارات الذنوب في أربع صفات: صفات ربوبية، وصفات شيطانية، وصفات بهيمية، وصفات سبعية. وذلك لأن طينة الإنسان عجنت من أخلاط مختلفة، فاقتضى كل واحد من الأخلاط في المعجون منه أثراً من الآثار كما يقتضي السكر والخل والزعفران في السكنجين آثاراً مختلفة، فأما ما يقتضي النزوع إلى الصفات الربوبية فمثل الكبر والفخر والجبرية وحب المدح والثناء والغنى وحب دوام البقاء وطلب الاستعلاء على الكافة حتى كأنه يريد أن يقول: أنا ربكم الأعلى، وهذا يتشعب منه جملة من كبائر الذنوب غفل عنها الخلق ولم يعدوها ذنوباً وهي المهلكات العظيمة التي هي كالأمهات لأكثر المعاصي كما استقصيناه في ربع المهلكات. الثانية هي الصفة الشيطانية التي منها يتشعب الحسد والبغي والحيلة والخداع والأمر بالفساد والمكر وفيه يدخل الغش والنفاق والدعوة إلى البدع والضلال. الثالثة الصفة البهيمية ومنها يتشعب الشره والكلب والحرص على قضاء شهوة البطن والفرج، ومنه يتشعب الزنا واللواط والسرقة وأكل مال الأيتام وجمع الحطام لأجل الشهوات. الرابعة الصفة السبعية ومنها يتشعب الغضب والحقد والتهجم على الناس بالضرب والشتم والقتل واستهلاك الأموال، ويتفرع عنها جمل من الذنوب. وهذه الصفات لها تدريج في الفطرة، فالصفة البهيمية هي التي تغلب أولاً ثم تتلوها الصفة السبعية ثانياً، ثم إذا اجتمعا استعملا العقل في الخداع والمكر والحيلة وهي الصفة الشيطانية، ثم بالآخرة تغلب الصفات الربوبية وهي الفخر والعز وطلب الكبرياء وقصد الاستيلاء على جميع الخلق. فهذه أمهات الذنوب ومنابعها ثم تنفجر من هذه المنابع على الجوارح، فبعضها في القلب خاصة كالكفر والبدعة والنفاق وإضمار السوء للناس، وبعضها على العين والسمع، وبعضها على اللسان، وبعضها على البطن والفرج، وبعضها على اليدين والرجلين وبعضها على جميع البدن ولا حاجة إلى بيان تفصيل ذلك فإنه واضح.

PENGANGKATAN PEREMPUAN JADI KEPALA

PENGANGKATAN PEREMPUAN JADI KEPALA

Tanggal 14 Desember 2018

Pertanyaan :
a.  Bagaiamana hukum pengangkatan perempuan jadi kepala daerah?

Jawaban :
a.  Tidak sah, karena tidak memenuhi syarat-syarat pengangkatan jadi pemimpin (yaitu harus merupakan laki-laki bukan perempuan).

Catatan :
•  Pada dasarnya, kita tidak boleh memilih pemimpin perempuan. Akan tetapi ketika perempuan tersebut suaranya terbanyak pada saat pemilihan dan menjadi pemimpin, maka kita wajib taat terhadap perintah, larangan & keputusannya, sebagaimana pemimpin yang memenuhi syarat-syarat pengangkatannya.

Referensi jawaban no. 1 :
روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج ٣ / ص ٤٣٣)
الفصل الأول في شروط الإمامة
وهي كونه مكلفاً مسلماً عدلاً حراً ذكراً عالماً مجتهداً شجاعاً ذا رأي وكفاية سميعاً بعيداً ناطقاً قرشياً وفي اشتراط سلامة سائر الأعضاء كاليد والرجل والأذن خلاف جزم المتولي بأنه لا يشترط وجزم الماوردي باشتراط سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض وهذا أصح.
قلت قال الماوردي عشا العين لا يمنع من انعقاد الإمامة لأنه مرض في زمن الاستراحة ويرجى زواله وضعف البصر إن كان يمنع معرفه الأشخاص منع انعقاد الإمامة واستدامتها وإلا فلا وفقد الشم والذوق وقطع الذكر والأنثيين لا يؤثر قطعاً والله أعلم.
فإن لم يوجد قرشي مستجمع الشروط فكناني فإن لم يوجد فرجل من ولد إسماعيل صلى الله عليه وسلم فإن لم يكن فيهم مستجمع الشرائط ففي التهذيب أنه يولى رجل من العجم وفي التتمة أنه يولى جرهمي وجرهم أصل العرب فإن لم يوجد جرهمي فرجل من ولد إسحاق صلى الله عليه وسلم ولا يشترط كونه هاشمياً ولا كونه معصوماً وفي جواز تولية المفضول خلاف مذكور في أدب القضاء فإن لم تتفق الكلمة إلا عليه جازت توليته بلا خلاف لتندفع الفتنة ولو نشأ من هو أفضل من المفضول لم يعدل إلى الناشيء بلا خلاف.

الموسوعة الفقهية الفقهية - (ج 6 / ص 218-219)
شروط الإمامة :
۱٠ - يشترط الفقهاء للإمام شروطا، منها ما هو متفق عليه ومنها ما هو مختلف فيه. فالمتفق عليه من شروط الإمامة :
أ - الإسلام، لأنه شرط في جواز الشهادة. وصحة الولاية على ما هو دون الإمامة في الأهمية. قال تعالى : ( ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا ) والإمامة كما قال ابن حزم : أعظم ( السبيل )، وليراعى مصلحة المسلمين.
ب - التكليف : ويشمل العقل، والبلوغ، فلا تصح إمامة صبي أو مجنون، لأنهما في ولاية غيرهما، فلا يليان أمر المسلمين، وجاء في الأثر « تعوذوا بالله من رأس السبعين، وإمارة الصبيان.
ج - الذكورة : فلا تصح إمارة النساء، لخبر : « لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة ولأن هذا المنصب تناط به أعمال خطيرة وأعباء جسيمة تتنافى مع طبيعة المرأة، وفوق طاقتها. فيتولى الإمام قيادة الجيوش ويشترك في القتال بنفسه أحيانا. " - ص 219 -".
د - الكفاية ولو بغيره، والكفاية هي الجرأة والشجاعة والنجدة، بحيث يكون قيما بأمر الحرب والسياسة وإقامة الحدود والذب عن الأمة.
هـ - الحرية : فلا يصح عقد الإمامة لمن فيه رق، لأنه مشغول في خدمة سيده.
و - سلامة الحواس والأعضاء مما يمنع استيفاء الحركة للنهوض بمهام الإمامة. وهذا القدر من الشروط متفق عليه.
۱۱ - أما المختلف فيه من الشروط فهو :
أ - العدالة والاجتهاد. ذهب المالكية والشافعية والحنابلة إلى أن العدالة والاجتهاد شرطا صحة، فلا يجوز تقليد الفاسق أو المقلد إلا عند فقد العدل والمجتهد. وذهب الحنفية إلى أنهما شرطا أولوية، فيصح تقليد الفاسق والعامي، ولو عند وجود العدل والمجتهد.
ب - السمع والبصر وسلامة اليدين والرجلين. ذهب جمهور الفقهاء إلى أنها شروط انعقاد، فلا تصح إمامة الأعمى والأصم ومقطوع اليدين والرجلين ابتداء، وينعزل إذا طرأت عليه، لأنه غير قادر على القيام بمصالح المسلمين، ويخرج بها عن أهلية الإمامة إذا طرأت عليه. وذهب بعض الفقهاء إلى أنه لا يشترط ذلك، فلا يضر الإمام عندهم أن يكون في خلقه عيب جسدي أو مرض منفر، كالعمى والصمم وقطع اليدين والرجلين والجدع والجذام، إذ لم يمنع ذلك قرآن ولا سنة ولا إجماع.

فتاوى الأزهر - (ج 10 / ص 15)
السؤال : ما حكم تولية المرأة للقضاء ؟ الجواب: فى تولى المرأة للقضاء ثلاثة آراء :
الرأى الأول : وهو رأى الجمهور وعليه الأئمة الثلاثة مالك والشافعى وأحمد، أنه لا يجوز، بناء على حديث رواه البخارى وغيره "لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة" لأن منعها من القضاء أولى من منعها من الولاية العامة، قال ابن حجر فى " فتح البارى " : وقد اتفقوا على اشتراط الذكورة فى القاضى إلا عند الحنفية، واستثنوا الحدود، وأطلق ابن جرير.
الرأى الثانى : جوازه مطلقا فى كل الأمور، ونسب إلى ابن جرير الطبرى، بحجة أن الأصل أن كل من يتأتى منه الفصل بين الناس فحكمه جائز، إلا ما خصصه الإجماع من الإمامة الكبرى، ورد بأن شهادتها إذا كانت على النصف من شهادة الرجل بنص القرآن فهى لا تستقل بالحكم الذى هو نتيجة الشهادة، وعلق الماوردى فى كتابه "الأحكام السلطانية " على هذا الرأى بقوله : ولا اعتبار بقول يرده إجماع، هذا ونص أبو بكر بن العربى على أن نسبة هذا القول إلى ابن جرير كاذبة، كما قال الشيخ محمد الخضر حسين "الأهرام 27/ 6/1953" وانظر تفسير القرطبى ج 12 ص 184.
الرأى الثالث : جواز قضائها فيما تصح فيه شهادتها، وذلك فى غير الجنايات التى فيها حدود، وهو منسوب لأبى حنيفة. وقال أبو بكر بن العربى : مراد أبى حنيفة ولايتها فى جزئية لا أن يصدر لها (مرسوم) بولاية القضاء العام.

تحفة المريد شرح جوهرة التوحيد )ص 219(
ثم إن هذه الشروط إنماهي في الإبتداء وحالة الإختيار، وأمافي الدوام فلايشترط كمايعلم ممايأتي، وتغلب عليها شخص قهرا انعقدت له وإن لم يكن أهلا كصبي وامرأة وفاسق وتجب طاعته فيما أمر به أو نهى عنه كالمستوفي للشروط.

حاشية الشنواني على إتحاف المريد شرح جوهرة التوحيد )ص 624(
قوله (عدل) أي في الإبتداء وحالة الإختيار، إذ الإمامة تنعقد باستلاء شخص عليها قهرا ولولغيرأهل لها كصبي أوامرأة أوفاسق، وتجب طاعته كالمستوفي للشروط فيماأمر به أو نهى عنه.

SHIGHOT WASIYAT DALAM KHOTHBAH

TENTANG SHIGHOT WASIYAT DALAM KHOTHBAH

Tanggal 06 Desember 2018

Pertanyaan tentang shighot wasiyat taqwa dalam khutbah :
1.  Cukup dengan lafadz اوصيكم ونفسي بتقوى الله ataukah harus dengan lafadz اتقوا الله?
2.  Jika belum cukup, cukupkah dengan bacaan ayat  yang mengandung lafadz اتقوا الله?

Jawaban :
1.  Semuanya cukup untuk wasiyat taqwa dalam khothbah dan tidak harus dua-duanya disampaikan dalam khothbah. Yang penting isi khothbahnya الأمر بالطاعة (memerintah/mengajak keta’atan) dan النهي عن المعصية (melarang/meninggalkan kema’siatan).
2.  Gugur

Referensi jawaban no. 1 :
فتح القريب المجيب لابن قاسم الغزي - (ص 41)
وأركان الخطبتين خمسة: حمد الله تعالى، ثم الصلاة على رسول الله ولفظهما متعين، ثم الوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها على الصحيح، وقراءة آية في إحداهما، والدعاء للمؤمنين والمؤمنات في الخطبة الثانية، ويشترط أن يسمع الخطيب أركان الخطبة لأربعين تنعقد بهم الجمعة، ويشترط الموالاة بين كلمات الخطبة وبين الخطبتين

نهاية الزين - (ج 1 / ص 140)
(و) ثَالِثهَا (وَصِيَّة بتقوى) وَلَا يتَعَيَّن لفظ الْوَصِيَّة وَلَا مادتها لِأَن الْمَقْصُود الْوَعْظ والحث على طَاعَة الله فَيَكْفِي أطِيعُوا الله وراقبوه وَهَذِه الثَّلَاثَة أَرْكَان (فيهمَا) أَي فِي كل من الْخطْبَتَيْنِ فَتكون سِتَّة تَفْصِيلًا

حاشية إعانة الطالبين - (ج 2 / ص 77)
(قوله: وصية بتقوى الله) فلا يكفي التحذير من الدنيا وغرورها، بل لا بد من الحث على الطاعة، والزجر عن المعصية.
كما سيذكره.
(قوله: ولا يتعين لفظها) أي الوصية بالتقوى، لأن الغرض الوعظ، والحمل على طاعة الله، فيكفي ما دل على الموعظة، طويلا كان أو قصيرا، كأطيعوا الله، وراقبوه. وفي المغني ما نصه: (تنبيه) قوله: ولا يتعين لفظها: يحتمل أن مراده لا يتعين لفظ الوصية، وهو عبارة الروضة، فيكون لفظ التقوى لا بد منه، وهذا أقرب إلى لفظه. ويحتمل أن مراده ولا يتعين واحد من اللفظين، لا الوصية ولا التقوى، وهو ما قررت به كلامه، تبعا للشارح. وجزم الأسنوي باحتمال الأول، ففسر به لفظ المصنف. قال بعض المتأخرين: ويمكن أن يكون مراده ما في الروضة: أن الخلاف في لفظ الوصية، ولا يجب لفظ التقوى قطعا. ويؤيده ما نقلاه عن الإمام وأقراه، أنه يكفي أن يقول أطيعوا الله اهـ.
(قوله: ولا تطويلها) أي ولا يتعين طول الكلام في الوصية، بل يكفي ما يدل على الموعظة، طويلا كان أو قصيرا، كما علمت.

Referensi jawaban no. 2 :
-i

KATEGORI PATUNG YANG HARAM

TENTANG KATEGORI PATUNG YANG HARAM

Tanggal 05 Desember 2018

Pertanyaan tentang pembatasan suatu benda dikategorikan dalam hukum patung yang haram hukumnya.
1.  Bagaimana dengan status seperti gambar dibawah ini?
 

Jawaban :
1.  Haram, karena anggota tubuhnya lengkap/anggota tubuh yang urgen lengkap, yang berpotensi hidup.

Keterangan :
Boneka boleh untuk :
a.  Anak kecil baik laki-laki atau perempuan.
b.  Wanita yang telah baligh jika ada hajat.
Sedangkan untuk laki-laki baligh masih belum ada keterangan yang memperbolehkan.

Referensi jawaban no. 1 :
رياض الصالحين - (ص 305)
باب تحريم تصوير الحيوان في بساط أو حجر أو ثوب أو درهم أو مخدة أو دينار أو وسادة وغير ذلك وتحريم اتخاذ الصور في حائط وسقف وستر وعمامة وثوب ونحوها والأمر بإتلاف الصورة )1678 - عن ابن عمر رضي الله عنهما: أنَّ رَسُولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - قال: «إنَّ الَّذينَ يَصْنَعُونَ هذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ القِيامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ». متفق عليه

بلوغ الأمنية عقب إنارة الدجى - (ص ٢٣٩)
ان العلامة القسطلاني على البخارى نقل عن الإمام ابن العربى أنه قال؛ حاصل ما في اتخاذ الصورة أنها إن كانت ذات أجسام حرم بالإجماع .
وإن كان رقما فأربعة أقوال ؛
٠- الجواز مطلقا لظاهر حديث الباب
٠- والمنع مطلقا حتى الرقم
٠- والتفصيل ؛ فإن كانت الصورة باقية الهيئة قائمة الشكل حرم , وإن قطعت الرأس وتفرقت الأجزاء جاز . قال :وهذا هو الأصح
٠- والرابع إن كان مما يمتهن جاز , وإن كان معلقا فلا   إھ بالحرف

السيد علوي الملكي - (ح ٢١٣)
فعلم أن المجمع على تحريمه من تصوير الأكوان ما اجتمع فيه خمسة قيود عند أولي العرفان أولها ؛ كون الصورة للإنسان أو للحيوانثانيها ؛ كونها كاملة لم يعمل فيها ما يمنع الحياة من النقصان كقطع رأس أو نصف أو بطن أو صدر أو خرق بطن أو تفريق أجزاء لجسمان ثالثها ؛ كونها في محل يعظم لا في محل يسام بالوطء والامتهانرابعها ؛ وجود ظل لها في العيان خامسها ؛ أن لا تكون لصغار البنان من النسوان فإن انتفى قيد من هذه الخمسة . . كانت مما فيه اختلاف العلماء الأعيان . فتركها حينئذ أورع وأحوط للأديان . ولا ينكر على فاعلها إنكار زجر كفاعل ما أجمع على تحريمه من أمور العصيان ، لأن اختلاف علماء الأمة رحمة من الرحمن بل بالنصح والإرشاد إلى خروج من خلاف العلماء كما عليه أهل الكمال وسد ذرائع الفساد في الزمان . وعند تكامل القي يجب تركها على الإنسان وينكر عليه بالزجر لخرقة إجماع أهل العلم وهو سبب لاستحقاق النيران لازلنا في عافية من المنان

موسوعة الأعمال الكاملة للإمام محمد الخضر حسين - (ج 1 / ص 207)
جاءت هذه الأحاديث، وهي تدل بظاهرها على حرمة التصوير بوجه عام، ولكن العلماء اختلفوا في حكم تصوير الحيوان والإنسان على حسب اختلاف أنظارهم في فهم هذه الأحاديث، والتفقه في علة النهي، واختيار طريق الجمع بين ما يظهر في بعضها من تعارض.
فذهب فريق إلى المنع من صنعها بإطلاق، وقالوا: تصوير الحيوان حرام بكل حال، وسواء كان في ثوب، أو بساط، أو دينار، أو درهم، أو فلس، أو إناء، أو حائط، وسواء في هذا كله ما له ظل، وما لا ظل له.
واستثنى بعض أهل العلم من منع تصوير ما له ظل: الصور التي تصنع للعب البنات؛ لما ورد فيها من الرخصة، ذكر هذا القرطبي في "تفسيره"، ونقل الماوردي في "الأحكام السلطانية": أن أبا سعيد الإصطخري من أصحاب الإِمام الشافعي تقلد حسبة بغداد في أيام المقتدر، وأقر سوق اللُّعب، ولم يمنع منها، وقال: قد كانت عائشة - رضي الله عثها - تلعب بالبنات بمشهد رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فلا ينكره عليها ( 2)، ثم قال: وليس ما ذكره من اللُّعب ببعيد من الاجتهاد.
وقيد آخرون منع الصور المجسمة بتمام الأعضاء الظاهرة، أما إذا كانت الصورة ناقصة عضواً لو قطع من الحيوان، فقد معه الحياة؛ كالرأس، والبطن، فصنعها غير محرم عند هؤلاء، ووجه هذا القيد: أن الحديث يقول في وعيد المصورين: "ويقال لهم: أحيوا ما خلقتم"، ومقتضاه: أن تكون الصورة تامة الأعضاء التي لا حياة لها بدونها, ولا ينقصها إلا نفخ الروح الذي يكون به الإِحياء.
ورأى بعض الفقهاء - فيما حكاه أبو محمد الجويني - جواز نسج الصور في الثوب، وأفتى آخرون لإباحة التصوير على الأرض ونحوها، وقال الخطابي: الذي يصور أشكال الحيوان (أي: يصنع صورتها دون أن يكون لها ظل) أرجو ألا يكون داخلاً في هذا الوعيد. ومما يصح أن يكون مستنداً لهؤلاء: أن النبي - صلى الله عليه وسلم - لما أخبر أن الملائكة لا تدخل بيتاً فيه صورة، قال: "إلا رقماً في ثوب"، وهذا استثناء - وإن ورد في سياق النهي عن اتخاذ الصور - فهو يؤذن بأن رقم الصور في الثوب غير داخل فيما حرم من التصوير.

الفقه على مذاهب الأربعة - (ج 2 / ص 40)
الشافعية - قالوا: يجوز تصوير غير الحيوان كالأشجار والسفن والشمس والقمر، أما الحيوان فإنه لا يحل تصويره سواء كان عاقلاً أو غير عاقل ولكن إذا صوره أحد فلا يخلو إما أن يكون غير مجسد أو مجسد فإن كان غير مجسد فإنه يحل التفرج

تحفة المحتاج - (ج 4 / ص 329)
(قَوْلُهُ: وَصُورَةِ حَيَوَانٍ) وَفِي الْعَلْقَمِيِّ عَلَى الْجَامِعِ مَا نَصُّهُ: قَالَ النَّوَوِيُّ قَالَ الْعُلَمَاءُ تَصْوِيرُ صُورَةِ الْحَيَوَانِ حَرَامٌ شَدِيدُ الْحُرْمَةِ، وَهِيَ مِنْ الْكَبَائِرِ سَوَاءٌ صَنَعَهُ لِمَا يُمْتَهَنُ أَمْ لِغَيْرِهِ فَصَنْعَتُهُ حَرَامٌ مُطْلَقًا بِكُلِّ حَالٍ وَسَوَاءٌ كَانَ فِي ثَوْبٍ أَوْ بِسَاطٍ أَوْ دِرْهَمٍ أَوْ دِينَارٍ أَوْ فَلْسٍ أَوْ إنَاءٍ أَوْ حَائِطٍ أَوْ غَيْرِهَا فَأَمَّا تَصْوِيرُ مَا لَيْسَ فِيهِ صُورَةُ حَيَوَانٍ مَثَلًا فَلَيْسَ بِحَرَامٍ انْتَهَى

الفقه على مذاهب الأربعة - (ج 2 / ص 40)
وأما القسم الثاني فإن فيه تفصيل المذاهب على أن المحرم منه إنما حرم في نظر الشرع إذا كان لغرض فاسد كالتماثيل التي تصنع لتعبد من دون الله وكذلك إذا ترتب عليها تشبه أو تذكر لشهوات فاسدة فإنها في هذه الحالة تكون كبيرة من الكبائر فلا يحل عملها ولا بقاؤها ولا التفرج عليها. أما إذا كانت لغرض صحيح كتعلم وتعليم فإنها تكون مباحة لا إثم فيها. ولهذا استثنى بعض المذاهب لعب البنات العرائس الصغيرة الدمى فإن صبغها جائز وكذلك بيعها وشراؤها لأن الغرض من ذلك إنما هو تدريب البنات الصغار على تربية الأولاد وهذا الغرض كاف في إباحتها اهـ.

الموسوعة الفقهية الكويتية لمجموعة من المؤلفين - (ج ١٢ / ص ١٠٠-۱٠٢)
تصْوِيرُ صُورَةِ الإْنْسَانِ وَالْحَيَوَانِ فِي الشَّرِيعَةِ الإْسْلاَمِيَّةِ:
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حُكْمِ تَصْوِيرِ ذَوَاتِ الأْرْوَاحِ مِنَ الإْنْسَانِ أَوِ الْحَيَوَانِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْوَالٍ:
الْقَوْل الأْوَّل: إِنَّ ذَلِكَ غَيْرُ حَرَامٍ. وَلاَ يَحْرُمُ مِنْهُ إِلاَّ أَنْ يَصْنَعَ صَنَمًا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ تعالى - إلى أن قال -
القول الثالث : أنه يحرم تصوير ذوات الأرواح مطلقا أي سواء أكان للصورة ظل أو لم يكن. وهو مذهب الحنفية والشافعية والحنابلة. وتشدد النووي حتى ادعى الإجماع عليه. وفي دعوى الإجماع نظر يعلم ممايأتي. وقد شكك في صحة الإجماع ابن نجيم كمافي الطحطاوي على الدر، وهو ظاهر، لماتقدم من أن المالكية لايرون تحريم الصور المسطحة. لاتختلف المذهب عندهم في ذلك. وهذا التحريم عند الجمهور هو من حيث الجملة. ويستثنى عندهم بعض الحالات المتفق عليها أو المختلف فيها مماسيذكر فيمابعد.

حاشية القليوبى وعميرة - (ج 3 / ص 297)
(وقوله يحرم تصوير حيوان ) ولو على هيئة لا يعيش معها اما لما لا ناظر له كما مر أو من طين أو من حلاوة ويصح بيعها ولا يحرم التفرج عليها ولا استدامتها قاله شيخنا الرملى وخالفه شيخنا الزيادى فى الأخرين فحرمها ويستثنى لعب البنات لأن عائشة رضى الله عنها كانت تلعب بها عنده صلى الله عليه وسلم وحكمته تدبيرهن على أمر التربية وخرج بالحيوان نحو شجرة وقمر وشمس فلا يحرم فيها شيئ مما مر.

إنارة الدجى - (ص 239)
ونقل الشيخ عبد الرحمن الزرقاني عن الخطاب أنه يستثنى من التصوير المحرم تصوير لعبة على هيئة بنت صغيرة تلعب بها البنات الصغار فإنه جائز ويجوز بيعها وشراؤها لتدريب البنات على تربية الأولاد انتهى. وفي اشتراط كون اللعبة الجائزة للبنات الصغار ناقصة ومما لا يبقى وعدم اشتراط ذلك خلاف رجح بعضهم الأول اهـ.

اتحاف السادات المتقين - (ج 7 / ص 429-430)
ولا يجوز بيع العود والصنج والمزامير فإنه لا منفعة لها شرعا وكذا بيع الصور المصنوعة من الطين كالحيوانات التي تباع في الأعيان للعب الصبيان فإن كسرها واجب شرعا وأما الثياب والأطباق وعليها صور الحيوانات فيصح بيعها وكذا الستور وقد قال رسول الله صلى الله وسلم لعائشة رضي الله عنها اتخذي منها نمارق ولا يحوز استعمالها منصوبة ويجوز موضوعة وإذا جاز الانتفاع من وجه صح البيع لذلك الوجه - إلى أن قال - وكذا بيع الصور المصنوعة من الطين كالحيوانات التي تباع في الأعياد للعب الصبيان فإن كسرها واجب اهـ

حاشية الباجوري (ج 2 / ص 128)
وأما أصل تصوير الحيوان فحرام مطلقا ولو على هيئة لا يعيش بها كأن كان بلا رأس لخبر أشد الناس عذابا يوم القيامة المصورون نعم يستثنى لعب البنات لأن عائشة كانت تلعب بها عنده صلى الله عليه وسلم وحكمة ذلك تعليمهن أمر التربية.

روائع البيان تفسير أيات الأحكام - (ج 2 / ص 410)
ﻗﺴﻢ اﻟﻌﻠﻤﺎء اﻟﺼّﻮﺭ ﺇﻟﻰ ﻗﺴﻤﻴﻦ:
ﺃ - اﻟﺼﻮﺭ اﻟﺘﻲ ﻟﻬﺎ ﻇﻞ ﻭﻫﻲ اﻟﻤﺼﻨﻮﻋﺔ ﻣﻦ ﺟﺒﺲ، ﺃﻭ ﻧﺤﺎﺱٍ، ﺃﻭ ﺣﺠﺮ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻭﻫﺬﻩ (اﻟﺘﻤﺎﺛﻴﻞ).
ﺑ - اﻟﺼﻮﺭ اﻟﺘﻲ ﻟﻴﺲ ﻟﻬﺎ ﻇﻞ، ﻭﻫﻲ اﻟﻤﺮﺳﻮﻣﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺭﻕ، ﺃﻭ اﻟﻤﻨﻘﻮﺷﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺠﺪاﺭ، ﺃﻭ اﻟﻤﺼﻮَّﺭﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺴﺎﻁ ﻭاﻟﻮﺳﺎﺩﺓ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ ﻭﺗﺴﻤﻰ (اﻟﺼﻮﺭ). فالتمثال: ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻇﻞ، ﻭاﻟﺼﻮﺭﺓ: ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻬﺎ ﻇﻞ، ﻓﻜﻞ ﺗﻤﺜﺎﻝ ﺻﻮﺭﺓ، ﻭﻟﻴﺲ ﻛﻞ ﺻﻮﺭﺓ تمثالا. ﻗﺎﻝ ﻓﻲ «ﻟﺴﺎﻥ اﻟﻌﺮﺏ»: «ﻭالتمثال: اﻟﺼﻮﺭﺓ، ﻭاﻟﺠﻤﻊ اﻟﺘﻤﺎﺛﻴﻞ، ﻭﻇﻞّ ﻛﻞ ﺷﻲء ﺗﻤﺜﺎﻝﻫ، ﻭاﻝﺗﻤﺜﺎﻝ: اﺳﻢ ﻟﻠﺸﻲء اﻟﻤﺼﻨﻮﻉ ﻣﺸﺒّﻬﺎً ﺑﺨﻠﻖٍ ﻣﻦ ﺧﻠﻖ اﻟﻠﻪ، ﻭﺃﺻﻠﻪ: ﻣﻦ ﻣﺜّﻠﺖ اﻟﺸﻲء ﺑﺎﻟﺸﻲء ﺇﺫا ﻗﺪّﺭﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭﻩ، ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺗﻤﺜﻴﻞ اﻟﺸﻲء ﺑﺎﻟﺸﻲء ﺗﺸﺒﻴﻬﺎً ﺑﻪ، ﻭاﺳﻢ ﺫﻟﻚ اﻟﻤﻤﺜّﻞ ﺗﻤﺜﺎﻝ».

فتح الباري لابن حجر - (ج 10 / ص 543)
واستدل بهذا الحديث على جواز اتخاذ صور البنات واللعب من أجل لعب البنات بهن، وخص ذلك من عموم النهي عن اتخاذ الصور، وبه جزم عياض ونقله عن الجمهور، وأنهم أجازوا بيع اللعب للبنات لتدريبهن من صغرهن على أمر بيوتهن وأولادهن. قال وذهب بعضهم إلى أنه منسوخ، وإليه مال ابن بطال، وحكى عن ابن أبي زيد عن مالك أنه كره أن يشتري الرجل لابنته الصور، ومن ثم رجح الداودي أنه منسوخ، وقد ترجم ابن حبان الإباحة لصغار النساء اللعب باللعب، وترجم له النسائي إباحة الرجل لزوجته اللعب بالبنات فلم يقيد بالصغر وفيه نظر. قال البيهقي بعد تخريجه ثبت النهي عن اتخاذ "الصور" فيحمل على أن الرخصة لعائشة في ذلك كان قبل التحريم وبه جزم ابن الجوزي، وقال المنذري إن كانت اللعب كالصورة فهو قبل التحريم وإلا فقد يسمى ما ليس بصورة لعبة، وبهذا جزم الحليمي فقال : إن كانت صورة كالوثن لم يجز وإلا جاز، وقيل : معنى الحديث اللعب مع البنات أي الجواري والباء هنا بمعنى مع حكاه ابن التين عن الداودي، ورده. قلت : ويرده ما أخرجه ابن عيينة في "الجامع" من رواية سعيد بن عبد الرحمن المخزومي عنه عن هشام بن عروة في هذا الحديث "وكن جواري يأتين فيلعبن بها معي" وفي رواية جرير عن هشام "كنت ألعب بالبنات وهن اللعب" أخرجه أبو عوانة وغيره، وأخرج أبو داود والنسائي من وجه آخر عن عائشة قالت : "قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم من غزوة تبوك أو خيبر" فذكر الحديث في هتكه الستر الذي نصبته على بابها قالت : "فكشف ناحية الستر على بنات لعائشة لعب فقال : ما هذا يا عائشة، قالت : بناتي. قالت : ورأى فيها فرسا مربوطا له جناحان فقال : ما هذا ؟ قلت فرس. قال فرس له جناحان ؟ قلت : ألم تسمع أنه كان لسليمان خيل لها أجنحة ؟ فضحك" فهذا صريح في أن المراد باللعب غير الآدميات. قال الخطابي : في هذا الحديث أن اللعب بالبنات ليس كالتلهي بسائر الصور التي جاء فيها الوعيد : وإنما أرخص لعائشة فيها لأنها إذ ذاك كانت غير بالغ. قلت : وفي الجزم به نظر لكنه محتمل؛ لأن عائشة كانت في غزوة خيبر بنت أربع عشرة سنة إما أكملتها أو جاوزتها أو قاربتها. وأما في غزوة تبوك فكانت قد بلغت قطعا فيترجح رواية من قال في خيبر، ويجمع بما قال الخطابي لأن ذلك أولى من التعارض.

الموسوعة الفقهية الكويتية لمجموعة من المؤلفين - (ج ١٢ / ص ۱٢۱)
ﻭاﻟﻤﺮاﺩ ﺑﺼﻐﺎﺭ اﻟﺒﻨﺎﺕ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻏﻴﺮ ﺑﺎﻟﻎ ﻣﻨﻬﻦ. ﻭﻗﺎﻝ اﻟﺨﻄﺎﺑﻲ: ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺃﺭﺧﺺ ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﻷﻧﻬﺎ ﺇﺫ ﺫاﻙ ﻛﺎﻧﺖ ﻏﻴﺮ ﺑﺎﻟﻎ. ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﺣﺠﺮ: ﻭﻓﻲ اﻟﺠﺰﻡ ﺑﻪ ﻧﻈﺮ، ﻟﻜﻨﻪ ﻣﺤﺘﻤﻞ، ﻷﻥ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﻓﻲ ﻏﺰﻭﺓ ﺧﻴﺒﺮ ﺑﻨﺖ ﺃﺭﺑﻊ ﻋﺸﺮﺓ، ﻭﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﻏﺰﻭﺓ ﺗﺒﻮﻙ ﻓﻜﺎﻧﺖ ﻗﺪ ﺑﻠﻐﺖ ﻗﻄﻌﺎ ﻓﻬﺬا ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻟﺘﺮﺧﻴﺺ ﻟﻴﺲ ﻗﺎﺻﺮا ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ اﻟﺒﻠﻮﻍ ﻣﻨﻬﻦ، ﺑﻞ ﻳﺘﻌﺪﻯ ﺇﻟﻰ ﻣﺮﺣﻠﺔ ﻣﺎ ﺑﻌﺪ اﻟﺒﻠﻮﻍ ﻣﺎ ﺩاﻣﺖ اﻟﺤﺎﺟﺔ ﻗﺎﺋﻤﺔ ﻟﺬﻟﻚ.
53 - ﻭاﻟﻌﻠﺔ ﻓﻲ ﻫﺬا اﻟﺘﺮﺧﻴﺺ ﺗﺪﺭﻳﺒﻬﻦ ﻋﻦ ﺷﺄﻥ ﺗﺮﺑﻴﺔ اﻷﻭﻻﺩ، ﻭﺗﻘﺪﻡ اﻟﻨﻘﻞ ﻋﻦ اﻟﺤﻠﻴﻤﻲ: ﺃﻥ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﺔ ﺃﻳﻀﺎ اﺳﺘﺌﻨﺎﺱ اﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻭﻓﺮﺣﻬﻢ. ﻭﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻬﻢ ﺑﻪ اﻟﻨﺸﺎﻁ ﻭاﻟﻘﻮﺓ ﻭاﻟﻔﺮﺡ ﻭﺣﺴﻦ اﻟﻨﺸﻮء ﻭﻣﺰﻳﺪ اﻟﺘﻌﻠﻢ. ﻓﻌﻠﻰ ﻫﺬا ﻻ ﻳﻜﻮﻥ اﻷﻣﺮ ﻗﺎﺻﺮا ﻋﻠﻰ اﻹﻧﺎﺙ ﻣﻦ اﻟﺼﻐﺎﺭ، ﺑﻞ ﻳﺘﻌﺪاﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﺬﻛﻮﺭ ﻣﻨﻬﻢ ﺃﻳﻀﺎ. ﻭﻣﻤﻦ ﺻﺮﺡ ﺑﻪ ﺃﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ: ﻓﻔﻲ اﻟﻘﻨﻴﺔ ﻋﻨﻪ: ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻴﻊ اﻟﻠﻌﺒﺔ، ﻭﺃﻥ ﻳﻠﻌﺐ ﺑﻬﺎ اﻟﺼﺒﻴﺎﻥ.
54 - ﻭﻣﻤﺎ ﻳﺆﻛﺪ ﺟﻮاﺯ اﻟﻠﻌﺐ اﻟﻤﺼﻮﺭﺓ ﻟﻠﺼﺒﻴﺎﻥ - ﺑﺎﻹﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ اﻟﺒﻨﺎﺕ - ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ اﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ ﻋﻦ اﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻨﺖ ﻣﻌﻮﺫ اﻷﻧﺼﺎﺭﻳﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻧﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ: ﺃﺭﺳﻞ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻏﺪاﺓ ﻋﺎﺷﻮﺭاء ﺇﻟﻰ ﻗﺮﻯ اﻷﻧﺼﺎﺭ اﻟﺘﻲ ﺣﻮﻝ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ: ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺒﺢ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻓﻠﻴﺘﻢ ﺻﻮﻣﻪ، ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺒﺢ ﻣﻔﻄﺮا ﻓﻠﻴﺘﻢ ﺑﻘﻴﺔ ﻳﻮﻣﻪ. ﻓﻜﻨﺎ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻧﺼﻮﻣﻪ ﻭﻧﺼﻮﻡ ﺻﺒﻴﺎﻧﻨﺎ اﻟﺼﻐﺎﺭ ﻣﻨﻬﻢ ﺇﻥ ﺷﺎء اﻟﻠﻪ، ﻭﻧﺬﻫﺐ ﺑﻬﻢ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺴﺠﺪ، ﻓﻨﺠﻌﻞ - ﻭﻓﻲ ﺭﻭاﻳﺔ: ﻓﻨﺼﻨﻊ - ﻟﻬﻢ اﻟﻠﻌﺒﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﻬﻦ، ﻓﺈﺫا ﺑﻜﻰ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﺃﻋﻄﻴﻨﺎﻩ ﺇﻳﺎﻩ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ اﻹﻓﻄﺎﺭ.
55 - ﻭاﻧﻔﺮﺩ اﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ﺑﺎﺷﺘﺮاﻁ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ اﻟﻠﻌﺒﺔ اﻟﻤﺼﻮﺭﺓ ﺑﻼ ﺭﺃﺱ، ﺃﻭ ﻣﻘﻄﻮﻋﺔ اﻟﺮﺃﺱ ﻛﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ، ﻭﻣﺮاﺩﻫﻢ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ اﻟﺒﺎﻗﻲ اﻟﺮﺃﺱ، ﺃﻭ ﻛﺎﻥ اﻟﺮﺃﺱ ﻣﻨﻔﺼﻼ ﻋﻦ اﻟﺠﺴﺪ ﺟﺎﺯ، ﻛﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ. ﻭﻗﺎﻟﻮا: ﻟﻠﻮﻟﻲ ﺷﺮاء ﻟﻌﺐ ﻏﻴﺮ ﻣﺼﻮﺭﺓ ﻟﺼﻐﻴﺮﺓ ﺗﺤﺖ ﺣﺠﺮﻩ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻬﺎ ﻧﺼﺎ، ﻟﻠﺘﻤﺮﻳﻦ.

PUASA SATU HARI UNTUK DUA NIAT PUASA

TENTANG PUASA SATU HARI UNTUK DUA NIAT PUASA

Pertanyaan :
1.  Apakah bisa niat dua shaum disatukan untuk satu hari, semisal besok ‘asyura & shaum sunnah kamis?

Jawaban :
1.  Boleh & hasil semua puasanya (sah).

Referensi jawaban no. 1 :
إعانة الطالبين - (ج ٢ / ص ٢٧١)
(تنبيه) إعلم أنه قد يوجد للصوم سببان كوقوع عرفة أو عاشوراء يوم اثنين أو خميس أو وقوع اثنين أو خميس في ستة شوال فيزداد تأكده رعاية لوجود السببين فإن نواهما حصلا كالصدقة على القريب صدقة وصلة وكذا لو نوى أحدهما فيما يظهر.

فتح الوهاب - (ج 1 / ص 206)
(وتعيينه) أي الفرض قال في المجموع، وينبغي اشتراط التعيين في الصوم الراتب كعرفة وعاشوراء وأيام البيض وستة من شوال كرواتب الصلاة وأجيب بأن الصوم في الايام المذكورة منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت أيضا كتحية المسجد، لان المقصود وجوب صوم فيها.

بغية المسترشدين - (ص 113-114)
(مسألة: ك): ظاهر حديث: «وأتبعه ستاً من شوّال» وغيره من الأحاديث عدم حصول الست إذا نواها مع قضاء رمضان، لكن صرح ابن حجر بحصول أصل الثواب لإكماله إذا نواها كغيرها من عرفة وعاشوراء، بل رجح (م ر) حصول أصل ثواب سائر التطوعات مع الفرض وإن لم ينوها، ما لم يصرفه عنها صارف، كأن قضى رمضان في شوّال، وقصد قضاء الست من ذي القعدة، ويسنّ صوم الست وإن أفطر رمضان اهـ. قلت: واعتمد أبو مخرمة تبعاً للسمهودي عدم حصول واحد منهما إذا نواهما معاً، كما لو نوى الظهر وسنتها، بل رجح أبو مخرمة عدم صحة صوم الست لمن عليه قضاء رمضان مطلقاً

الفوائد الجنية - (ج 1 / ص 153)
قوله : (كل ما المقصود منه الفعل) أي لا حصوله مستقبلا بنية. قوله : (وهي نحو ستة عشر سنة) منها غسل الجمعة هو سنة إذا نوى مع غسل الجنابة, ومنها سلام الخروج من الصلاة إذ نوى به السلام على الحاضرين, ومنها عمرة التطوع إذا نويت مقرونة بحج الفرض, ومنها الصوم عن عرفة إذا نوى معه صوم قضاء أو نذر أو كفارة

Senin, 28 Oktober 2019

ORANG HAID BACA DZIKIR

TENTANG ORANG HAID BACA DZIKIR

Deskripsi Masalah :
Sebut saja Paijem, beliau ikut rombongan Yasin dan Tahlil ibu-ibu suatu hari pas saatnya haid dan pas pula beliau dapat giliran Yasinan. Karena sebagai tuan rumah beliau tetep ikut acara tersebut meskipun pada saat membaca surat Yasin, beliau diam. Namun pada saat Tahlilannya, beliau dengan semangat ikut bersuara.

Pertanyaan :
1.  Apa hukum si Paijem ikut membaca Tahlilan pada saat haid?

Jawaban :
1.  Boleh baca dzikir walaupun merupakan ayat al-Qur’an dengan syarat tidak ada tujuan/membaca al-Quran.

Referensi jawaban no. 1 :
الأذكار للنووي - (ص 10)
أجمع العلماء على جواز الذكر بالقلب واللسان للمحدث والجنب والحائض والنفساء، وذلك في التسبيح والتهليل والتحميد والتكبير والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم والدعاء وغير ذلك. ولكن قراءة القرآن حرام على الجنب والحائض والنفساء، سواء قرأ قليلا أو كثيرا حتى بعض آية، ويجوز لهم إجراء القرآن على القلب من غير لفظ، وكذلك النظر في المصحف، وإمراره على القلب. قال أصحابنا : ويجوز للجنب والحائض أن يقولا عند المصيبة : إنا لله وإنا إليه راجعون، وعند ركوب الدابة : سبحان الذي سخر لنا هذا وما كنا له مقرنين، وعند الدعاء : ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار، إذا لم يقصدا به القرآن، ولهما أن يقولا : بسم الله، والحمد لله، إذا لم يقصدا القرآن، سواء قصدا الذكر أو لم يكن لهما قصد، ولا يأثمان إلا إذا قصدا القرآن، ويجوز لهما قراءة ما نسخت تلاوته ك (الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما). وأما إذا قالا لإنسان : خذ الكتاب بقوة، أو قالا : ادخلوها بسلام آمنين، ونحو ذلك، فإن قصدا غير القرآن لم يحرم، وإذا لم يجدا الماء تيمما وجاز لهما القراءة، فإن أحدث بعد ذلك لم تحرم عليه القراءة كما لو اغتسل ثم أحدث. ثم لا فرق بين أن يكون تيممه لعدم الماء في الحضر أو في السفر، فله أن يقرأ القرآن بعده وإن أحدث.

روضة الطالبين - (ج 1 / ص 86)
وَلَوْ قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ وَلَمْ يَقْصِدِ الْقُرْآنَ، جَازَ، كَقَوْلِهِ: بِسْمِ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، أَوْ قَالَ: (سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ) الزُّخْرُفِ: الْآيَةُ 13. عَلَى قَصْدِ سُنَّةِ الرُّكُوبِ. وَلَوْ جَرَى هَذَا عَلَى لِسَانِهِ وَلَمْ يَقْصِدْ قُرْآنًا وَلَا ذِكْرًا، جَازَ. وَيَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ مَا يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ مِنَ الْقِرَاءَةِ عَلَى الْمَذْهَبِ، وَأَثْبَتَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ قَوْلًا قَدِيمًا أَنَّهَا لَا تَحْرُمُ.
قُلْتُ: وَلَوْ كَانَ فَمُ غَيْرِ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ نَجِسًا، فَفِي تَحْرِيمِ الْقِرَاءَةِ عَلَيْهِ وَجْهَانِ، الْأَصَحُّ يُكْرَهُ وَلَا يَحْرُمُ. وَلَا تُكْرَهُ الْقِرَاءَةُ فِي الْحَمَّامِ. وَيَجُوزُ لِلْحَائِضِ وَالْجُنُبِ قِرَاءَةُ مَا يُسْتَحَبُّ تِلَاوَتُهُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

المجموع - (ج 2 / ص 164)
(اﻟﻌﺎﺷﺮﺓ) ﺃﺟﻤﻊ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺟﻮاﺯ التسبيح ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭاﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻭاﻟﺘﺤﻤﻴﺪ ﻭاﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ اﻷﺫﻛﺎﺭ ﻭﻣﺎ ﺳﻮﻯ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺠﻨﺐ ﻭاﻟﺤﺎﺋﺾ ﻭﺩﻻﺋﻠﻪ ﻣﻊ اﻹﺟﻤﺎﻉ ﻓﻲ اﻷﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺤﺔ ﻣﺸﻬﻮﺭﺓ:
ﻓﺄﻣﺎ ﺇﺟﺮاء اﻟﻘﺮاءﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻠﺐ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﺤﺮﻳﻚ اﻟﻠﺴﺎﻥ ﻭاﻟﻨﻈﺮ ﻓﻲ اﻟﻤﺼﺤﻒ ﻭﺇﻣﺮاﺭ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻓﻲ اﻟﻘﻠﺐ ﻓﺠﺎﺋﺰ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ ﻭﺃﺟﻤﻊ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ ﺟﻮاﺯ التسبيح ﻭاﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻭﺳﺎﺋﺮ اﻷﺫﻛﺎﺭ ﻏﻴﺮ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺤﺎﺋﺾ ﻭاﻟﻨﻔﺴﺎء ﻭﻗﺪ ﺗﻘﺪﻡ ﺇﻳﻀﺎﺡ ﻫﺬا ﻣﻊ ﺟﻤﻞ ﻣﻦ اﻟﻔﺮﻭﻉ اﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺑﺎﺏ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ اﻟﻐﺴﻞ ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.

مغني المحتاج - (ج 1 / ص 217)
(وَتَحِلُّ) لِجُنُبٍ (أَذْكَارُهُ) وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ (لَا بِقَصْدِ قُرْآنٍ) كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ: {سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ} [الزخرف: 13] أَيْ مُطِيقِينَ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} [البقرة: 156] وَلَا مَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ، فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حَرُمَ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ فِي الدَّقَائِقِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ، قَالَهُ الْمُصَنِّفُ وَغَيْرُهُ. وَظَاهِرٌ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدْ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ، وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ، وَمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ وَهُوَ كَذَلِكَ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: لَا شَكَّ فِي تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلُ الرَّوْضَةِ، أَمَّا إذَا قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ، وَلَوْ عَبَّرَ الْمُصَنِّفُ بِهَا هُنَا كَانَ أَوْلَى لِيَشْمَلَ مَا قَدَّرْتُهُ، بَلْ أَفْتَى شَيْخِي بِأَنَّهُ لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ جَمِيعَهُ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ جَازَ

بغية المسترشدين للسيد باعلوي الحضرمي - (ص 52) بيروت - دار الفكر
وَتَحْرُمُ قِرَاءَةُ القُرْآنِ عَلَى نَحْوِ جُنُبٍ بِقَصْدِ القِرَاءَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِهَا لَا مَعَ الِإطْلَاقِ عَلَى الرَّاجِحِ وَلَا بِقَصْدِ غَيْرِ الْقِرَاءَةِ كَرَدِّ غَلَطٍ وَتَعْلِيمٍ وَتَبَرُّكٍ وَدُعَاءٍ.

TENTANG YAYASAN MENGALOKASIKAN SHODAQOH TIDAK SESUAI IZIN PEMBERI SHODAQOH

TENTANG YAYASAN MENGALOKASIKAN SHODAQOH TIDAK SESUAI IZIN PEMBERI SHODAQOH

Deskripsi Masalah :
Ada seseorang niat memberikan shodaqoh untuk mendapatkan keutamaan tanggal 10 Muharram kepada sebuah yayasan, tapi yayasan memberikan kepada anak-anak pada tanggal 11 Muharram atau lebih.

Pertanyaan :
1.  Apakah orang itu tetap mendapatkan keutamaannya?

Jawaban :
1.  Tafsil :
a.  Jika pemberi shodaqoh rela dialokasikan tanggal 11 Muharram, maka dia tidak mendapatkan keutamaan tanggal 10 Muharram tapi mendapatkan pahala kesunnahan shodaqoh secara umum.
b.  Jika dia tidak rela, maka ia tidak mendapatkan pahala. Dan pihak yayasan berdosa & wajib menggantinya, karena pihak yayasan (wakil) menyalahi izin pemberi shodaqoh (muwakkil).

Catatan:
•  Lembaga atau panitia santunan harus betul-betul memperhatikan tujuan dari donatur (penyumbang), sehingga apa yang diharapkan donatur bisa tercapai dan tidak dirugikan oleh perbuatan lembaga atau panitia.

Referensi jawaban no. 1 :
اسنى المطالب - (ج 1 / ص 406)
(وَتَتَأَكَّدُ الصَّدَقَةُ فِي) شَهْرِ (رَمَضَانَ) وَالصَّدَقَةُ فِيهِ أَفْضَلُ مِنْهَا فِيمَا يَأْتِي لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ أَنَّهُ «- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ» وَلِأَنَّهُ أَفْضَلُ الشُّهُورِ وَلِأَنَّ النَّاسَ فِيهِ مَشْغُولُونَ بِالطَّاعَةِ فَلَا يَتَفَرَّغُونَ لِمَكَاسِبِهِمْ فَتَكُونُ الْحَاجَةُ فِيهِ أَشَدَّ (وَ) فِي سَائِرِ (الْأَوْقَاتِ الْفَاضِلَةِ) كَعَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَأَيَّامِ الْعِيدِ لِفَضِيلَتِهَا (وَ) فِي (الْأَمَاكِنِ الشَّرِيفَةِ) كَمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَشُمُولِ كَلَامِهِ لِغَيْرِهِمَا مِنْ زِيَادَتِهِ وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّ مَنْ قَصَدَ التَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَوْقَاتِ وَالْأَمَاكِنِ الْمَذْكُورَةِ يُسْتَحَبُّ تَأْخِيرُهُ إلَيْهَا بَلْ الْمُرَادُ أَنَّ التَّصَدُّقَ فِيهَا أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْهُ فِي غَيْرِهَا غَالِبًا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَتَبِعَهُ الزَّرْكَشِيُّ ثُمَّ قَالَ وَفِي كَلَامِ الْحَلِيمِيِّ مَا يُخَالِفُهُ فَإِنَّهُ قَالَ وَإِذَا تَصَدَّقَ فِي وَقْتٍ دُونَ وَقْتٍ تَحَرَّى بِصَدَقَتِهِ مِنْ الْأَيَّامِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمِنْ الشُّهُورِ رَمَضَانَ (وَعِنْدَ الْمُهِمَّاتِ) مِنْ الْأُمُورِ كَغَزْوٍ وَحَجٍّ لِأَنَّهَا أَرْجَى لِقَضَائِهَا وَلِآيَةٍ {إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ} [المجادلة: 12] (وَ) عِنْدَ (الْمَرَضِ وَالْكُسُوفِ وَالسَّفَرِ) وَنَحْوِهَا (وَيُسْتَحَبُّ) اسْتِحْبَابًا مُؤَكَّدًا (التَّوْسِيعُ عَلَى الْعِيَالِ وَالْإِحْسَانُ إلَى الْأَقَارِبِ وَالْجِيرَانِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ) لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ أَنَّ «امْرَأَتَيْنِ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَتَا لِبِلَالٍ سَلْ لَنَا رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هَلْ يُجْزِئُ أَنْ نَتَصَدَّقَ عَلَى أَزْوَاجِنَا وَيَتَامَى فِي حُجُورِنَا فَقَالَ نَعَمْ لَهُمَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ» وَلِخَبَرِ «الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ وَلِخَبَرِ الْبُخَارِيِّ عَنْ «عَائِشَةَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي فَقَالَ إلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْك بَابًا» (لَا سِيَّمَا) فِي (عَشْرِ آخِرِهِ) لِأَنَّ فِيهِ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِمَّا عَدَاهُ وَإِضَافَةُ عَشْرٍ إلَى آخِرِهِ مِنْ إضَافَةِ الْعَامِّ إلَى الْخَاصِّ كَشَجَرِ أَرَاك.

الفقه المنهجي - (ج 2 / ص 54)
تأخير الوكيل صرف الزكاة للمستحقين:
مما مر يتبين لنا: أنه إذا وكل المالك غيره بصرف زكاة ماله، ودفع له المقدار الواجب، ووجد المستحقون لهذه الزكاة، فليس له تأخير دفعها إليهم، وإن أخر أثم وكان ضامناً.

المهذب - (ج 2 / ص 162)
فصل : ولا يملك الوكيل من التصرف إلا ما يقتضيه إذن الموكل من جهة النطق أو من جهة العرف لأن تصرفه بالإذن فلا يملك إلا ما يقتضيه الإذن والإذن يعرف بالنطق وبالعرف فإن تناول الإذن تصرفين وفي أحدهما إضرار بالموكل لم يجز ما فيه إضرار لقوله صلى الله عليه وسلم [ لا ضرر ولا إضرار ] فإن تناول تصرفين وفي أحدهما نظر للموكل لزمه مافيه نظر للموكل لما روى ثوبان مولى رسول الله ( ص ) قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم [ رأس الدين النصيحة قلنا يارسول الله لمن ؟ قال : لله ورسوله ولكتابه ولأئمة المسلمين وللمسلمين عامة ] وليس من النصح أن يترك ما فيه الحظ والنظر للموكل.

النجم الوهاج - (ج 6 / ص 480)
وتستحب التوسعة فيه على العيال، سيما في العشر الأخير منه، وكذا في الأوقات الفاضلة كعشر ذي الحجة ويومي العيد وعاشوراء، وكذا في الأماكن الشريفة كمكة والمدينة، والإكثار منها أمام الحاجات المهمة، وعند الكسوف والمرض والسفر، وفي الغزو والحج.

الفتاوى الفقهية الكبرى - (ج ٢ / ص ٨٣)
(‍ﻭ‍ﺳ‍‍ﺌ‍‍ﻞ‍) - ‍ﺭ‍ﺿ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻠ‍‍ﻪ‍ ‍ﻋ‍‍ﻨ‍‍ﻪ‍ - ‍ﺑ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﻔ‍‍ﻈ‍‍ﻪ‍ ‍ﺇ‍ﺫ‍ﺍ ‍ﺷ‍‍ﺮ‍ﻃ‍‍ﻨ‍‍ﺎ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺮ‍ﺍ‍ﺗ‍‍ﺐ‍ ‍ﻛ‍‍ﺮ‍ﻭ‍ﺍ‍ﺗ‍‍ﺐ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﺓ ‍ﻭ‍ﻭ‍ﻗ‍‍ﻊ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺨ‍‍ﻄ‍‍ﺄ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻛ‍‍ﺄ‍ﻥ‍ ‍ﺻ‍‍ﺎ‍ﻡ‍ ‍ﺗ‍‍ﺎ‍ﺳ‍‍ﻮ‍ﻋ‍‍ﺎﺀ ‍ﺑ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻓ‍‍ﺒ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﺑ‍‍ﺜ‍‍ﺒ‍‍ﻮ‍ﺕ‍ ‍ﺭ‍ﺅ‍ﻳ‍‍ﺔ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻬ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﻝ‍ ‍ﺣ‍‍ﻴ‍‍ﻨ‍‍ﺌ‍‍ﺬ ‍ﺃ‍ﻧ‍‍ﻪ‍ ‍ﻋ‍‍ﺎ‍ﺷ‍‍ﻮ‍ﺭ‍ﺍﺀ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﺻ‍‍ﺎ‍ﻡ‍ ‍ﺛ‍‍ﺎ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺫ‍ﻱ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺤ‍‍ﺠ‍‍ﺔ ‍ﻓ‍‍ﺒ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﺃ‍ﻧ‍‍ﻪ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﺎ‍ﺳ‍‍ﻊ‍ ‍ﻓ‍‍ﻬ‍‍ﻞ‍ ‍ﻳ‍‍ﻘ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﺻ‍‍ﺎ‍ﻣ‍‍ﻪ‍ ‍ﺑ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻋ‍‍ﻦ‍ ‍ﻋ‍‍ﺎ‍ﺷ‍‍ﻮ‍ﺭ‍ﺍﺀ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﻋ‍‍ﻦ‍ ‍ﺗ‍‍ﺎ‍ﺳ‍‍ﻊ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺤ‍‍ﺠ‍‍ﺔ ‍ﻭ‍ﻫ‍‍ﻞ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻌ‍‍ﺘ‍‍ﻤ‍‍ﺪ ‍ﻭ‍ﺟ‍‍ﻮ‍ﺏ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺫ‍ﻟ‍‍ﻚ‍ ‍ﺃ‍ﻡ‍ ‍ﻟ‍‍ﺎ?
(‍ﻓ‍‍ﺄ‍ﺟ‍‍ﺎ‍ﺏ‍) ‍ﺑ‍‍ﻘ‍‍ﻮ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﻋ‍‍ﺒ‍‍ﺎ‍ﺭ‍ﺗ‍‍ﻲ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺷ‍‍ﺮ‍ﺡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻌ‍‍ﺒ‍‍ﺎ‍ﺏ‍ ‍ﻭ‍ﻗ‍‍ﻀ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﻗ‍‍ﻮ‍ﻝ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺼ‍‍ﻨ‍‍ﻒ‍ ‍ﻭ‍ﻳ‍‍ﻜ‍‍ﻔ‍‍ﻲ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﻧ‍‍ﻔ‍‍ﻞ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻣ‍‍ﻄ‍‍ﻠ‍‍ﻖ‍ ‍ﻧ‍‍ﻴ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍ ‍ﺃ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻨ‍‍ﻔ‍‍ﻞ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺬ‍ﻱ‍ ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﺳ‍‍ﺒ‍‍ﺐ‍ ‍ﻛ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺎ‍ﺳ‍‍ﺘ‍‍ﺴ‍‍ﻘ‍‍ﺎﺀ ‍ﺑ‍‍ﻐ‍‍ﻴ‍‍ﺮ ‍ﺃ‍ﻣ‍‍ﺮ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺈ‍ﻣ‍‍ﺎ‍ﻡ‍ ‍ﻭ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺆ‍ﻗ‍‍ﺖ‍ ‍ﻛ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺎ‍ﺛ‍‍ﻨ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻭ‍ﻋ‍‍ﺮ‍ﻓ‍‍ﺔ ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﺐ‍ ‍ﺗ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻨ‍‍ﻪ‍ ‍ﺃ‍ﻱ‍ ‍ﺗ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻧ‍‍ﻴ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻟ‍‍ﻜ‍‍ﻦ‍ ‍ﺑ‍‍ﺤ‍‍ﺚ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻬ‍‍ﻤ‍‍ﺎ‍ﺕ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺄ‍ﻭ‍ﻝ‍ ‍ﻭ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺠ‍‍ﻤ‍‍ﻮ‍ﻉ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺜ‍‍ﺎ‍ﻧ‍‍ﻲ‍ ‍ﺃ‍ﻧ‍‍ﻪ‍ ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﺑ‍‍ﺪ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺗ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻨ‍‍ﻪ‍ ‍ﻛ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﺓ ‍ﻭ‍ﺃ‍ﺟ‍‍ﻴ‍‍ﺐ‍ ‍ﻋ‍‍ﻦ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺜ‍‍ﺎ‍ﻧ‍‍ﻲ‍ ‍ﺑ‍‍ﺄ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺄ‍ﻳ‍‍ﺎ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺘ‍‍ﺄ‍ﻛ‍‍ﺪ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻣ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻣ‍‍ﻨ‍‍ﺼ‍‍ﺮ‍ﻑ‍ ‍ﺇ‍ﻟ‍‍ﻴ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﺑ‍‍ﻞ‍ ‍ﻟ‍‍ﻮ ‍ﻧ‍‍ﻮ‍ﻯ ‍ﺑ‍‍ﻪ‍ ‍ﻏ‍‍ﻴ‍‍ﺮ‍ﻫ‍‍ﺎ ‍ﺣ‍‍ﺼ‍‍ﻠ‍‍ﺖ‍ ‍ﺃ‍ﻳ‍‍ﻀ‍‍ﺎ ‍ﻛ‍‍ﺘ‍‍ﺤ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺴ‍‍ﺠ‍‍ﺪ; ‍ﻟ‍‍ﺄ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻘ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﺩ ‍ﻭ‍ﺟ‍‍ﻮ‍ﺩ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻓ‍‍ﻴ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻭ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺛ‍‍ﻢ‍ ‍ﺃ‍ﻓ‍‍ﺘ‍‍ﻰ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺒ‍‍ﺎ‍ﺭ‍ﺯ‍ﻱ‍ ‍ﺑ‍‍ﺄ‍ﻧ‍‍ﻪ‍ ‍ﻟ‍‍ﻮ ‍ﺻ‍‍ﺎ‍ﻡ‍ ‍ﻓ‍‍ﻴ‍‍ﻪ‍ ‍ﻗ‍‍ﻀ‍‍ﺎﺀ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﻧ‍‍ﺤ‍‍ﻮ‍ﻩ‍ ‍ﺣ‍‍ﺼ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﻧ‍‍ﻮ‍ﺍ‍ﻩ‍ ‍ﻣ‍‍ﻌ‍‍ﻪ‍ ‍ﺃ‍ﻡ‍ ‍ﻟ‍‍ﺎ, ‍ﻭ‍ﺫ‍ﻛ‍‍ﺮ ‍ﻏ‍‍ﻴ‍‍ﺮ‍ﻩ‍ ‍ﺃ‍ﻥ‍ ‍ﻣ‍‍ﺜ‍‍ﻞ‍ ‍ﺫ‍ﻟ‍‍ﻚ‍ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﻮ ‍ﺍ‍ﺗ‍‍ﻔ‍‍ﻖ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﻳ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺭ‍ﺍ‍ﺗ‍‍ﺒ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﻙ‍‍ﻋ‍‍ﺮ‍ﻓ‍‍ﺔ ‍ﻳ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺨ‍‍ﻤ‍‍ﻴ‍‍ﺲ‍.

‍ﻭ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺠ‍‍ﻤ‍‍ﻮ‍ﻉ‍ ‍ﻟ‍‍ﻮ ‍ﻧ‍‍ﻮ‍ﻯ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﻞ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺰ‍ﻭ‍ﺍ‍ﻝ‍ ‍ﻗ‍‍ﻀ‍‍ﺎﺀ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﻧ‍‍ﺬ‍ﺭ‍ﺍ ‍ﻓ‍‍ﺈ‍ﻥ‍ ‍ﻛ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺭ‍ﻣ‍‍ﻀ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﻟ‍‍ﻢ‍ ‍ﻳ‍‍ﻨ‍‍ﻌ‍‍ﻘ‍‍ﺪ ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺃ‍ﺻ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﻭ‍ﺇ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﺍ‍ﻧ‍‍ﺒ‍‍ﻨ‍‍ﻰ ‍ﺍ‍ﻧ‍‍ﻌ‍‍ﻘ‍‍ﺎ‍ﺩ‍ﻩ‍ ‍ﻧ‍‍ﻔ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﻋ‍‍ﻠ‍‍ﻰ ‍ﻧ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻈ‍‍ﻬ‍‍ﺮ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﻞ‍ ‍ﻭ‍ﻗ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍, ‍ﻭ‍ﻗ‍‍ﻀ‍‍ﻴ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍ ‍ﺃ‍ﻧ‍‍ﻪ‍ ‍ﻳ‍‍ﻘ‍‍ﻊ‍ ‍ﻧ‍‍ﻔ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺠ‍‍ﺎ‍ﻫ‍‍ﻞ‍ ‍ﻓ‍‍ﻘ‍‍ﻂ‍. ‍ﺍ‍ﻧ‍‍ﺘ‍‍ﻬ‍‍ﺖ‍ ‍ﻋ‍‍ﺒ‍‍ﺎ‍ﺭ‍ﺓ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺸ‍‍ﺮ‍ﺡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺬ‍ﻛ‍‍ﻮ‍ﺭ ‍ﻭ‍ﺑ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻳ‍‍ﻌ‍‍ﻠ‍‍ﻢ‍ ‍ﺃ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺭ‍ﺍ‍ﺗ‍‍ﺐ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻟ‍‍ﻴ‍‍ﺲ‍ ‍ﺷ‍‍ﺮ‍ﻃ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﺤ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺣ‍‍ﻴ‍‍ﺚ‍ ‍ﻭ‍ﻗ‍‍ﻮ‍ﻉ‍ ‍ﻣ‍‍ﻄ‍‍ﻠ‍‍ﻖ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﺗ‍‍ﻘ‍‍ﺮ‍ﺭ ‍ﺃ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻘ‍‍ﺼ‍‍ﺪ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺄ‍ﻳ‍‍ﺎ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻨ‍‍ﺪ‍ﻭ‍ﺏ‍ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻣ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻭ‍ﺟ‍‍ﻮ‍ﺩ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻓ‍‍ﻴ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻭ‍ﺇ‍ﺣ‍‍ﻴ‍‍ﺎ‍ﺅ‍ﻫ‍‍ﺎ ‍ﺑ‍‍ﻬ‍‍ﺬ‍ﻩ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻌ‍‍ﺒ‍‍ﺎ‍ﺩ‍ﺓ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻔ‍‍ﺎ‍ﺿ‍‍ﻠ‍‍ﺔ ‍ﻓ‍‍ﻬ‍‍ﻮ ‍ﻧ‍‍ﻈ‍‍ﻴ‍‍ﺮ ‍ﺗ‍‍ﺤ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺴ‍‍ﺠ‍‍ﺪ,; ‍ﻟ‍‍ﺄ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻘ‍‍ﺼ‍‍ﺪ ‍ﻣ‍‍ﻨ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﺗ‍‍ﻌ‍‍ﻈ‍‍ﻴ‍‍ﻢ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺴ‍‍ﺠ‍‍ﺪ ‍ﺑ‍‍ﺈ‍ﺷ‍‍ﻐ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﺑ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﺓ ‍ﻭ‍ﺇ‍ﻧ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﻫ‍‍ﻮ ‍ﺷ‍‍ﺮ‍ﻁ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻜ‍‍ﻤ‍‍ﺎ‍ﻝ‍ ‍ﻭ‍ﻭ‍ﻗ‍‍ﻮ‍ﻉ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺨ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﺹ‍ ‍ﻛ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﺃ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﺤ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﺇ‍ﻧ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﻫ‍‍ﻮ ‍ﺷ‍‍ﺮ‍ﻁ‍ ‍ﻟ‍‍ﻜ‍‍ﻤ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﺤ‍‍ﺘ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻓ‍‍ﺤ‍‍ﻴ‍‍ﻨ‍‍ﺌ‍‍ﺬ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﻧ‍‍ﻮ‍ﻯ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﻧ‍‍ﺤ‍‍ﻮ ‍ﻳ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻋ‍‍ﺮ‍ﻓ‍‍ﺔ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﻋ‍‍ﺎ‍ﺷ‍‍ﻮ‍ﺭ‍ﺍﺀ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺎ‍ﺛ‍‍ﻨ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻣ‍‍ﺜ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻳ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻋ‍‍ﺮ‍ﻓ‍‍ﺔ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﻋ‍‍ﺎ‍ﺷ‍‍ﻮ‍ﺭ‍ﺍﺀ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺎ‍ﺛ‍‍ﻨ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﺣ‍‍ﺼ‍‍ﻞ‍ ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﻛ‍‍ﻤﺎ‍ﻝ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻭ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻔ‍‍ﻀ‍‍ﻴ‍‍ﻠ‍‍ﺔ ‍ﻭ‍ﻛ‍‍ﺬ‍ﺍ ‍ﺇ‍ﻥ‍ ‍ﻧ‍‍ﻮ‍ﻯ ‍ﺫ‍ﻟ‍‍ﻚ‍ ‍ﻭ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻘ‍‍ﻀ‍‍ﺎﺀ ‍ﻣ‍‍ﺜ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﺑ‍‍ﺨ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﻑ‍ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﻮ ‍ﺍ‍ﻗ‍‍ﺘ‍‍ﺼ‍‍ﺮ ‍ﻋ‍‍ﻠ‍‍ﻰ ‍ﻧ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﻏ‍‍ﻴ‍‍ﺮ‍ﻫ‍‍ﺎ ‍ﻛ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﻘ‍‍ﻀ‍‍ﺎﺀ ‍ﻓ‍‍ﺈ‍ﻧ‍‍ﻪ‍ ‍ﻳ‍‍ﺤ‍‍ﺼ‍‍ﻞ‍ ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﻧ‍‍ﻮ‍ﺍ‍ﻩ‍ ‍ﻭ‍ﻳ‍‍ﺴ‍‍ﻘ‍‍ﻂ‍ ‍ﻋ‍‍ﻨ‍‍ﻪ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻄ‍‍ﻠ‍‍ﺐ‍ ‍ﺑ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﻨ‍‍ﺴ‍‍ﺒ‍‍ﺔ ‍ﻟ‍‍ﺨ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﺹ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻄ‍‍ﻠ‍‍ﻮ‍ﺏ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺫ‍ﻟ‍‍ﻚ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺰ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﻧ‍‍ﻈ‍‍ﻴ‍‍ﺮ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﻗ‍‍ﺮ‍ﺭ‍ﺗ‍‍ﻪ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺗ‍‍ﺤ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺴ‍‍ﺠ‍‍ﺪ.
‍ﻭ‍ﻋ‍‍ﻠ‍‍ﻰ ‍ﺃ‍ﺣ‍‍ﺪ ‍ﺷ‍‍ﻘ‍‍ﻲ‍ ‍ﻫ‍‍ﺬ‍ﺍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻔ‍‍ﺼ‍‍ﻴ‍‍ﻞ‍ ‍ﻳ‍‍ﺤ‍‍ﻤ‍‍ﻞ‍ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﻣ‍‍ﺮ ‍ﻋ‍‍ﻦ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺠ‍‍ﻤ‍‍ﻮ‍ﻉ‍ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺍ‍ﺷ‍‍ﺘ‍‍ﺮ‍ﺍ‍ﻁ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﺇ‍ﺫ‍ﺍ ‍ﺗ‍‍ﻘ‍‍ﺮ‍ﺭ ‍ﺫ‍ﻟ‍‍ﻚ‍ ‍ﻓ‍‍ﺤ‍‍ﻴ‍‍ﺚ‍ ‍ﻋ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﻧ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻨ‍‍ﻔ‍‍ﻞ‍ ‍ﺷ‍‍ﻴ‍‍ﺌ‍‍ﺎ ‍ﻭ‍ﺃ‍ﺧ‍‍ﻄ‍‍ﺄ ‍ﻓ‍‍ﻴ‍‍ﻪ‍ ‍ﺳ‍‍ﻮ‍ﺍﺀ ‍ﺷ‍‍ﺮ‍ﻃ‍‍ﻨ‍‍ﺎ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻓ‍‍ﺈ‍ﻥ‍ ‍ﻋ‍‍ﺬ‍ﺭ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺧ‍‍ﻄ‍‍ﺌ‍‍ﻪ‍ ‍ﻛ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﺭ‍ﺗ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺬ‍ﻛ‍‍ﻮ‍ﺭ‍ﺗ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺴ‍‍ﺆ‍ﺍ‍ﻝ‍ ‍ﺻ‍‍ﺢ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻭ‍ﻭ‍ﻗ‍‍ﻊ‍ ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﻧ‍‍ﻔ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﻣ‍‍ﻄ‍‍ﻠ‍‍ﻘ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﺬ‍ﺭ ‍ﻭ‍ﻗ‍‍ﻮ‍ﻉ‍ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﻧ‍‍ﻮ‍ﺍ‍ﻩ‍ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺗ‍‍ﺎ‍ﺳ‍‍ﻮ‍ﻋ‍‍ﺎﺀ ‍ﻳ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻋ‍‍ﺎ‍ﺷ‍‍ﻮ‍ﺭ‍ﺍﺀ ‍ﻭ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺛ‍‍ﺎ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺤ‍‍ﺠ‍‍ﺔ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻴ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﺎ‍ﺳ‍‍ﻊ‍ ‍ﻣ‍‍ﻨ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻭ‍ﻛ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﻗ‍‍ﻀ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﺫ‍ﻟ‍‍ﻚ‍ ‍ﺑ‍‍ﻄ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻨ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺃ‍ﺻ‍‍ﻠ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﻜ‍‍ﻦ‍ ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﻋ‍‍ﺬ‍ﺭ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﻏ‍‍ﻠ‍‍ﻄ‍‍ﻪ‍ ‍ﺍ‍ﻗ‍‍ﺘ‍‍ﻀ‍‍ﻰ ‍ﻋ‍‍ﺬ‍ﺭ‍ﻩ‍ ‍ﺑ‍‍ﻄ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﺧ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﺹ‍ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻣ‍‍ﻪ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍, ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﻋ‍‍ﻤ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﺻ‍‍ﻮ‍ﻣ‍‍ﻪ‍ ‍ﻧ‍‍ﻈ‍‍ﻴ‍‍ﺮ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﺫ‍ﻛ‍‍ﺮ‍ﻭ‍ﻩ‍ ‍ﻓ‍‍ﻴ‍‍ﻤ‍‍ﻦ‍ ‍ﺃ‍ﺣ‍‍ﺮ‍ﻡ‍ ‍ﺑ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﻈ‍‍ﻬ‍‍ﺮ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﺳ‍‍ﻨ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍ ‍ﻣ‍‍ﺜ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﻞ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻮ‍ﻗ‍‍ﺖ‍ ‍ﻇ‍‍ﺎ‍ﻧ‍‍ﺎ ‍ﺩ‍ﺧ‍‍ﻮ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﻭ‍ﻫ‍‍ﻮ ‍ﻟ‍‍ﻢ‍ ‍ﻳ‍‍ﺪ‍ﺧ‍‍ﻞ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﻧ‍‍ﻔ‍‍ﺲ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺄ‍ﻣ‍‍ﺮ ‍ﻓ‍‍ﻴ‍‍ﺒ‍‍ﻄ‍‍ﻞ‍ ‍ﺧ‍‍ﺼ‍‍ﻮ‍ﺹ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍ ‍ﻭ‍ﺗ‍‍ﻘ‍‍ﻊ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺼ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﺓ ‍ﻟ‍‍ﻪ‍ ‍ﻧ‍‍ﺎ‍ﻓ‍‍ﻠ‍‍ﺔ ‍ﻣ‍‍ﻄ‍‍ﻠ‍‍ﻘ‍‍ﺔ ‍ﺣ‍‍ﺘ‍‍ﻰ ‍ﻳ‍‍ﺜ‍‍ﺎ‍ﺏ‍ ‍ﻋ‍‍ﻠ‍‍ﻴ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﺑ‍‍ﺨ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﻑ‍ ‍ﻣ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﻮ ‍ﻧ‍‍ﻮ‍ﻯ ‍ﺗ‍‍ﺎ‍ﺳ‍‍ﻮ‍ﻋ‍‍ﺎﺀ ‍ﻳ‍‍ﻮ‍ﻡ‍ ‍ﻋ‍‍ﺎ‍ﺷ‍‍ﻮ‍ﺭ‍ﺍﺀ ‍ﻣ‍‍ﺜ‍‍ﻠ‍‍ﺎ ‍ﻣ‍‍ﺘ‍‍ﻌ‍‍ﻤ‍‍ﺪ‍ﺍ ‍ﻓ‍‍ﺈ‍ﻥ‍ ‍ﻧ‍‍ﻴ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍ ‍ﺑ‍‍ﺎ‍ﻃ‍‍ﻠ‍‍ﺔ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺃ‍ﺻ‍‍ﻠ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﺘ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﻋ‍‍ﺒ‍‍ﻪ‍ ‍ﻛ‍‍ﻨ‍‍ﻴ‍‍ﺔ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻈ‍‍ﻬ‍‍ﺮ ‍ﺃ‍ﻭ ‍ﺳ‍‍ﻨ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﻞ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻮ‍ﻗ‍‍ﺖ‍ ‍ﻋ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﺑ‍‍ﺬ‍ﻟ‍‍ﻚ‍.

اسنى المطالب - (ج ١ / ص ٤٠٨)
(وَتُسْتَحَبُّ الصَّدَقَةُ بِالْمَاءِ) لِخَبَرِ أَبِي دَاوُد السَّابِقِ أَوَّلَ الْبَابِ وَرَوَى أَبُو دَاوُد خَبَرَ «أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ الْمَاءُ» *(وَإِنْ بَعَثَ بِشَيْءٍ) مَعَ غَيْرِهِ (إلَى فَقِيرٍ) لَمْ يَزَلْ مِلْكُهُ عَنْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ الْفَقِير*ُ، فَإِنْ ذَهَبَ إلَيْهِ الْمَبْعُوثُ (وَلَمْ يَجِدْهُ اُسْتُحِبَّ) لِلْبَاعِثِ (أَنْ لَا يَعُودَ فِيهِ بَلْ يَتَصَدَّقُ بِهِ) عَلَى غَيْرِهِ، لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الْعَائِدِ فِي صَدَقَتِهِ.

فتح الباري - (ج ٣ / ص ٢٩١)
وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَة عَلَى أن الصدقة كانت عندهم مختصة بأهل الحاجة من أهل الخير ولهذا تعجبوا من الصدقة على الأصناف الثلاثة وفيه أن نية المتصدق إذا كانت صالحة قبلت صدقته ولو لم تقع الموقع.

الزواجر عن اقتراف الكبائر - (ج ١ / ص ٣١٩)
وفي رواية للطبراني : ما نقصت صدقة من مال وما مد عبد يده لصدقة إلا ألقيت في يد الله : أي إلا قبلها الله تعالى ورضي بها قبل أن تقع في يد السائل.

إعانة الطالبين - (ج ٢ / ص ٢٧١)
(تنبيه) إعلم أنه قد يوجد للصوم سببان كوقوع عرفة أو عاشوراء يوم اثنين أو خميس أو وقوع اثنين أو خميس في ستة شوال فيزداد تأكده رعاية لوجود السببين فإن نواهما حصلا كالصدقة على القريب صدقة وصلة وكذا لو نوى أحدهما فيما يظهر.

حاشية البجيرمي على المنهج  - (ج 10 / ص 378)
ولو قال : خذ هذا واشتر لك به كذا تعين ما لم يرد التبسط أي أو تدل قرينة حاله عليه كما مر ؛ لأن القرينة محكمة عليه، ومن ثم قالوا لو أعطى فقيرا درهما بنية أن يغسل به ثوبه أي وقد دلت قرينة على ما ذكر تعين ا هـ ع ش.

تنبيه الغافلين - (ج 1 / ص 334)
وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا، قَالَتْ: يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمُ التَّاسِعِ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَوْمُ الْحَادِي عَشَرَ، وَأَكْثَرُهُمْ عَلَى أَنَّهُ يَوْمُ الْعَاشِرِ. وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

IMPOTEN SETELAH LAMA MENIKAH

TENTANG IMPOTEN SETELAH LAMA MENIKAH

Deskripsi Masalah :
Ada Seorang laki-laki (45 tahun) telah menikahi istri keduanya (36 tahun) selama beberapa tahun, namun belakangan sang suami terkena diabet yang mengakibatkan impotensi.

Pertanyaan :
1.  Dalam kondisi tersebut, bolehkah sang istri mengajukan fasakh nikah?

Jawaban :
1.  Tidak boleh, karena impoten yang terjadi setelah hak & kewajiban suami (مهر ووطء) sudah terpenuhi, maka hak istri untuk melakukan fasakh sudah gugur.

Referensi jawaban no. 1 :
روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 3 / ص 15)
اﻟﺴﺒﺐ اﻟﺮاﺑﻊ: اﻟﺘﻌﻨﻴﻦ، ﻓﺎﻟﺘﻌﻨﻴﻦ ﻣﺜﺒﺖ ﻟﻠﺨﻴﺎﺭ، ﻭﻛﺬا اﻟﺠﺐ ﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﻣﺎ ﻳﻤﻜﻦ اﻟﺠﻤﺎﻉ ﺑﻪ، ﻛﺄﻥ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻗﺪﺭ اﻟﺤﺸﻔﺔ، ﻓﺈﻥ ﺑﻘﻲ ﺩﻭﻥ ﻗﺪﺭ اﻟﺤﺸﻔﺔ، ﺃﻭ ﺑﻘﻲ ﻗﺪﺭﻫﺎ ﻓﺄﻛﺜﺮ، ﻓﻼ ﺧﻴﺎﺭ ﺑﺴﺒﺐ اﻟﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺬﻫﺐ. ﻭﻋﻦ اﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ، ﺃﻧﻪ ﺧﺮﺟﻪ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻟﻴﻦ ﻛﺎﻟﺨﺼﻲ. ﻓﻌﻠﻰ اﻟﻤﺬﻫﺐ: ﻟﻮ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ اﻟﺠﻤﺎﻉ ﺑﻪ، ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻟﺴﻠﻴﻢ اﻟﻌﺎﺟﺰ، ﻓﺘﻀﺮﺏ ﻟﻪ اﻟﻤﺪﺓ. ﻭﻋﻦ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻲ ﺣﺎﻣﺪ، ﺛﺒﻮﺕ اﻟﺨﻴﺎﺭ ﻓﻲ اﻟﺤﺎﻝ ; ﻷﻥ اﻟﻌﻴﺐ ﻣﺘﺤﻘﻖ، ﻭاﻟﻈﺎﻫﺮ ﺩﻭاﻡ اﻟﻌﺠﺰ، ﻭﻓﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ اﻟﻤﺮﺽ اﻟﻤﺰﻣﻦ اﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺘﻮﻗﻊ ﺯﻭاﻟﻪ، ﻭﻻ ﻳﻤﻜﻦ اﻟﺠﻤﺎﻉ ﻣﻌﻪ، ﻛﺬا ﺫﻛﺮﻩ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ. ﻭﻟﻮ ﻭﺟﺪﺕ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﺧﺼﻴﺎ ﻣﻮﺟﻮء اﻟﺨﺼﻴﺘﻴﻦ ﺃﻭ ﻣﺴﻠﻮﻟﻬﻤﺎ، ﻓﻼ ﺧﻴﺎﺭ ﻋﻠﻰ اﻷﻇﻬﺮ اﻟﺠﺪﻳﺪ. ﻭﻗﻴﻞ: ﻻ ﺧﻴﺎﺭ ﻗﻄﻌﺎ.
(ﻓﺮﻉ) العنة اﻟﻄﺎﺭﺋﺔ ﻻ ﺗﺆﺛﺮ ﻷﻥ اﻟﻘﺪﺭﺓ ﺗﺤﻘﻘﺖ ﺑﺎﻟﻮﻁء، ﻓﺎﻟﻌﺠﺰ ﺑﻌﺎﺭﺽ. ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ اﻣﺮﺃﺗﺎﻥ، ﻓﻌﻦ ﻋﻦ ﺇﺣﺪاﻫﻤﺎ ﺩﻭﻥ اﻷﺧﺮﻯ، ﺛﺒﺖ اﻟﺨﻴﺎﺭ ﻟﻠﺘﻲ ﻋﻦ ﻋﻨﻬﺎ، ﻟﻔﻮاﺕ اﻻﺳﺘﻤﺘﺎﻉ. ﻗﺎﻝ اﻷﺻﺤﺎﺏ: ﻭﻗﺪ ﻳﺘﻔﻖ ﺫﻟﻚ ﻻﻧﺤﺒﺎﺱ اﻟﺸﻬﻮﺓ ﻋﻦ اﻣﺮﺃﺓ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﺑﺴﺒﺐ ﻧﻔﺮﺓ ﺃﻭ ﺣﻴﺎء، ﻭﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻟﻤﻴﻞ ﺃﻭ ﺃﻧﺲ. ﻓﺄﻣﺎ اﻟﻌﺠﺰ اﻟﻤﺤﻘﻖ ﻟﻀﻌﻒ ﻓﻲ اﻟﺪﻣﺎﻍ ﺃﻭ اﻟﻘﻠﺐ ﺃﻭ اﻟﻜﺒﺪ، ﺃﻭ ﻟﺨﻠﻞ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ اﻵﻟﺔ، ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺨﺘﻠﻒ ﺑﺎﻟﻨﺴﻮﺓ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻗﺪ ﻳﻔﺮﺽ اﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ اﻟﻘﺒﻞ ﻭاﻟﻘﺪﺭﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﺪﺑﺮ، ﻓﻴﺜﺒﺖ اﻟﺨﻴﺎﺭ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﺤﻴﺢ. ﻭﺣﻜﻰ اﻟﺤﻨﺎﻃﻲ ﻓﻴﻪ ﻭﺟﻬﺎ ﺑﻌﻴﺪا، ﻭﻟﻮ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ اﻓﺘﺮاﻉ ﺑﻜﺮ ﻭﻗﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺛﻴﺐ، ﻓﻠﻠﺒﻜﺮ اﻟﺨﻴﺎﺭ.

الفقه المنهاجي - (ج 4 / ص 113)
العيوب في الزوج:
إذا وجدت الزوجة زوجها مجبوباً، أو عنيناً ثبت لها حق فسخ الزواج. وقد حكى المارودي الإجماع على ثبوت الخيار بالجب والعنّة، لأنه يفوت بهما مقصود النكاح، كما قلنا بالرتق والقرن.
حدوث العيب بعد عقد النكاح:
إذا حدث شيء من العيوب السابقة بعد عقد النكاح في أيَّ من الزوجين، سواء كان ذلك بعد الدخول، أو قبله، وسواء أكان العيب مانعاً من الدخول كالجبّ والعنّة في الزوج، والرتق والقرن في الزوجة، أو غير مانع، كالجذام والبرص والجنون، فإنه يثبت حق الخيار في فسخ الزواج، كما لو كان العيب قديماً. لكن يستثنى من ذلك العنّة فقط، فإنها إذا حدثت بعد الدخول، فإنه يسقط حق الزوجة في فسخ الزواج، لحصول مقصود الزواج بالنسبة لها، وهو المهر، والوطء، وقد يتم ذلك قبل حدوث العنّة.

MENYUCIKAN NAJIS DENGAN SINAR MATAHARI

TENTANG MENYUCIKAN NAJIS DENGAN SINAR MATAHARI

Pertanyaan :
1.  Bagaimana hukum menyucikan kasur yang terkena kencing namun tidak dicuci hanya dijemur saja?

Jawaban :
1.  Mensucikan najis tidak dapat dilakukan dengan selain air, menurut Ulama’ dari kalangan madzhab Syafi’i dan mayoritas Ulama’ yang lain.
Sedangkan solusinya :
Kasur tersebut dijemur hingga hilang warna, bau dan rasa kencingnya. Setelah 3 sifat tersebut sudah hilang (bersetatus menjadi najis hukmiyah), maka cara menyucikannya cukup dialiri air sedikit sampai merata ke tempat najisnya satu kali saja kemudian dijemur lagi agar airnya kering dan setatus kasur tersebut sudah suci, yang sah dijadikan tempat sholat.

Keterangan :
•  Jika setelah dijemur, kasur tersebut masih mengandung salah satu dari warna, bau dan rasa kencing, maka najis dikasur tersebut berstatus najis ‘ainiyah dan cara menyucikannya harus disiram air merata ke tempat najisnya sehingga hilang 3 sifat najis tersebut (warna, rasa & bau).
•  Jika setelah dijemur, kasur tersebut sudah tidak mengandung 3 sifat najis ‘ainiyah, maka najis tersebut berstatus najis hukmiyah dan cara menyucikannya cukup dialiri air sedikit sampai merata ke tempat najisnya satu kali saja.

Referensi jawaban no. 1 :
Matahari tidak dapat menyucikan najis, menurut Ulama’ dari kalangan madzhab Syafi’i dan mayoritas Ulama’ yang lain
المجموع شرح المهذب - (ج 1 / ص 92)
وَأَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ وَهُوَ أَنَّ رَفْعَ الْحَدَثِ وَإِزَالَةَ النَّجَسِ لَا يَصِحُّ إلَّا بِالْمَاءِ الْمُطْلَقِ فَهُوَ مَذْهَبُنَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ جَمَاهِيرُ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ مِنْ الصَّحَابَةِ فَمَنْ بَعْدَهُمْ وَحَكَى أَصْحَابُنَا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى وَأَبِي بَكْرٍ الْأَصَمِّ أَنَّهُ يَجُوزُ رَفْعُ الْحَدَثِ وَإِزَالَةُ النَّجَسِ بِكُلِّ مَائِعٍ طَاهِرٍ قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ إلَّا الدَّمْعَ فَإِنَّ الْأَصَمَّ يُوَافِقُ عَلَى مَنْعِ الْوُضُوءِ بِهِ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ يَجُوزُ الْوُضُوءُ بِالنَّبِيذِ عَلَى شَرْطٍ سَأَذْكُرُهُ فِي فَرْعٍ مُسْتَقِلٍّ وَأَذْكُرُ إزَالَةَ النَّجَاسَةِ فِي فَرْعٍ آخَرَ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى: وَاحْتُجَّ لِابْنِ أَبِي لَيْلَى بِأَنَّهُ مَائِعٌ طَاهِرٌ فَأَشْبَهَ الْمَاءَ وَاحْتَجَّ الْأَصْحَابُ بِالْآيَةِ الَّتِي ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ وَبِأَنَّ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ كَانُوا يَعْدَمُونَ الْمَاءَ فِي أَسْفَارِهِمْ وَمَعَهُمْ الدُّهْنُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْمَائِعَاتِ وَمَا نُقِلَ عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ الْوُضُوءُ بِغَيْرِ مَاءٍ وَلَا يَصِحُّ الْقِيَاسُ عَلَى الْمَاءِ فَإِنَّ الْمَاءَ جَمَعَ اللَّطَافَةَ وَعَدَمَ التَّرْكِيبِ مِنْ أَجْزَاءٍ وَلَيْسَ كَذَلِكَ غَيْرُهُ.

رحمة الأمة - )ج 1 / ص 4(
ليس للنار والشمس في إزالة النجاسة تأثير الا عند ابي حنيفة حتى ان جلد الميتة اذا جف في الشمس طهر عنده بلا دبغ وكذلك اذا كان على الارض نجاسة فجفت في الشمس طهر موضعها وجازت الصلاة عليه لا التيمم به وكذلك النار تزيل النجاسة عنده.

المجموع - (ج 2 / ص 596)
[ إذا أصاب الارض نجاسة ذائبة في موضع ضاح فطلعت عليه الشمس وهبت عليه الريح فذهب اثرها ففيه قولان قال في القديم والاملاء يطهر لانه لم يبق شئ من النجاسة فهو كما لو غسل بالماء وقال في الام لا يطهر وهو الاصح لانه محل نجس فلا يطهر بالشمس كالثوب النجس ]
[ الشرح ] هذان القولان مشهوران وأصحهما عند الاصحاب لا يطهر كما صححه المصنف ونقله البندنيجى عن نص الشافعي في عامة كتبه وحكى في المسألة طريقين أحدهما فيه القولان والثاني القطع بأنها لا تطهر وتأويل نصفه علي أرض مضت عليه سنون وأصابها المطر ثم القولان فيما إذا لم يبق من النجاسة طعم ولا لون ولا رائحة ومن قال بأنها لا تطهر مالك واحمد وزفر وداود وممن قال بالطهارة أبو حنيفة وصاحباه ثم قال العراقيون هما إذا زالت النجاسة بالشمس أو الريح فلو ذهب أثرها بالظل لم تطهر عندهم قطعا وقال الخراسانيون فيه خلاف مرتب وأما الثوب النجس ببول ونحوه إذا زال أثر النجاسة منه بالشمس فالمذهب القطع بأنه لا يطهر وبه قطع العرقيون ونقل امام الحرمين عن الاصحاب أنهم طردوا فيه القولين كالارض قال وذكر بعض المصنفين يعنى الفوراني انا إذا قلنا يطهر الثوب بالشمس فهل يطهر بالجفاف في الظل فيه وجهان وهذا ضعيف قال الامام ولا شك أن الجفاف لا يكفى في هذه الصورة فان الارض تجف بالشمس علي قرب ولم ينقلع بعد آثار النجاسة فالمعتبر انقلاع الآثار علي طول الزمان بلا خلاف وكذا القول في الثياب وقول المصنف (موضع ضاح) هو بالضاد المعجمة قال أهل اللغة هو البارز والله أعلم.

Cara menyucian najis ‘ainiyah & hukmiyah
كاشفة السجا لنووي الجاوي - (ص 111)
(والمتوسطة تنقسم على قسمين: عينية) وهي التي تشاهد بالعين (وحكمية) أي وهي التي حكمنا على المحل بنجاسته من غير أن ترى عين النجاسة (العينية) ضابطها هي (التي لها لون) من البياض والسواد والحمرة وغير ذلك (وريح) وهي بمعنى الرائحة عرض يدرك بحاسة الشم (وطعم) بفتح الطاء وهو ما يؤديه الذوق من الكيفية كالحلاوة وضدها (فلا بد من إزالة لونها وريحها وطعمها) إلا ما عسر زواله من لون أو ريح فلا تجب إزالته بل يطهر محله حقيقة بخلاف ما لو اجتمعنا في محل واحد من نجاسة واحدة لقوة دلالتهما على بقاء عين النجاسة، وبخلاف ما لو بقي الطعم لذلك أيضاً ولسهولة إزالته غالباً، فالواجب في إزالة النجاسة الحت والقرص ثلاث مرات. وفي المصباح قال الأزهري: الحت أن تحك بطرف حجر أو عود والقرص أن تدلك بأطراف الأصابع دلكاً شديداً وتصب عليه الماء حتى تزول عينه وأثره انتهى. فإذا بقي بعد ذلك اللون أو الريح حكم بالتعسر وطهارة المحل ولا تجب الاستعانة بالصابون والاشنان وإن بقيا معاً أو الطعم وحده تعينت الاستعانة بما ذكر إلى التعذر وضابطه أن لا يزول إلا بالقطع، فإذا تعذر زوال ما ذكر حكم بالعفو فإذا قدر على الإزالة بعد ذلك وجبت ولا تجب إعادة ما صلاه به أولاً وإلا فلا معنى للعفو، ويعتبر لوجوب نحو الصابون أن يفضل ثمنه عما يفضل عنه ثمن الماء في التيمم فإن لم يقدر عليه صلى عارياً، وإن لم يقدر على الحت ونحوه لزمه أن يستأجر عليه بأجرة مثله إذا وجدها، فاضلة عن ذلك أيضاً ذكره الشرقاوي، قال الحصني في شرح الغاية: ثم شرط الطهارة أن يسكب الماء الأقل من قلتين فقط على المحل النجس، فلو غمس الثوب ونحوه في طشت فيه ماء دون القلتين فالصحيح الذي قاله جمهور الأصحاب أنه لا يطهر لأنه بوصوله إلى الماء تنجس لقلته، ويكفي أن يكون الماء غامراً للنجاسة على الصحيح، وقيل يشترط أن يكون سبعة أضعاف البول، ولا يشترط في حصول الطهارة عصر الثوب على الراجح.

كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار - (ج 1 / ص 66)
(وغسل جميع الأبوال والأرواث واجب إلا بول الصبي الذي لم يأكل الطعام فإنه يطهر برش الماء عليه). حجة الوجوب حديث الأعرابي وغيره، وأما كيفية الغسل فالنجاسة تارة تكون عينية أي تشاهد بالعين وتارة تكون حكمية أي حكمنا على المحل بنجاسته من غير أن ترى عين النجاسة فإن كانت النجاسة عينية فلا بد مع إزالة العين من محاولة إزالة ما وجد منها من طعم ولون وريح فإن بقي طعم النجاسة لم يطهر المحل المتنجس لأن بقاء الطعم يدل على بقاء النجاسة وصورته فيما إذا تنجس فمه وإن بقي الأثر مع الرائحة لم يطهر أيضاً وإن بقي لون النجاسة وحده وهو غير عسر الإزالة لم يطهر إلى أن قال وأما النجاسة الحكمية فيشترط فيها الغسل أيضاً. والحاصل أن الواجب في إزالة النجاسة غسلها المعتاد بحيث ينزل الماء بعد الحت والتحامل صافياً إلا في بول الصبي الذي لم يطعم ولم يشرب سوى اللبن فيكفي فيه الرش ولا بد في الرش من إصابة الماء جميع موضع البول وأن يغلب الماء على البول ولا يشترط في ذلك السيلان قطعا والسيلان والتقاطر هو الفارق بين الغسل والرش.

فقه العبادات على المذهب الشافعي (ج 1 / ص 181)
تطهير ما تنجس بنجاسة متوسطة: وهي تقسم إلى عينية وحكمية.
والنجاسة العينية: هي التي لها جرم أو لون أو ريح أو طعم، ولا يطهر ما تنجس بنجاسة عينية، إلا بزوال عين النجاسة، ولا يضر بقاء اللون أو الريح إذا عسر زوال أحدهما، وضابط العسر أن يغسل ثلاث مرات مع الفرك ثم يبقى أثر اللون أو أثر الريح، أما إذا بقيا معاً فلا يطهر، لكن يعفى عنهما إن تعذر زوالهما. وكذا إذا تعسر زوال الطعم، فلا تحصل الطهارة، لكن يعفى عنه، فيكون المحل نجساً معفواً عنه لا طاهراً. وضابط التعذر ألا يزول إلا بالقطع.
أما النجاسة الحكمية: فهي التي لا لون لها ولا طعم ولا ريح ولا حجم، كبول جف ولم تدرك له صفة ويطهر المحل منها بسيلان الماء عليه، ولو من غير فعل فاعل، كالمطر مثلاً فالمهم ورود الماء ولو قليلاً، أي صبه على النجاسة، والغسالة (هي الماء المتبقي بعد غسل النجاسة الحكمية عن الثوب ونحوه) القليلة طاهرة غير مطهرة إذا لم تتغير.

SAPI DISEMBELIH KETIKA HAMPIR MATI

TENTANG SAPI DISEMBELIH KETIKA HAMPIR MATI

Deskripsi Masalah :
Ada beberapa orang iyuran buat beli sapi yang akan disembelih pas hari raya, dipasrahkan kepada seseorang. Nggak sengaja sapinya keracunan rumput, hingga sejumlah saksi bilang sapi itu mati, ada 2 orang yang bilang masih hidup. Dan yang bilang masih hidup meminta menyembelih sapi itu, karena sayang dagingnya banyak. Bisa dijual, tapi saksi yang juga termasuk anggota tidak mau, karena mereka menyatakan sudah mati.
Sehingga sebagian yang yakin sapi itu masih hidup menyuruh jagal untuk menyembelihnya dan ternyata si jagal juga bilang kalau sapi itu masih hidup dan dia bilang kalau kaki sapi itu masih bergerak ketika disembelih.

Pertanyaan :
1.  Bagaimana hukum daging sapi itu?

Jawaban :
1.  Halal, karena tidak ada sebab lain yang menyebabkan kematian. Dan orang yang menyatakan mati itu tidak dianggap, karena kaki sapi masih bergerak ketika disembelih.

Referensi jawaban no. 1 :
ﻛﻔﺎﻳﺔ ﺍﻷﺧﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺣﻞ ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻻﺧﺘﺼﺎﺭ - (ج 2 / ص 181)
(مسألة) مرضت شاة، وصارت إلى أدنى الرمق وذبحت حلت قطعاً لأنه لم يوجد سبب يحال عليه الهلاك، ولو أكلت شاة نباتاً مضراً فصارت إلى أدنى الرمق فذبحت قال القاضي حسين مرة في حلها وجهان، وجزم مرة بالتحريم، لأنه وجد سبب يحال عليه الهلاك فصار كجرح السبع.

حاشية ﺍﻟﺒﺎﺟﻮﺭﻱ - (ج 2 / ﺹ ٢۸٦)
أﻣﺎ ﺍذﺍﻟﻢ ﻳﻮﺟﺪ ﺳﺒﺐ ﻳﺤﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻬﻼﻙ ﻓﻼﻳﺸﺘﺮﻁ ﺍﻟﺤﻴﺎة ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮة ﺑﻞ ﺗﻜﻔﻲ ﺍﻟﺤﻴﺎة ﺍﻟﻤﺴﺘمرة ﻭﻋﻼﻣﺘﻬﺎ ﻭﺟﻮﺩ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻓﻘﻂ ﻓﺎذﺍ ﺍﻧﺘﻬﻲ ﺍﻟﺤﻴﻮﺍﻥ ﺍﻟﻲ حركة مذبوح ﺑﻤﺮﺽ أﻭﺟﻮﻉ ﺛﻢ ذبح ﺣﻞ ﻭﺍﻥ ﻟﻢ ﻳنفجر ﺍﻟﺪﻡ ﻭﻟﻢ ﻳﺘﺤﺮﻙ الحركة ﺍﻟﻌﻨﻴﻔة خلافالمن يغلط فيه.
واعلم أنه يوجد في عباراتهم حياة مستقرة وحياة مستمرة وحركة مذبوح ويقال عيش مذبوح والفرق بينها أن الحياة المستقرة يكون معها إبصار باختيار ونطق باختيار وحركة اختيارية والحياة المستمرة هي التي تستمر إلى خروج الروح من الجسد وحركة المذبوح هي التي لايبقى معها إبصارباختيار ولا نطق باختيار ولا حركة اختيارية بل يكون معها إبصار ونطق وحركة اضطرارية وبعضهم فرق بينها بأن الحياة المستقرة هي التي لوترك الحيوان لجاز أن يبقى يوما أو يومين والحياة المستمرة هي التي تستمر إلى انقضاء الأجل وحركة المذبوح هي التى لوترك لمات في الحال والأول هو المشهور.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 9 / ص 320)
وللحياة المستقرة قرائن وأمارات تغلب على الظن بقاء الحياة فيدرك ذلك بالمشاهدة، ومن أماراتها الحركة الشديدة إلخ وعبارة النهاية، والحياة المستقرة ما يوجد معها الحركة الاختيارية بقرائن، وأمارات تغلب إلخ وأما الحياة المستمرة فهي الباقية إلى خروجها بذبح أو نحوه، وأما حركة المذبوح فهي التي لا يبقى معها سمع ولا إبصار ولا حركة اختيار اهـ

حواشي الشرواني - (ج 9 / ص 324)
قوله: (أو ظن وجودها إلخ) عبارة المغني ولا يشترط العلم بوجود الحياة المستقرة عند الذبح بل يكفي الظن بوجودها بقرينة ولو عرفت بشدة الحركة أو انفجار الدم ومحل ذلك ما لم يتقدمه ما يحال عليه الهلاك فلو وصل بجرح إلى حركة المذبوح وفيه شدة الحركة ثم ذبح لم يحل وحاصله أن الحياة المستقرة عند الذبح تارة تتيقن وتارة تظن بعلامات وقرائن فإن شككنا في استقرارها حرم للشك وتغليبا للتحريم اهـ وفي ع ش بعد ذكر مثلها عن الروض وشرحه ما نصه أي بخلاف ما إذا وصل إلى حركة المذبوح وليس فيه تلك الحركة ثم ذبح فاشتدت حركتها أو انفجر دمها فيحل اهـ

أسنى المطالب  - (ج 6 / ص 489)
وحاصله أن الحياة المستقرة عند الذبح تارة تتيقن وتارة تظن بعلامات وقرائن فمنها الحركة الشديدة بعد الذبح وانفجار الدم وتدفقه ( ولو شككنا في استقرارها حرم ) للشك في المبيح وتغليبا للتحريم ( فإن لم يصبه شيء ) مما ذكر ( بل مرض )، ولو بأكله نباتا مضرا ( أوجاع فذبحه ) وقد صار ( آخر رمق حل )؛ لأنه لم يوجد سبب يحال الهلاك عليه ويجعل قتلا ومسألة الجوع من زيادته.

الياقوت النفيس في مذهب ابن ادريس في الفقه الشافعي - (ص 180-181)
شرط الذبيح: كونه حيوانا مأكولا، فيه حياة مستقرة (٩).
(٩) نعم المريض لوذبح أخر رمق حل.
والحياة المستقرة هي أن تكون الروح في الجسد ومعها إبصار ونطق وحركة اختيارية. وأما الحياة المستمرة بميمين فهي الباقية الي انقضاء الأجل إما بموت أو بقتل. وأما حياة عيش المذبوح ويقال لها حركة مذبوح فهي التي لايبقى معها إبصار ولا نطق ولا حركة اختيارية.
فتشترط الحياة المستقرة أول الذبح فيما إذا وجد سبب يحال عليه الهلاك، كأكل نبات مضر، وكمالو جرح سبع صيدا أو شاة أو انهدم عليه بناء أو جرحت هرة حمامة فيشترط في ذلك أن يذبح وفيه حياة مستقرة أول الذبح وإلا لم يحل. وأمالم يجد سبب يحال عليه الهلاك فلاتسترط، فإذا انتهى الحيوان إلى حركة مذبوح بمرض و ذبح أخر رمق حل وإن لم يتحرك بعد الذبح أو لم يتفجر الدم.
وعلامة الحياة المستقرة أحد أمرين: إما تفجر الدم بعد الذبح، أو الحركة العنيفة بعده، ولايشترطان معا على الصحيح.

ﻛﻔﺎﻳﺔ ﺍﻷﺧﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺣﻞ ﻏﺎﻳﺔ ﺍﻻﺧﺘﺼﺎﺭ - (ج 2 / ص 224)
(ﺗﻨﺒﻴﻪ) ﻻ ﺑﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﺣﻴﺎﺓ ﻣﺴﺘﻘﺮﺓ ﻓﻠﻮ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺇﻟﻰ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ ﻟﻢ ﻳﺤﻞ ﻭﺇﻥ ﺫﺑﺢ ﻭﻗﻄﻊ ﻣﻨﻪ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﺤﻠﻘﻮﻡ ﻭﺍﻟﻤﺮﻱﺀ ﻓﺈﻥ ﻗﻠﺖ ﻓﻤﺎ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﻣﺎ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ ﻓﺎﻟﺠﻮﺍﺏ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ ﻭﺍﻟﻌﻤﺮﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻣﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺤﻴﻮﺍﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻭﺍﻟﻴﻮﻣﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﺫﻛﻴﺖ ﺣﻠﺖ.
ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻌﻼﻣﺎﺕ ﺍﻟﺪﺍﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻟﺸﺪﻳﺪﺓ ﻭﺍﻧﻔﺠﺎﺭ ﺍﻟﺪﻡ ﻭﺗﺪﻓﻘﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺬﺑﺢ ﺍﻟﻤﺠﺰﻱ ﻭﺻﺤﺢ ﺃﻧﻪ ﺗﻜﻔﻲ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻟﺸﺪﻳﺪﺓ ﻭﺣﺪﻫﺎ. ﻗﻠﺖ ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﺑﺤﻴﺚ ﻟﻮ ﺗﺮﻛﺖ ﻟﺒﻘﻴﺖ ﻳﻮﻣﺎ ﺃﻭ ﺑﻌﺾ ﻳﻮﻡ ﻭﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﺃﻥ ﺗﻤﻮﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﻝ. ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺮﻓﻌﺔ ﻭﻗﺎﻝ ﻏﻴﺮﻩ ﺃﻥ ﻻ ﻳﻨﺘﻬﻲ ﺇﻟﻰ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺣﻴﻦ. ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺮﺷﺪ ﻳﻌﺮﻑ ﺑﺸﻴﺌﻴﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﻭﺻﻮﻝ ﺍﻟﺴﻜﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﻠﻘﻮﻡ ﺗﻄﺮﻑ ﻋﻴﻨﻪ ﻭﻳﺘﺤﺮﻙ ﺫﻧﺒﻪ. ﻭﺃﻣﺎ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ ﺑﺄﻥ ﻳﻨﺘﻬﻲ ﺍﻵﺩﻣﻲ ﺇﻟﻰ ﺣﺎﻟﺔ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻧﻄﻖ ﻭﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻷﻥ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﻗﺪ ﻳﻘﺪ ﻧﺼﻔﻴﻦ ﻭﻳﺘﻜﻠﻢ ﺑﻜﻼﻡ ﻣﻨﺘﻈﻢ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻏﻴﺮ ﺻﺎﺩﺭ ﻋﻦ ﺭﻭﻳﺔ ﻭﺍﺧﺘﻴﺎﺭ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ.

Minggu, 27 Oktober 2019

Wasiat Rukun Khutbah

*Soal*

Apakah mencukupi ucapan
 ان الله يامر  الخ .....واذكروا الله
sebagai wasiat untuk
rukun khotbah....

zainal dari kalbar

*Jawaban*

1. Kalau dgn wasiat taqwa, insyaAllah sepakat mencukupi.
Arti taqwa
امتثال الأوامر واجتناب النواهي
2. Selain itu beda pendapat.
A. Tidak mesti dgn lafadz wasiat tapi harus dgn lafadz taqwa.
B. Tidak mesti dgn lafadz wasiat dan lafadz taqwa.
C. Harus dgn lafadz wasiat dan taqwa.
*Kalau ikut dgn pendapat yg mengatakan tidak mesti dgn lafadz wasiat dan taqwa, tapi mesti tetap dgn lafadz yg menunjukkan kpd taqwa.
Taqwa adalah menjunjung tinggi perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya.
Seperti lafadz
أطيعوا الله
Perintah taat mencakup taqwa Krn melakukan perintah2Nya adalah taat dan menjauhi larangan2Nya pun adalah taat.
Adapun dgn lafadz
اذكروا الله
Dzikir adalah sebagian dari taqwa, oleh karena itu tidak mewakili taqwa, karena tidak mewakili maka tidak cukup.
Coba perhatikan teks i'anah ini...
(قوله: ولا يتعين لفظها) أي الوصية بالتقوى، لأن الغرض الوعظ، والحمل على طاعة الله، فيكفي ما دل على الموعظة، طويلا كان أو قصيرا، كأطيعوا الله، وراقبوه.
Di situ disebutkan tujuan wasiat taqwa adalah nasehat dan agar taat. Nasehat bisa dgn lafadz yg pendek atau panjang, yg penting tujuannya adalah taat.
Knp harus kata2 "taat"?
Karena kata2 taat mewakili taqwa.

SHALAT DAN PUASA ORANG KUTUB

Bagaimana Cara Mengira-Ngira Waktu Shalat dan Puasa Penduduk Daerah KUTUB

JAWAB :

 PATOKAN WAKTU PUASA DAN SHALAT PENDUDUK KUTUB ITU MENGIKUTI WAKTU PUASA DAN SHALAT DAERAH TERDEKAT

وَفِي بَعْضِ الْمَنَاطِقِ لاَ تَغِيبُ الشَّمْسُ مُطْلَقًا .


ذَهَبَ بَعْضُ عُلَمَاءِ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى عَدَمِ سُقُوطِ هَذِهِ الصَّلَوَاتِ عَنْهُمْ ، وَيُقَدِّرُونَ لِكُل صَلاَةٍ وَقْتًا ، فَفِي السِّتَّةِ الأَْشْهُرِ الَّتِي تَسْتَمِرُّ فِي نَهَارٍ دَائِمٍ يُقَدِّرُونَ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَالْوِتْرِ وَالْفَجْرِ وَقْتًا ، مِثْل ذَلِكَ السِّتَّةُ الأَْشْهُرِ الأُْخْرَى يُقَدِّرُونَ لِلصُّبْحِ وَالظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَقْتًا ، بِاعْتِبَارِ أَقْرَبِ الْبِلاَدِ الَّتِي لاَ تَتَوَارَى فِيهَا الأَْوْقَاتُ الْخَمْسَةُ ….


وَذَهَبَ بَعْضُ فُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى سُقُوطِ الصَّلَوَاتِ الَّتِي لَمْ يَجِدُوا وَقْتًا لَهَا ؛ لأَِنَّ الْوَقْتَ سَبَبٌ لِلْوُجُوبِ ، فَإِذَا عُدِمَ السَّبَبُ - وَهُوَ الْوَقْتُ - عُدِمَ الْمُسَبَّبُ وَهُوَ الْوُجُوبُ . (1)


وَذَهَبَ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ ، وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ (2) إِلَى تَقْدِيرِ مَغِيبِ شَفَقِ أَقْرَبِ الْبِلاَدِ إِلَيْهِمْ ، فَإِذَا كَانَ أَقْرَبُ الْبِلاَدِ إِلَيْهِمْ يَغِيبُ فِيهَا الشَّفَقُ بَعْدَ سَاعَةٍ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ ، وَمُدَّةُ اللَّيْل فِي هَذِهِ الْبِلاَدِ ثَمَانِي سَاعَاتٍ ، فَيَكُونُ أَوَّل الْعِشَاءِ عِنْدَهُمْ بَعْدَ سَاعَةٍ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ ، وَإِذَا كَانَتْ مُدَّةُ اللَّيْل فِي الْبِلاَدِ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا عِشَاءٌ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَاعَةً ، فَيُقَدَّرُ مَغِيبُ الشَّفَقِ عِنْدَهُمْ بِسَاعَةٍ وَنِصْفٍ مِنْ غُرُوبِ الشَّمْسِ ؛ لأَِنَّ مُدَّةَ بَقَاءِ الشَّفَقِ فِي أَقْرَبِ الْبِلاَدِ إِلَيْهِمْ سَاعَةٌ ، وَهِيَ تُعَادِل الثُّمُنَ مِنَ اللَّيْل ؛ لأَِنَّ اللَّيْل عِنْدَهُمْ ثَمَانِي سَاعَاتٍ ، وَالْبِلاَدُ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا عِشَاءٌ وَلَيْلُهَا اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً ، يُقَدَّرُ لِغِيَابِ الشَّفَقِ ثُمُنَ هَذِهِ الْمُدَّةِ ، وَهِيَ سَاعَةٌ وَنِصْفٌ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى وُجُوبِ قَضَاءِ الْعِشَاءِ عَلَى أَهْل هَذِهِ الْبِلاَدِ ، وَلاَ يَسْقُطُ عَنْهُمْ . (1)

______

(1) الدر المختار ورد المحتار عليه 1 / 242 ، 244 .

(2) بلغة السالك 1 / 72 ، والمنهاج 1 / 110 .

(1) المنهاج 1 / 110 .

DAERAH YANG MATAHARINYA TIDAK TENGGELAM SAMA SEKALI


1.Sebagian Ulama kalangan Hanafiyah berpendapat shalat bagi mereka tidak semata menjadi gugur, namun masing-masing waktu shalatnya diperkirakan dengan daerah terdekat mereka

2.Sebagian kalangan Hanafiyah menilai gugurnya kewajiban shalat yang waktunya tidak mereka jumpai di daerah tersebut karena kewajiban shalat bergantung pada waktu yang akan hilang saat waktu shalatnya tidak mereka temukan.

3.Sebagian kalangan Malikiyyah dan pernyataan yang dijadikan madzhab di kalangan syafiiyyah memilih: diperkirakan dengan waktu daerah terdekat dengan mengurangi atau menambahi seukuran dekat jauhnya jarak kedua daerah.
[ Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah VII/187-188 ].


وقال إمام الحرمين وغيره : لا خلاف أن الشمس تغرب عند قوم وتطلع على آخرين ، والليل يطول عند قوم ويقصر عند آخرين ، وعند خط الاستواء يكون الليل والنهار مستويين أبداً . وسئل الشيخ أبو حامد عن بلاد بلغار كيف يصلون فإنه ذكر أن الشمس لا تغرب عندهم إِلا بمقدار ما بين المغرب والعشاء ثم تطلع فقال : يعتبر صومهم وصلاتهم بأقرب البلاد إليهم ، والأحسن وبه قال بعض الشيوخ أنهم يقدرون ذلك ويعتبرون الليل والنهار ، كما قال في يوم الدجال الذي كسنة وكشهر : ( اقدروا له ) حين سأله الصحابي عن الصوم والصلاة فيه


Berkata Imam Haramain dan lainnya “Tiada perbedaan pendapat bahwa matahari tenggelam di suatu kaum dan terbit di kaum lainnya, malam menjadi panjang disuatu kaum dan terasa dikaum lainnya, saat berada digaris katulistiwa malam dan siang selamanya akan sama”.

Ditanyakan pada Syekh Abu Hamid tentang daerah Bulgaria bagaima penduduknya menjalankan shalat karena disebutkan matahari tiada tenggelam disana kecuali sekedar waktu antara maghrub dan isya’ kemudian mataharinya muncul kembali ?. Syekh Abu Hamid menjawab “Puasa dan shalatnya dipertimbangkan pada daerah terdekat mereka”.

Begitu jugalah jawaban sebagian Masyayikh “Diperkirakan dan dan dipertimbangkan akan malam dan siangnya” dengan berlandaskan sebagaimana jawaban Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam.

قَالَ أَرْبَعُونَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَسَنَةٍ أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلَاةُ يَوْمٍ قَالَ لَا اقْدُرُوا لَهُ ، رواه مسلم واحمد


Para sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal lamanya dajjal di dunia, maka Rasulullah menjawab :” masa dajjal hanya 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu minggu, lalu hari-hari berikutnya seperti hari-hari kalian (24 jam).
Kami lalu bertanya :” Ya Rasulullah, apakah satu hari seperti satu tahun lamanya cukup bagi kami mengerjakan shalat satu hari saja (5 waktu dalam hari yang lamanya setahun) ?, Nabi menjawab :” tidak, akan tetapi ukurlah sesuai waktu shalat kalian dalam hari-hari biasa !”.
(H.R. Muslim dan Ahmad).
 [ Tuhfah al-Muhtaaj II/26 ].

Wallaahu A'lamu Bis Showaab

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...