Kamis, 21 Mei 2020

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL*

Bahsulmasail#

1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon saja*?

2_ *Bagaimana hukumnya orang muslim menyusui ank orang non muslim*??

*JAWABAN*

Jawaban 1:

Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat memenuhi mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.

Dalam keterangan lain, akad jual beli melalui alat elektronik hukumnya di-tafshil sebagai berikut :
1.Jika mabi’ (barang yang dijual)-nya sudah dilihat dengan jelas oleh kedua belah pihak sebelum melakukan transaksi maka hukumnya sah.
2.Jika mabi’ belum dilihat dengan jelas maka hukumnya tidak sah, kecuali apabila mabi’ dijelaskan sifat dan jenisnya.
Refensi:
الثاني: التلفظ - بحيث يسمعه من بقربه عادة، وإن لم يسمعه المخاطب - ويتصور وجود القبول منه مع عدم سماعه، بما إذا بلغه السامع فقبل فورا، أو حمل الريح إليه لفظ الايجاب فقبل كذلك، أو قبل اتفاقا - كما في البجيرمي، نقلا عن سم - فلو لم يسمعه من بقربه لم يصح.
Yang kedua adalah melafadzkannya sekira didengar oleh orang di dekatnya meskipun mukhothab tidak mendengarnya, dan dapat digambarkan adanya serah terima darinya meskipun tanpa mendengar suaranya dengan sesuatu yang dapat didengarkan oleh pendengar kemudian ia terima seketika atau suara ijabnya dibawa oleh angin kemudian juga ia terima seketika atau ia terima sesuai kesepakatan. [ I’aanah at-Thoolibiin III/9 ].
(قَوْلُهُ فَاعْتُبِرَ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ اللَّفْظِ ) أَيْ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ مِمَّا هُوَ عِبَارَةٌ عَنْهُ كَالْخَطِّ أَوْ قَائِمٍ مَقَامَهُ كَإِشَارَةِ الْأَخْرَسِ ا ه.
(Maka diperhitungkan apapun yang dapat menunjukkan pada lafadz/serah terima) artinya atau sesuatu yang sepadan pengertiannya dengan ucapan serah terima secara langsung seperti tulisan atau menduduki kedudukannya seperti isyaratnya orang bisu. [ Hasyiyah al-Jamal IV/301 ].

والعبرة في العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ.... وعن البيع و الشراء بواسطة التليفون والتلكس والبرقيات, كل هذه الوسائل وأمثالها معتمدة اليوم وعليها العمل.
Yang dipertimbangkan dalam akad-akad adalah subtansinya bukan bentuk lafadznya, dan jual beli via telpon, teleks, telegram dan sejenisnya telah menjadi alternatif yang utama dan dipraktekkan. [ Syarh al-Yaaquut an-Nafiis II/22 ].
(وينعقد ) البيع من غير السكران الذي لا يدري ; لأنه ليس من أهل النية على كلام يأتي فيه في الطلاق (بالكناية) مع النية ...والكتابة لا على مائع أو هواء كناية فينعقد بها مع النية ولو لحاضر فليقبل فورا عند علمه ويمتد خيارهما لانقضاء مجلس قبوله . ( قوله : والكتابة إلخ ) ومثلها خبر السلك المحدث في هذه الأزمنة فالعقد به كناية فيما يظهر.
Dan sah jual beli dari selain orang yang mabuk yang tidak mengerti sebab ia tidak termasuk orang yang sah niatnya seperti keterangan dalam bab Talak yang akan datang dengan sighat kinayah dengan disertai niat.... Menulis yang tidak pada zat cair dan udara termasuk kinayah, maka jual beli dengannya disertai niat hukumnya sah, meskipun bertransaksi dengan orang yang hadir dalam majlis akad, maka ia harus segera menerima akad tersebut ketika mengetahuinya dan khiyar bagi mereka berdua berlaku hingga bubarnya majlis penerimaan akad. (Keterangan Ibn Hajar “dan menulis....”) dan sama dengannya berita via teknologi kabel -telepon- yang dikembangkan di zaman sekarang ini, maka akad dengannya termasuk kinayah menurut kajian yang kuat. [ Hawaasyi as-Syarwaani wal ‘Abbaadi ala at-Tuhfah IV/221-222 ]. 

والله اعلم بالصواب.


Dengan akad bay’ as-salam atau as-salaf dua kata tersebut merupakan kata yang sinonim. 
Secara terminology ulama’ fiqih mendefinisikannya : 
بيع اجل معاجل او بيع شيئ موصوف في الذمة اي انه يتقدم فيه رأس المال ويتأخر المثمن لأجله
“menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal di awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian”.

Sedangkan Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya sebagai berikut : 
عقدعلى موصوف بذمة مقبوض بمجلس عقد
“akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majelis akad”.

Dengan adanya pendapat pendapat diatas sudah cukup untuk memberikan perwakilan penjelasan dari akad tersebut, dimana inti dari pendapat tersebut adalah; bahwa akad salam merupakan akad pesanan dengan membayar terlebih dahulu dan barangnya diserahkan kemudian, tapi ciri-ciri barang tersebut haruslah jelas penyifatannya.

Dalam transaksi salam ini diperlukan adanya keterangan mengenai pihak-pihak yang terlibat, yaitu orang yang melakukan transaksi secara langung, juga syarat-syarat ijab qabul :

a.Pihak-pihak yang terlibat.
Adapun pihak-pihak yang terlibat langsung adalah al-muslim (si pembeli atau pemesan) dan juga muslim ilaihi (si penjual atau orang yg dipesani).
Sedangkan syarat dari penjual dan pemesan diantaranya yaitu mereka bukan orang-orang yang dilarang bertindak sendiri, seperti anak-anak kecil, orang gila dll.

b.Syarat-syarat ijab qabul
pernyataan dalam ijab qabul ini bisa disampaikan secara lisan, tulisan (surat menyurat, isyarat yang dapat memberi pengertian yang jelas), hingga perbuatan atau kebiasaan dalam melakukan ijab qabul. 
Adapun syarat-syaratnya adalah :
-Dilakukan dalam satu tempo
-Antara ijab dan qabul sejalan
-Menggunakan sighat assalam atau assalaf. Sighah(kata) penawaran( ijab ) dan persetujuan (qabul ). Contohnya pemilik modal berkata : 
اسلمتُ اليك الفا فى عشرة ثوب صفته كذا وكذا.... 
"Saya salamkan(pesan dan serahkan)  kepadamu 1000 rupiah untuk mendapatkan 10 helai baju yg sifatnya (begini sebut.....)"atau
اسلفتُ اليك الفا فى عشرة ثوب صفته كذا وكذا....
”Saya dahulukan 1000 dinar ini untuk mendapatkan 100 helai baju yang sifat-sifatnya (begini sebut.....”)
Sementara penerima pula berkata : ”Saya setuju atau saya terima pembayaran yg diserahkan / yang didahulukan ini". 
atau sighah yang seumpamanya”.

والله اعلم بالصواب

Jawaban 2 :

*Boleh*
Anaknya orang non muslim(kafir) tidak punya dosa selagi ia perlu bantuan boleh bagi siapapun untuk membantunya termasuk bantuan menyusui. Dengan terpenuhinya 3 syarat (yg disebutkan dibawah). maka sang bayi menjadi anak sususan dari ibu yang menyusui.

Seseorang dianggap sebagai ibu susuan jika memenuhi 3 syarat:
1- Telah menyusui tidak kurang dari 5 susuan yang setiap susuan mengenyangkan bayi.
2- Bayi berumur di bawah 2 tahun, maksimal 2 tahun hijriyah.
3- Susu keluar dari ibu yang masih hidup biarpun diminumnya setelah meninggalnya(si ibu).

Adapun keadaan yang disusui itu anak orang muslim atau anak orang kafir itu tidak ada beda. Artinya asal 3 syarat tersebut terpenuhi maka anak tersebut dianggap sebagai anak susuan.

Setiap anak yang terlahir ke dunia ini dihukumi fitrah walaupun orang tuanya non muslim, sebagaimana sabda Nabi SAW :
ما من مولود إلا يولد على الفطرة ، فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah ( bersih dan suci ); maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”. 
*Adapun;*
- Bila anak kecil dari muslimin meninggal, maka dihukumi sebagai muslim dan menjadi ahli surga :
أجمع من يعتد به من علماء المسلمين على أن من مات من أطفال المسلمين فهو من أهل الجنة ; لأنه ليس مكلفا
- Bila anak kecil dari non muslim meninggal, ada/ ikhtilaf ulama :
وأما أطفال المشركين ففيهم ثلاثة مذاهب . قال الأكثرون : هم في النار تبعا لآبائهم . وتوقفت طائفة فيهم . *والثالث ، وهو الصحيح الذي ذهب إليه المحققون أنهم من أهل الجنة،* ويستدل له بأشياء منها حديث إبراهيم الخليل صلى الله عليه وسلم حين رآه النبي صلى الله عليه وسلم في الجنة ، وحوله أولاد الناس قالوا : يا رسول الله ، وأولاد المشركين ؟ قال : " وأولاد المشركين " رواه البخاري في صحيحه . ومنها قوله تعالى : وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا ولا يتوجه على المولود التكليف ويلزمه قول الرسول حتى يبلغ ، وهذا متفق عليه . والله أعلم .
- Aktsar ulama : dihukumi kafir karena mengikuti orang tuanya
- Sebagian Ulama : Tawaquf
- *Qoul Shohih : Dihukumi muslim dan menjadi ahli surga.*
Sumber : SYARAH IMAM NAWAWI 'ALA MUSLIM.
والله اعلم بالصواب.

*Pengertian*
Radha ‘ (menyusui) secara kata berarti menyusu dari seorang ibu serta meminum susunya, sedangkan berdasarkan pengertian syar’i berarti sampainya air susu dari seorang wanita ke dalam perut seorang bayi dengan syarat tertentu. Dasar hukumnya adalah :

Dan wanita yang menyusui kalian adalah ibu-bu kalian (QS An-Nissa :23)

Hadist riwayat Ibnu Abbas ra:
"(seseorang) menjadi mahram karena sebab radha, sebagaimana (seseorang) menjadi mahram karena sebab nasab."  (Muttafaq ‘alaih)

Dari kedua dasar hukum tersebut, para ulama menetapkan suatu hukum, yaitu jika seorang bayi menyusu pada seorang wanita atau meminum air susunya, wanita itu menjadi ibu susuannya dan suaminya menjadi ayah susuannya dan keduanya serta anak-anaknya mahram (haram menikah) dengan bayi tersebut. Ketetapan hukum ini meliputi beberapa persyaratan, baik itu bagi si wanita maupun bagi si bayi.

*Syarat-syarat wanita yang menyusui:*

1. Wanita tersebut sudah berumur Sembilan tahun atau lebih, dalam hitungan tahun hijriyyah, jika kurang dari itu, tidak dapat ditetapkan sebagai hukum radha’.

2. Ketika menyusui atau pada saat diambil air susunya dalam keadaan hidup (bernyawa). Lain halnya jika si bayi menyusui/meminum susu yang diambil dari seorang wanita yang sudah meninggal dunia maka itu tidak ditetapkan sebagai hukum radha’.

*Syarat-syarat pada bayi yang menyusu:*

1. Bayi tersebut belum berumur dua tahun dalam hitungan tahun hijriyyah, jika umur bayi dua tahun atau lebih dari dua tahun dalam hitungan tahun hijriyyah maka tidak ditetapkan sebagai hukum radha’. Berdasarkan hadist dari Ibnu Abbas berikut;
"Maka tidak ditetapkan hukum radha’ kecuali jika anak tersebut belum berumur dua tahun." (Mutafaq’ alaih).

2. Bayi tersebut sudah menyusu dari wanita yang menyusuinya sebanyak lima kali kesempatan menyusu dalam beberapa waktu, bukan hanya lima kali sedotan dalam satu kali kesempatan menyusu dan juga tidak harus beberapa hari walaupun semuanya dalam satu hari. Yang penting adalah lima kali kesempatan menyusu secara terpisah. (Mengenyangkan hanya istilah(kebiasaannya) tidak menjadi qaid(syarat mutlak). 

Hal2 yang berkaitan dengan lima kali kesempatan menyusu;
a. Jika si bayi sendiri yang melepas (puting susu) karena sudah tidak mau lagi, lalu kembali menyusu, maka dihitung dua kali kesempatan menyusu. Tetapi jika bayi itu melepasnya dikarenakan ada sesuatu yang menarik perhatian dia untuk bermain-main kemudian menyusu lagi tidak dihitung dua kali kesempatan.
b. Jika yang melepasnya adalah wanita yang menyusuinya, karena suatu pekerjaan yang membutuhkan waktu yang lama, misalnya untuk memasak atau mencuci dihitung dua kali kesempatan. Adapun jika karena melakukan pekerjaan ringan seperti membetulkan posisi si bayi atau mengambil benda yang terjatuh lalu menyusui lagi maka tidak dihitung dua kali kesempatan.
c. Jika si bayi ketika menyusu kemudian tertidur dan saat terbangun puting susu wanita itu masih menempel di mulut si bayi  sedangkan tidurnya tidak lama maka tidak dihitung dua kali kesempatan. Tetapi jika tidurnya lama atau ketika bangun puting susu si wanita tersebut terlepas dari mulut si bayi maka hal itu dihitung dua kali kesempatan menyusu.

3. Air susu wanita yang menyusui telah sampai ke dalam perut si bayi walaupun setelah itu dimuntahkan kembali oleh si bayi, maka hal ini telah masuk dalam hukum radha’.

 Jika si bayi menyusu dari wanita yang tidak keluar air  susunya maka tidak ditetapkan sebagai hukum radha’.

Hukum yang berkaitan dengan radha;
Jika sudah ditetapkan sebagai hukum radha’ yaitu wanita menyusui seorang bayi dan syarat-syaratnya terpenuhi, maka hukum yang terkait masalah ini adalah,
1. Wanita yang menyusui dan suaminya menjadi mahramnya (ibu dan bapak susuan).
2. Anak-anak wanita yang menyusui menjadi mahram (saudara sepersusuan).
3. Saudara dan saudari si wanita yang menyusui menjadi mahram (paman dan bibi susuan) begitu pula dengan saudara dan saudari suaminya.
4. Bayi yang disusui oleh wanita tersebut menjadi anak susuannya, dan anak keturunan bayi tersebut juga menjadi mahram bagi yang menyusui dan juga suami dari wanita itu.

Perlu diketahui juga pengertian mahram di sini adalah sebatas tidak boleh menikahinya, boleh meli

hatnya dan tidak batal wudhu pada saat menyentuhnya. Mahram di sini juga tidak berkaitan dengan pemberian nafkah dan saling mewarisi, sebagaimana halnya mahram dikarenakan nasab.

Dan juga berkaitan dengan ini adalah, masalah terpenuhinya syarat lima kali kesempatan menyusu ini merupakan hukum yang ditetapkan dalam mahzab Imam Syafi’I sedangkan bagi mahzab Imam Malik dan Imam Abu Hanifah akan terpenuhi syarat hukum radha’ walaupun hanya satu kali kesempatan menyusu.

Fuqaha telah sependapat bahwa menyusu pada usia tidak lebih dua tahun mengharamkan(jadi mahram). kemudian mereka berselisih pendapat tentang penyusuan anak yang sudah besar.

  Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan lainnya berpendapat bahwa penyusuan anak besar tidak mengharamkan(menjadikan mahram).
  
Daud dan fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa penyusuan tersebut mengharamkan. Ini juga pendapat ‘Aisyah ra. 
Sedang pendapat jumhur fuqaha (di atas) merupakan pendapat Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Umar ra., Abu Hurairah ra., Ibnu Abbas ra., dan seluruh istri-istri Nabi saw.
Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut. Demikian itu karena dalam hal ini terdapat dua hadits.
    Pertama: Hadits tentang Salim yang telah saudara sebutkan itu.
    Kedua: Hadits ‘Aisyah ra. Yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut ini:
قَالَتْ : دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَعِنْدِى رَجُلٌ فَاشْتَدَّ ذَالِكَ عَلَيْهِ وَرَأَيْتُ الغَضَبَ فِى وَجْهِهِ, فَقُلْتُ : يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنَّهُ اَخِىْ مِنَ الرَّضَاعَةِ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ, أُنْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ فَاِنَّ الرَّضَاعَةَ مِنَ اْلمَجَاعَةِ.
 “ ‘Aisyah berkata: Rasulullah saw. masuk kerumahku, sedang aku mempunyai tamu seorang lelaki, maka hal itu membuat beliau marah, dan aku melihat (tanda-tanda) kemarahan di wajahnya. Kemudian aku berkata, “ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah saudaraku sesusuan. “ maka berkatalah Nabi saw., “ Perhatikanlah siapa saudara-saudaramu sesusuan, karena sesungguhnya penyususan itu disebabkan kelaparan.

   Bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadits terakhir ini(ke 2), maka mereka mengatakan bahwa air susu yang tidak dapat berfungsi sebagai makanan bagi orang yang menyusu, tidak menyebabkan keharaman.
Hanya saja, hadits tentang Salim merupakan suatu kejadian yang nyata, dan seluruh istri Nabi saw. menganggap kejadian tersebut sebagai suatu kemurahan (rukhshah) bagi Salim sendiri.
Sedang bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadits(pertama) tentang Salim, dan tidak menganggap hadits 'Aisyah.Ra(dgn bbrp alasan) maka mereka mengatakan bahwa penyusuan anak besar menyebabkan keharaman.
والله اعلم بالصواب

Rabu, 06 Mei 2020

Haidl keluar putus putus


Pertanyaan :
1.  Jika seseorang haid 7 hari kemudian tanggal 8 suci dan tanggal 9 keluar lagi dengan warna yang beda itu disebut darah apa ?

Jawaban :
1.  Tafsil :
a)  Darah Haid jika keluar darah kedua itu pada masa 15 hari (terhitung mulai darah pertama keluar).
b)  Darah Istihadloh jika keluar darah kedua itu keluar (tidak) dalam masa 15 hari.

Referensi Jawaban no. 1 :
تحفة المحتاج ـ (ج ١ / ص ٤٠٠)
ﻋﺒﺎﺭﺓ اﻟﻤﻐﻨﻲ، ﻭﺇﻥ اﻧﻘﻄﻊ ﻟﻴﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﻭﻟﺪﻭﻥ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ ﻳﻮﻣﺎ ﻓﺎﻟﻜﻞ ﺣﻴﺾ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻗﻮﻳﺎ ﻭﺿﻌﻴﻔﺎ، ﻭﺇﻥ ﺗﻘﺪﻡ اﻟﻀﻌﻴﻒ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻮﻱ ﻓﺈﻥ ﺟﺎﻭﺯ اﻟﺨﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ ﺭﺩﺕ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻦ ﺃﻱ ﻣﻦ اﻟﻤﺒﺘﺪﺃﺓ اﻟﻤﻤﻴﺰﺓ ﻭﻏﻴﺮ اﻟﻤﻤﻴﺰﺓ ﻭاﻟﻤﻌﺘﺎﺩﺓ ﻛﺬﻟﻚ ﺇﻟﻰ ﻣﺮﺩﻫﺎ ﻭﻗﻀﺖ ﻛﻞ ﻣﻨﻬﻦ ﺻﻼﺓ ﻭﺻﻮﻡ ﻣﺎ ﺯاﺩ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺩﻫﺎ، ﺛﻢ ﻓﻲ اﻟﺸﻬﺮ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﻭﻣﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻳﺘﺮﻛﻦ اﻟﺘﺮﺑﺺ ﻭﻳﺼﻠﻴﻦ ﻭﻳﻔﻌﻠﻦ ﻣﺎ ﺗﻔﻌﻠﻪ اﻟﻄﺎﻫﺮاﺕ ﻓﻴﻤﺎ ﺯاﺩ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺩﻫﻦ ﻓﺈﻥ ﺷﻔﻴﻦ ﻓﻲ ﺩﻭﺭ ﻗﺒﻞ ﻣﺠﺎﻭﺯﺓ ﺃﻛﺜﺮ اﻟﺤﻴﺾ ﻛﺎﻥ اﻟﺠﻤﻴﻊ ﺣﻴﻀﺎ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ اﻟﺸﻬﺮ اﻷﻭﻝ ﻓﻴﻌﺪﻥ اﻟﻐﺴﻞ ﻟﺘﺒﻴﻦ ﻋﺪﻡ ﺻﺤﺘﻪ ﻟﻮﻗﻮﻋﻪ ﻓﻲ اﻟﺤﻴﺾ اهـ

أسنى المطالب - (ج 2 / ص 116)
( فرع المبتدأة المميزة وغير المميزة والمعتادة ) كذلك ( يتركن الصلاة ) وغيرها مما تتركه الحائض ( بمجرد رؤية الدم ) لأن الظاهر أنه حيض فيتربصن ( فإن انقطع لدون يوم وليلة فليس بحيض في حقهن ) لتبين أنه دم فساد فيقضين الصلاة والصوم فإن كن صائمات بأن نوين قبل وجود الدم أو علمهن به أو لظنهن أنه دم فساد أو لجهلهن بالحكم صح بخلاف ما لو نوين مع العلم بالحكم لتلاعبهن ( أو انقطع ) ليوم وليلة فأكثر لكن ( لدون ) أكثر من ( خمسة عشر يوما فالكل حيض ولو ) كان ( قويا وضعيفا ) وإن تقدم الضعيف على القوي ( فإن جاوز الخمسة عشر ردت كل ) منهن ( إلى مردها ) وهو للأولى الدم القوي وللثانية يوم وليلة وللثالثة دمها القوي أو عادتها ( وقضت ) كل منهن صلاة وصوم ( ما زاد ) على مردها ( ثم في الشهر الثاني ) وما بعده ( يتركن التربص ويصلين ) ويفعلن ما تفعله الطاهرة فيما زاد على مردهن لأن الاستحاضة علة مزمنة فالظاهر دوامها ( فإن شفين في دور قبل ) مجاوزة ( الأكثر ) من الحيض ( كان الجميع حيضا ) كما في الشهر الأول ( فيعدن الغسل ) لتبين عدم صحته لوقوعه في الحيض وأفهم قوله يتركن التربص ويصلين ما صرح به أصله من أنهن لا يأثمن بالصوم والصلاة والوطء فيما وراء المرد وإن كان قد وقع في الحيض لجهلهن والمراد بالضعيف الضعيف المحض فلو بقي خطوط قوى فقوي كما ذكره بقوله ( وما فيه خطوط سواد عد سوادا )

شرح البهجة الوردية - (ج 2 / ص 402)
( فرع ) المبتدأة وغيرها بعد يوم وليلة تغتسل لكل انقطاع إلى أن قال فإذا انقطع أي : الدم قبل خمسة عشر فالكل حيض فلا تصلي في الشهر الثاني للانقطاع قال في شرحه؛ لأن الظاهر أنها فيه كالشهر الأول وهذا ما في الروضة عن تصحيح الرافعي لكنه تعقبه بأن الأصح أنها فيما عدا الشهر الأول كهي فيه وصححه في التحقيق والأول أوجه اهـ

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج  - (ج 2 / ص 58)
تنبيه : المبتدأة : المميزة وغير المميزة والمعتادة كذلك تترك الصلاة وغيرها مما تتركه الحائض بمجرد رؤية الدم؛ لأن الظاهر أنه حيض فتتربص، فإن انقطع لدون يوم وليلة فليس بحيض في حقهن لتبين أنه دم فساد فيقضين الصلاة، وكذا الصوم إذا نوين مع العلم بالحكم لتلاعبهن. أما إذا نوين قبل وجود الدم أو علمهن به أو لظنهن أنه دم فساد أو لجهلهن بالحكم فيصح صومهن، أو انقطع ليوم وليلة فأكثر، ولدون أكثر من خمسة عشر يوما فالكل حيض، ولو كان قويا وضعيفا وإن تقدم الضعيف على القوي، فإن جاوز الخمسة عشر ردت كل منهما إلى مردها وقضت كل منهن صلاة وصوم ما زاد على مردها، ثم في الشهر الثاني وما بعده يتركن التربص ويصلين ويفعلن ما تفعله الطاهرات فيما زاد على مردهن؛ لأن الاستحاضة علة مزمنة، فالظاهر دوامها، فإن شفين في دور قبل مجاوزة أكثر الحيض كان الجميع حيضا كما في الشهر الأول فيعدن الغسل لتبين عدم صحته لوقوعه في الحيض، أو متحيرة بأن نسيت عادتها قدرا، ووقتا، ففي قول كمبتدأة، والمشهور وجوب الاحتياط، فيحرم الوطء ومس المصحف، والقراءة في غير الصلاة، وتصلي الفرائض أبدا، وكذا النفل في الأصح، وتغتسل لكل فرض، وتصوم رمضان ثم شهرا كاملين، فيحصل من كل أربعة عشر، ثم تصوم من ثمانية عشر : ثلاثة أولها، وثلاثة آخرها، فيحصل اليومان الباقيان، ويمكن قضاء يوم بصوم يوم ثم الثالث، والسابع عشر.

Sabtu, 01 Februari 2020

MENGANGKAT TANGAN SAAT BANGUN DARI SUJUD

Bagaimana hukum mengangkat kedua tangan ketika bangun dari duduk istirohat?

Jawab:

Hukumnya ditafshil :

1.Jika sebelum berdiri untuk roka'at kedua tidak didahului duduk istirohat, maka mengangkat kedua tangan hukumnya makruh.

2.Jika sebelum berdiri untuk roka'at kedua didahului oleh duduk istirohat, maka mengangkat kedua tangan ketika berdiri untuk roka'at kedua hukumnya sunah. Wallohu a'lam.

نهاية الزين ص ٥٨

و) سن للمصلى و لو امرأة (رفع كفيه)و ان اضطجع (بكشف) لهما (حذو منكبيه مع تحرم) للصلاة بالاجماع (و) عند هوي الى (ركوع و) عند (رفع منه) اي الركوع (و) عند قيام (من التشهد اول) و كذا عند القيام من جلسة الاستراحة على المعتمد بخلاف القيام من السجود فلا يسن فيه الرفع فان ترك الرفع فيما امر او فعله فيما لن يؤمر به كره)

قوله على المعتمد) اي كما نص عليه الشافعى من انه يسن الرفع عند القيام من جلسة الاستراحة كما افاده الشرقاوى

Selasa, 07 Januari 2020

MEMANFAATKAN AIR MASJID UNTUK PRIBADI

✍ HUKUM MEMANFAATKAN AIR MASJID UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI.

Sebelumnya perlu adanya penegasan dari segi kepemilikan, karena tidak semua masjid berasal dari tanah wakafan. Walaupun sebagian besar, keberadaan masjid yang ada sekarang berasal dari proses pewakafan. Sebab, permasalahan yang ditanyakan merupakan bagian dari konsep pemanfaatan barang-barang yang ada di masjid.

● Sebagaimana telah diketahui, bahwa air yang berada di masjid wakaf statusnya adalah milik masjid. Adapun pemanfaatannya menjadi satu paket dalam pemanfaatan masjid yang berupa barang wakafan. Pemanfaatan barang yang telah diwakafkan harus sesuai dengan tujuan pihak yang mewakafkan (Qasdul Waqif). Hal ini terus berlaku selama tujuan pewakafan tersebut dapat dibenarkan menurut syariat dan menghasilkan kemaslahatan. Namun, apabila tujuan pihak yang mewakafkan (Qasdul Waqif) tersebut belum jelas, maka yang menjadi tolak ukur adalah kebiasaan (‘Urf) yang berlaku di daerah tersebut. [1]

Pemanfaatan air yang berada di masjid sangat mirip dengan permasalahan yang dibahas di dalam Bab Wakaf dari kitab Fathul Mu’in. Syaikh Zainuddin Al-Malibari berkata sebagai berikut:

{ وَسُئِلَ الْعَلَّامَةُ الطَّنْبَدَاوِيْ عَنِ الْجِوَابِيْ وَالْجِرَارِ الَّتِيْ عِنْدَ الْمَسَاجِدِ فِيْهَا الْمَاءُ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهَا مَوْقُوْفَةٌ لِلشُّرْبِ أَوِ الْوُضُوْءِ أَوِ الْغُسْلِ الْوَاجِبِ أَوِ الْمَسْنُوْنِ أَوْ غَسْلِ النَّجَاسَةِ؟ فَأَجَابَ إِنَّهُ إِذَا دَلَّتْ قَرِيْنَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ مَوْضُوْعٌ لِتَعْمِيْمِ الْاِنْتِفَاعِ: جَازَ جَمِيْعُ مَا ذُكِرَ مِنَ الشَّرْبِ وَغَسْلُ النَّجَاسَةِ وَغَسْلُ الْجِنَابَةِ وَغَيْرُهَا وَمِثَالُ الْقَرِيْنَةِ: جِرْيَانُ النَّاسِ عَلَى تَعْمِيْمٍ لِاِنْتِفَاعٍ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ مِنْ فَقِيْهٍ وَغَيْرِهِ إِذِ الظَّاهِرُ مِنْ عَدَمِ النَّكِيْرِ: أَنَّهُمْ أَقْدَمُوْا عَلَى تَعْمِيْمِ الْاِنْتِفَاعِ بِالْمَاءِ بِغُسْلٍ وَشُرْبٍ وَوُضُوْءٍ وَغَسْلِ نَجَاسَةٍ فَمِثْلُ هَذَا إِيْقَاعٌ يُقَالُ بِالْجَوَازِ }

“Al-‘Allamah Syaikh Thambadawi ditanya tentang masalah kamar mandi dan tempat air yang berada di masjid yang berisi air ketika tidak diketahui status pewakafan air tersebut,  apakah untuk minum, untuk wudlu, untuk mandi wajib atau sunnah, atau membasuh najis?. Beliau menjawab: Sesungguhnya apabila terdapat tanda-tanda (Qorinah) bahwa air tersebut disediakan untuk kemanfaatan umum, maka boleh menggunakannya untuk semua kepentingan di atas, yaitu untuk minum, membasuh najis, mandi junub dan lain sebagainya. Contoh dari tanda-tanda (qorinah) tersebut adalah kebiasaan manusia untuk memanfaatkannya secara umum tanpa ada inkar dari orang yang ahli fikih ataupun yang lainnya. Dan contoh pemanfaatan air sebagaimana contoh di atas adalah boleh,”.[2]

Dari penjelasan Syaikh Zainuddin Al-Malibari yang mengutip pendapat Syaikh Thambadawi dapat ditarik kesimpukan bahwa memanfaatkan air yang berada di masjid dengan cara mengambilnya untuk kepentingan pribadi dapat dibenarkan secara syariat.

👉 Referensi / footnote :

[1] Hasyiyah Al-Qulyubi, vol. III/100.

[2] fathul muin hal 88-89 al-haramain

🖋 ibarat senada dlm kitab :

[1] ianatut thalibin juz 3/171

[2] al-fatawal kubra al-fiqhiyah juz 3/266

( والله اعلم بالصواب اللهم اغننا بالعلم وزينا بالحلم واكرمنا بالتقوى وجملنا بالعافية امين يارب العالمين )

Hukum Nge-prank

📚 HUKUM NGE-PRANK

✔ Tidak boleh karena membuat orang merasa terhina dan malu serta menyakitinya. Ini sejalan dengan Hukum prank dalam Islam Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il Kubro Di Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur 21-21 Februari 2019 M/ 15-16 J.Tsaniyah 1440 H :

- Prank, itulah istilah yang sering digunakan oleh para netizen untuk mengistilahkan sebuah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok atau perorangan kepada temannya atau bahkan terhadap orang yang tidak dikenal untuk sekedar menjahili, iseng-iseng, bahkan untuk menguji sikap asli korbannya. Prank lebih tenar di kalangan youtubers, karena merekalah yang sejatinya memproklamirkan istilah itu lewat video-video yang diunggah di akun youtube mereka demi meraih subscribe dari para viewers. Sehingga pada intinya, dari berbagai variasi Prank, visi sebenarnya adalah menghibur dan mencari ketenaran disamping juga dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah.

Dalam prakteknya, prank sendiri pada umumnya akan menimbulkan keresahan dan rasa tidak nyaman pada korbannya. Meskipun berhasil memancing tawa, namun tidak sedikit juga yang membuat para korban merasa ketakutan, bahkan menyebabkan trauma karena adegannya sangat realistis dan videonya pun dibuat sangat detail.

◆ Contoh prank yang menakutkan dan meresahkan :
Video prank pocong yang dibuat oleh sekelompok ABG di daerah Jakarta Selatan. Salah satu dari mereka mengenakan kostum menyerupai pocong lengkap dengan riasan wajah pucat dan seram. Ia berdiri di sebuah gang sepi dekat dengan kuburan lalu beraksi menakut-nakuti warga dan pengendara motor. Alhasil, banyak warga dan pengendara yang merasa ketakutan bahkan salah satu ibu warga setempat merasa trauma atas kejadian tersebut. Lalu mereka merekam dan mengupload videonya.

◆ Contoh prank yang memancing tawa : Berbeda dengan video prank pocong sebelumnya video yang dibuat salah satu youtubers Indonesia asal Kaltim melakukan aksi jahil dengan menyamar menjadi pocong. Sambil mengendarai mobil, ia membeli makanan dengan layanan drive thru (layanan tanpa turun) di restoran cepat saji. Alhasil, karena aksi yang dilakukannya sengaja tidak begitu realistis, hal itu berhasil memancing tawa kebanyakan korban dan penonton.

🖍 Bagaimanakah hukum nge-prank tanpa izin pihak korban, mengupload dan menonton video prank sebagaimana deskripsi di atas ?

✅ jawab : Hukum nge-prank dengan berbagai medianya diharamkan apabila membahayakan (idlror), menyakiti (idza), mengejek (istihza), menakut-nakuti (tarwi’) yang melebihi batas-batas kewajaran. Kecuali, ada dugaan ridlo dari korban atas kejahilannya.

✍ Referensi:

● Silsilah al Adab al Islamiyah Juz 17 hal.7
● Al Zawajir Juz 2 hal. 472
●Tuhfatul Muhtaj Juz 14 hal. 300 Dan lain-lain

(1) اسعاد الرفيق الجزء الثاني ص 119
مانصه : (و) منها (إيذاء الجار) جاره (ولو) كان (كافرا) لكن إذا كان (له أمان إيذاء ظاهرا) كأن بشرف على حرمه أو يبنى ما يؤذيه مما لا يسوغ شرعا –الى أن قال- (تنبيه) المراد بالأذى الظاهر ما يعد فى العرف إيذاء ففى الزواجر ان إيذاء المسلم مطلقا كبيرة ووجه التخصيص بالجار ان إيذاء غيره لا يكون كبيرة الا إن كان له وقع بحيث لا يحتمل عادة بخلاف الجار فإنه لا يشترط فى كونه كبيرة الا ان يصدق عليه عرفا أنه ايذاء.

(2) الزواجر عن اقتراف الكبائر ج 2 ص 175 مانصه : فإن قلت : إيذاء المسلم كبيرة مطلقا فما وجه تخصيص الجار ؟ قلت : كأن وجه التخصيص أن إيذاء غير الجار لا بد فيه أن يكون له وقع بحيث لا يحتمل عادة بخلاف إيذاء الجار فإنه لا يشترط في كونه كبيرة أن يصدق عليه عرفا أنه إيذاء .

(3) إحياء علوم الدين – (ج 2 / ص 328) مانصه : الآفة الحادية عشر السخرية والاستهزاء وهذا محرم مهما كان مؤذياً كما قال تعالى ” يا أيها الذين آمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيراً منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيراً منهن ” ومعنى السخرية الاستهانة والتحقير والتنبيه على العيوب والنقائص على وجه يضحك منه: وقد يكون ذلك بالمحاكاة في الفعل والقول، وقد يكون بالإشارة والإيماء، وإذا كان بحضرة المستهزأ به لم يسم ذلك غيبة وفيه معنى الغيبة. قالت عائشة رضي الله عنها: حاكيت إنساناً فقال لي النبي صلى الله عليه وسلم ” والله ما أحب أني حاكيت إنساناً ولي كذا وكذا وق

ال ابن عباس في قوله تعالى ” يا ويلتنا ما لهذا الكتاب لا يغادر صغيرة ولا كبيرة إلا أحصاها ” إن الصغيرة التب

سم بالاستهزاء بالمؤمن، والكبيرة القهقهة بذلك. وهذه إشارة إلى أن الضحك على الناس من جملة الذنوب والكبائر. وعن عبد الله بن زمعة أنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يخطب فوعظهم في ضحكهم من الضرطة فقال ” علام يضحك أحدكم مما يفعل وقال صلى الله عليه وسلم ” إن المستهزئين بالناس يفتح لأحدهم باب من الجنة فيقال هلم هلم فيجيء بكربه وغمه فإذا أتاه أغلق دونه، ثم يفتح له باب آخر فيقال هلم هلم فيجيء بكربه وغمه فإذا أتاه أغلق دونه فما يزال كذلك حتى إن الرجل ليفتح له الباب فيقال له هلم هلم فلا يأتيه وقال معاذ بن جبل: قال النبي صلى الله عليه وسلم ” من عير أخاه بذنب قد تاب منه لم يمت حتى يعمله وكل هذا يرجع إلى استحقار الغير والضحك عليها استهانة به واستصغاراً له. وعليه قوله تعالى ” عسى أن يكونوا خيراً منهم ” أي لا تستحقره استصغاراً فلعله خير منك.وهذا إنما يحرم في حق من يتأذى به، فأما من جعل نفسه مسخرة وربما فرح من أن يسخر به كانت السخرية في حقه من جملة المزاح – وقد سبق ما يذم منه وما يمدح – وإنما المحرم استصغار يتأذى به المستهزأ به لما فيه من التحقير والتهاون. وذلك تارة بأن يضحك على كلامه إذا تخبط فيه ولم ينتظم، أو على أفعاله إذا كانت مشوشة كالضحك على خطه وعلى صنعته، أو على صورته وخلقته إذا كان قصيراً أو ناقصاً لعيب من العيوب. فالضحك من جميع ذلك داخل في السخرية المنهي عنها.

(4) الزواجر عن اقتراف الكبائر – (ج 2 / ص 268) ( الكبيرة الحادية والخمسون بعد المائتين : السخرية والاستهزاء بالمسلم ) .قال تعالى : { يا أيها الذين آمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم ولا نساء من نساء عسى أن يكن خيرا منهن } وقد مر الكلام على تفسيرها قريبا ، وقد قام الإجماع على تحريم ذلك .وأخرج البيهقي : { إن المستهزئين بالناس يفتح لأحدهم في الآخرة باب من الجنة فيقال له هلم هلم فيجيء بكربه وغمه فإذا جاءه أغلق دونه ، ثم يفتح له باب آخر فيقال له هلم هلم فيجيء بكربه وغمه فإذا جاءه أغلق دونه ، فما يزال كذلك حتى يفتح له الباب من أبواب الجنة فيقال له هلم فما يأتيه من الإياس } .وقال ابن عباس في قوله تعالى : { ويقولون يا ويلتنا مال هذا الكتاب لا يغادر صغيرة ولا كبيرة إلا أحصاها } الصغيرة التبسم ، والكبيرة الضحك بحالة الاستهزاء .

(5) إسعاد الرفيق ج 2 ص 95 مانصه :
و منها الضحك لخروج ريح من شخص أو على مسلم من المسلمين أو ذمي إذا كان استحقارا به لما فيه من الإيذاء الغير المحتمل و إيذاء المسلم وكذا الذمي حرام بل كبيرة على أن مجرد الضحك مذموم مميت للقلب فكيف به إذا اشتمل على ما يؤذي المسلم أو الذمي من السخرية والاستحقار

(6) سلسلة الآداب الإسلامية للشيخ محمد صالح المنجد – (ج 17 / ص 7)
ضوابط المزاح: نذكر في ختام هذا الدرس ضوابط المزاح: أولا: ألا يكون فيه كذب, امزح ولكن لا تقول إلا حقا, رواية، حادثة صحيحة فيها طرفة تذكرها, أما أن تختلق أشياء لإضحاك الناس فلا. ثانيا: ألا يكون فيه غيبة. ثالثا: ألا يكون فيه قذف. رابعا: أن يكون في الوقت المناسب, فلا يكون -مثلا- في وقت الوعظ، أو التذكير بالموت، أو جلسة علم وجد، ويأتي في منتصف هذا الجو العلمي أو الوعظي من يلقي بطرفة، فهذا من أسوأ ما يمكن أن يحدث في مجالس العلم خامسا: عدم الانهماك والاسترسال والمبالغة والإطالة. سادسا: عدم الترويع وعدم الإضرار به, فلا يأتي شخص ويخطف مفتاح سيارة شخص آخر أو يسرق, أو يأخذ منه شيئا ثمينا، فهذا فيه ترويع وخوف، وربما يبلغ الشرطة، وفي الأخير يأتي هذا ويقول: كنت أمزح, فهذا لا يكون بحال. سابعا: ألا يكون فيه فحش, بعض النكت التي تسمى عند العوام نكتا هي عبارة عن قلة حياء، وقلة أدب وبذاءة, وتكون قبيحة، وهي كثيرة جدا ومنتشرة بين الناس في المجالس, كل الطرف التي يأتون بها متعلقة بالعورات المغلظة, وربما بلغت البذاءة ببعضهم أن يأتيك بطرفة فيما يتعلق بجماع الرجل بزوجته, أو ما يكون بينهما من الأشياء, والله لا يحب الجهر بالسوء من القول, ولم يكن النبي صلى الله عليه وسلم فاحشا أو متفحشا .ثامناً: ألا يكون فيها استهزاء بشيء من الدين، كالاستهزاء بالكتاب العزيز، أو بأحاديث النبي صلى الله عليه وسلم، أو بالملائكة, فبعض النكت مذكور فيها استهزاء بالملائكة، أو الجنة والنار، أو عذاب القبر، فهذه كثيرة بين الناس, يقول: عندي نكتة ثم يأتي بشيء فيه ذكر لأشياء من العقيدة أو من اليوم الآخر يجعله في هيئة طرفة ونكتة. تاسعاً: ألا يكون مع السفهاء، لأنه إذا مازح السفهاء ردوا عليه سفاهة, فأضر ذلك بشخصيته. عاشراً: أن يراعي شعور الآخرين, لأنه قد ي

أتي بمزحة لكن تجرح شعور الذي أمامه, ويجب على الإنسان أن يكون أدبياً يراعي مشاعر الخلق, وإذا أراد أن يمازح لا يزعجه ولا يجعله يغضب منه, وليست القضية إضحاك أكبر عدد في المجلس ولو كان فيها إيذاء للآخرين, وكثير من المزحات يكون فيها ضحايا, يعني: ضحك من في المجلس، لكن صار بينك وبين الذي مزحت به كما

يقال في لغة العرب: تطنزت به, هذا موجود في كثير من النكت وطرائف الناس, وربما قام من المجلس وقد خاصمهم وهجرهم أو لم يكلمه من أجل أنه جعل منه أضحوكة في المجلس, وهذا يقع كثيراً, وهذا لا شك أنه إيذاء للمؤمنين, وإيذاء المؤمنين حرام وسخرية، قال تعالى: { لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْراً مِنْهُمْ } [الحجرات:11] وبعض الناس متخصص في هذه القضية, المسألة أنه كيف يجعل الآخرين أضحوكة كيف يهزأ بهم في المجلس، كيف يجعلهم مضحكة في الناس, وهذا حرام لا يجوز. حادي عشر: ألا يمازح مع الكبير والعالم بما لا يليق بمقامه أن تمازحه في هذا المجال, ممكن أن يمازح شخص صديقه، لكن قد لا يناسبه أن يمزح مع كبير في السن في المجلس، فأنت عندما تمازحه فكأنك لا تحترمه ولا توقره, مزاحك له تنبئ عن عدم توقيرك له. ثانية عشر: ألَّا يكون فيه إغراق في الضحك، أو يؤدي إلى الإغراق في الضحك, كل مزاح النبي صلى الله عليه وسلم ليس فيه إغراق في الضحك حتى ينقلب الإنسان على قفاه, أو على عقبيه وهو يضحك, بل مزاح معتدل. ثالثة عشر: ألَّا يضر بشخصه بين الناس, فيكون مضحكة أو مهرج القوم، حتى إذا أراد أحد أن يضحك -كما يقولون- يأتي إلى هذا المهرج، ويقولون: ما هو آخر شيء عندك؟ أعطنا موقفاً، وكثير من المقابلات الجادة مع بعض المشايخ يكون فيها سؤالاً، مثل أن يقول: اذكر لنا موقفاً طريفاً مر بك؟ نكتفي بهذا القدر، ونسأل الله سبحانه وتعالى أن يؤدبنا بآداب شريعته, وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً كثيراً .

الزواجر عن اقتراف الكبائر (2/ 472)
( الكبيرة الثامنة عشرة والتاسعة عشرة بعد الثلاثمائة : ترويع المسلم والإشارة إليه بسلاح أو نحوه ) أخرج البزار والطبراني وأبو الشيخ ابن حبان عن عامر بن ربيعة رضي الله عنه : { أن رجلا أخذ نعل رجل فغيبها وهو يمزح فذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال النبي صلى الله عليه وسلم : لا تروعوا المسلم فإن روعة المسلم ظلم عظيم } . والطبراني : { من أخاف مؤمنا كان حقا على الله أن لا يؤمنه من أفزاع يوم القيامة } . والطبراني وأبو الشيخ : { من نظر إلى مسلم نظرة يخيفه فيها بغير حق أخافه الله يوم القيامة } . وأبو داود والطبراني بسند رواته ثقات : { لا يحل لمسلم أن يروع مسلما } ، قاله لما روع رجل من أصحابه بأخذ حبل معه وهو نائم فانتبه ففزع . وأبو داود والترمذي وقال حسن غريب : { لا يأخذن أحدكم متاع أخيه لاعبا ولا جادا } . ومسلم : { من أشار إلى أخيه بحديدة فإن الملائكة تلعنه حتى ينتهي وإن كان أخاه لأبيه وأمه } . والشيخان : { إذا توجه المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار } . وفي رواية لهما : { إذا المسلمان حمل أحدهما على أخيه السلاح فهما على حرف جهنم فإذا قتل أحدهما صاحبه دخلاها جميعا ، قال فقلنا أو قيل : يا رسول الله هذا القاتل فما بال المقتول ؟ قال إنه كان أراد قتل صاحبه } ، . والشيخان : { لا يشر أحدكم إلى أخيه بالسلاح فإنه لا يدري لعل الشيطان ينزع في يده فيقع في حفرة من النار } وينزع بالمهملة وكسر الزاي يرمي أو بالمعجمة مع فتح الزاي ومعناه يرمي ويفسد وأصل النزع الطعن والفساد . تنبيه : عد هذين هو صريح حديث الغضب وغيره بالنسبة للأول واللعن وغيره بالنسبة للثاني ، ويتعين حمل الحرمة في الأول على ما إذا علم أن الترويع يحصل خوفا يشق تحمله عادة ، والكبيرة فيه على ما إذا علم أن ذلك الخوف يؤدي به إلى ضرر في بدنه أو عقله ، وحمل الثاني على ذلك أيضا ولم أر من تعرض لذلك .

تحفة المحتاج بشرح المنهاج (14/ 300)
من ائتمنه المالك كوديع يمتنع عليه أخذ ما تحت يده من غير علمه، لأن فيه إرعابا له بظن ضياعها ومنه يؤخذ حرمة كل ما فيه إرعاب للغير ودليله أن {زيد بن ثابت نام في حفر الخندق فأخذ بعض أصحابه سلاحه فنهى النبي صلى الله عليه وسلم عن ترويع المسلم} من يومئذ ذكره في الإصابة لكن يشكل عليه ما رواه أحمد أن {أبا بكر خرج تاجرا ومعه بدريان نعيمان وسويبط فقال له أطعمني قال حتى يجيء أبو بكر فذهب لأناس ثم وباعه لهم موريا أنه قنه بعشر قلائص فجاءوا وجعلوا في عنقه حبلا وأخذوه فبلغ ذلك أبا بكر رضي الله عنه فذهب هو وأصحابه إليهم فأخذوه منهم ثم أخبر النبي صلى الله عليه وسلم فضحك هو وأصحابه من ذلك حتى بدا سنه} وقد يجمع بحمل النهي على ما فيه ترويع لا يحتمل غالبا كما في القصة الأولى والإذن على خلافه كما في الثانية، لأن نعيمان الفاعل لذلك معروف بأنه مضحاك مزاح كما في الحديث ومن هو كذلك الغالب أن فعله لا ترويع فيه كذلك عند من يعلم بحاله ورواية ابن ماجه أن الفاعل سويبط لا تقاو

م رواية أحمد السابقة فتأمل ذلك فإني لم أر من أشار لشيء منه مع كثرة المزاح بالترويع وقد ظهر أنه لا بد فيه من التفصيل الذي ذكرته، ثم رأيت الزركشي قال في تكميله نقلا عن القواعد: إن ما يفعله الناس من أخذ المتاع على سبيل المزاح حرام وقد جاء في الحديث {لا يأخذ أحدكم متاع صاحبه لاعبا جادا} جعله لا

ِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ) فِيهِ تَأْكِيدُ حُرْمَةِ الْمُسْلِمِ وَالنَّهْيُ الشَّدِيدُ عَنْ تَرْوِيعِهِ وَتَخْوِيفِهِ وَالتَّعَرُّضِ لَهُ بِمَا قَدْ يُؤْذِيهِ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ مُبَالَغَةٌ فِي إِيضَاحِ عُمُومِ النَّهْيِ فِي كُلِّ أَحَدٍ سَوَاءٌ مَنْ يُتَّهَمُ فِيهِ وَمَنْ لَا يُتَّهَمُ وَسَوَاءٌ كَانَ هَذَا هَزْلًا وَلَعِبًا أَمْ لَا لِأَنَّ تَرْوِيعَ الْمُسْلِمِ حَرَامٌ بِكُلِّ حَالٍ وَلِأَنَّهُ قَدْ يَسْبِقُهُ السِّلَاحُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى وَلَعْنُ الْمَلَائِكَةِ لَهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ حَرَامٌ

( والله تعالى اعلم بالصواب )

عبا من جهة أنه أخذه بنية رده وجعله جادا، لأنه روع أخاه المسلم بفقد متاعه ا ه.

بلوغ الغاية من تهذيب بداية الهداية (ص: 93)
الثامن المزاح والسخرية والاستهزاء بالناس فاحفظ لسانك منه في الجد والهزل، فإنه يريق ماء الوجه، ويسقط المهابة، ويستجر الوحشة، ويؤذي القلوب، وهو مبدأ اللجاج والغضب والتصارم، ويغرس الحقد في القلوب، فلا تمازح أحدًا، فإن مازحوك فلا تجبهم وأعرض عنهم حتى يخوضوا في حديث غيره، وكن من الذين إذا مروا باللغو مروا كرامًا.

موعظة المؤمنين من إحياء علوم الدين صـ: 289 دار الكتب العلمية

الآفة العاشرة المزاح والمنهي عنه المذموم منه هو المداومة عليه والإفراط فيه فأما المداومة فلأنه اشتغال باللعب والهزل وأما الإفراط فيه فإنه يورث كثرة الضحك والضغينة في بعض الأحوال ويسقط المهابة والوقار وأما ما يخلو عن هذه الأمور فلا يذم كما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال إني لأمزح ولا أقول إلا حقا ألا إن مثله يقدر على أن يمزح ولا يقول إلا حقا – إلى أن قال – وبالجملة فإن كنت تقدر على أن تمزح ولا تقول إلا حقا ولا تؤذي قلبا ولا تفرط فيه وتقتصر عليه أحيانا على الندور فلا حرج عليك فيه

الفتاوى الكبرى الفقهية الجزء الرابع ص: 116 (دار الفكر)
(وسئل) بما لفظه هل جواز الأخذ بعلم الرضا من كل شىء أم مخصوص بطعام الضيافة (فأجاب) بقوله الذى دل عليه كلامهم أنه غير مخصوص بذلك وصرحوا بأن غلبة الظن كالعلم فى ذلك وحينئذ فمتى غلب على ظنه أن المالك يسمح له بأخذ شىء معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه وإلا فلا

الزواجر عن اقتراف الكبائر ج ٢ ص ١٥٩-١٦٠ مكتبة الشاملة
(الْكَبِيرَةُ الثَّامِنَةَ عَشْرَةَ وَالتَّاسِعَةَ عَشْرَةَ بَعْدَ الثَّلَاثِمِائَةِ: تَرْوِيعُ الْمُسْلِمِ وَالْإِشَارَةُ إلَيْهِ بِسِلَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ) أَخْرَجَ الْبَزَّارُ وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ ابْنِ حِبَّانَ عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -:
«أَنَّ رَجُلًا أَخَذَ نَعْلَ رَجُلٍ فَغَيَّبَهَا وَهُوَ يَمْزَحُ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: لَا تُرَوِّعُوا الْمُسْلِمَ فَإِنَّ رَوْعَةَ الْمُسْلِمِ ظُلْمٌ عَظِيمٌ» . وَالطَّبَرَانِيُّ: «مَنْ أَخَافَ مُؤْمِنًا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُؤَمِّنَهُ مِنْ أَفْزَاعِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ» . وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ: «مَنْ نَظَرَ إلَى مُسْلِمٍ نَظْرَةً يُخِيفُهُ فِيهَا بِغَيْرِ حَقٍّ أَخَافَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» . وَأَبُو دَاوُد وَالطَّبَرَانِيُّ بِسَنَدٍ رُوَاتُهُ ثِقَاتٌ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا» ، قَالَهُ لَمَّا رُوِّعَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بِأَخْذِ حَبْلٍ مَعَهُ وَهُوَ نَائِمٌ فَانْتَبَهَ فَفَزِعَ.
وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ غَرِيبٌ: «لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لَاعِبًا وَلَا جَادًّا» . وَمُسْلِمٌ: «مَنْ أَشَارَ إلَى أَخِيهِ بِحَدِيدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ» . وَالشَّيْخَانِ: «إذَا تَوَجَّهَ الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ» . وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا: «إذَا الْمُسْلِمَانِ حَمَلَ أَحَدُهُمَا عَلَى أَخِيهِ السِّلَاحَ فَهُمَا عَلَى حَرْفِ جَهَنَّمَ فَإِذَا قَتَلَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ دَخَلَاهَا جَمِيعًا، قَالَ فَقُلْنَا أَوْ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ إنَّهُ كَانَ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ» ،. وَالشَّيْخَانِ: «لَا يُشِرْ أَحَدُكُمْ إلَى أَخِيهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنْ النَّارِ» وَيَنْزِعُ بِالْمُهْمَلَةِ وَكَسْرِ الزَّايِ يَرْمِي أَوْ بِالْمُعْجَمَةِ مَعَ فَتْحِ الزَّايِ وَمَعْنَاهُ يَرْمِي وَيَفْسُدُ وَأَصْلُ النَّزْعِ الطَّعْنُ وَالْفَسَادُ

تَنْبِيهٌ: عَدُّ هَذَيْنِ هُوَ صَرِيحُ حَدِيثِ الْغَضَبِ وَغَيْرِهِ بِالنِّسْبَةِ لِلْأَوَّلِ وَاللَّعْنِ وَغَيْرِهِ بِالنِّسْبَةِ لِلثَّانِي، وَيَتَعَيَّنُ حَمْلُ الْحُرْمَةِ فِي الْأَوَّلِ عَلَى مَا إذَا عُلِمَ أَنَّ التَّرْوِيعَ يُحَصِّلُ خَوْفًا يَشُقُّ تَحَمُّلُهُ عَادَةً، وَالْكَبِيرَةُ فِيهِ عَلَى مَا إذَا عُلِمَ أَنَّ ذَلِكَ الْخَوْف َ يُؤَدِّي بِهِ إلَى ضَرَرٍ فِي بَدَنِهِ أَوْ عَقْلِهِ، وَحُمِلَ الثَّانِي عَلَى ذَلِكَ أَيْضًا وَلَمْ أَرَ مَنْ تَعَرَّضَ لِذَلِكَ.

شرح النووي على مسلم ج ١٦ ص ١٦٩-١٧٠ مكتبة الشاملة
(باب النهي عن الاشارة بالسلاح إلى مسلم)
قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
[٢٦١٦] (مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخ

MERAYAKAN TAHUN BARU

Bagaimana hukum orang Islam ikut merayakan tahun baru selain Islam?
JAWABAN :
HARAM, karena tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir atau orang fasiq.
REFERENSI :
1. Al Mi'yar Al Ma'riby XI/50-152
2. Al Mi'yar Al Ma'riby XI/54
3. Ar-Raudhah X/120
4. Faydhul Qodir VI/135
5. Hasyiyah al-Jamal ala al-Minhaaj IV/17
6. Ihyaa’ ‘Uluumiddiin II/16
وقال الإمام الونشريسي المالكي في المعيار : تحت عنوان (الاحتفال بفاتح السنة الميلادية
) وسُئل أبو الأصبغ عيسى بن محمد التميلي عن ليلة ينير (يناير) التي يسميها الناس (الميلاد) ويجتهدون لها في الاستعداد ، ويجعلونها كأحد الأعياد ، ويتهادون بينهم صنوف الأطعمة وأنواع التحف والطرف المثوبة لوجه الصِّلة ، ويترك الرجالُ والنساءُ أعمالهم صبيحتها تعظيمًا لليوم ، ويعدّونه رأس السنة ، أترى ذلك ـ أكرمك الله ـ بدعة محرّمة لا يحل لمسلم أن يفعل ذلك ، ولا أن يجيب أحدًا من أقاربه وأصهاره إلى شيء من ذلك الطعام الذي أعدّه لها؟
أم هو مكروه ليس بالحرام الصراح؟ أم مستقل؟ وقد جاءت أحاديث مأثورة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في المتشبّهين من أمته بالنصارى في نيروزهم ومهرجانهم ، وأنهم محشورون معهم يوم القيامة . وجاء عنه أيضًا أنه قال : (من تشبّه بقوم فهو منهم) . فبيّن لنا أكرمك الله ما صح عندك في ذلك إن شاء الله .
فأجاب : قرأت كتابك ووقفت على ما عنه سألت وكل ما ذكَرْتَه في كتابك فمحرّمٌ فِعْلُه عند أهل العلم . وقد رويت الأحاديث التي ذكرتها من التشديد في ذلك .
ورويتُ أيضًا أن يحيى بن يحيى الليثي (راوي الموطأ) قال : لا تجوز الهدايا في الميلاد من نصراني ولا من مسلم ، ولا إجابة الدعوة فيه ، ولا استعداد له . وينبغي أن يجعل كسائر الأيام ، ورَفَعَ فيه حديثًا إلى النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال يومًا لأصحابه : (إنكم مُسْتَنْزَلون بين ظهراني عجم ، فمن تشبه بهم في نيروزهم ومهرجانهم حُشِرَ معهم) قال يحيى : وسألتُ عن ذلك ابن كنانة ، وأخبرته بحالنا في بلدنا فأنكر وعابه وقال : الذي يثبت عندنا في ذلك الكراهية ، وكذلك سمعت مالكًا يقول : لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم (من تشبّه بقوم حشر معهم) . [المعيار 11/150ـ151]
ووقع لسحنون مثل ما تقدم ، ونصّه :"ولا تجوز الهدايا في الميلاد من مسلم ولا من نصراني ولا إجابة الدعوة فيه ، ولا الاستعداد له. انتهى [المعيار 11/154]

قال الإمام النووي الشافعي في (الروضة) 10/230 عند المسألة العاشرة من مسائل في السلام
: (قول الرافعي)..العاشرة في استحباب السلام على الفساق ووجوب الرد على المجنون والسكران إذا سلما وجهان ولا يجوز ابتداء أهل الذمة بالسلام فلو سلم على من لم يعرفه فبان ذمياً استحب أن يسترد سلامه بأن يقول استرجعت سلامي تحقيراً له وله أن يحيي الذمي بغير السلام بأن يقول هداك الله أو أنعم الله صباحك ولو سلم عليه ذمي لم يزد في الرد على قوله وعليك.
قلت (النووي): ما ذكره من استحباب استرداد السلام من الذمي ذكره (المتولي) ونقله عن ابن عمر رضي الله عنهما ، وقوله أن يحيي الذمي بغير السلام ذكره المتولي وهذا إذا احتاج إليه لعذر فأما من غير حاجة فالاختيار أن لا يبتدئه بشيء من الإكرام أصلاً فإن ذلك بسطٌ له وإيناس وملاطفة وإظهار ودٍّ وقد قال الله تعالى {لا تجد قوماً يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله ورسوله}

قال المناوي الشافعي في (فيض القدير شرح الجامع الصغير) 6/135
(من تشبه بقوم) أي تزيا في ظاهره بزيهم وفي تعرفه بفعلهم وفي تخلقه بخلقهم وسار بسيرتهم وهديهم في ملبسهم وبعض أفعالهم أي وكان التشبه بحق قد طابق فيه الظاهر الباطن (فهو منهم) وقيل المعنى من تشبه بالصالحين وهو من أتباعهم يكرم كما يكرمون ومن تشبه بالفساق يهان ويخذل كهم ، ومن وضع عليه علامة الشرف أكرم وإن لم يتحقق شرفه وفيه أن من تشبه من الجن بالحيات وظهر يصورتهم قتل وأنه لا يجوز الآن لبس عمامة زرقاء أو صفراء كذا ذكره ابن رسلان ، وبأبلغ من ذلك صرح القرطبي فقال : لو خص أهل الفسوق والمجون بلباس منع لبسه لغيرهم فقد يظن به من لا يعرفه أنه منهم فيظن به ظن السوء فيأثم الظان والمظنون فيه بسبب العون عليه

قال العلامة الشيخ سليمان الجمل الشافعي في (حاشية الجمل على المنهج) 4/17
( وكره ) أن يجعل له ( فرش ومخدة ) بكسر الميم ( وصندوق لم يحتج إليه ) لأن في ذلك إضاعة مال أما إذا احتيج إلى صندوق لنداوة أو نحوها كرخاوة في الأرض فلا يكره ولا تنفذ وصيته به إلا حينئذ
قوله لأن في ذلك إضاعة مال أي لغرض شرعي وهو تعظيم الميت فلا تنافي بين العلة والمعلول لأن الإضاعة إنما تكون محرمة إذا لم تكن لغرض شرعي ا ه

وقال الإمام الغزالي الشافعي في إحياء علوم الدين 2 / 16
بيان مراتب الذين يبغضون في الله وكيفية معا ملتهم:

فإن قلت: إظهار البغض والعداوة بالفعل إن لم يكن واجباً فلا شك أنه مندوب إليه والعصاة والفساق على مراتب مختلفة فكيف ينال الفضل بمعاملتهم وهل يسلك بجميعهم

مسلكاً واحداً أم لا؟ فاعلم أن المخالف لأمر الله سبحانه لا يخلو إما أن يكون مخالفاً في عقده أو في عمله، والمخالف في العقد إما مبتدع أو كافر والمبتدع إما داع إلى بدعته أو ساكت والساكت إما بعجزه أو باختياره: فأقسام الفساد في الاعتقاد ثلاثة: الأول: الكفر، فالكافر إن كان محارباً فهو يستحق القتل والإرقاق وليس بعد هذين إهانة، وأما الذمي فإنه لا يجوز إيذاؤه إلا بالإعراض عنه والتحقير له بالاضطرار إلى أضيق الطرق وبترك المفاتحة بالسلام، فإذا قال: السلام عليك، قلت: وعليك. والأولى الكف عن مخاطبته ومعاملته ومؤاكلته ، وأما الانبساط معه والاسترسال إليه كما يسترسل إلى الأصدقاء فهو مكروه كراهة شديدة يكاد ينتهي ما يقوى منها إلى حد التحريم، قال الله تعالى: {لا تجد قوماً يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله ورسوله} الآية، وقال صلى الله عليه وسلم: (( المسلم والمشرك لا تتراءى ناراهما)) وقال عز وجل: {يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة} الآية.

Lalu bagaimana dengan pengucapan “Selamat tahun baru”, “Happy new year”, atau pengucapan lainnya yang semakna dengan itu? Banyak orang berbeda pendapat perihal ini. Berikut ini kami kutip penjelasan Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam kumpulan fatwanya perihal pengucapan “Selamat hari raya Idul Fithri atau Idul Adha”, “Selamat bulan baru”, atau “Selamat tahun baru”.

قال القمولي في الجواهر : لم أر لأصحابنا كلاماً في التهنئة بالعيدين ، والأعوام ، والأشهر كما يفعله الناس ، ورأيت فيما نقل من فوائد الشيخ زكي الدين عبد العظيم المنذري أن الحافظ أبا الحسن المقدسي سئل عن التهنئة في أوائل الشهور ، والسنين أهو بدعة أم لا ؟ فأجاب بأن الناس لم يزالوا مختلفين في ذلك ، قال : والذي أراه أنه مباح ليس بسنة ولا بدعة انتهى ، ونقله الشرف الغزي في شرح المنهاج ولم يزد عليه .

Artinya, “Al-Qamuli dalam Al-Jawahir mengatakan, ‘Aku tidak menemukan banyak pendapat kawan-kawan dari Madzhab Syafi’i ini perihal ucapan selamat hari raya Idul Fithri dan Idul Adha, ucapan selamat pergantian tahun dan pergantian bulan seperti yang dilakukan oleh banyak orang sekarang. Hanya saja aku dapat riwayat yang dikutip dari Syekh Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri bahwa Al-Hafizh Abul Hasan Al-Maqdisi pernah ditanya perihal ucapan selamat bulan baru atau selamat tahun baru. Apakah hukumnya bid’ah atau tidak? Ia menjawab, banyak orang selalu berbeda pandangan masalah ini. Tetapi bagi saya, ucapan selamat seperti itu mubah, bukan sunah dan juga bukan bid’ah.’ Pendapat ini dikutip tanpa penambahan keterangan oleh Syaraf Al-Ghazzi dalam Syarhul Minhaj,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Hawi Lil Fatawi fil Fiqh wa Ulumit Tafsir wal hadits wal Ushul wan Nahwi wal I‘rabi wa Sa’iril Funun, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Libanon, 1982 M/1402 H, juz 1, halaman 83).

Simpulan kami, Islam tidak memberikan larangan pengucapan “Selamat hari raya Idul Fithri” atau “Selamat tahun baru”. Karena memang tidak ada perintah atau larangan secara spesifik perihal ini.

Pergantian tahun memang patut disyukuri. Keterbukaan kesempatan dan harapan baru dengan datangnya tahun baru patut disongsong dengan rasa syukur.

Ada baiknya di tengah pergantian tahun kita berdoa kepada Allah SWT untuk kebaikan di tahun baru ini dan dijauhkan dari segala petaka yang ada di dalamnya. Tidak salah juga kalau kita berbagi kebahagiaan dengan menyantuni orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan, menjenguk tetangga yang terbaring sakit, atau menggelar aksi amal lainnya.

HUKUM NGECASH HP DI MASJID

📚 HUKUM NGECASH HP DI MASJID 📚

Ketika mampir di sebuah masjid, sering kali terlihat beberapa orang yang mengisi (Charging/ngecash) baterai hp pada colokan daya yang bertebaran di beberapa sisi masjid. Mengenai legalitas hukumnya, dalam kitab Risalah al-Amajid dijelaskan:

{ أَقُوْلُ وَفُهِمَ مِمَّا ذُكِرَ نَقْلُ نَحْوِ الْمُكَبِّرِ لِلصَّوْتِ لِلْمَسْجِدِ وَاسْتِعْمَالُهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ الْمَسْجِدِ غَيْرُ جَائِزٍ اللهم إِلَّا اِنِ اشْتَرَاهُ النَّاظِرُبِقَصْدِ إِيْجَارِهِ فَيَجُوْزُ اسْتِعْمَالُهُ لِلْغَيْرِ بِأُجْرَةٍ لَا مَجَانًا }

“Aku berpendapat dari permasalahan yang telah disebutkan, yaitu memindah semacam pengeras suara milik masjid dan menggunakannya untuk keperluan selain masjid adalah tidak diperbolehkan. Kecuali Nazir membeli (semacam pengeras suara) itu dengan tujuan untuk menyewakannya, maka diperbolehkan bagi orang lain untuk menggunakannya dengan membayar ongkos sewa, tidak gratis”.[1]

Stop kontak atau colokan daya listrikyang tersedia merupakan fasilitas yang dimiliki oleh masjid, sama halnya seperti pengeras suara dalam keterangan yang dijelaskan di atas. Sehingga penggunaannya untuk charging atau ngecash telepon seluler tidak diperbolehkan serta berkonsekuensi kewajiban membayar ongkos sewa secara umum (ujroh mitsli) untuk menaksir ganti rugi atas daya listrik yang telah digunakannya.

Namun kewajiban tersebut bisa gugur apabila orang yang menggunakan daya listrik atau charger tersebut mendapatkan izin dari takmir masjid dan ia melakukan ibadah yang berhubungan langsung dengan masjid,seperti salat, iktikaf, dan sesamanya.

🖍 footnote :

[1] Risalah al-Amajid, hal. 29

✍ HUKUM NGECASH HP DI MASJID

( Deskripsi Masalah ) :

- Di zaman teknologi yang makin canggih pada saat ini keberadaan Hp sudah menjadi keperluan kebanyakan masyarakat, baik di kota maupun di desa sampai di gunung-gunung, baik itu gubernur, bupati, camat bahkan para pekerja biasapun mereka perlu yang namanya Hp. Hampir setiap orang di mana saja ia berada di rumah, di toko, di pabrik ataupun ketika bepergian Hp akan selalu ada di sisinya. Yang menjadi permasalahan, terkadang orang yang sedang bepergian ketika singgah di masjid untuk sholat ataupun i’tikaf, maka ketika setrum batrinya habis mereka akan mencarge (mengecas) Hpnya di masjid tersebut.

🖍 Pertanyaan :

(a) Bagaimana hukum mengecas Hp di masjid tersebut?
(b) Kalau di perlukan izin kepada siapakah minta izin?
(c) Bagaimana solusi bagi orang yang sudah terlanjur ngecas Hp di masjid tempat ia singgah?

✅ JAWABAN :

(a) HARAM hukumnya mengecas Hp di masjid dengan izin ataupun tanpa izin, karena listrik masjid di qiyaskan dengan Az-zait (minyak) yang di gunakan untuk penerangan masjid yang merupakan bagian (أجزاء ) dari masjid dan tidak boleh di ambil sedikitpun.

👉 Referensi :

(1) أعانة الطالبين: ج 3 ص 216 : ويحرم أخذ شىء من زيته وشمعه اى للمسجد اى المختص به بأن يكون موقوفا عليه أومملوكا له بهبة أو شراء من ريع موقوف علي مصالحه واذا أخذ منه ذلك وجب رده (كصحاه وترابه) اى كما يحرم أخذ حصى المسجد وترا به.

(2) المجموع ج 3 ص 206 : لايجوز أخذ شيء من أجزاء المسجد كحجر وحصا ة وتراب وغيره وقد سبق في هذه المسائل تحريم التيمم بتراب المسجد ومثله الزيت والمشع الذى يسرج فيه وفي سنن ابي داود باسناد صحيح عن ابي هريسرة بعد الرواة أراه رفعه الى النبي صلى الله عليه وسلم قال: ان الحصاة لتناشد الذى يخرجها من المسجد

(b) Tidak perlu izin, karena hukumnya HARAM mutlak baik izin terlebih dahulu ataupun tidak.

✅ Referensi :

Ibaratnya sama dengan jawaban soal pertama

(c) Solusinya ia harus mengembalikan qimah ( biaya senilai listrik yang telah di ambil ) kepada pihak masjid. Bila masjidnya jauh dan sulit di jangkau, maka ia bertaubat, banyak istighfar dan sedekah.

✅ Referensi :

(1) نهاية الزين :ص 241 : وعلى الغاصب رد وضمان تلف بأقصى قيمته من حين غصب الى تلف.

(2) الاشباه والنظائر ج 2 ص 407 : قال في التدريب : كل من غصب شيئا وجب رده الا بست صور :مسئلة الخيط واللوح والخلط حيث لايتميز والخمر والعصير اذا تخمر في يده

(3) حاشية الجمل : ج 5 ص 388 : ثم رأيت في منهاج العابدين للغزالى ان الذنوب التى بين العباد اما في المال ويجب رده عند المكنة فان عجز لفقر استحله فان عجز عن استحلاله لغيبته او موته

وامكن التصدق عنه فعله والا فليكثر من الحسنات ويرجع الى الله تعالى ويتضرع اليه في ان يرضيه عنه يوم القيامة

MERAYAKAN TAHUN BARU DENGAN MAULID

*Soal baru*

Bagaimana hukum merayakan Tahun baru dengan Acara Maulid

*Jawaban*

Maulid boleh dan bagus kapan pun di lakukan bahkan di malam tahun baru , cuma yg di atur itu NIATNYA SAJA ,klo niatnya untuk menandingi dan menegah kemungkaran maka sangat sangat bagus, tapi klo niatnya UNTUK MENYAMBUT TAHUN BARU sebagaimana orang orang fasik menyambutnya, nah ini yg kurang pas, jadi yg penting NIAT,  Adapun masalah niat ulun di kirimi paguruan ulun ,sangat bagus di jadikan refrensi

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatantergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

Penjelasan Hadits Tentang Niat

 Pendapat para ulama :

Imam Syafi’i berkata “ Hadits ini mencangkup sepertiga ilmu “.

Abu Ubaid berkata “ Tidak ada di antara hadits-hadits Nabi Saw yang lebih mencangkup sesuatu, lebih mencukupi dan lebih banyak faedahnya selain hadits ini “.

Kenapa bisa dikatakan sepertiga ilmu ? karena sesungguhnya perbuatan seorang hamba adakalanya dari hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, maka niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut dan lebih kuat karena niat terkadang menjadi ibadah yang tersendiri sedangkan selainnya butuh terhadap niat. Oleh karenanya ada hadits yang mengatakan “ Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya “.

Asbabul wurud Hadits :

Ketika Rasul Saw tiba di Madinah untuk hijrah, beliau berkhutbah dengan hadits tersebut, karena beliau mengetahui ada seorang sahabat yang melakukan hijrah untuk menikahi seorang wanita yang bernama Muhajir Ummu Qois, maka Nabi Saw mengingatkannya dan semua sahabatnya akan pentingnya niat di dalam berhijrah.

Rasulullah Saw menghkhususkan hijrah adalah تنبيها على الكل بالبعض (sebagai peringatan untuk keseluruhan dengan menggunakan kata khusus) atau istilah ushul fiqihnya خاص معموم (khusus namun umum jangkauannya).

Fiqhul Hadits :

Ada banyak faedah dan hikmah yang bisa di ambil dalam hadits tersebut, di antaranya :

- Sesungguhnya tidak ada amalan yang diterima kecuali berdasarkan niat, misalnya tidak sah melakukan wudhu atau sholat jika tidak di awali dengan niatnya masing-masing.

- Sesungguhnya manusia diberi pahala dan siksa menurut niatnya, jika niatnya baik, maka amalnya baik. Jika niatnya buruk maka amalnya buruk walaupun bentuknya baik.

- Segala perbuatan manusia terdiri dari tiga bagian yaitu; keta’atan, kema’shiatan dan perkara mubah.

Pertama:

Kema’shiatan ; Perbuatan maksiat tidak bisa dirubah sama sekali dengan niat baik. Seperti seseorang yang mencuri harta orang lain dengan niat untuk disedahkan ke faqir miskin, maka ini hukumnya tetap dosa dan haram. Atau membangun masjid dengan biaya dari hasil riba atau berangkat haji dengan biaya hasil korupsi, maka ini semua hukumnya haram dan berdosa karena itu perbuatan maksyiat dan tidak bisa dirubah dengan niat baik.

Maka apa yg sering kita dengar dari saudara kita yang melakukan perbuatan maksyiat tapi dia berasalan “ Yang penting niatnya baik “, misalnya tidak memakai kerudung dengan niat beradaptasi dengan warga yang ada dilingkungannya yg tidak memakai kerudung, maka ini adalah suatu kesalahan. Atau duduk bersama teman-temannya yang sedang menggunjing orang lain dengan niatan idkhoolus surur (supaya menyenangkan hati teman), walaupun idkholus s

orang lain dengan niatan idkhoolus surur (supaya menyenangkan hati teman), walaupun idkholus surur itu merupakan ibadah yang baik maka ia tetap berdosa karena ia telah salah meletakkan niat. Bahkan orang yang seperti ini mendapatkan dua dosa karena niatnya yang baik dengan perbuatan buruk merupakan satu keburukan lainnya.

Dan jika ia sudah mengetahui hal ini, maka ia berarti sengaja menentang syare’at dan jika ia tidak mengetahui hal ini, maka ia berdosa sebab ketidaktahuannya. Karena menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setriap oran Islam. Dari sinilah pentingnya belajar ilmu karena segala bentuk kebaikan dan keburukan bisa diketahui dengan syare’at. Maka orang bodoh sudah pasti steiap waktunya condong menuju kesetan dan kehancuran.

Oleh karena itu Sahl At-Tusturi Rh berkata “ Tidak ada maksyiat kepada Allah swt yang lebih besar dari pada kebodohan. Kemudian seseorg bertanya “ Wahai Abu Muhammad, apakah engkau mengetahui sesautu yang lebih berbahaya daripada kebodohan ? beliau menjawab “ Ya ada yaitu bodoh dengan kebodohannya “.

Nabi Muhammad Saw bersabda “ Orang bodoh tidak ditoleran atas kebodohannya dan tidaklah halal orang bodoh berdiam atas kebodohannya dan tidaklah halal orang alim berdiam atas ilmunya

Kedua :

Keta’atan ; segala perbuatan ta’at berkaitan dengan niat di dalam kebsahan dan kelipatan pahalanya. Misalnya ia berbuat ta’at dengan niat karena Allah Swt bukan karena riya (pamer) untuk org lain maka keta’atannya diterima oleh Allah Swt dan sebaliknya jika niat riya maka keta’atannya akan berubah menjadi maksyiat.

Dan jika di dalm satu kebaikan atau keta’atan memungkinkan untuk mendapatkan pahala yang berlipat jika niat baiknya di perbanyak, misalnya duduk di masjid, dari duduk di masjid ini kita bisa memperoleh pahala yang banyak dan berlipat dengan niat :

1. Berkeyakinan masjid adalah rumah Allah swt, maka org yang masuk ke dalamnya adalah pengunjung atau tamu Allah. Maka dia berniat mengunjungi Allah Swt. Nabi Saw telah menjanjikan orang yang niat bertamu ke rumah Allah dalam sabdanya “ Barangsiapa yg duduk di masjid maka ia berarti telah ziarah ke Allah Swt, maka berhak bagi yg diziarahi memuliakan tamunya “.
2. Menunggu sholat, maka duduknya di masjid ditulis sholat oleh Allah Swt.
3. Menghindari anggota tubuh dari perbuatan dosa
4. Memfokuskan pikiran untuk Allah dan bertafakkur tentang nikmat Allah.
5. Untuk berdzikir kpd Allah Swt atau untuk mendngarkan dzikir. Nabi Saw bersabda “ Barangsiapa yang berangkat ke masjid untuk berdzikir kpd Allah Swt atau untuk mendengarkan dzikir, maka ia seperti mujahid di jalan Allah “.
6. Niat mendapat faedah ilmu dengan amar makruf nahi munkar, karena di dalam masjid terkadang ada orang yang salah dalam sholatnya atau ada orang yang melakukan kesalahan, maka dia memberi petunjuk kepdanya maka ia pun mendapat pahala yang berlipat, karena orang yg menunjukkan kebaikan pada orang lain seperti orang yg melakukannya.
7. Niat mencari teman untuk bersaudara kerena Allah swt.
Dan seterusnya…

Ketiga :

Perkara Mubah, bisa menjadi pahala atau qurbah (kedekatan kepada Allah) dengan niat yang baik atau bisa memperoleh pahala yang berlipat dengan niat baik yang banyak. Misalnya makan, ini adalah hal mubah dan bisa mendapat pahala degannya jika diniatkan dengan niat yang baik, misalnya melaksanakan perintah Allah swt dan supaya kuat dalam beribadah.

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...