Kamis, 22 Desember 2016

Pemahaman Aswaja



Pemahaman Aswaja
 

1. Tiga Sendi Utama Ajaran Islam
Islam adalah agama Allah yang diturunkan untuk seluruh manusia. Di dalamnya terdapat pedoman dan aturan demi kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Ada tiga hal yang menjadi sendi utama dalam agama Islam. Yakni Iman, Islam dan Ihsan. Dalam sebuah hadits diceritakan:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ، بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه وسلمذَاتَ يَوْمٍ اِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَيُرَى عَلَيْهِ اَثَرُ السَّفَرِ وَلاَيَعْرِفُهُ مِنَّا اَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ اِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ اِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ اَخْبِرْنِى عَنِ اْلإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلإِسْلاَمُ اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ اِنِ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ ؟ قَالَ: اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرَ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ ؟ قَالَ: اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ لِى يَا عُمَرُ اَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ ؟ قُلْتُ اَللهُ وَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ، قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ اَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ (رواه مسلم: 9)
“Dari Umar bin al-Khaththab RA, berkata: “Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi SAW sambil menempelkan kedua lututnya pada lutut Nabi SAW. Sedangkan kedua tangannya diletakkan di atas paha Nabi SAW. Laki-laki itu bertanya, “Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam”. Rasulullah SAW menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan ramadhan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya”. Laki-laki itu menjawab, “Kamu benar”. Umar berkata, “Kami heran kepada laki-laki tersebut, ia bertanya tapi ia sendiri yang membenarkannya”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku tentang Iman”. Nabi SAW menjawab “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan qadar (ketentuan) Allah yang baik dan yang buruk”. Laki-laki itu menjawab, “Kamu benar”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku tentang Ihsan.” Nabi SAW menjawab, “Ihsan adalah kamu menyembah Allah SWT seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepadaku, “Wahai Umar siapakah orang yang datang tadi?” Aku menjawab, “Allah SWT dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya laki-laki itu adalah Malaikat Jibril AS. Ia datang kepadamu untuk mengajarkan agamamu”. (HR. Muslim: 9).
Dari sisi keilmuan semula ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun dalam perkembangan selanjutnya para ulama mengadakan pemisahan, sehingga menjadi bagian ilmu tersendiri. Bagian-bagian itu mereka elaborasi sehingga menjadi bagian ilmu yang berbeda. Perhatian terhadap Iman memunculkan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Perhatian khusus pada aspek Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan ilmu fiqh atau ilmu hukum Islam dan penelitian terhadap dimensi Ihsan melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq. (Pemikiran KH. Achmad Siddiq, hal. 1-2).
Namun demikian, meskipun telah menjadi ilmu tersendiri, dalam tataran pengamalan kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan. Tidak terlalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam, atau sebaliknya. Misalnya orang yang sedang shalat, dia harus mengesakan Allah disertai keyakinan bahwa hanya Dia yang wajib disembah (iman), harus memenuhi syarat dan rukun shalat (Islam), dan shalat harus dilakukan dengan khusyu’ dan penuh penghayatan (ihsan). Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. (البقرة: 208)
 Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208).
2. Pengertian Aswaja
Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja adalah singkatan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut.
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maksudnya, semua yang datang dari Nabi SAW, berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi SAW. (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245).
3. Al-Jama’ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakr RA, Umar bin al-Khaththab RA, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA). Kata al-Jama’ah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW:
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَة َ(رواه الترمذي 209 والحاكم 1 / 77-78 وصححه ووافقه الحافظ الذهبي).
“Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)”. (HR. al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim (1/77-78) yang menilainya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan:
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي خِلاَفَةِ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. (الغنية لطالبي طريق الحق، ج 1 ص 80).
 Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan al-Jama‘ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat, yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 80).[1]
Lebih jelas lagi, Hadlratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut:
أَمَّا أَهْلُ السُّنَةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيْ صلى الله عليه وسلم والْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ .
 “Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.”
Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh para sahabatnya.
Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf. Yakni:
1.   Dalam bidang teologi (akidah/tauhid) tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.
2.   Dalam masalah fiqh terwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i, dan Madzhab al-Hanbali.
3.   Bidang tashawwuf mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam al-Ghazali. [2]
3. Karakter Tawassuth, Tawazun dan I’tidal
Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri aswaja, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Yaitu:
1. Al-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْداً (البقرة: 143)
“Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.” (QS. al-Baqarah: 143).
2. Al-Tawazun, (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli). Firman Allah SWT:
لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِاْلقِسْطِ (الحديد: 25)
 “Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. al-Hadid: 25).
3.  Al-I’tidal (tegak lurus). Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ، وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى اَنْ لاَتَعْدِلُوْا، اِعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة: 8)
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8).
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh (toleransi). Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طه :44)
“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44).
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz III, hal. 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut:
1.      Akidah.
a.   Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.
b.   Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c.   Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2.      Syari'ah
a.   Berpegang teguh pada al-Qur'an dan Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.
b.   Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qoth'i).
c.   Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3.      Tashawwuf/Akhlak
a.   Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b.   Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c.       Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4.      Pergaulan Antar golongan
a.   Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b.   Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c.   Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d.   Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5.      Kehidupan bernegara
a.   NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b.   Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c.   Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d.   Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6.      Kebudayaan
a.   Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b.   Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c.   Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
7.      Dakwah
a.   Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b.   Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c.   Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. (Lihat Khitthah Nahdliyyah, hal. 40-44,)
4.            Perumus Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam Bidang Akidah
Sebagaimana penjelasan yang telah lalu, bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah merupakan Islam murni yang langsung dari Rasulullah T kemudian diteruskan oleh para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Yang ada hanyalah ulama yang telah merumuskan kembali ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran Rasulullah T dan para sahabatnya yang murni itu.
Dalam hal ini, ulama yang merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Mengutip dari Imam Thasy Kubri Zadah (901-968 H/1491-1560 M), Dr. Fathullah Khulayf dalam pengantar Kitab al-Tauhid karangan Imam al-Maturidi mengatakan, “Bahwa pelopor gerakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, khususnya dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab al-Hanafi, sedang yang lain dari golongan Madzhab al-Syafi’i. Seorang yang bermadzhab al-Hanafi itu adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Madzhab al-Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi T dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri.” (Kitab al-Tauhid, hal. 7).
Nama lengkap Imam al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H/874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi T yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan salah seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w. 304 H/916 M).
Awalnya Imam al-Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah. Namun setelah beliau mendalami ajaran Mu’tazilah, terungkaplah bahwa ada banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Karena itu beliau meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan kembali kepada ajaran Islam yang murni, sesuai dengan tuntunan Rasul T dan teladan para sahabatnya.
Pengikut beliau berasal dari berbagai kalangan. Para muhadditsin (ahli hadits), fuqaha’ (ahli fiqh) serta para ulama dari berbagai disiplin ilmu ikut mendukung serta menjadi pengikut Imam al-Asy’ari.
Di antara para ulama yang mengikuti ajaran beliau dalam bidang akidah adalah al-Hafizh al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M) pengarang al-Sunan al-Kubra dan lain-lain, al-Hafizh Abu Nu’aim (336-430 H/948-1038 M) pengarang Hilyah al-Auliya’, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) pengarang Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khaththabi (319-388 H/932-998 M) pengarang Ma’alim al-Sunan, al-Hafizh Ibnu al-Sam’ani (506-562 H/1112-1167 M), al-Hafizh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (499-571 H/1102-1176 M) pengarang Tarikh Dimasyq dan Tabyin Kidzb al-Muftari, Imam al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M) pengarang Riyadh al- Shalihin, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (793-852 H/1391-1448 M) penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari serta kitab Bulugh al-Maram, Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) pengarang Tafsir al-Qurthubi, Imam Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1566 M) pengarang kitab al-Zawajir, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (826-925 H/1423-1520 M) pengarang kitab Fath al-Wahhab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya.
Sedangkan dari kalangan ahli tashawwuf terkenal yang menjadi pengikut akidah al-Asy’ari adalah Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (376-465 H/987-1075 M) pengarang al-Risalah al-Qusyairiyyah, dan Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M). (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 291).
Bahkan para habib yang merupakan keturunan Rasulullah T sejak dahulu sampai sekarang juga mengikuti akidah Imam al-Asy’ari. Sebagaimana diakui oleh seorang sufi kenamaan yang bergelar lisan al-‘alawiyyin, yakni penyambung lidah habaib, al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (1044-1132 H/1635-1720 M). (Uqud al-Almas, hal. 89)
Imam al-Asy’ari tidak hanya meninggalkan ajaran melalui murid-murid beliau yang sampai kepada kita. Tetapi beliau juga meninggalkan sekian banyak karangan. Di antara karangan beliau yang sampai kepada kita adalah kitab al-Luma’ fi al-Raddi ‘ala Ahl al-Zayghi wa al-Bida’, Risalah Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm al-Kalam dan lain-lain.
Tokoh Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama beliau adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid, dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944 M.
Beliau adalah seorang yang menganut madzhab Imam Abu Hanifah. Maka wajar, jika kebanyakan ajaran yang beliau usung masih merupakan bagian dari madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan pijakan Imam al-Maturidi adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, juz I, hal. 173).
Murid-murid beliau yang terkenal ada empat orang, yakni Abu al-Qasim Ishaq bin Muhammad bin Ismail (w. 340 H/951 M) yang terkenal sebagai Hakim Samarkand. Lalu Imam Abu al-Hasan Ali bin Sa’id al-Rastaghfani. Kemudian Imam Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa al-Bazdawi (w. 390 H//1004 M). Dan yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhari (w. 373 H/983 M). Di antara tulisan Imam al-Maturidi yang sampai kepada kita adalah kitab al-Tauhid yang di-tahqiq (diedit) oleh Dr Fathullah Khulayf dan kitab Ta’wilat Ahlussunnah. [3]
Usaha serta perjuangan dua imam ini dan para muridnya telah berhasil mengokohkan keimanan kita dan membuktikannya secara rasional tentang adanya Tuhan, kenabian, mukjizat, hari akhir, kehujjahan al-Qur’an dan as-Sunnah, dan lain-lain dari golongan yang mengingkarinya. Sehingga ulama lain seperti para fuqaha (ahli fiqh) dan muhadditsin tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama. ( Imam al-Ghazali al-Mustashfa, hal. 10-12)
5. Wali Songo Penyebar Aswaja di Indonesia
Sebuah realitas yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia sejak dulu hingga sekarang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dengan mengikuti madzhab al-Syafi’i dalam bidang fiqh. Sudah barang tentu mereka mendapatkan faham tersebut dari ulama dan para dai yang mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika orang yang menyebarkan agama Islam tidak menganut faham Aswaja sementara yang diajak adalah penganut setia faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Di sisi lain, semua sepakat bahwa dai yang menyebarkan agama Islam ke Nusantara khususnya di pulau Jawa adalah Wali Songo. Karena itu dapat dikatakan bahwa Wali Songo adalah penganut ASWAJA, kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk ke Indonesia dan merubah faham keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu.
Mengenai para sunan itu, Prof. KH. Abdullah bin Nuh mengatakan bahwa kata sunan adalah sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh dai Islam di Jawa. Nasab mereka bersambung sampai kepada Imam Ahmad al-Muhajir.[4] Dan berdasarkan apa yang diajarkan oleh mereka, dapat dipahami bahwa mereka semua adalah ulama pengikut madzhab al-Syafi’i dan sunni dalam dasar dan akidah keagamaannya. Mereka kemudian lebih terkenal dengan sebutan “Wali Songo.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 174).
Ada beberapa bukti bahwa Wali Songo termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh menjelaskan:
 “Jika kita mempelajari perimbon, yakni kumpulan ilmu dan rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan Bonang), maka di sana kita akan mendapatkan banyak nama dan kitab yang menjadi referensi utama para dai sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana juga memuat masalah akidah dan fiqh dengan susunan yang bagus sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wa-Jama’ah dan madzhab Imam al-Syafi’i Z … Dari sini, menjadi jelas bahwa para dai yang sangat terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa dengan gelar Wali Songo itu termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 182).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986 M). Ia menjelaskan beberapa tokoh yang menyebarkan madzhab al-Syafi’i di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Yakni Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri dan lainnya. Bahkan Sunan Giri merupakan lambang pemersatu bangsa Indonesia yang dirintis sejak abad 15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai pemersatu Nusantara melalui kekuatan politik dan militernya, maka Sunan Giri menjadi pemersatu melalui ilmu dan pengembangan pendidikannya. (Sejarah Kebangkitan Islam, hal. 286-287).
Bukti lain yang menegaskan bahwa Wali Songo penganut faham Aswaja adalah ritual keagamaan yang dilaksanakan secara turun temurun, tanpa ada perubahan, di masjid-masjid besar yang didirikan oleh Wali Songo, semisal Masjid Sunan Ampel Surabaya, Masjid Demak dan sebagainya. Semua merupakan cerminan dari ritual ibadah yang dilaksanakan oleh golongan Aswaja. Misalnya adzan Jum’at dikumandangkan dua kali. Pada bulan Ramadhan dilaksanakan shalat tarawih secara berjamaah dua puluh rakaat sebulan penuh, kemudian antara setiap dua rakaat diselingi pembacaan taradhdhi kepada khalifah yang empat. Selanjutnya sebelum shubuh dibacakan tarhim sebagai persiapan melaksanakan shalat subuh. Tarhim adalah bacaan yang di dalamnya berisi doa-doa kepada semua umat Islam termasuk juga taradhdhi kepada khalifah yang empat.
Sudah tentu hanya orang-orang yang memiliki faham Aswaja yang melaksanakan hal tersebut. Sehingga semakin menegaskan bahwa Wali Songo adalah penganut faham Aswaja.
6.         Hadits tentang Perpecahan Umat Islam (Hadits al-Iftiraq)
Yang dimaksud hadits al-iftiraq adalah sabda Nabi SAW yang menjelaskan tentang perpecahan umatnya menjadi tujuh puluh tiga golongan. Yakni sabda Nabi SAW:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ T إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه الترمذي: 2565)
 “Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, “Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab: “Dia adalah golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.” (HR. al-Tirmidzi [2565])
Mayoritas ulama menyatakan bahwa hadits ini dapat dijadikan pegangan, karena diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi SAW. Seorang ahli hadits, Syaikh Muhammad bin Ja’far al-Hasani al-Kattani menegaskan bahwa sabda nabi yang menjelaskan tentang umatnya yang akan menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu di surga dan tujuh puluh dua masuk neraka, diriwayatkan melalui jalur Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib RA, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Umar, Abi al-Darda’, Mu’awiyah, Ibn Abbas, Jabir, Abi Umamah, Watsilah, Awf bin Malik dan Amr bin Awf al-Muzani –radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua meriwayatkan bahwa satu golongan yang akan masuk surga, yakni al-Jama’ah (yang menjaga kebersamaan dan persatuan). (Al-Kattani, Nazhm al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir, hal. 58).
Lebih lanjut, al-Hafizh al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir, mengutip dari pendapat beberapa ulama, menyatakan bahwa menurut al-Hafizh Zainuddin al-‘Iraqi (725-806 H/1325-1403 M), sanad-sanad hadits ini sangat bagus. Imam al-Hakim juga meriwayatkannya dari berbagai sumber, kemudian berkomentar, bahwa sanad-sanad yang ada dalam hadits ini dapat dijadikan sebagai hujjah (pegangan dalil). Bahkan al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mutawatir”. (Al-Hafizh al-Manawi, Faidh al-Qadir, Juz II, hal. 21).
Dengan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits al-iftiraq dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah. Dan dari hadits inilah istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah (aswaja) dimunculkan


[1] Dengan demikian, mereka yang mengamalkan ajaran Nabi J dan sahabat d itulah yang disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Sedangkan yang menolak terhadap ajaran sahabat, tentu tidak bisa dikatakan pengikut Aswaja.
[2] Salah satu alasan dipilihnya ulama-ulama tersebut oleh Salafuna al-Shalih, sebagai panutan adalah karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran yang sesuai dengan intisari agama Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah J dan para sahabatnya.
[3] Intisari rumusan kedua imam tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang diajarkan di pesantren seperti ‘Aqidah al-‘Awam, Kifayah al-‘Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah, Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang belajar di pesantren.

[4] Nasab Maulana Malik Ibrahim, selaku sesepuh Wali Songo adalah sebagai berikut: Malik Ibrahim bin Barakat Zain al-Alam, bin Jamaluddin al-Husain, bin Ahmad Syah Jalal bin Abdillah bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi (di sinilah asal nasab para ‘alawiyyin) bin Abdillah (Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir bin Isa (al-Naqib) bin Muhammad bin Ali al-’Uraydhi, bin Imam Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-’Abidin bin al-Husain al-Sibth bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah al-Zahra’ putri Rasulullah T.

Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...