Kamis, 18 Agustus 2016

IJMA’ (KESEPAKATAN)

IJMA’ (KESEPAKATAN)

(وَاِمَّا الْإِجْمَاعُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ عُلَمَاءِ اَهْلِ الْعَصْرِ عَلَى) حُكْمِ (الْحاَدِثَةِ) فَلاَ يُعْتَبَرُ وِفَاقُ الْعَوَامِ لَهُمْ (وَنَعْنِى بِالْعُلَمَاءِ الْفُقَهَاءِ) فَلاَ يُعْتَبَرُ مُوَافَقَةُ الْاُصُوْلِيِّيْنَ لَهُمْ (وَنَعْنِى بِالْحَادِثَةِ الْحَادِثَةَ الشَّرْعِيَّةَ) لِاَنَّهَا مَحَلُّ نَظَرِ الْفُقَهَاءِ بِخِلاَفِ اللُّغَوِيَّةِ مَثَلًا فَاِنَّمَا يُجْمِعُ فِيْهَا عُلَمَاءُ اللُّغَةِ

Pengertian ijma’ adalah kesepakatan ulama pada masa tertentu atas hukum sebuah masalah baru. Tidak dipertimbangkan sepakatnya orang awam pada mereka. Yang saya maksud dengan ulama adalah para ahli fiqh. Tidak dipertimbangkan sepakatnya ahli ushul pada mereka. Yang saya maksud dengan masalah baru adalah masalah baru syar’iyyah (jenis syar’i), karena masalah ini adalah bidang ijtihad para ahli fiqh. Beda halnya semisal masalah lughawiyah (jenis bahasa), maka kesepakatan dalam hal ini dilakukan oleh ahli lughat.

Penjelasan :
Ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang disepakati umat Islam. Ijma’ secara bahasa memiliki dua makna. Pertama, azm (mengazam;bertekad bulat melakukan), seperti ucapan;
أَجْمَعَ فُلاَنٌ عَلىَ كَذاَ
“Fulan mengazam atas sesuatu”
Terkadang kata ini mencapai (muta’adi) pada maf’ul (obyek) tanpa huruf jar, termasuk contohnya QS. Yunus:71:
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu”
Kedua, memiliki makna sepakat.
Secara istilah ijma adalah kesepakatan ulama yang ahli berijtihad dari umat Muhammad saw atas sebuah masalah baru di suatu masa selain masa hidupnya Nabi saw.
Uraian definisi:
1.        Maksud kesepakatan adalah sama dalam keyakinan hukum yang ditunjukkan oleh ucapan, perbuatan, ketetapan, atau susunan dari seluruh atau sebagian unsur-unsur ini. Contoh sebagian mengucapkan, yang lain menjalankan.
2.        Maksud ulama yang ahli ijtihad adalah seluruh mujtahid mutlak dari ahli fiqh. Mengecualikan ahli ushul atau fiqh yang belum mencapai taraf mujtahid, serta orang awam, dimana kesepakatan maupun tidak sepakatnya mereka tidak dipertimbangkan.
3.        Maksud masalah baru adalah masalah syar’iyyah (jenis syar’i), karena masalah ini adalah bidang ijtihad para ahli fiqh. Menurut pendapat lain, ijma’ terjadi dalam masalah syar’iyyah, lughawiyah (jenis bahasa), ‘aqliyah (jenis akal) atau dunyawiyah (jenis dunia).
4.        Kalimat ‘umat Muhammad saw’, mengecualikan mujtahid dari umat-umat terdahulu seperti Yahudi dan Nasrani. Kesepakatan mereka tidak disebut ijma’.
5.        Kalimat ‘di suatu masa selain masa hidupnya Nabi saw’, mengecualikan ijma’ di masa Nabi saw, maka tidak dianggap sah. Karena seandainya ijma’ itu cocok dengan sabda Nabi saw, maka sabda Nabi lah yang dipakai, dan seandainya tidak cocok, maka yang dianggap adalah sabda Nabi, ucapan yang lain tidak dipertimbangkan [1][57].

Penukilan ijma dilakukan secara mutawatir (banyak), masyhur dan ahad (satu jalur). Urutan kuatnya ijma’ yang dinukil secara mutawatir adalah sebagai berikut;
1.      Ijma’ shahabat. Statusnya paling kuat dibanding ijma’ lain. Dimana posisinya sejajar dengan ayat al-Qur’an, dan selain yang berbentuk ijma’ sukuti, maka bagi yang mengingkarinya dihukumi kufur.
2.      Ijma’ mujtahid setelah shahabat yang tidak diperdebatkan. Posisinya sejajar dengan hadits masyhur, dan bagi yang mengingkari dihukumi tersesat.
3.      Ijma’ yang diperdebatkan. Posisinya sejajar dengan hadits ahad yang shahih, namun orang yang mengingkari tidak dihukumi tersesat[2][58].
Pertanyaan :
Apakah ijma’ merupakan hujjah qath’i atau dhanni?
Jawab :
Menurut pendapat shahih, yang dijadikan pijakan jumhur, kehujjahan ijma’ bersifat qath’iyyah (pasti), sebagaimana al-Kitab dan as-Sunnah, dimana hukum-hukum syariat ditetapkan secara yakin dan didahulukan dari dalil-dalil dhanni lainnya jika bertentangan.
Referensi :
اَلصَّحِيْحُ اَلَّذِي عَلَيْهِ الجُمْهُوْرُ أَنَّ حُجِيَّةَ الإِجْمَاعِ قَطْعِيَّةٌ كَحُجِيَّةِ الكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ وَتَثْبُتُ بِهِ الأَحْكَامُ شَرْعاً عَلىَ سَبِيْلِ اليَقِيْنِ وَيُقَدَّمُ عَلىَ غَيْرِهِ مِنَ الأَدِلَّةِ الظَّنِّيَّةِ إِنْ عَارَضَتْهُ  اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ 336)
“Menurut pendapat shahih, yang dijadikan pijakan jumhur, bahwa kehujjahan ijma’ bersifat qath’iyyah (pasti), sebagaimana al-Kitab dan as-Sunnah. Hukum-hukum syariat ditetapkan dengan ijma’ secara yakin dan didahulukan dari dalil-dalil dhanni lainnya jika bertentangan”.

Pertanyaan :
Apakah pelaku ijma’ harus mencapai ‘adad at-tawatur (jumlah banyak)?
Jawab :
Tidak disyaratkan, namun menurut pengarang dalam kitab lain disyaratkan.
Referensi :
وَعُلِمَ مِنَ التَّعْرِيْفِ أَنَّهُ لاَ يُشْتَرَطُ فيِ المُجْمِعِيْنَ عَدَدُ التَّوَاتُرِ لِصِدْقِ عُلَمَاءِ أَهْلِ العَصْرِ عَلىَ مَا دُوْنَ عَدَدِ التَّوَاتُرِ وَخاَلَفَ المُصَنِّفُ فيِ بَعْضِ كُتُبِهِ فَشَرَّطَ ذَلِكَ نَظْرًا لِلْعَادَةِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ123)
“Dari definisi difahami bahwa tidak disyaratkan para pelaku ijma’ mencapai bilangan tawatur (banyak), karena kata-kata ulama pada suatu masa dapat mencakup bilangan yang tidak mencapai tawatur. Namun pengarang berbeda pendapat di sebagian kitab-kitabnya, dan mensyaratkan hal tersebut karena memandang kebiasaan yang terjadi”.

Pertanyaan :
Apakah dalam mencapai kesepakatan hukum, para pelaku ijma’ disyaratkan memiliki sandaran dalil?
Jawab :
Disyaratkan memiliki sandaran dalil. Namun menurut sebagian ulama tidak disyaratkan.
Referensi :
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ بُدَّ لِلإِْجْمَاعِ مِنْ مُسْتَنَدٍ لِأَنَّ القَوْلَ بِلاَ مُسْتَنَدٍ خَطَأٌ وَقِيْلَ يَجُوْزُ أَنْ يَحْصُلَ مِنْ غَيْرِ مَسْتَنَدٍ بِأَنْ يُلْهَمُوْا الاِتِّفَاقَ عَلىَ الصَّوَابِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ124)
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya diharuskan pada ijma’ adanya sandaran dalil. Karena pendapat dalam agama tanpa sandaran adalah salah. Menurut sebagian ulama, boleh tanpa sandaran dalil, seperti halnya para pelaku ijma’ diilhami untuk bersepakat dalam kebenaran”

(وَاِجْمَاعُ هَذَهِ الْاُمَّةِ حُجَّةٌ دُوْنَ غَيْرِهَا لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْتِمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ) رَوَاهُ التُّرْمُذِى وَغَيْرُهُ
(وَالشَّرْعُ وَرَدَ بِعِصْمَةِ هَذِهِ الْأُمَّةِ) لِهَــذَا الْحَدِيْثِ وَنَحْوِهِ (وَالْإِجْمَاعُ حُجَّةٌ عَلَى الْعَصْرِ الثَّانِى) وَمَنْ بَعْدَهُ (وَفِى أَىِّ عَصْرٍ كَانَ) مِنْ عَصْرِ الصَّحَابَةِ ومَنْ بَعْدَهُمْ

Ijma’ umat ini (umat Muhammad saw) adalah hujjah (sumber hukum), tidak selain umat Muhammad saw. Karena sabda Nabi saw, “Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan”, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan selainnya. Dan syara’ telah menjelaskan terjaganya umat ini, karena adanya hadits ini dan hadits-hadits lain.
Ijma’ menjadi hujjah bagi (orang-orang) di masa kedua dan orang-orang setelahnya. Serta di setiap masa, yakni masa shahabat dan orang-orang setelahnya.

Penjelasan :
Ijma’ adalah sumber hukum yang khusus diberlakukan bagi umat Muhammad saw. Ijma’ bagi umat Muhammad saw adalah hujjah. Dalil ijma’ sebagai hujjah adalah;
1.      Firman Allah swt QS. An-Nisa:115:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”

2.      Sabda Nabi saw riwayat At-Tirmidzi dan selainnya;
لَا تَجْتِمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan”
Ijma’ menjadi hujjah bagi (orang-orang) di masa kedua dan orang-orang setelahnya. Serta di setiap masa, yakni masa shahabat dan orang-orang setelahnya.

Pertanyaan :
Apa maksud ijma’ menjadi hujjah bagi orang-orang tersebut di atas?
Jawab :
Maksudnya adalah mereka wajib mengambil ijma’ sebagai sumber hukum dan dilarang berbeda pendapat, baik bagi mujtahid maupun muqallid (pengikut). Karena terdapat larangan merusak ijma’.
Referensi :
وَالمُرَادُ بِكَوْنِ الإِجْمَاعِ حُجَّةً عَلىَ مَنْ ذُكِرَ وُجُوْبُ الأَخْذِ بِهِ وَامْتِناَعُ مُخَالَفَتِهِ عَلىَ المُجْتَهِدِيْنَ وَالمُقَلِّدِيْنَ لِعَدَمِ جَوَازِ خَرْقِ الإِجْمَاعِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ121)
“Maksud ijma sebagai hujjah atas orang-orang tersebut adalah mereka wajib mengambil ijma’ sebagai sumber hukum dan dilarang berbeda pendapat, baik bagi mujtahid maupun muqallid (pengikut). Karena tidak diperbolehkan merusak ijma’”

Pertanyaan :
Apa yang dikehendaki dengan ‘ (orang-orang) di masa kedua’?
Jawab :
Maksudnya adalah orang-orang yang ada setelah ijma’ terjadi, baik mujtahid maupun selain mujtahid.
Referensi :
أَنَّ المُرَادَ بِأَهْلِ العَصْرِ الثاَّنيِ مَنْ طَرَأَ بَعْدَ الإِجْماَعِ مِنَ المُجْتَهِدِيْنَ وغَيْرِهِمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ121)
“Bahwa sungguh yang dimaksud orang-orang di masa kedua adalah orang-orang yang ada setelah ijma’ terjadi, baik mujtahid maupun selain mujtahid”.

Pertanyaan :
Apakah ijma’ juga menjadi hujjah bagi orang-orang yang hidup di saat ijma’ terjadi?apa dasar alasannya?
Jawab :
Ya, ijma juga menjadi hujjah bagi orang-orang yang hidup saat ijma’ terjadi. Mereka adakalanya para pelaku ijma’ atau orang awam. Ijma’ menjadi hujjah bagi pelaku ijma’, karena mereka telah melakukan iqrar (pengakuan). Dan iqrar seseorang adalah hujjah bagi dirinya sendiri. Ijma’ juga menjadi hujjah bagi kaum awamnya karena mereka wajib bertaqlid.
Referensi :
وَأَماَّ أَهْلُ عَصْرِ الإِجْمَاعِ فَيَحْتَجُّوْنَ بِهِ أَيْضًا لِأَنَّهُمْ إِماَّ المُجْمِعُوْنَ أَوْ العَوَامُ أَماَّ كَوْنُهُ حُجَّةً عَلىَ المُجْمِعِيْنَ فَلِإِقْرَارِهِمْ بِهِ وَإِقْرَارُ الشَّخْصِ حُجَّةً عَلَيْهِ وأَماَّ كَوْنُهُ حُجَّةً عَلىَ العَوَامِ فَلِوُجُوْبِ التَّقْلِيْدِ عَلَيْهِمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ121)
“Orang-orang yang hidup di masa ijma’ terjadi juga (wajib) mengambil ijma’ sebagai hujjah. Mereka adakalanya para pelaku ijma’ atau orang awam. Ijma’ menjadi hujjah bagi pelaku ijma’, karena mereka telah melakukan iqrar (pengakuan). Dan iqrar seseorang adalah hujjah bagi dirinya sendiri. Ijma’ juga menjadi hujjah bagi kaum awamnya karena mereka wajib bertaqlid”.

(وَلاَ يُشْتَرَطُ فِى حُجِّيَّتِهِ اِنْقِرَاضُ الْعَصْرِ) بِاَنْ يَمُوْتَ اَهْلُهُ عَلَى الصَّحِيْحِ لِسُكُوْتِ اَهْلِ اَدِلَّةِ الْحُجِّيَّةِ عَنْهُ وَقِيْلَ يُشْتَرَطُ لِجَوَازِ اَنْ يَطْرَأَ لِبَعْضِهِمْ مَا يُخَالِفُ اِجْتِهَادَهُ فَيَرْجِعُ عَنْهُ وَاُجِيْبَ بِاَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لَهُ الرُّجُوْعُ عَنْهُ لِاِجْمَاعِهِمْ عَلَيْهِ
(فَاِنْ قُلْنَا اِنَّ انْقِرَاضَ الْعَصْرِ شَرْطٌ يُعْتَبَرُ) فِى انْعِقَادِ الْإِجْمَاعِ  (قَوْلُ مَنْ

Untuk menjadikan ijma sebagai hujjah tidak disyaratkan habisnya pelaku ijma’ dalam satu masa. Artinya, para pelaku ijma’ telah wafat semuanya, menurut pendapat Shahih. Kerena pakar penilai kelayakan dalil sebagai hujjah tidak mempersoalkan hal ini. Menurut pendapat lain, hal tersebut disyaratkan. Karena bisa jadi muncul pertimbangan baru bagi sebagian pelaku ijma’ yang berbeda dengan ijtihadnya, hingga kemudian mencabut ijma’nya. Hal ini ditanggapi bahwasanya mereka tidak boleh mencabut ijma’, karena adanya ijma’ tentang larangan ini.
Apabila saya mengatakan bahwa habisnya pelaku ijma’ dalam satu masa menjadi   persyaratan,    maka   keabsahan

وُلِدَ فِى حَيَاتِهِمْ وَتَفَقَّهَ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الْإِجْتِهَادِ وَلَهُمْ) عَلَى هَذَا الْقَوْلِ (اَنْ يَرْجِعُوْا عَنْ ذَلِكَ الْحُكْمِ) الَّذِى أَدَّى اِجْتِهَادُهُمْ اِلَيْهِ

ijma’ akan mempertimbangkan ucapan seseorang yang dilahirkan saat para pelaku ijma’ masih hidup yang kemudian mendalami fiqh hingga menjadi ahli ijtihad. Dan bagi mereka menurut pendapat ini diperbolehkan mencabut hukum yang telah dihasilkan dari ijtihadnya.

Penjelasan :
Salah satu persyaratan untuk menjadikan sah dan tetapnya ijma’ yang diperdebatkan adalah inqiradh al-‘ashr (habisnya pelaku ijma’ dalam satu masa) atau wafatnya semua pelaku ijma’.
Menurut pendapat shahih hal tersebut tidak disyaratkan. Karena dalil yang menetapkan ijma’ sebagai sumber hukum tidak mensyaratkan apapun kecuali hanya adanya kesepakatan dalam hukum. Sehingga pendapat ulama yang mensyaratkan hal tersebut sebenarnya tidak memiliki landasan dalil.
Menurut pendapat ulama lain, seperti Ibn Faurak, Ahmad dan Salim ar-Razi, hal tersebut disyaratkan. Karena bisa jadi muncul pertimbangan baru bagi sebagian pelaku ijma’ yang berbeda dengan ijtihadnya, hingga kemudian mencabut ijma’nya. Berpijak pada pendapat ini, maka ucapan dari orang yang dilahirkan saat para pelaku ijma’ masih hidup yang kemudian mendalami fiqh hingga menjadi ahli ijtihad dapat mempengaruhi keabsahan ijma’. Dan menurut versi ini para pelaku ijma’ diperbolehkan juga mencabut hukum yang telah dihasilkan dari ijtihad mereka dalam ijma’ [3][59].

Pertanyaan :
Mengapa menurut pendapat kedua para pelaku ijma’ diperbolehkan mencabut hukum yang telah dihasilkan dari ijtihad mereka dalam ijma’?
Jawab :
Karena pada saat mereka masih hidup ijma’ belum istiqrar (tetap). Hal ini disebabkan ada kemungkinan mereka melihat dalil baru yang bertentangan dengan ijma’ yang sudah ada.
Referensi :
(قَوْلُهُ أَنْ يَرْجِعُوْا) أَيْ إِلىَ مَا يُنَافِي إِجْمَاعَهُمْ لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِ الإِجْمَاعِ فيِ حَياَتِهِمْ لِإِمْكاَنِ إِطْلاَعِهِمْ عَلىَ ماَ يُنَافِي إِجْمَاعَهُمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ123)
“(Ucapan pengarang: mereka boleh merujuk), artinya menuju perkara yang menafikan ijma’ mereka. Karena ijma’ belum istiqrar (tetap) pada saat mereka masih hidup. Sebab ada kemungkinan mereka melihat dalil baru yang bertentangan dengan ijma’ mereka”.

(وَالْإِجْمَاعُ يَصِحُّ بِقَوْلِهِمْ وَبِفِعْلِهِمْ) كَاَنْ يَقُوْلُوْا بِجَوَازِ شَيْءٍ اَوْ يَفْعَلُوْهُ فَيَدُلُّ فِعْلُهُمْ لَهُ عَلَى جَوَازِهِ لِعِصْمَتِهِمْ كَمَا تَقَدَّمَ
(وَبِقُوْلِ الْبَعْضِ وَبِفْعَلِ الْبَعْضِ وَانْتِشَارِ ذَلِكَ الْقَوْلِ اَوِ الْفِعْلِ وَسُكُوْتِ الْبَاقِيْنَ عَلَيْهِ) وَيُسَمَّى ذَلِكَ بِالْإِجْماَعِ السُّكُوْتِى

Ijma’ sah dilakukan dengan ucapan dan perbuatan pelaku ijma’. Seperti mereka mengatakan, ‘boleh melakukan sesuatu’, atau mereka melaksanakan sebuah perbuatan. Maka pelaksanaan mereka menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut, karena mereka terjaga sebagaimana keterangan terdahulu.
Dan (sah juga) dengan ucapan dan perbuatan sebagian pelaku ijma’, kemudian tersebar luas, dan yang lain mendiamkan hal tersebut. Itulah yang dinamakan ijma’ sukuti.

Penjelasan :
Ijma’ terjadi dan dianggap sah apabila terdiri dari unsur sebagai berikut;
1.      Ucapan seluruh pelaku ijma’
2.      Perbuatan seluruh pelaku ijma’
3.      Ucapan sebagian pelaku, dan perbuatan dari sebagian yang lain
4.      Ucapan sebagian pelaku, dan diamnya sebagian yang lain.
5.      Perbuatan sebagian pelaku, dan diamnya sebagian yang lain.

Ijma’ model ketiga dan keempat dinamakan ijma’ sukuti. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi;
1.      Ucapan atau perbuatan sebagian pelaku ijma’ harus tersebar luas.
2.      Sebagian mendiamkan dan tidak mengingkarinya.

Pertanyaan :
Apa maksud tersebar luas dalam persyaratan di atas?
Jawab :
Maksudnya adalah ucapan atau perbuatan dari sebagian pelaku ijma’ kabar beritanya sampai pada mujtahid yang lain dan telah melewati masa yang memungkinkan mujtahid yang lain secara kebiasaan (adat) melakukan analisa. Serta masalah yang ada berupa masalah yang boleh diijtihadi dan bercorak taklif (tuntutan).
Referensi :
وَالاِنْتِشَارُ فِيْهِمَا يَكُوْنُ بِحَيْثُ يَبْلُغُ البَاقِيْنَ وَيَمْضِى زَمَانٌ يَتَمَكَّنُوْنَ فِيْهِ عَادَةً مِنَ النَّظَرِ وَكَانَتْ الحاَدِثَةُ اِجْتِهَادِيَّةً تَكْلِيْفِيَّةً (اَلنَّفَحَاتُ صـ124)
“Menyebarnya ucapan atau perbuatan terjadi sekira kabar beritanya sampai pada mujtahid yang lain dan telah melewati masa yang memungkinkan mujtahid yang lain secara kebiasaan melakukan analisa. Serta masalah yang ada berupa masalah yang boleh diijtihadi dan bercorak taklif (tuntutan)”.

Pertanyaan :
Apa maksud sebagian mendiamkan dan tidak mengingkari dalam persyaratan di atas?
Jawab :
Maksudnya adalah tidak mengingkari serta tidak ada tanda-tanda ridlo atau tidak suka dari mereka. Sebab apabila ada tanda-tanda ridlo, maka dipastikan hal itu merupakan ijma’. Dan apabila ada tanda-tanda tidak suka, maka dipastikan hal itu bukan ijma’.
Referensi :
(قَوْلُهُ وَسُكُوْتُ البَاقِيْنَ) أَيْ فيِ المَسْئَلَتَيْنِ بِأَنْ لَمْ يُنْكِرُوْهُ وَلاَ ظَهَرَ اَمَارَةُ الرِّضَى أَو السُّخْطِ مِنْهُمْ أَمَّا إِذَا ظَهَرَ اَمَارَةُ الرِّضَى فَهُوَ إِجْمَاعٌ قَطْعًا أَوْ اَمَارَةُ السُّخْطِ فَهُوَ لَيْسَ بِإِجْمَاعٍ قَطْعًا (اَلنَّفَحَاتُ صـ124)
“(Ucapan pengarang: mujtahid yang lain diam), yakni dalam dua masalah (ucapan dan perbuatan dari sebagian pelaku ijma’). Dengan cara mereka tidak mengingkari serta tidak ada tanda-tanda ridlo atau tidak suka dari mereka. Apabila ada tanda-tanda ridlo, maka dipastikan hal itu merupakan ijma’. Dan apabila ada tanda-tanda tidak suka, maka dipastikan hal itu bukan ijma’”.

وَقَوْلُ الْوَاحِدِ مِنَ الصَّحَابَةِ لَيْسَ حُجَّةً عَلَى غَيْرِهِ عَلَى الْقَوْلِ الْجَدِيْدِ) وَفِى الْقَدِيْمِ حُجَّةٌ لِحَدِيْثِ أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِاَيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ وَاُجِيْبَ بِضُعْفِهِ

Ucapan satu orang dari shahabat Nabi bukan hujjah bagi orang lain menurut qaul Jadid. Menurut qaul Qadim, merupakan hujjah, karena berdasar hadits:
أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِاَيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ
“Para sahabatku seperti bintang-bintang, kalian mengikuti siapapun dari mereka, pastilah kalian mendapatkan petunjuk”

Ditanggapi, bahwa hadits ini dhaif.

Penjelasan :
Ucapan satu atau beberapa orang ulama dari golongan shahabat Nabi, bukan hujjah bagi shahabat lainnya menurut kesepakatan ulama. Juga bukan hujjah bagi selain shahabat menurut qaul Jadid. Namun menurut qaul Qadim, merupakan hujjah

Pertanyaan :
Ucapan shahabat yang bagaimana yang tidak bisa dijadikan hujjah?
Jawab :
Yaitu ucapan yang keluar dari hasil ijtihad mereka.
Referensi :
وَمَحَلُهُ فِيْمَا يُقَالُ مِنْ قِبَلِ الرَّأْيِ وَأَمَّا غَيْرُهُ فَهُوَ حُجَّةٌ إِذْ هُوَ فيِ مَحَلِ المَرْفُوْعِ كَقَوْلِ الصَّحَابي أَمَرَناَ بِكَذَا أَونُهِيْناَ عَنْ كَذَا أَوْ مِنَ السُّنَّةِ كَذَا أَوْ رَخَصَ فيِ كَذَا  (اَلنَّفَحَاتُ صـ124-125)
“Tempat dari tidak adanya hujjah adalah pada hukum yang diucapkan dari hasil ijtihadnya. Sedangkan selain hal tersebut (hasil ijtihad) dapat dijadikan hujjah, karena hal ini dihukumi sama dengan hadits marfu’. Seperti ucapan seorang shahabat; “Nabi telah memerintahku begini”, “Kami dilarang melakukan bagini”, “Termasuk sunnah adalah bagini”, atau “Nabi meringankan dalam hal begini”








TIPU DAYA KAUM SALAFI & WAHABI

TIPU DAYA KAUM SALAFI & WAHABI
Pada poin ini, kita akan membahas tentang ungkapan-ungkapan kaum Salafi & Wahabi yang mengandung tipu daya dan telah banyak meyakinkan orang-orang awam agar mengikuti ajaran mereka. Ungkapan-ungkapan itu memang bukan ayat al-Qur'an maupun hadis, tetapi secara logika semata, ungkapan tersebut tidak bisa ditolak begitu saja, padahal bila dikaitkan dengan pembahasan-pembahasan sebelum ini maka semuanya akan tertolak mentah-mentah. Di antara ungkapan-ungkapan itu adalah:
1. "Seandainya apa yang diada-adakan sepeninggal mereka (Rasulullah Saw. dan para shahabatnya) itu baik, tentu mereka yang lebih dahulu mengerjakannya" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 73).
Ungkapan ini sama sekali tidak bisa dianggap benar, karena hanya mengandai-andai. Pada kenyataannya, perkara-perkara baru seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang sepertinya memang mengandung banyak kebaikan, dan hal itu ditakdirkan Allah baru ada setelah ratusan tahun Rasulullah Saw. wafat.
Untuk menjawab ungkapan berandai-andai di atas, kita juga bisa berkata seperti mereka, "Seandainya acara Maulid atau tahlilan itu buruk, tentu Rasulullah Saw. telah menyebutkan larangan melakukannya dengan jelas" . Ternyata Rasulullah Saw. hanya melarang bid'ah, bukan Maulid atau tahlilan. Beliau juga tidak menyebutkannya sebagai amalan-amalan yang merupakan dosa besar seperti syirik, zina, durhaka kepada orang tua, lari dari medan perang, dan lain sebagainya. Apa yang menghalangi beliau untuk menyebutkannya bila memang beliau tahu hal itu buruk atau sesat, atau merupakan dosa besar? Pantaskah beliau menyembunyikannya?   
2. "Tak layak bagi orang yang berakal untuk tertipu dengan banyaknya orang yang mengerjakan perbuatan tersebut (Maulid-red) di seluruh penjuru dunia. Sebab, al-haq (kebenaran) tidak diketahui dari banyaknya yang mengerjakannya" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 10).
Dengan pernyataan ini, sepertinya mereka lupa, bahwa yang banyak melakukannya (Maulid) di seluruh penjuru dunia bukan cuma masyarakat Islam yang awam. Kenyataan itu juga menunjukkan bahwa di seluruh penjuru dunia ada banyak pula para ulama Islam yang menerima acara Maulid sebagai suatu kegiatan positif dalam pandangan agama, dan merekalah yang mengajak umat untuk mengamalkan dan melestarikannya. Para ulama itu bahkan banyak yang menulis kitab khusus berkenaan dengan acara Maulid.
Berarti, mayoritas ulama dan umat Islam menganggap acara Maulid itu positif, kecuali segelintir ulama Salafi & Wahabi beserta sejumlah kecil para pengikutnya. Jadi, lebih baik mana, pendapat mayoritas ulama atau pendapat segelintir ulama? Bukankah hadis mutawatir (yang diriwayatkan banyak orang) lebih kuat status keotentikan dan kebenarannya di bandingkan dengan hadis aahaad (yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang saja)?
Al-Haq (kebenaran) tentang suatu amalan memang tidak didasarkan pada banyak atau sedikitnya orang yang melakukan, tetapi pendapat mayoritas ulama tentang kebaikan amalan itu adalah jalan yang lebih selamat dan paling logis untuk mencapai kebenaran tersebut. Sementara sikap atau pandangan segelintir orang yang berbeda dari mayoritas umat Islam, lebih pantas dibilang sebagai suatu keganjilan atau kelainan. Karena yang biasa terjadi adalah, mayoritas siswa di suatu sekolah berhasil lulus ujian kecuali segelintir siswa saja. Sungguh sangat aneh bila yang terjadi, mayoritas siswa di sekolah itu tidak lulus ujian kecuali segelintir siswa saja.  
Bila mereka katakan, "yang banyak belum tentu benar", maka karena kebenaran hakiki hanya Allah yang tahu, kita katakan kepada mereka, "bila yang banyak belum tentu benar, maka yang sedikit lebih jauh lagi kemungkinannya untuk benar. Tetapi yang banyak lebih aman dan lebih selamat daripada yang sedikit".      
3. "Jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambah dan tidak boleh dikurangi" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 20). "Mengada-adakan hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid, berarti beranggapan bahwa Allah Swt. belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 8).
Islam memang sudah sempurna, siapapun orang Islamnya pasti meyakini itu. Bila orang melakukan suatu amalan yang mengandung kebaikan (seperti Maulid atau yang lainnya) dianggap menambah agama atau beranggapan bahwa Allah belum menyempurnakan agama-Nya, maka itu hanyalah fitnah dan tuduhan yang diada-adakan oleh kaum Salafi & Wahabi. Karena, baik yang merintis maupun yang melakukan amalan tersebut tidak pernah berpikir begitu, mereka hanya fokus pada pelaksanaan suatu amalan kebajikan atau amal shaleh yang bermanfaat bagi banyak orang. Sungguh aneh memang, mereka yang menuduh, lalu mereka pula yang menyalahkan!  
4. "Melakukan amalan seperti peringatan Isra' & Mi'raj atau yang lainnya adalah sia-sia dan tidak ada pahalanya, karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyuruh atau tidak pernah mengerjakannya" (Ceramah agama di Radio Roja' AM 726 Mhz.).
Ungkapan yang ini lebih aneh lagi, karena: 1. Allah Swt. dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakan bahwa melakukan amalan seperti peringatan Maulid atau Isra' & Mi'raj itu sia-sia dan tidak ada pahalanya 2. Pahala itu milik Allah dan hanya Dia yang berwenang untuk memberikannya atau tidak memberikannya, bukan milik kaum Salafi & Wahabi. 3. Setiap amalan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak lantas berarti terlarang, kecuali bila beliau jelas-jelas menyebutkan larangannya secara khusus, dan ini merupakan ijma' (kesepakatan) ulama (lebih jelasnya, lihat pembahasan tentang Dalil Perintah dan Larangan pada buku ini).  
Jadi, bila mereka menyatakan acara Maulid, Isra & Mi'raj, tahlilan, dan lain sebagainya itu sia-sia dan tidak ada pahalanya, maka mereka harus mendatangkan dalil yang menyebutkannya dengan jelas. Bila tidak ada dalilnya, atau hanya dalil umum (sebagaimana kebiasaan mereka) yang mereka ajukan, maka berarti mereka telah melakukan bid'ah sesat, karena telah berfatwa bahwa orang yang hadir di acara tersebut di mana mereka melakukan silaturrahmi, membaca dan mendengarkan al-Qur'an, berzikir, bershalawat, mendengarkan nasihat ulama, memuliakan dan mengenang Rasulullah Saw., berdo'a, dan berbagi rezeki, sama sekali tidak mendapat pahala!
Rupanya, sifat bakhil kaum Salafi & Wahabi ini sudah keterlaluan. Pelit terhadap milik sendiri adalah sikap tercela, dan lebih tercela lagi pelit terhadap milik orang lain. Dan amat sangat lebih tercela lagi bila pelit terhadap milik Allah. Apakah Allah harus minta persetujuan mereka untuk memberi pahala kepada hamba-Nya??!
Tentang amalan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw., maka para ulama kaum muslimin dari masa dulu mupun belakangan, di Timur maupun di Barat, telah sepakat bahwa "hal meninggalkan" itu bukanlah suatu prinsip atau konsep untuk menyimpulkan hukum secara tersendiri. Tentang ini, Syaikh al-'Allamah as-Sayyid Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari telah menulis sebuah risalah yang ia beri judul "Husnu at-Tafahhum wa ad-Daraki li Mas'alati at-Tarki" (Pemahaman & Pengetahuan yang baik untuk masalah "Meninggalkan"). Beliau memulainya dengan beberapa bait puisi yang indah, yang berbunyi:
Meninggalkan suatu amalan bukan hujjah dalam syari'at kita
Dan ia tidak bermakna pelarangan ataupun kewajiban
Siapa yang melarang suatu perbuatan dengan alasan Nabi meninggalkannya
Kemudian berpendapat itulah hukum yang benar dan tepat
Sungguh dia telah menyimpang dari seluruh dalil-dalil
Bahkan keliru dalam memutuskan hukum yang shahih, dan dia telah gagal
Tidak ada pelarangan kecuali pelarangan yang diiringi
Dengan ancaman siksa bagi pelanggarnya
Atau kecaman terhadap suatu perbuatan, dan disertai bentuk sanksi yang pasti
Atau lafaz mengharamkan untuk perkara tercela.
(Lihat Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan, Syaikh Ali Jum'ah –Mufti Mesir--, Duha Khazanah, Cikarang, 2007,  hal 235-236)


Jual beli online dan menyusui anak orang kafir

*SOAL* Bahsulmasail# 1_ *bagaimana hukum orang jual beli online, kalo di bolehkan bagaimana cara akadnya apakah sah hanya melewati telpon sa...