Penghormatan Jenazah
1.
Hadiah Pahala Untuk Ahli Kubur
Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam kitab Fatawa-nya,
“Sesuai dengan kesepakatan para imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah, baik
ibadah badaniyah seperti shalat, puasa,
membaca al-Qur’an, ataupun ibadah maliyah
seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.” (Hukm al-Syari’ah
al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 36).
Mengutip dari kitab Syarh al-Kanz,
Imam al-Syaukani juga menyatakan bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala
perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan al-Qur’an
atau semua bentuk perbuatan
baik lainnya, dan pahala perbuatan tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut
ulama Ahlussunnah. (Nail al-Awthar, juz IV, hal. 142).
Ada banyak dalil al-Qur’an atau hadits yang
menjelaskan hal ini. Di antaranya adalah firman Allah
SWT:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (الحشر: 10)
“Dan orang–orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang mendahului kami (wafat) dengan membawa
iman. Dan
janganlah Engkau memberikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS.
al-Hasyr: 10).
Dalam sebuah hadits shahih
disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ J فَقَالَ، يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم
،1672)
“Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha, “Seorang
laki-laki bertanya kepada Nabi J, “Ibu saya meninggal
dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia
dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika
saya bersedekah atas namanya?” Nabi J menjawab, “Ya”.”
(HR. Muslim, [1672]).
Hadits tersebut di atas menegaskan bahwa pahala shadaqah itu sampai kepada ahli kubur. Sementara
di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa shadaqah tidak hanya berupa harta
benda saja, tapi juga dapat berwujud bacaan dzikir seperti kalimat la ilaha
illallah, subhanallah, dan
lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ J قَالُوا لِلنَّبِيِّ J يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِاْلأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً (رواه مسلم، 1674)
“Dari
Abu Dzarr D, ada beberapa sahabat
berkata kepada Nabi J,” Ya Rasulullah,
orang-orang yang kaya bisa (beruntung)
mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka
berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta
mereka. Nabi J menjawab, “Bukankah
Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan?
Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir
adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah
sedekah.” (HR. Muslim [1674]).
Ayat dan hadits-hadits di atas sekaligus
juga menunjukkan bahwa menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah,
Ukhuwwah Islamiyyah itu tidak terputus karena kematian. Maka menolong ahli kubur dengan do’a dan shadaqah yang
diwujudkan dalam bentuk Tahlilan dan sebagainya itu pahalanya akan sampai kepada mereka. Hal ini berbeda dengan
Mu’tazilah yang sama sekali tidak
meyakini sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia baik
berupa do’a ataupun yang lain. (Lihat, al-Ruh, hal. 117)
Seseorang yang beriman ketika sudah ada hadits shahih yang menyatakan sampainya pahala kepada orang yang
telah meninggal dunia tentu tidak akan ragu lagi untuk meyakininya.
Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar
oleh para ulama tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an, tasbih, tahlil,
shalawat yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Begitu pula dengan
sedekah dan amal baik lainnya.
Mengenai sebagian riwayat Imam al-Syafi’i D yang mengatakan
hadiah pahala itu tidak akan sampai kepada orang
yang telah meninggal dunia, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari -salah seorang tokoh utama dalam madzhab al-Syafi’i-, menyatakan bahwa yang dimaksud oleh
pendapat Imam al-Syafi'i itu adalah apabila tidak
dibaca di hadapan mayit serta pahalanya tidak diniatkan sebagai hadiah, atau
berniat tetapi tidak membaca doa sesudah bacaan al-Qur’an tersebut. (Hukm
al-Syari’ah al-Islamiyyah fi Ma’tam al-Arba’in, hal. 43).
Kesimpulan ini dimunculkan karena ternyata
Imam al-Syafi’i D pernah berziarah ke
makam Imam Layts bin Sa’ad kemudian beliau mengkhatamkan al-Qur’an. Lalu beliau
berkata, “Saya berharap semoga perbuatan seperti ini
tetap berlanjut dan senantiasa dilakukan.” (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64).
Bahkan dalam kesempatan lain Imam al-Syafi’i D menyatakan “Disunnahkan membaca sebagian ayat al-Qur’an
di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat)
membaca al-Qur’an sampai khatam.” (Dalil Al-Falihin, juz
VI, hal. 103).
Sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Imam
al-Syafi’i D di makam Imam Layts bin Sa’ad, sekaligus
mengukuhkan kebenaran perbuatan Imam al-Syafi’i D tersebut, Muhammad bin Abdul Wahhab
mengutip sebuah hadits yang
menjelaskan tentang tata cara melakukan ziarah kubur, yang menegaskan bahwa
pahala bacaan tersebut bermanfaat kepada si mayit, juga kepada orang yang
membacanya.
“Al-Zanjani meriwayatkan sebuah hadits
marfu’ riwayat Abi Hurairah,
“Barangsiapa memasuki komplek pemakaman, lalu membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-hakumuttakatsur, kemudian berdoa “Aku
menghadiahkan pahala apa yang aku
baca dari firman-Mu kepada ahli kubur muslimin dan muslimat, maka semua ahli
kubur itu akan membantu ia di hadapan Allah SWT di hari kiamat”. Dan Abdul Aziz murid Imam al-Khallal
meriwayatkan sebuah
hadits marfu’ dari Anas, “Barangsiapa yang masuk pemakaman, kemudian membaca surat Yasin, maka Allah SWT akan
meringankan dosa-dosa ahli kubur itu, dan ia akan mendapatkan kebaikan sebanyak
ahli kubur yang ada ditempat itu.” (Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, Ahkam Tamanni
al-Mawt, hal. 75).
Kaitannya dengan firman Allah SWT:
وَأَنْ لَيْسَ للإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى (النجم: 39)
“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. al-Najm: 39).
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah mengutip pendapat
Abi al-Wafa bin ‘Aqil al-Hanbali yang menjelaskan jawaban yang paling baik
tentang ayat ini, bahwa manusia dengan usahanya sendiri dan juga karena
pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai
sesama. Maka semua teman, keturunannya dan
keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian
menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu
pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh,
hal. 143).
Dari sini maka kita harus yakin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang meninggal dunia itu ada
manfaatnya, karena dengan izin Allah SWT akan sampai kepada orang yang
dimaksud.
Jika Allah SWT telah mengabulkan doa yang
dipanjatkan itu, lalu siapakah yang berani mengatakan
pahala al-Qur’an serta dzikir itu tidak sampai kepada orang yang meninggal
dunia? Pasti pahala bacaan tersebut akan sampai kepada ahli kubur yang dimaksud.
Kata Ibn Taimiyyah:
Pahala Tahlil sampai kepada orang yang telah
meninggal dunia
وَسُئِلَ: عَمَّنْ "هَلَّلَ سَبْعِيْنَ
أَلْف مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنَ
النَّارِ" حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ؟ أَمْ لاَ؟ وَاِذَا هَلَّلَ الْانْسَانُ
وَاَهْدَاهُ إِلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُهُ اَمْ لَا؟ فَأَجَابَ:
إِذَا هَلَّلَ الْاِنْسَانُ هَكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْ اَقَلَّ اَوْ
اَكْثَرَ. وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَفَعَهُ اللهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا
حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَا ضَعِيْفًا. وَاللهُ أَعْلَمُ. (مجموع فتاوى ابن تيمية,
24/323).
“Syaikh Ibn Taimiyyah ditanya, tentang orang
yang membaca tahlil 70.000 kali dan dihadiahkan kepada mayit, agar diselamatkan oleh Allah dari siksa api
neraka, apakah hal itu berdasarkan hadits shahih atau tidak? Dan apabila
seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit, apakah pahalanya sampai
atau tidak?” Syaikh Ibn Taimiyyah menjawab, “Apabila seseorang membaca tahlil
70.000 kali baik lebih atau kurang, lalu pahalanya dihadiahkan kepada mayit,
maka hal tersebut bermanfaat bagi mayit, dan ini bukan hadits shahih dan bukan
hadits dha’if. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, juz 24, hal.
323)
Kata Ibn Qoyyim yang menyatakan hadiah pahala
itu tidak sampai adalah Ahli Bid’ah
وَذَهَبَ أَهْلُ اْلبِدَعِ مِنْ أَهْلِ
اْلكَلَامِ أَنَّهُ لَايَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ شَىءٌ اَلْبَتَّةَ لَا دُعَاءٌ
وَلَا غَيْرُهُ (اَلْرُوْحُ: 117)
“Para ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam
berpendapat bahwa menghadiahkan pahala baik berupa do’a atau lainnya sama
sekali tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia ” (Al-Ruh,
117)
Dr. Muhammad Bakar Ismail melansir penjelasan
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah
(Panutan Kaum Wahabi)
وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى
فِي سُوْرَةِ النَّجْمِ: ﴿وَأَنْ
لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى﴾. فَاِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ,
فَلَوْلَا اَنَّهُ كَانَ بَارًا بِـهِمْ فِي حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّـمُوا عَلَيْهِ
وَلاَ تَطَوَّعُوا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِي الْـحَقِيْقَة ثَـمْرَةٌ مِنِ ثِـمَارِ
بِرّهِ وَاِحْسَانِهِ
Dalil-dalil tersebut tidak bertentangan dengan
ayat yang artinya: Bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya” (QS. Al-Najm, 39)
“Sesungguhnya hadiah pahala yang dikirimkan
kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri karena
seandainya jika ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada
orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu, sejatinya
apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut
merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (al-Fiqh
al-Wadlih, juz 1, hal. 449).
2. Talqin
Ada dua jenis talqin yang dianjurkan dalam Islam.
a.
Talqin saat sakarat al-maut.
Yakni mentalqin orang yang akan meninggal dunia sebelum
nafasnya sampai di tenggorokan, dan hal itu disunnahkan. Berdasarkan Hadits
yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya:
عن أبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ J لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لا إلَهَ إِلا اللهُ (رواه مسلم، 1523)
“Dari Abi Sa'id al-Khudri, Rasulullah J bersabda,
"Talqinkanlah orang yang akan mati
di antara kamu dengan ucapan la ’ilaha illa Allah”.(HR. Muslim [1523]).
Sekelompok pengikut Imam al-Syafi‘i menganjurkan agar bacaan tersebut ditambah dengan ucapan Muhammad Rasulullah J. Namun mayoritas ulama
mengatakan tidak perlu ditambah dengan bacaan tersebut. (Fatawi al-Imam
al-Nawawi, hal. 83).
b.
Talqin saat pemakaman jenazah.
Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah
perbuatan sunnah.
Didasarkan pada sabda Nabi J yang diriwayatkan oleh Abi Umamah:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ D قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ J أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ J فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لِيَقُلْ: يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ
فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَسْتَوِى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكّ رَضَيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيَّا وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ.
فَقَالَ رَجُلٌ
يَارَسُوْلِ اللهِ فَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ إِلىَ أُمِّهِ حَوَّاءَ: يَافُلاَنُ بْنُ حَوَّاء (رواه الطبراني في المعجم الكبير ،
7979، ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه أحكام تمني الموت ص 9 بدون أي
تعليق)
“Dari Abi Umamah D, beliau berkata, “Jika aku kelak telah
meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah J memperlakukan orang-orang yang wafat di antara kita. Rasulullah J memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu
meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu di antara kamu
berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai fulan bin fulanah”. Orang yang berada dalam kubur
pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun
mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan)
berkata lagi, “Wahai fulan bin fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di atas
kuburan itu berucap lagi, “Wahai fulan bin
fulanah”, maka si mayit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan
selalu memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku
rasakan di sini).” (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan
itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba
serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan
selalu ridha menjadikan Allah sebagai
Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad
sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat
Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya)
di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata,” Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah J, “Wahai Rasulullah,
bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah
menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu
Hawa, “Wahai fulan bin Hawa.” (HR. al-Thabarani
dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam
kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal. 9
tanpa ada komentar).
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena ada
seorang perawinya yang tidak cukup
syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a‘mal, hadits ini
dapat digunakan.
Kaitannya dengan Firman Allah SWT:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ (فاطر: 22)
“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup
menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22).
Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang
yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang
diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati
tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati.
(Tafsir al-Khazin, juz V, hal. 347).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman
itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang
membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah J apabila berziarah ke kuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah J, tentu Rasulullah J melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin. Wallahu A’lam.
3. Ziarah Kubur
Pada masa awal Islam, Rasulullah J memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur, karena khawatir umat Islam akan menjadi penyembah kuburan. Setelah akidah umat Islam kuat, dan tidak ada kekhawatiran untuk
berbuat syirik, Rasulullah J membolehkan para sahabatnya untuk melakukan
ziarah kubur. Rasulullah J bersabda:
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J : قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِى زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا فَاِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة َ)رواه الترمذى، 974)
“Dari Buraidah, ia
berkata, Rasululllah J bersabda, “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang,
Muhammad telah
diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan
kamu pada akhirat.” (HR. al-Tirmidzi
[974]).
Kemudian kaitannya dengan hadits Nabi J yang secara tegas menyatakan larangan perempuan berziarah kubur:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ J لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُور (رواه احمد، 8095)
“Dari Abu Hurairah
D bahwa sesungguhnya
Rasulullah J melaknat wanita yang
berziarah kubur.” (HR. Ahmad [8095]).
Menyikapi hadits ini ulama menyatakan bahwa
larangan itu telah dicabut menjadi sebuah kebolehan
berziarah baik bagi laki-laki dan perempuan. Imam
al-Tirmidzi menyebutkan dalam kitab al-Sunan:
“Sebagian Ahli ilmu mengatakan bahwa hadits
itu diucapkan
sebelum Nabi J membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah J membolehkannya,
laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu.” (Sunan al-Tirmidzi,
[976]).
Ketika berziarah, seseorang dianjurkan untuk membaca al-Qur’an atau lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah J:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ
. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتاَكُمْ يس (رواه أبو داود، 2714)
“Dari Ma‘qil bin Yasar D, ia berkata, Rasulullah J bersabda, “Bacalah
surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud [2714]).
Dalil-dalil ini membuktikan bahwa ziarah kubur itu memang dianjurkan. Terlebih jika yang diziarahi itu
adalah makam para wali dan
orang shaleh. Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya
tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu
dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah
ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan
perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawi al-Kubra, juz II, hal 24).
Berziarah ke makam para wali dan orang-orang shaleh telah menjadi tradisi
para ulama salaf. Di antaranya adalah Imam al-Syafi'i Z mencontohkan
berziarah ke makam Laits bin Sa'ad dan membaca al-Qur'an sampai khatam di sana (al-Dzakhirah al-Tsaminah, hal. 64). Bahkan
diceritakan bahwa Imam Syafi’i Z jika ada hajat,
setiap hari beliau berziarah ke makam
Imam Abu Hanifah. Seperti pengakuan beliau dalam riwayat
yang shahih:
“Dari
Ali bin Maimun, berkata, "Aku mendengar Imam al-Syafi'i berkata, "Aku selalu bertabarruk dengan
Abu Hanifah dan berziarah mendatangi makamnya setiap hari. Apabila aku memiliki
hajat, maka aku shalat dua rakaat, lalu
mendatangi makam beliau, dan aku mohon hajat itu kepada Allah SWT di sisi
makamnya, sehingga tidak lama kemudian
hajatku terkabul." (Tarikh Baghdad, juz 1, hal. 123)
4. Menyuguhkan Makanan Kepada Orang Yang
Ta’ziah
Menyuguhkan makanan kepada orang yang
bertakziah hukumnya boleh, berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ J أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (رواه البخاري، 11)
“Dari Abdullah bin Amr D, “Ada seorang
laki-laki bertanya pada Nabi J, “Perbuatan apakah yang paling baik?” Rasulullah J menjawab, “Menyuguhkan makanan dan mengucapkan salam,
baik kepada
orang yang engkau kenal atau tidak.” (HR. al-Bukhari [11]).
Juga didasarkan kepada hadits Nabi J:
عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ اْلأَنْصَارِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ J فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ J وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَتِهِ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ J يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِيْ شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ J أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى (رواه أبو داود، 2894، والبيهقي في دلائل النبوة انظر مشكاة المصابيح، 5942)
“Diriwayatkan oleh Ashim bin Kulayb dari
ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah melayat bersama Rasulullah J dan di saat itu saya melihat beliau menasehati penggali kubur seraya
bersabda,“Luaskan bagian kaki dan kepalanya”. Setelah Rasulullah J pulang, beliau
diundang oleh seorang perempuan (istri yang
meninggal). Rasulullah J memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau. Ketika beliau datang, lalu
makananpun dihidangkan. Rasulullah J mulai makan lalu
diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut,
beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin
pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah J sembari berkata,
“Wahai Rasulullah J saya sudah menyuruh
orang pergi ke Baqi’, (suatu tempat penjualan kambing), untuk
membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang
telah membeli kambing, agar kambing itu dijual
kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh
menemui isterinya
dan ia pun mengirim kambingnya pada saya. Rasulullah J kemudian bersabda,
“Berikan makanan ini pada para tawanan.” (HR.
Abu Dawud [2894] dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah, [Lihat: Misykat
al-Mashabih [5942]).
Berdasarkan hadits inilah, Syaikh Ibrahim
al-Halabi berkata, “Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat
makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada
para fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang
masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta
waris si mayit.” (Al-Bariqah al-Muhammadiyyah, juz III, hal. 235, dan lihat juga al-Masail al-Muntakhabah, hal.
49).
Mengenai keputusan Rasulullah J
memberikan makanan kepada para tawanan itu
tidak dapat dijadikan alasan mengharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah J menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang yang akan dimintai ridhanya atas daging itu belum ditemukan
sedangkan makanan itu takut basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah J
memberikan makanan tersebut kepada para
tawanan. Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing
yang disuguhkan tersebut. (Bulugh al-Umniyyah hal. 219).
5.
Tradisi Tahlilan
Berkumpul
untuk melakukan tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun
temurun oleh mayoritas
umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh
Rasulullah J, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena
tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan
surat Yasin, tahlil, tahmid, tasbih
dan semacamnya. Karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan
dari tuntunan
Rasulullah J.
Imam
al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan
kebaikan, misalnya membaca
al-Qur’an, dzikir dan doa itu adalah
perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak
pernah dilaksanakan pada masa Rasul J. Begitu pula tidak ada larangan
untuk menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang
telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada
hadits shahih seperti, hadits ”Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu”. Tidak ada bedanya
apakah pembacaan surat
Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di
Masjid atau di rumah. (Al-Syaukani, al-Rasa’il al-Salafiyyah, hal. 46).
Kesimpulan al-Syaukani ini memang
didukung oleh banyak hadits Nabi J. Di
antaranya adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ
الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم ، 4868)
“Dari Abi Sa’id al-Khudri D, ia berkata,
Rasulullah J bersabda, “Tidaklah
berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan
dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka,
memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makh-luk yang ada di
sisi-Nya.” (HR. al-Muslim [4868]).
Kaitannya dengan pendapat Imam
al-Syafi’i D:
“Dan aku tidak senang pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan
dan menambah beban.” (Al-Umm, juz I, hal. 318).
Perkataan Imam al-Syafi’i D ini sering dijadikan
dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam
yang dilarang tersebut. Padahal
apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah
perkumpulan untuk meratapi mayit
yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan. (Al-Munjid, 2)
Ma’tam yang tidak disenangi
oleh Imam al-Syafi’i D adalah perkumpulan
untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak terima terhadap
apa yang telah diputuskan oleh Allah SWT. Dan itu sama sekali
tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di dalamnya terdapat
dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga lebih tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis
al-dzikr.
Bagi sohibul musibah, tahlilan itu merupakan
pelipur lara dan penghapus duka
karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan
penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin
banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang.
Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk
tahlilan sangat sedikit.
Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar
anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Di samping itu
tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi
syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan pemersatu umat
serta mendatangkan ketenangan jiwa.
6. Perjamuan Makanan
dalam Acara Tahlilan
Dalam setiap pelaksanaan tahlilan,
tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang
mengikuti tahlilan. Selain sebagai
sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia,
motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut
mendoakan keluarga yang meninggal dunia.
Dilihat dari sisi sedekah, bahwa
dalam bentuk apapun, sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan
makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi J:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ J فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ قَالَ طِيبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ (رواه احمد، 18617)
“Dari
Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi
Rasulullah J kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?”
Rasul J menjawab, “Bertutur
kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR.
Ahmad [18617]).
Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah J, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan
kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا (رواه الترمذي،
605)
“Dari Ibnu Abbas,
sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah J, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada
manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah J menjawab, “Ya”.
Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan
kepadamu bahwa aku akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. Tirimidzi [605]).
Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa
sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak,
sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca al-Qur’an secara
sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji.” (Ibnu al-Qayyim,
al-Ruh, hal. 142).
Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam
Islam. Sabda Rasulullah J:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ J مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه مسلم، 5559)
“Dari
Abi Hurairah D, ia berkata, “Rasulullah J
bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah SWT dan hari akhir, maka
janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka
hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir,
hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]).
Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau
sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu
dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk
mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan
diperhatikan.
Hanya saja, kemampuan
ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan
acara tahlilan. Berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak
yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini,
sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.
Lain halnya jika
memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan
harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat
diperkenankan sebagai
suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah
meninggal dunia.
Dan yang tak kalah
pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam
hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka
tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.
7. Pelaksanaan Tahlil
Selama Tujuh Hari.
Syaikh
Nawawi al-Bantani -seorang ulama mutaakhkhirin-, menjelaskan penentuan sedekah pada
hari-hari tertentu itu merupakan
kebiasaan masyarakat saja (al-’Adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. "Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah
untuk mayit pada hari ke tiga dari
kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta
seratus hari. Setelah itu dilakukan
setiap tahun pada hari kematiaanya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.” (Nihayah al-Zain, hal. 281).
Bahkan
Imam Ahmad bin Hanbal D, dalam kitab al-Zuhd
menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah,
karena merupakan salah satu bentuk doa untuk mayit yang sedang diuji di dalam
kubur selama tujuh hari. Sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam
kitab al-Hawi li al-Fatawi:
“Berkata Imam Ahmad
bin Hanbal, Hasyim bin al-Qasim
meriwayatkan kepada kami, ia berkata, al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari
Sufyan, Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka. Maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang
meninggal dunia selama tujuh hari itu.” (Al-Hawi
li al-Fatawi, juz II, hal 178 ).
Lebih jauh, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan
secara turun temurun sejak masa
sahabat.
“Kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku
hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad
X Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi J sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf
sejak generasi pertama (masa sahabat J).” (Al-Hawi li
al-Fatawi, juz II, hal. 194)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan
masyarakat tentang penentuan hari
dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ
الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ
يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْاَيَّامَ. (رواه الإمام أحمد في كتاب الزهد, الحاوي
للفتاوى, 2/178)
“Dari
Sufyan, berkata, “Imam Thawus berkata, “sesungguhnya orang yang meninggal akan
diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf)
menganjurkan bersedekah makanan yang pahalanya untuk keluarga yang meninggal
selama tujuh hari tersebut.” (HR. al-Imam Ahmad dalam kitab al-Zuhud,
al-Hawii Lilfataawi juz 2, hal. 178)
============
Kata Syaikh
Nawawi al-Bantani 7, 40, 100, 1000 hari dan haul itu tradisi yang tidak
dilarang oleh agama
وَالتَّصَدُقُ عَنِ الْمَيِّتِ بِوَجْهِ
شَرْعِيٍّ مَطْلُوْبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ اَوْ
اَكْثَرَ اَوْ اَقَلَّ وَتَقْيِيْدٌ بِبَعْضِ الْأَيَّامِ مِنَ الْعَوَائِدِ
فَقَطْ, كَمَا اَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدُ اَحْمَدْ دَحْلَانُ, وَقَدْ جَرَتْ
عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي
سَابِعٍ وَفِي تَمَامِ الْعِشْرِيْنَ وَفِي الْأَرْبَعِيْنَ وَفِي الْمِائَةِ
وَبَعْدَ ذَلِكَ يَفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي يَوْمِ الْمَوْتِ كَمَا
اَفَادَ شَيْخُنَا يُوْسُفُ السُّنْبُلَاوِيْنِي. (نهاية الزين, 281 )
Bersedekah
atas nama mayit dengan cara yang sesuai dengan syara’ adalah dianjurkan, tanpa
ada ketentuan harus tujuh hari, lebih tujuh hari atau kurang tujuh hari.
Sedangkan penentuan sedekah pada hari-hari tertentu itu hanya merupakan
kebiasaan masyarakat saja. Sebagaimana
difatwakan oleh sayyid Ahmad Dahlan. Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya
kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke
tujuh, dua puluh dan ketika genap empat
puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari
kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syeikh kita Yusuf al-Sunbulawini. (Nihayah
al-Zain,281)
Referensi
الفتاوى الفقهية
الكبرى - (ج 3 / ص 191)
( وَسُئِلَ ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي
مُدَّتِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا قِيلَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ
أَيْ يُسْأَلُونَ كَمَا أَطْبَقَ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ هَلْ
لَهُ أَصْلٌ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ نَعَمْ لَهُ أَصْلٌ أَصِيلٌ فَقَدْ
أَخْرَجَهُ جَمَاعَةٌ عَنْ طَاوُسِ بِالسَّنَدِ الصَّحِيحِ وَعُبَيْدِ بْنِ
عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَهُوَ أَكْبَرُ مِنْ
طَاوُسِ فِي التَّابِعِينَ بَلْ قِيلَ إنَّهُ صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ فِي
زَمَنِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَعْضُ زَمَنِ عُمَرَ
بِمَكَّةَ وَمُجَاهِدٍ وَحُكْمُ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ
الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ لِأَنَّ مَا لَا يُقَالُ مِنْ جِهَةِ الرَّأْيِ إذَا
جَاءَ عَنْ تَابِعِيٍّ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْمُرْسَلِ الْمَرْفُوعِ إلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا بَيَّنَهُ أَئِمَّةُ
الْحَدِيثِ وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ وَكَذَا
عِنْدَنَا إذَا اعْتَضَدَ وَقَدْ اعْتَضَدَ مُرْسَلُ طَاوُسِ بِالْمُرْسَلَيْنِ
الْآخَرَيْنِ بَلْ إذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ صُحْبَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ كَانَ
مُتَّصِلًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِقَوْلِهِ الْآتِي
عَنْ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إلَخْ لِمَا يَأْتِي أَنَّ حُكْمَهُ
حُكْمُ الْمَرْفُوعِ عَلَى الْخِلَافِ فِيهِ وَفِي بَعْضِ تِلْكَ الرِّوَايَاتِ
زِيَادَةُ إنَّ الْمُنَافِقَ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ صَحَّ
عَنْ طَاوُسِ أَيْضًا أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ
الْمَيِّتِ تِلْكَ الْأَيَّامَ وَهَذَا مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِيِّ كَانُوا
يَفْعَلُونَ وَفِيهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِ : أَحَدُهُمَا
أَنَّهُ أَيْضًا مِنْ بَابِ الْمَرْفُوعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ كَانَ النَّاسُ
يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ بَابِ الْعَزْوِ
إلَى الصَّحَابَةِ دُونَ انْتِهَائِهِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعَلَى هَذَا قِيلَ إنَّهُ إخْبَارٌ عَنْ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ
فَيَكُونُنَقْلًا لِلْإِجْمَاعِ وَقِيلَ عَنْ بَعْضِهِمْ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ
فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَقَالَ الرَّافِعِيُّ مِثْلُ هَذَا اللَّفْظِ يُرَادُ بِهِ
أَنَّهُ كَانَ مَشْهُورًا فِي ذَلِكَ الْعَهْدِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ ثُمَّ مَا
ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ عَنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْفِتْنَةِ
سُؤَالُ الْمَلَكَيْنِ صَحِيحٌ .
وَيُؤَيِّدُهُ خَبَرُ
الْبُخَارِيِّ { أُوحِيَ إلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُونَ فِي الْقُبُورِ فَيُقَالُ
مَا عِلْمُك بِهَذَا الرَّجُلِ } إلَخْ وَرَوَى ابْن أَبِي الدُّنْيَا { أَنَّهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعُمَرَ كَيْفَ أَنْتَ إذَا رَأَيْت مُنْكَرًا
وَنَكِيرًا قَالَ وَمَا مُنْكَرٌ وَنَكِيرٌ قَالَ فَتَّانَا الْقَبْرِ }
الْحَدِيثُ وَفِي مُرْسَلٍ عِنْدَ أَبِي نُعَيْمٍ { فَتَّانُ الْقَبْرِ ثَلَاثَةٌ
أَنَكُورُ وَنَاكُورُ وَرُومَانُ } وَفِي حَدِيثٍ مَرْفُوعٍ رَوَاهُ ابْنُ
الْجَوْزِيِّ { فَتَّانُو الْقَبْرِ أَرْبَعَةٌ مُنْكَرٌ وَنَكِيرٌ وَنَاكُورُ
وَرُومَانُ } .
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ
فِي ذِكْرِ السَّبْعَةِ الْأَيَّامِ مُعَارَضَةٌ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ
لِأَنَّهَا مُطْلَقَةٌ وَهَذَا فِيهِ زِيَادَةٌ عَلَيْهَا فَوَجَبَ قَبُولُهَا
كَمَا هُوَ مُقَرَّرٌ فِي الْأُصُولِ وَقَوْلُهُ فِيهَا نَمْ صَالِحًا لَا
يُنَافِيهِ السُّؤَالُ فِي يَوْمٍ ثَانٍ وَهَكَذَا خِلَافًا لِمَنْ وَهَمَ فِيهِ
وَنَظِيرُ ذَلِكَ أَنَّهُ أَطْلَقَ السُّؤَالَ فِيهَا وَفِي حَدِيثٍ حَسَنٍ إنَّ
السُّؤَالَ يُعَادُ عَلَيْهِ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
فَإِنَّهُ جَاءَ فِي أَحَادِيثَ إنَّ السَّائِلَ مَلَكٌ وَفِي أَحَادِيثَ إنَّهُ
مَلَكَانِ وَأَحَادِيثَ إنَّهُ ثَلَاثَةٌ وَأَحَادِيثَ إنَّهُ أَرْبَعَةٌ وَلَا
تَنَافِيَ لِأَنَّ ذَاكِرَ الْوَاحِدِ لَمْ يَقُلْ وَلَا يَأْتِيهِ غَيْرُهُ ذَكَرَهُ
الْقُرْطُبِيُّ .
وَاعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ
السُّؤَالَ فِيمَا بَعْدَ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ تَأْكِيدٌ لَهُ لِحَدِيثِ إنَّهُمْ
لَا يُسْأَلُونَ عَنْ شَيْءٍ سِوَى مَا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ الْأَوَّلِ
وَحِكْمَةُ التَّكْرِيرِ تَمْحِيصُ الصَّغَائِرِ وَإِظْهَارُ شَرَفِهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَزِيَّتِهِ عَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ فَإِنَّ
سُؤَالَ الْقَبْرِ إنَّمَا جُعِلَ تَعْظِيمًا لَهُ إذْ لَمْ يُجْعَلْ ذَلِكَ
لِنَبِيٍّ غَيْرِهِ وَصَحَّ حَدِيثُ { وَأَمَّا فِتْنَةُ الْقَبْرِ فَبِي يُفْتَنُونَ
وَعَنِّي يُسْأَلُونَ } وَبَيَّنَ الْحَكِيمُ التِّرْمِذِيُّ أَنَّ سُؤَالَ
الْقُبُورِ خَاصٌّ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ فَإِنْ قُلْت لِمَ كَرَّرَ الْإِطْعَامَ
سَبْعَةَ أَيَّامٍ دُونَ التَّلْقِينِ قُلْت لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الْإِطْعَامِ
مُتَعَدِّيَةٌ وَفَائِدَتُهُ لِلْمَيِّتِ أَعْلَى إذْ الْإِطْعَامُ عَنْ
الْمَيِّتِ صَدَقَةٌ وَهِيَ تُسَنُّ عَنْهُ إجْمَاعًا وَالتَّلْقِينُ أَكْثَرُ
الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ وَإِنْ كَانَ الْأَصَحُّ عِنْدَنَا خِلَافَهُ
لِمَجِيءِ الْحَدِيثِ بِهِ وَالضَّعِيفُ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ
===
الحاوي للفتاوي للسيوطي - (ج 3 / ص 266)
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له
حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في
قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام. قال الحافظ أبو نعيم في
الحلية حدثنا أبو بكر بن مالك ثنا عبد الله بن أحمد ابن حنبل ثنا أبي ثنا هاشم بن
القاسم ثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا
فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام. (ذكر الرواية المسندة عن عبيد بن عمير):
قال ابن جريج في مصنفه عن الحارث ابن أبي الحارث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان
مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا
وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا. الكلام على هذا من وجوه:
"الوجه الأول" رجال الإسناد الأول رجال الصحيح وطاووس من كبار التابعين
Sebagaimana diyakini oleh
ulama salaf seperti Imam al-Syafi’i D dan Imam Ahmad bin Hanbal, serta ulama yang datang kemudian semisal Ibnu Taymiyyah,
Ibnu al-Qayyim, al-Syaukani, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan
sebagainya.
Ini adalah pendapat
sekelompok ulama serta mayoritas ulama Syafi‘iyyah. Ulama yang mengatakan
kesunnahan ini di antaranya adalah al-Qadli
Husain dalam Kitab Ta‘liq-nya, murid beliau yang bernama Abu
Sa‘ad al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim
al-Maqdisi, al-Imam Abu al-Qasim al-Rafi‘i, dan lainnya. Al-Qadhi Husain
menyitir pendapat ini dari kalangan Syafi`iyyah.” (Al-Adzkar al-Nawawiyyah,
hal. 206).
Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani menegaskan bahwa sekalipun hadits tentang talqin itu
merupakan hadits dha‘if, namun dapat diamalkan dalam rangka fadlail
al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits itu
masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni usaha seorang mukmin
untuk memberi (dan membantu) saudaranya, serta untuk memperingatkannya karena
peringatan itu akan dapat bermanfaat kepada orang mukmin. (Majmu‘ Fatawi wa
Rasa’il, hal. 111).
Lebih jelas lihat: (Sumber Konflik Masyarakat Muslim
NU-Muhammadiyah: Perspektif Keberterimaan Tahlil, diterbitkan oleh Universitas
Muhammadiyah Surakarta, hal. 257-259).