IJMA’ (KESEPAKATAN)
(وَاِمَّا
الْإِجْمَاعُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ عُلَمَاءِ اَهْلِ الْعَصْرِ عَلَى) حُكْمِ
(الْحاَدِثَةِ) فَلاَ يُعْتَبَرُ وِفَاقُ الْعَوَامِ لَهُمْ (وَنَعْنِى
بِالْعُلَمَاءِ الْفُقَهَاءِ) فَلاَ يُعْتَبَرُ مُوَافَقَةُ الْاُصُوْلِيِّيْنَ
لَهُمْ (وَنَعْنِى بِالْحَادِثَةِ الْحَادِثَةَ الشَّرْعِيَّةَ) لِاَنَّهَا
مَحَلُّ نَظَرِ الْفُقَهَاءِ بِخِلاَفِ اللُّغَوِيَّةِ مَثَلًا فَاِنَّمَا
يُجْمِعُ فِيْهَا عُلَمَاءُ اللُّغَةِ
|
|
Pengertian
ijma’ adalah kesepakatan ulama pada masa tertentu atas hukum sebuah masalah
baru. Tidak dipertimbangkan sepakatnya orang awam pada mereka. Yang saya
maksud dengan ulama adalah para ahli fiqh. Tidak dipertimbangkan sepakatnya
ahli ushul pada mereka. Yang saya maksud dengan masalah baru adalah masalah
baru syar’iyyah (jenis syar’i), karena masalah ini adalah bidang ijtihad para
ahli fiqh. Beda halnya semisal masalah lughawiyah (jenis bahasa), maka
kesepakatan dalam hal ini dilakukan oleh ahli lughat.
|
Penjelasan :
Ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
disepakati umat Islam. Ijma’ secara bahasa memiliki dua makna. Pertama, azm (mengazam;bertekad bulat
melakukan), seperti ucapan;
أَجْمَعَ فُلاَنٌ عَلىَ كَذاَ
“Fulan mengazam atas sesuatu”
Terkadang kata
ini mencapai (muta’adi) pada maf’ul (obyek) tanpa huruf jar, termasuk contohnya
QS. Yunus:71:
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu”
Kedua, memiliki makna sepakat.
Secara istilah ijma adalah kesepakatan ulama yang ahli berijtihad dari umat
Muhammad saw atas sebuah masalah baru di suatu masa selain masa hidupnya Nabi
saw.
Uraian definisi:
1.
Maksud kesepakatan adalah sama dalam keyakinan
hukum yang ditunjukkan oleh ucapan, perbuatan, ketetapan, atau susunan dari
seluruh atau sebagian unsur-unsur ini. Contoh sebagian mengucapkan, yang lain
menjalankan.
2.
Maksud ulama yang ahli ijtihad adalah seluruh
mujtahid mutlak dari ahli fiqh. Mengecualikan ahli ushul atau fiqh yang belum
mencapai taraf mujtahid, serta orang awam, dimana kesepakatan maupun tidak
sepakatnya mereka tidak dipertimbangkan.
3.
Maksud masalah baru adalah masalah syar’iyyah
(jenis syar’i), karena masalah ini adalah bidang ijtihad para ahli fiqh.
Menurut pendapat lain, ijma’ terjadi dalam masalah syar’iyyah, lughawiyah
(jenis bahasa), ‘aqliyah (jenis akal) atau dunyawiyah (jenis dunia).
4.
Kalimat ‘umat Muhammad saw’, mengecualikan
mujtahid dari umat-umat terdahulu seperti Yahudi dan Nasrani. Kesepakatan
mereka tidak disebut ijma’.
5.
Kalimat ‘di suatu masa selain masa hidupnya Nabi
saw’, mengecualikan ijma’ di masa Nabi saw, maka tidak dianggap sah. Karena
seandainya ijma’ itu cocok dengan sabda Nabi saw, maka sabda Nabi lah yang
dipakai, dan seandainya tidak cocok, maka yang dianggap adalah sabda Nabi,
ucapan yang lain tidak dipertimbangkan [1][57].
Penukilan ijma dilakukan secara mutawatir
(banyak), masyhur dan ahad (satu jalur). Urutan kuatnya ijma’ yang dinukil
secara mutawatir adalah sebagai berikut;
1.
Ijma’ shahabat. Statusnya paling kuat dibanding
ijma’ lain. Dimana posisinya sejajar dengan ayat al-Qur’an, dan selain yang
berbentuk ijma’ sukuti, maka bagi yang mengingkarinya dihukumi kufur.
2.
Ijma’ mujtahid setelah shahabat yang tidak
diperdebatkan. Posisinya sejajar dengan hadits masyhur, dan bagi yang
mengingkari dihukumi tersesat.
3.
Ijma’ yang diperdebatkan. Posisinya sejajar
dengan hadits ahad yang shahih, namun orang yang mengingkari tidak dihukumi
tersesat[2][58].
Pertanyaan :
Apakah ijma’ merupakan hujjah qath’i atau
dhanni?
Jawab :
Menurut pendapat shahih, yang dijadikan pijakan jumhur, kehujjahan ijma’
bersifat qath’iyyah (pasti),
sebagaimana al-Kitab dan as-Sunnah, dimana hukum-hukum syariat ditetapkan
secara yakin dan didahulukan dari dalil-dalil dhanni lainnya jika bertentangan.
Referensi :
اَلصَّحِيْحُ
اَلَّذِي عَلَيْهِ الجُمْهُوْرُ أَنَّ حُجِيَّةَ الإِجْمَاعِ قَطْعِيَّةٌ
كَحُجِيَّةِ الكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ وَتَثْبُتُ بِهِ الأَحْكَامُ شَرْعاً عَلىَ
سَبِيْلِ اليَقِيْنِ وَيُقَدَّمُ عَلىَ غَيْرِهِ مِنَ الأَدِلَّةِ الظَّنِّيَّةِ
إِنْ عَارَضَتْهُ اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ 336)
“Menurut pendapat shahih, yang dijadikan pijakan jumhur, bahwa kehujjahan
ijma’ bersifat qath’iyyah (pasti), sebagaimana al-Kitab dan as-Sunnah.
Hukum-hukum syariat ditetapkan dengan ijma’ secara yakin dan didahulukan dari
dalil-dalil dhanni lainnya jika bertentangan”.
Pertanyaan :
Apakah pelaku ijma’ harus mencapai ‘adad
at-tawatur (jumlah banyak)?
Jawab :
Tidak disyaratkan, namun menurut pengarang dalam kitab lain disyaratkan.
Referensi :
وَعُلِمَ
مِنَ التَّعْرِيْفِ أَنَّهُ لاَ يُشْتَرَطُ فيِ المُجْمِعِيْنَ عَدَدُ
التَّوَاتُرِ لِصِدْقِ عُلَمَاءِ أَهْلِ العَصْرِ عَلىَ مَا دُوْنَ عَدَدِ
التَّوَاتُرِ وَخاَلَفَ المُصَنِّفُ فيِ بَعْضِ كُتُبِهِ فَشَرَّطَ ذَلِكَ نَظْرًا
لِلْعَادَةِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ123)
“Dari definisi difahami bahwa tidak disyaratkan para pelaku ijma’ mencapai
bilangan tawatur (banyak), karena kata-kata ulama pada suatu masa dapat
mencakup bilangan yang tidak mencapai tawatur. Namun pengarang berbeda pendapat
di sebagian kitab-kitabnya, dan mensyaratkan hal tersebut karena memandang
kebiasaan yang terjadi”.
Pertanyaan :
Apakah dalam mencapai kesepakatan hukum, para pelaku ijma’ disyaratkan
memiliki sandaran dalil?
Jawab :
Disyaratkan memiliki sandaran dalil. Namun menurut sebagian ulama tidak
disyaratkan.
Referensi :
وَاعْلَمْ
أَنَّهُ لاَ بُدَّ لِلإِْجْمَاعِ مِنْ مُسْتَنَدٍ لِأَنَّ القَوْلَ بِلاَ
مُسْتَنَدٍ خَطَأٌ وَقِيْلَ يَجُوْزُ أَنْ يَحْصُلَ مِنْ غَيْرِ مَسْتَنَدٍ بِأَنْ
يُلْهَمُوْا الاِتِّفَاقَ عَلىَ الصَّوَابِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ124)
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya diharuskan pada ijma’ adanya sandaran dalil. Karena pendapat
dalam agama tanpa sandaran adalah salah. Menurut sebagian ulama, boleh tanpa
sandaran dalil, seperti halnya para pelaku ijma’ diilhami untuk bersepakat
dalam kebenaran”
(وَاِجْمَاعُ
هَذَهِ الْاُمَّةِ حُجَّةٌ دُوْنَ غَيْرِهَا لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا تَجْتِمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ) رَوَاهُ التُّرْمُذِى
وَغَيْرُهُ
(وَالشَّرْعُ
وَرَدَ بِعِصْمَةِ هَذِهِ الْأُمَّةِ) لِهَــذَا الْحَدِيْثِ وَنَحْوِهِ (وَالْإِجْمَاعُ
حُجَّةٌ عَلَى الْعَصْرِ الثَّانِى) وَمَنْ بَعْدَهُ (وَفِى أَىِّ عَصْرٍ كَانَ)
مِنْ عَصْرِ الصَّحَابَةِ ومَنْ بَعْدَهُمْ
|
|
Ijma’
umat ini (umat Muhammad saw) adalah hujjah (sumber hukum), tidak selain umat
Muhammad saw. Karena sabda Nabi saw, “Umatku tidak bersepakat dalam
kesesatan”, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan selainnya. Dan syara’ telah
menjelaskan terjaganya umat ini, karena adanya hadits ini dan hadits-hadits
lain.
Ijma’
menjadi hujjah bagi (orang-orang) di masa kedua dan orang-orang setelahnya.
Serta di setiap masa, yakni masa shahabat dan orang-orang setelahnya.
|
Penjelasan :
Ijma’ adalah sumber hukum yang khusus diberlakukan bagi umat Muhammad saw.
Ijma’ bagi umat Muhammad saw adalah hujjah. Dalil ijma’ sebagai hujjah adalah;
1.
Firman Allah swt QS. An-Nisa:115:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”
2.
Sabda Nabi saw riwayat At-Tirmidzi dan
selainnya;
لَا تَجْتِمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan”
Ijma’ menjadi hujjah bagi (orang-orang) di masa kedua dan orang-orang
setelahnya. Serta di setiap masa, yakni masa shahabat dan orang-orang setelahnya.
Pertanyaan :
Apa maksud ijma’ menjadi hujjah bagi orang-orang tersebut di atas?
Jawab :
Maksudnya adalah mereka wajib mengambil ijma’ sebagai sumber hukum dan
dilarang berbeda pendapat, baik bagi mujtahid maupun muqallid (pengikut).
Karena terdapat larangan merusak ijma’.
Referensi :
وَالمُرَادُ
بِكَوْنِ الإِجْمَاعِ حُجَّةً عَلىَ مَنْ ذُكِرَ وُجُوْبُ الأَخْذِ بِهِ
وَامْتِناَعُ مُخَالَفَتِهِ عَلىَ المُجْتَهِدِيْنَ وَالمُقَلِّدِيْنَ لِعَدَمِ
جَوَازِ خَرْقِ الإِجْمَاعِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ121)
“Maksud ijma
sebagai hujjah atas orang-orang tersebut adalah mereka wajib mengambil ijma’
sebagai sumber hukum dan dilarang berbeda pendapat, baik bagi mujtahid maupun
muqallid (pengikut). Karena tidak diperbolehkan merusak ijma’”
Pertanyaan :
Apa yang dikehendaki dengan ‘ (orang-orang) di masa kedua’?
Jawab :
Maksudnya adalah orang-orang yang ada setelah ijma’ terjadi, baik mujtahid
maupun selain mujtahid.
Referensi :
أَنَّ
المُرَادَ بِأَهْلِ العَصْرِ الثاَّنيِ مَنْ طَرَأَ بَعْدَ الإِجْماَعِ مِنَ المُجْتَهِدِيْنَ
وغَيْرِهِمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ121)
“Bahwa sungguh
yang dimaksud orang-orang di masa kedua adalah orang-orang yang ada setelah
ijma’ terjadi, baik mujtahid maupun selain mujtahid”.
Pertanyaan :
Apakah ijma’ juga menjadi hujjah bagi orang-orang yang hidup di saat ijma’
terjadi?apa dasar alasannya?
Jawab :
Ya, ijma juga menjadi hujjah bagi orang-orang yang hidup saat ijma’
terjadi. Mereka adakalanya para pelaku ijma’ atau orang awam. Ijma’ menjadi
hujjah bagi pelaku ijma’, karena mereka telah melakukan iqrar (pengakuan). Dan iqrar seseorang
adalah hujjah bagi dirinya sendiri. Ijma’ juga menjadi hujjah bagi kaum awamnya
karena mereka wajib bertaqlid.
Referensi :
وَأَماَّ
أَهْلُ عَصْرِ الإِجْمَاعِ فَيَحْتَجُّوْنَ بِهِ أَيْضًا لِأَنَّهُمْ إِماَّ
المُجْمِعُوْنَ أَوْ العَوَامُ أَماَّ كَوْنُهُ حُجَّةً عَلىَ المُجْمِعِيْنَ
فَلِإِقْرَارِهِمْ بِهِ وَإِقْرَارُ الشَّخْصِ حُجَّةً عَلَيْهِ وأَماَّ كَوْنُهُ
حُجَّةً عَلىَ العَوَامِ فَلِوُجُوْبِ التَّقْلِيْدِ عَلَيْهِمْ (اَلنَّفَحَاتُ
صـ121)
“Orang-orang
yang hidup di masa ijma’ terjadi juga (wajib) mengambil ijma’ sebagai hujjah.
Mereka adakalanya para pelaku ijma’ atau orang awam. Ijma’ menjadi hujjah bagi
pelaku ijma’, karena mereka telah melakukan iqrar (pengakuan). Dan iqrar
seseorang adalah hujjah bagi dirinya sendiri. Ijma’ juga menjadi hujjah bagi
kaum awamnya karena mereka wajib bertaqlid”.
(وَلاَ
يُشْتَرَطُ فِى حُجِّيَّتِهِ اِنْقِرَاضُ الْعَصْرِ) بِاَنْ يَمُوْتَ اَهْلُهُ
عَلَى الصَّحِيْحِ لِسُكُوْتِ اَهْلِ اَدِلَّةِ الْحُجِّيَّةِ عَنْهُ وَقِيْلَ
يُشْتَرَطُ لِجَوَازِ اَنْ يَطْرَأَ لِبَعْضِهِمْ مَا يُخَالِفُ اِجْتِهَادَهُ
فَيَرْجِعُ عَنْهُ وَاُجِيْبَ بِاَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لَهُ الرُّجُوْعُ عَنْهُ
لِاِجْمَاعِهِمْ عَلَيْهِ
(فَاِنْ
قُلْنَا اِنَّ انْقِرَاضَ الْعَصْرِ شَرْطٌ يُعْتَبَرُ) فِى انْعِقَادِ
الْإِجْمَاعِ (قَوْلُ مَنْ
|
|
Untuk menjadikan ijma sebagai hujjah tidak
disyaratkan habisnya pelaku ijma’ dalam satu masa. Artinya, para pelaku ijma’
telah wafat semuanya, menurut pendapat Shahih. Kerena pakar penilai kelayakan
dalil sebagai hujjah tidak mempersoalkan hal ini. Menurut pendapat lain, hal
tersebut disyaratkan. Karena bisa jadi muncul pertimbangan baru bagi sebagian
pelaku ijma’ yang berbeda dengan ijtihadnya, hingga kemudian mencabut
ijma’nya. Hal ini ditanggapi bahwasanya mereka tidak boleh mencabut ijma’,
karena adanya ijma’ tentang larangan ini.
Apabila saya mengatakan bahwa habisnya pelaku ijma’
dalam satu masa menjadi
persyaratan, maka keabsahan
|
وُلِدَ فِى حَيَاتِهِمْ وَتَفَقَّهَ وَصَارَ مِنْ
أَهْلِ الْإِجْتِهَادِ وَلَهُمْ) عَلَى هَذَا الْقَوْلِ (اَنْ يَرْجِعُوْا عَنْ
ذَلِكَ الْحُكْمِ) الَّذِى أَدَّى اِجْتِهَادُهُمْ اِلَيْهِ
|
|
ijma’
akan mempertimbangkan ucapan seseorang yang dilahirkan saat para pelaku ijma’
masih hidup yang kemudian mendalami fiqh hingga menjadi ahli ijtihad. Dan
bagi mereka menurut pendapat ini diperbolehkan mencabut hukum yang telah
dihasilkan dari ijtihadnya.
|
Penjelasan :
Salah satu persyaratan untuk menjadikan sah dan tetapnya ijma’ yang
diperdebatkan adalah inqiradh al-‘ashr (habisnya
pelaku ijma’ dalam satu masa) atau wafatnya semua pelaku ijma’.
Menurut pendapat shahih hal tersebut tidak disyaratkan. Karena dalil yang
menetapkan ijma’ sebagai sumber hukum tidak mensyaratkan apapun kecuali hanya
adanya kesepakatan dalam hukum. Sehingga pendapat ulama yang mensyaratkan hal
tersebut sebenarnya tidak memiliki landasan dalil.
Menurut pendapat ulama lain, seperti Ibn Faurak, Ahmad dan Salim ar-Razi,
hal tersebut disyaratkan. Karena bisa jadi muncul pertimbangan baru bagi
sebagian pelaku ijma’ yang berbeda dengan ijtihadnya, hingga kemudian mencabut
ijma’nya. Berpijak pada pendapat ini, maka ucapan dari orang yang dilahirkan
saat para pelaku ijma’ masih hidup yang kemudian mendalami fiqh hingga menjadi
ahli ijtihad dapat mempengaruhi keabsahan ijma’. Dan menurut versi ini para
pelaku ijma’ diperbolehkan juga mencabut hukum yang telah dihasilkan dari
ijtihad mereka dalam ijma’ [3][59].
Pertanyaan :
Mengapa menurut pendapat kedua para pelaku ijma’ diperbolehkan mencabut
hukum yang telah dihasilkan dari ijtihad mereka dalam ijma’?
Jawab :
Karena pada saat mereka masih hidup ijma’ belum istiqrar (tetap). Hal ini disebabkan ada kemungkinan mereka melihat
dalil baru yang bertentangan dengan ijma’ yang sudah ada.
Referensi :
(قَوْلُهُ أَنْ يَرْجِعُوْا) أَيْ إِلىَ مَا يُنَافِي
إِجْمَاعَهُمْ لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِ الإِجْمَاعِ فيِ حَياَتِهِمْ لِإِمْكاَنِ
إِطْلاَعِهِمْ عَلىَ ماَ يُنَافِي إِجْمَاعَهُمْ (اَلنَّفَحَاتُ صـ123)
“(Ucapan
pengarang: mereka boleh merujuk), artinya menuju perkara yang menafikan ijma’ mereka.
Karena ijma’ belum istiqrar (tetap) pada saat mereka masih hidup. Sebab ada
kemungkinan mereka melihat dalil baru yang bertentangan dengan ijma’ mereka”.
(وَالْإِجْمَاعُ يَصِحُّ
بِقَوْلِهِمْ وَبِفِعْلِهِمْ) كَاَنْ يَقُوْلُوْا بِجَوَازِ شَيْءٍ اَوْ
يَفْعَلُوْهُ فَيَدُلُّ فِعْلُهُمْ لَهُ عَلَى جَوَازِهِ لِعِصْمَتِهِمْ كَمَا
تَقَدَّمَ
(وَبِقُوْلِ الْبَعْضِ
وَبِفْعَلِ الْبَعْضِ وَانْتِشَارِ ذَلِكَ الْقَوْلِ اَوِ الْفِعْلِ وَسُكُوْتِ
الْبَاقِيْنَ عَلَيْهِ) وَيُسَمَّى ذَلِكَ بِالْإِجْماَعِ السُّكُوْتِى
|
|
Ijma’ sah
dilakukan dengan ucapan dan perbuatan pelaku ijma’. Seperti mereka
mengatakan, ‘boleh melakukan sesuatu’, atau mereka melaksanakan sebuah
perbuatan. Maka pelaksanaan mereka menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut,
karena mereka terjaga sebagaimana keterangan terdahulu.
Dan (sah
juga) dengan ucapan dan perbuatan sebagian pelaku ijma’, kemudian tersebar
luas, dan yang lain mendiamkan hal tersebut. Itulah yang dinamakan ijma’
sukuti.
|
Penjelasan :
Ijma’ terjadi dan dianggap sah apabila terdiri dari unsur sebagai berikut;
1.
Ucapan seluruh pelaku ijma’
2.
Perbuatan seluruh pelaku ijma’
3.
Ucapan sebagian pelaku, dan perbuatan dari
sebagian yang lain
4.
Ucapan sebagian pelaku, dan diamnya sebagian
yang lain.
5.
Perbuatan sebagian pelaku, dan diamnya sebagian
yang lain.
Ijma’ model ketiga dan keempat dinamakan ijma’ sukuti. Ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi;
1.
Ucapan atau perbuatan sebagian pelaku ijma’
harus tersebar luas.
2.
Sebagian mendiamkan dan tidak mengingkarinya.
Pertanyaan :
Apa maksud tersebar luas dalam persyaratan di atas?
Jawab :
Maksudnya adalah ucapan atau perbuatan dari sebagian pelaku ijma’ kabar
beritanya sampai pada mujtahid yang lain dan telah melewati masa yang
memungkinkan mujtahid yang lain secara kebiasaan (adat) melakukan analisa.
Serta masalah yang ada berupa masalah yang boleh diijtihadi dan bercorak taklif (tuntutan).
Referensi :
وَالاِنْتِشَارُ
فِيْهِمَا يَكُوْنُ بِحَيْثُ يَبْلُغُ البَاقِيْنَ وَيَمْضِى زَمَانٌ
يَتَمَكَّنُوْنَ فِيْهِ عَادَةً مِنَ النَّظَرِ وَكَانَتْ الحاَدِثَةُ
اِجْتِهَادِيَّةً تَكْلِيْفِيَّةً (اَلنَّفَحَاتُ صـ124)
“Menyebarnya ucapan atau perbuatan terjadi sekira kabar beritanya sampai
pada mujtahid yang lain dan telah melewati masa yang memungkinkan mujtahid yang
lain secara kebiasaan melakukan analisa. Serta masalah yang ada berupa masalah
yang boleh diijtihadi dan bercorak taklif (tuntutan)”.
Pertanyaan :
Apa maksud sebagian mendiamkan dan tidak mengingkari dalam persyaratan di
atas?
Jawab :
Maksudnya adalah tidak mengingkari serta tidak ada tanda-tanda ridlo atau
tidak suka dari mereka. Sebab apabila ada tanda-tanda ridlo, maka dipastikan
hal itu merupakan ijma’. Dan apabila ada tanda-tanda tidak suka, maka
dipastikan hal itu bukan ijma’.
Referensi :
(قَوْلُهُ وَسُكُوْتُ
البَاقِيْنَ) أَيْ فيِ المَسْئَلَتَيْنِ بِأَنْ لَمْ يُنْكِرُوْهُ وَلاَ ظَهَرَ
اَمَارَةُ الرِّضَى أَو السُّخْطِ مِنْهُمْ أَمَّا إِذَا ظَهَرَ اَمَارَةُ
الرِّضَى فَهُوَ إِجْمَاعٌ قَطْعًا أَوْ اَمَارَةُ السُّخْطِ فَهُوَ لَيْسَ
بِإِجْمَاعٍ قَطْعًا (اَلنَّفَحَاتُ صـ124)
“(Ucapan
pengarang: mujtahid yang lain diam), yakni dalam dua masalah (ucapan dan
perbuatan dari sebagian pelaku ijma’). Dengan cara mereka tidak mengingkari
serta tidak ada tanda-tanda ridlo atau tidak suka dari mereka. Apabila ada
tanda-tanda ridlo, maka dipastikan hal itu merupakan ijma’. Dan apabila ada
tanda-tanda tidak suka, maka dipastikan hal itu bukan ijma’”.
وَقَوْلُ الْوَاحِدِ مِنَ الصَّحَابَةِ لَيْسَ
حُجَّةً عَلَى غَيْرِهِ عَلَى الْقَوْلِ الْجَدِيْدِ) وَفِى الْقَدِيْمِ حُجَّةٌ
لِحَدِيْثِ أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِاَيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ
وَاُجِيْبَ بِضُعْفِهِ
|
|
Ucapan satu orang dari shahabat Nabi bukan hujjah
bagi orang lain menurut qaul Jadid. Menurut qaul Qadim, merupakan hujjah,
karena berdasar hadits:
أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِاَيِّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ
“Para
sahabatku seperti bintang-bintang, kalian mengikuti siapapun dari mereka,
pastilah kalian mendapatkan petunjuk”
Ditanggapi, bahwa hadits ini dhaif.
|
Penjelasan :
Ucapan satu atau beberapa orang ulama dari golongan shahabat Nabi, bukan
hujjah bagi shahabat lainnya menurut kesepakatan ulama. Juga bukan hujjah bagi
selain shahabat menurut qaul Jadid. Namun menurut qaul Qadim, merupakan hujjah
Pertanyaan :
Ucapan shahabat yang bagaimana yang tidak bisa dijadikan hujjah?
Jawab :
Yaitu ucapan yang keluar dari hasil ijtihad mereka.
Referensi :
وَمَحَلُهُ
فِيْمَا يُقَالُ مِنْ قِبَلِ الرَّأْيِ وَأَمَّا غَيْرُهُ فَهُوَ حُجَّةٌ إِذْ
هُوَ فيِ مَحَلِ المَرْفُوْعِ كَقَوْلِ الصَّحَابي أَمَرَناَ بِكَذَا أَونُهِيْناَ
عَنْ كَذَا أَوْ مِنَ السُّنَّةِ كَذَا أَوْ رَخَصَ فيِ كَذَا (اَلنَّفَحَاتُ صـ124-125)
“Tempat dari
tidak adanya hujjah adalah pada hukum yang diucapkan dari hasil ijtihadnya.
Sedangkan selain hal tersebut (hasil ijtihad) dapat dijadikan hujjah, karena hal
ini dihukumi sama dengan hadits marfu’. Seperti ucapan seorang shahabat; “Nabi
telah memerintahku begini”, “Kami dilarang melakukan bagini”, “Termasuk sunnah
adalah bagini”, atau “Nabi meringankan dalam hal begini”