Kaidah al-Yaqinu Laa Yuzalu
bi asy-Syak
الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
“ keyakinan itu tidak dapat dihilangkan
dengan keragu-raguan”
1.Dasar Pengambilan
وَحَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ
عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ
أَخَرَجَ مِنْهُ شَىْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“ Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam
perutnya, lalu timbul keraguan, apakah sesuatu tersebut keluar dari perutnya
atau tidak, maka janganlah keluar dari masjid sehingga ia mendengarkan suara
atau mencium bau”. ( HR. Muslim )
إذا شك أحدُكم فى صلاتِهِ فلم يدرِ كمْ صلى ثلاثا
أم أربعا فليطرح الشكَّ وليبْنِ على ما اسْتَيْقَنَ
“Apabila salah seorang diantara kamu ragu dalam mengerjakan
shalat, tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga ataukah empat
rakaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah pada apa yang diyakini
( yang paling sedikit).” ( HR, Turmidzi )
2.Uraian Kaidah
Yang dimaksud dengan yakin adalah:
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر أو الدليل
“ sesuatu yang menjadi tetap
baik dengan penganalisaan atau dengan adanya dalil”.
Maksudnya,
seseorang boleh meyakini sesuatu apabila ada bukti yang telah ditetapkan oleh
panca indera atau dalil. Misalnya, orang yang hadas dari wudlunya, dapat
diyakini hadasnya itu dengan keluarnya angin dari dubur yang dapat dirasakan
oleh kulit, dapat didengar suaranya oleh telinga dan dapat dicium baunya oleh
hidung. Jadi apabila tidak ada bukti batal, maka ia tetap dalam wudlunya.
Begitu juga
seseorang yang ragu dalam jumlah rakaat shalat, apakah ia telah melaksanakan
tiga atau empat rakaat, maka yang yakin adalah yang sedikit jumlahnya, karena
yang sedikit itu yang paling meyakinkan , sedangkan yang banyak masih
diragukan.
Sedangkan yang
dimaksud dengan syak adalah :
الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت
وعدمه مع تساوى طرفي الصواب والخطاء دون ترجيح أحدهما على الأخر
“
yaitu pertentangan antara tetap dan
tidak-nya, dimana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan
kesalahan, tanpa dapat ditarjihkan salah satunya”.
Menurut
para Fuqoha, dhon ( dugaan) dan keraguan ( syak) mempunyai arti yang sama.
An-Nawawi mengatakan : “ ketahuilah bahwa, menurut sahabat-sahabat kami yang
dimaksud syak adalah dalam hal air, hadats, najis, sakit, dan sebagainya. Syak
merupakan ketidak pastian antara ada dan tidaknya sesuatu, baik dua sisi yang
tidak pasti itu sama atau hanya salah satunya saja yang unggul”.
Sedangkan Ulama Ushul fiqih
membedakan antara syak dan dhon, yaitu : “ jika ketidak pastian ( taroddud)
pada dua sisi itu sama, maka itulah syak. Tetapi jika salah satunya saja yang
unggul, maka sisi yang unggul itu adalah dhon, dan sisi yang tidak unggul itu
adalah fantasi ( wahm )”.
Syak
menurut Syaikh Imam Abu Hamid al-Asfirayni ada tiga macam;
a. Keragu-raguan
yang berasal dari barang haram
b. Keragu-raguan
yang berasal dari mubah, misal; ada air yang berubah, yang mungkin disebabkan
oleh najis dan mungkin terlalu lama tergenang, maka air itu dianggap
suci,karena pada dasarnya air itu suci
c. Keragu-raguan
terhadap sesuatu yang tidak diketahui asalnya atau keragu-raguan yang
pangkalnya diragukan, misal; bekerja sama dengan seseorang yang mempunyai modal
yang sebagian halal dan haram, antara modal yang haram dan yang halal itu sulit
untuk dibedakan. Menurut pendapat ulama hukumnya makruh.
3.Cabang-cabang Kaidah
الأصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
“ yang menjadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada
keadaan sebelumnya “.
Kaidah ini diambil dari hadits
الأصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
حتّىَ يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ
“ Pada asal-nya sesuatu itu tetap menurut adanya, sehingga
terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”.
Maksud
dari kaidah ini adalah keadaan dimasa lalu masih dianggap berlaku sampai ada
yang mengubahnya. Jadi, bila seseorang ragu terhadap hukum suatu perkara, maka harus
dikembalikan pada hukum yang telah ada, karena apa yang telah ada lebih dapat
diyakini, kecuali bila sudah ada ketentuan baru yang mengubahnya. Misalnya,
bila telah terjadi perselisihan antara dua orang dalam hal pelunasan hutang
piutang, apakah sudah dilunasi atau belum, maka hutang tersebut dianggap tetap
ada, karena belum ada bukti pelunasan. Dan hal itu dapat berubah apabila ada bukti-bukti
baru atas pelunasan hutang tersebut.
--------------
ألأصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
“ Hukum dasar adalah kebebasan seseorang dari tanggung jawab”.
Kaidah
ini sesuai dengan kodrat manusia, bahwa ia lahir dalam keadaan bebas belum
mempunyai tanggungan apapun, makhluk suci yang tidak terbebani oleh dosa waris
atau dosa akibat perbuatan orang tuanya. Untuk itu para Ulama berpendapat bahwa
anak buangan yang ditemukan orang dipandang anak merdeka, bukan anak budak,
sebab kemerdekaannya itu menjadi asal. Sebagaimana hadits Nabi Saw
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى
يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فأبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِه أوْ يُنَصِّرَانِه أو يُمَجِّسَانِه
“ semua anak dilahirkan atas
dasar kesucian ( dari segala dosa ) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia
jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanya-lah yang menyebabkan anaknya menjadi
yahudi, nasrani, atau majusi “. ( HR. Abu Yazid, at-Thabrani, dan
al-Bayhaqi dari al-Aswad bin Sari’ )
Dan
berdasarkan Firman Allah Swt
{أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} [النجم: 38]
“ bahwasanya seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.
Contoh lain, Ahmad mengadukan
Rizal, bahwa Rizal berhutang kepadanya Rp.100.000, tetapi pengaduan tersebut
tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang Rizal ( yang diadukan )
menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, berdasarkan
kaidah ini pengaduan Ahmad tertolak.
----------------
الاصْلُ الْعَدَمُ
“ Asal dari segala Hukum adalah tidak ada”.
Contohnya: jika terjadi
perselisihan dalam hal kerja-sama aqad Mudlorobah ( bagi hasil) , yaitu A
memberikan modal kepada B Rp.1000.000 dengan perjanjian laba dibagi bersama,
kemudian tiba-tiba A menuduh B telah mendapatkan laba dan dihabiskan sendiri,
tetapi tuduhan si A tersebut tanpa ada buktinya dan si B menyangkal tuduhan
itu. Maka penyelesaiannya menurut kaidah ini yang dibenarkan adalah adalah B
yang menyatakan belum ada keuntungan. Sebab pada dasarnya adalah tidak ada.
-----
الأصْلُ فِي الأشْيَاءِ الإبَاحَةِ حَتَّى
يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“ asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya”
Kaidah
diatas menurut Imam Syafi’i, sedangkan menurut Hanafi adalah sebaliknya
الأصل فِي الأشْيَاءِ التحريم حتى يدلَّ الدليلُ
على الإباحة
“ segala sesuatu pada dasarnya adalah haram, sampai ada dalil
yang menunjukkan kebolehannya “
Apabila
dicermati kaidah tersebut yang lebih absah adalah kaidah yang dicetuskan oleh
imam Syafi’i, karena kaidah tersebut sesuai dengan asas filosof tasyri’ Islam,
yakni tidak memberatkan dan tidak banyak beban. Menurut imam Syafi’i , Allah
itu maha bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu lalu mengharamkan
atas hamba-Nya. Beliau berpegang kepada dalil
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا } [البقرة:
29]
“ Dia-lah Allah yang
menciptakan segala yang ada dibumi untukmu”.
ما أحل الله في كتابه فهو حلال و ما حرم فهو حرام
و ما سكت عنه فهو عافية فاقبلوا من الله العافية فإن الله لم يكن نسيا
“ Apa yang
telah dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang telah
diharamkan oleh Allah adalah Haram, sedang yang tidak disinggung adalah
dimaafkan, maka terimalah kemaafan itu sebagai ( karunia ) dari Allah,
sesungguhnya Allah tidak lupa akan sesuatu. “
Walaupun
kedua kaidah itu bertentangan, namun dapat dikompromikan, yakni meletakkan dan
menggunakan kedua kaidah itu sesuai dengan proposinya. Kaidah pertama lebih
tepat digunakan untuk masalah mu’amalah dan kedunian, sedang kaidah kedua untuk
masalah ibadah. Misalnya anjing haram dimakan sedangkan ikan halal dimakan,
karena keduanya telah jelas nashnya, sedangkan untuk makanan yang tidak ada
nash-nya maka kaidah yang cocok adlah kaidah yang pertama yakni makanan itu
halal. Untuk masalah ibadah tidak boleh melakukan kecuali apabila ada perintah,
hal ini sesuai kaidah :
الأصْلُ فِى الْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ حَتَّى
يَقُومُ دَلِيْلٌ عَلَى الأمْرِ
“ Hukum asal dalam lapangan ibadah adalah batal sampai ada
dalil yang memerintahkannya”.
Kaidah
di ata ini diambil dari firman Allah Swt, surat al-Syura ayat 21
{أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ
بِهِ اللَّهُ} [الشورى: 21]
“ Apakah
mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang menyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah”.
Kaidah
di atas juga senada dengan kaidah
الأصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيْفُ وَ
الإتْبَاعُ
“ Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang telah
ditetapkan”.
Jadi
dalam hal ibadah, apa yang telah ditetapkan itulah yang seharusnya dilakukan,
misalnya jumlah rakaat shalat maghrib 3 rakaat, maka tidak boleh ditambah
ataupun dikurangi, tetap 3 itu yang dibenarkan.
CATATAN:
IBADAH MAHDHOH DAN GHOIRU MAHDHOH
Ibadah Mahdhah terbagi menjadi dua:
1) Ibadah Mahdhah Muqayyad:
Ibadah murni HUBUNGANNYA ANTARA SEORANG HAMBA DG ALLOH Swt. yang ketentuan cara
pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Syara’, baik waktu pelaksanaannya, tempat,
jumlah, dan detail pelaksanaan yang lain dan akhirnya pelaksanaan Ibadah
semacam ini bersifat Tauqify, dan tidak boleh kita berinofasi terhadap ibadah
semacam ini, semisal dengan Mengurangi jumlah putaran Thawaf dalam Haji, atau
menambahkan jumlah Rakaat dalam salat, atau menambah jumlah mustahiq zakat dari
delapan yang telah digariskan. Terhadap jenis Ibadah ini berlaku baginya
Kaidah:
الأصل في العبادات التوقيف
“Asal pada ibadah-ibadah adalah tauqif.”
2) Ibadah Mahdhah Muthlaqoh:
Ibadah murni HUBUNGANNYA ANTARA SEORANG HAMBA DG ALLOH yang sumber dalilnya
bersifat ‘Am (umum) dan tidak dijelaskan Tekhnis (cara) pelaksanaannya, semisal
Baca Al Qur’an, berdzikir. terhadap tekhnis pelaksanaan ibadah semacam ini kita
bebas mengaktualisasi tekhnis pelaksanaannya, baik waktu, tempat, sendiri atau
berjama’ah, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syara’. Semisal
membaca al qur’an atau berdzikir di kamar mandi (WC) atau tempat-tempat kotor
yang lain.
Ibadah Ghairu Mahdhah yakni setiap pekerjaan yang hukum asalnya
Mubah namun kemudian bisa bernilai Ibadah bergantung pada MAQASHID atau tujuan
dari pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Untuk pekerjaan jenis ini berlaku
baginya kaidah:
الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على
تحريمه
“Asal dari segala sesuatu itu Mubah, sampai ada dalil yang menunjukkan atas
keharamannya.”
Selanjutnya, jenis amal semacam ini dapat kita klasifikasikan dalam
dua bagian :
Pertama :
Jenis amalan yang yang dapat bernilai Ibadah ditinjau dari niat atau tujuannya,
contoh: PEMBERIAN UANG KEPADA ORANG LAIN, pemberian tersebut bisa menjadi
Shadaqah Sunnah, Bisa menjadi Hibbah tanpa nilai Ibadah, Bahkan bisa
dikategorikan Money Politic jika diberikan dengan maksud agar dipilih menempati
jabatan tertentu.
Jadi jika ada dalil yang mengharamkan pemberian uang untuk money politic maka
pemberian uang dengan maksud demikian dianggap terlarang.
Kedua :
Amalan atau pekerjaan yang Nilainya apakah ia termasuk Ibadah atau bukan,
bergantung pada amalan berikutnya yang menjadi Maqashid-nya dimana pekerjaan
ini hanya berfungsi sebagai WASILAH penghantar atau sarana untuk dapat
dilaksanakannya amalan yang dimaksud. Amalan jenis berlaku baginya kaidah LIL
WASA-IL HUKMUL MAQASHID di mana hukumnya bergantung pada amaliah yang menjadi
MAQASHID atau MAUSUL ILAIH.
Contohnya mempelajari Ilmu Tajwid, ia menjadi wajib mengingat tuntutan membaca
al qur’an dengan tartil (sesuai qaidah tajwid) adalah wajib. Kewajiban ini
berhubungan erat dengan kaedah dalam disiplin Ilmu Ushul Fiqih pada Fasal MA
LAA YATIMMUL WAJIB ILLAA BIHI FAHUWA WAJIB.
Contoh lain adalah membeli air pada dasarnya adalah mubah (boleh
dibeli, boleh tidak, dan tidak berpahala). Namun ketika seseorang mau shalat
fardhu tetapi tidak ada air di sisinya melainkan harus membeli dan ia memiliki
kesanggupan untuk membeli air maka hukum membeli air di sini menjadi wajib dan
berubah menjadi amalan yang berpahala serta dihitung sebagai ibadah ghairu
mahdhah. Pada kasus tersebut, membeli air merupakan wasilah, sedangkan wudhu/
shalat adalahmaqsud. Karena wudhu shalat fardhu itu syarat sah shalat fardhu
tersebut maka membeli air juga dihukumkan wajib jika mampu.
..
lihat http://www.facebook.com/notes/syamsul-muallim/asalnya-ibadah-adalah-ketetapan-dari-rasulullah-saw/1712660565630199/?refid=21&_ft_
-
Wallahu A'lam
----------------
الأصْلُ فِي كُلِّ حَادِثٍ تَقْدِيْرُهُ
بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ
“ asal setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang
terdekat”.
Contoh;
seorang dokter mengoperasi seorang ibu untuk mengeluarkan bayi yang ada dalam
kandungannya, lalu operasi tersebut berhasil dengan selamat. Setelah ada satu
minggu bayi itu meninggal, maka dokter tidak dapat dituntut pertanggung
jawabannya. Sebab kematiannya belum tentu karena dokter itu, bisa jadi karena
sebab lain yang lebih dekat dengan kematiannya.
---------------------
مَنْ شَكَّ اَفَعَلَ شَيْأً اَمْ لاَ فَالأصْلُ
أنَّهُ لَمْ يَفْعَلْ
" barang siapa yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan
sesuatu atau belum, maka pada dasarnya dianggap belum melakukannya".
contoh:
seseorang ragu sudah berwudlu atau belum, maka yang dimenangkan adalah belum
berwudlu. sebab asalnya ia belum berwudlu.
contoh
lain: A mengadukan bahwa B telah berhutang kepadanya Rp:1.000.000 ,. kemudian B
mengatakan bahwa hutang itu telah dilunasinya, tetapi B tidak mempunyai bukti
pembayarannya, maka yang dimenangkan dalam kasusu ini adalah A, yaitu B masih
berhutang dan belum dilunasi.
-----------------
مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَشَكَّ في
الْقَلِيْلِ أو الْكَثِيْرِ حُمِلَ على الْقليل
" Jika seseoramg telah yakin berbuat sesuatu, tapi ia ragu
tentang banyak sedikitnya maka yang dihitung adalah yang sedikit".
contoh;
bila seseorang sedang shalat dhuhur ragu tentang jumlah rakaatnya sudah
mendapatkan empat atau tiga, maka yang dimenangkan menurut kaidah ini adalah
tiga, karena yang sedikit itulah yang telah diyakini.
---------------
الأصْلُ في الْكَلاَمِ الْحَقِيْقَةُ
" hukum asal dalam memahami kalimat adalah makna
hakikat".
maksud
dari kaidah ini adalah, makna kalimat pertama harus makna hakikatnya atau makna
sebenarnya / makna fi'ilnya. apabila terjadi suatu perselisihan didalam
menafsirkan atau mengartikan suatu kalimat yang memungkinkan untuk diartikan
menurut majaz ( makna metafor ) atau hakikat ( makna harfiah) , maka yang dijadikan
pedoman adalah penafsiran menurut arti hakikat lafadh itusendiri.
misalnya, seseorang mengatakan :
" aku akan mewakafkan sebagian hartaku ini untuk anak si Ahmad". maka
dalam hal ini perkataan " anak " harus diartikan anak dalam arti yang
sebenarnya ( riil ), bukan berarti cucu dan sebagiannya.
---------------
الأصْلُ في الأبْضَاعِ التَّحْرِيمُ
"hukum
asal tentang seks adalah haram".
oleh karena itu segala sesuatu
yang berhubungan dengan seks adalah haram, kecuali ada sebab yang
memperbolehkannya, misal dengan akad nikah. misalnya, Si A ingin menikahi
wanita dari kampung Tulung sari, tetapi di kampung ini ada salah satu wanita
yang muhrim dan bukan muhrimnya. maka dalam hal ini, si A tidak diperbolehkan
menikahi wanita dari kampung Tulung sari tersebut hingga jelas siapa muhrimnya
di kampung ini.
4. Teori
Berbalik
dalam hubungannya dengan teori komprehensip
mayor
الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
seperti itu, dalam realitasnya,
ditemukan adanya teori komprehensip yang menjadi kebalikannya, yaitu
الْيَقِيْنُ قَدْ يُزَالُ بِالشَّكِّ
" yakin itu terkadang bisa dihilangkan dengan suatu
keyakinan ".
akan tetapi teori kebalikan ini
hanya tertentu dalam beberapa kasus sebagaimana pandangan Imam Abil Abbas ahmad
al-Qosshi, yaitu ragu-ragu dalam hal-hal sebagai berikut
1) kasus masa
habisnya keringanan mengusap muzah, dimana bagi musafir selama 3 harisedang
orang mukim selama sehari semalam
2) kasus
keragu-raguan dalam menentukan apakah niat mengusap muzah tersebut dalam
keadaan mukim atau musafir
3) kasus
takbirotul ihromnya seorang musafir dengan niat qoshor dibelakang imam yang
tidak diketahui apakah imamnya orang mukim atau musafir. hal ini qoshornya
tidak sah.
4) kasus
kencingnya binatang didalam air yang banyak, lalu airnya berubah dan tidak
diketahui secara pasti apakah perubahan itu disebabkan air kencing atau
lainnya, maka air itu dihukumi najis
5) kasus
status wajib mandi setiap kali akan shalat wajib bagi wanita yang sedang
terkena penyakit istihadloh yang pandai membedakan mana darah lemah dan mana
pula darah yang kuat, tetapi ia ragu-ragu dalam hal keterputusan darah yang
keluar dari vaginanya
6) kasus orang
yang pakaian atau badannya kejatuhan najis, tapi ia tidak tahu posisi mana yang
terkena maka semua pakaian atau badannya harus disucikan
7) kasus
adanya musafir yang ragu-ragu apakah ia sudah sampai pada negara yang
menjaditujuannya atau belum, maka ia tidak boleh melakukan rukhsoh
8) kasus adanya keragu-raguan seorang musafir
tentang apakah ia berniat mukim atau tidak, maka ia tidak boleh melakukan hukum
rukhsoh untuk mengqoshor shalat
9) kasus
wudlunya wanita istihadloh dan keadaan vaginanya selalu keluar basah-basahseperti
kencing, lalu ia ragu apakah ia sudah berhadats atau belum, lalu ia melakukan
shalat dengan kesucian yang diduganya, maka shnya tidak sah
10) kasus orang
bertayammum, lalu ia melihat sesuatu yang ia sendiri belum mengerti secara
jelas apakah yang dilihat itu embun atau air, maka hukum tayammumnya batal,
sekalipun dalam kenyataannya yang dilihat itu embun
11) kasus orang
melemparkan anak panah kebinatangan buruan, lalu binatang itu lari dan
menghilang , lalu ia menemukannya dalam keadaan sudah menjadi bangkai dan ia
ragu-ragu apakah yang mengenai binatang tersebut anak panahnya atau batu yang
mengenainya atau lainnya, maka hukum memakan dagingnya haram, begitu juga
ketika ia melepaskan binatang anjing untuk memburunya.
dalam kaitannya dengan teori
berbalik اليقين
قد يزال بالشكّ tersebut,
imam Abu Zakariyya Yahya dan imam Subkiy menambahkan beberapa masalah yang bisa
dimasukkan kedalam teori tersebut, diantara
Ø kasus
ketika ada manusia yang ragu-ragu dalam masalah waktu habisnya shalat jum'at,
maka berdasarkan teori ini mereka para jamaah tidak boleh melakukan shalat
jum'at, tetapi harus melakukan shalat dhuhur.