KEJANGGALAN
KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
1. Dalil Kewajiban Mengikuti Sunnah Rasulullah dan
para Sahabat Beliau (Khulafaur Rasyidun)
2. DALIL PERINTAH DAN LARANGAN
3. Dalil Sesatnya setiap "bid'ah"
|
Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam
menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut
urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat
dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4)
sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur'an 2. Sunnah 3. Ijma'
4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan
langsungnya di dalam al-Qur'an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah
Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma' (kesepatakan)
para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur'an dan Hadis, dan bila
juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas
yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut
di dalam al-Qur'an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para
Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab
Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
Digunakannya ijma' dan qiyas (yang mana keduanya erat
dengan pendekatan akal/logika) saat tidak ditemukan hukum suatu perkara di
dalam al-Qur'an dan Sunnah, tidak berarti menganggap bahwa wahyu Allah dan
Hadis Rasulullah Saw. tersebut memiliki kekurangan. Justeru di sinilah
perencanaan Allah Swt. yang Maha Sempurna berlaku, di mana pada satu sisi
manusia dibekali petunjuk pasti yang sangat mendetail di dalam al-Qur'an dan
Sunnah Rasulullah Saw. yang wajib ditaati, sedang di sisi lain (pada al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah Saw. tersebut) manusia hanya dibekali prinsip-prinsip
dasar, baik dalam bentuk global maupun isyarat yang penerapannya dapat berlaku
di sepanjang zaman dan tempat. Pada sisi inilah Allah Swt. sengaja memberikan
peran bagi akal manusia, di mana manusia itu disuruh (bahkan dihargai) untuk
menggunakan akalnya agar dapat memahami prinsip dasar dan isyarat al-Qur'an
atau Sunnah lalu menerapkannya sesuai keadaan hidup manusia yang selalu
mengalami perubahan dan perkembangan secara alamiah di setiap tempat dan masa,
dan manusia memang ditakdirkan berubah dan berkembang keadaan hidupnya.
Bukankah ini sebuah perencanaan yang sempurna dalam ciptaan Allah Swt.; Ia
ciptakan akal manusia, Ia beri panduan umum dan khusus, lalu Ia suruh manusia menggunakan
akal tersebut dan memberinya penghargaan?
Bayangkan, betapa sia-sianya akal yang sudah diciptakan Allah Swt. ini,
bila segala permasalahan hidup manusia semuanya disebutkan dengan mendetail di
dalam al-Qur'an atau Sunnah; betapa tebalnya lembaran-lembaran kitab suci
al-Qur'an bila harus memuat seluruh permasalahan manusia sesuai perubahan dan
perkembangannya di setiap masa dan tempat mulai dari masa diciptakannya Nabi
Adam As. sampai hari kiamat.; dan sungguh dengan begitu Rasulullah Saw. tidak
perlu mati, beliau harus dihidupkan terus oleh Allah sampai hari kiamat agar
dapat memberikan penjelasan hukum yang pasti setiap kali ada masalah baru yang
timbul dari sebab perubahan atau perkembangan keadaan dalam kehidupan manusia.
Dengan menyembunyikan hukum pasti di dalam al-Qur'an atau Sunnah, Allah
telah memberi ruang kepada manusia untuk berijtihad dengan akalnya, tentunya
dengan panduan prinsip-prinsip yang telah diberikan di dalam al-Qur'an dan
Sunnah. Di sinilah rahmat Allah Swt. berlaku bagi terciptanya peluang ikhtiar
sebagai obyek penilaian amal dan demi tercapainya kemaslahatan hidup
manusia di dunia dan akhirat.
Tampaknya, bagi kaum Salafi & Wahabi, pendekatan akal seperti ijtihad
atau ta'wil para ulama yang merupakan jalan bagi terwujudnya ijma' dan qiyas
tidak berlaku (meskipun sebenarnya mereka juga berijtihad dengan caranya
sendiri). Bagi mereka, tidak ada suatu kebaikan pun yang tidak diperkenalkan
oleh Rasulullah Saw., sehingga segala amalan berbau agama haruslah didasarkan
pada ajaran Rasulullah Saw., baik yang ada di Kitabullah (al-Qur'an)
maupun Sunnah Rasulullah Saw. Pendapat ulama besar sekalipun mengenai perkara
agama, bila tidak diiringi dalil khusus yang secara langsung menyebutkannya
atau mendukungnya, hanya mereka anggap sebagai "pendapat manusia"
yang bisa salah atau benar sehingga tidak dapat dijadikan dasar. Entah lupa
atau tidak sadar, sepertinya para ulama sekaliber Imam Syafi'I atau Imam Nawawi
saat mengutarakan pendapatnya, mereka anggap tidak lebih tahu tentang dalil
dibandingkan diri mereka.
Prinsip seperti inilah yang sepertinya menjadikan pola pikir mereka
"kasuistik", artinya terlalu tekstual dalam memahami dalil sehingga
apa yang disebutkan oleh ayat al-Qur'an atau hadis secara khusus tentang suatu
perkara harus dipahami dan diberlakukan apa adanya tanpa dikurangi atau
ditambahi, dan apa saja yang tidak disebutkan secara khusus oleh dalil maka
tidak boleh diberlakukan. Mestinya, mereka juga mengutarakan dalil khusus untuk
"tidak membolehkan" perkara yang yang tidak disebutkan oleh dalil,
tapi ternyata tidak demikian.
Di sinilah letak kejanggalannya. Di satu sisi kaum Salafi & Wahabi
seperti sangat idealis dengan dalil yang dipahami secara tekstual sehingga
setiap amalan mereka selalu ada ayat atau hadis yang menunjukkan amalan itu
secara khusus atau langsung, dan ini disebut "dalil khusus".
Namun di sisi lain, saat membahas berbagai amalan yang mereka vonis
terlarang karena dianggap bid'ah (perkara baru yang diada-adakan),
mereka tidak melakukan hal yang sama. Artinya, seharusnya mereka juga
menyertakan dalil khusus yang tekstualnya menunjukkan larangan atau hukum bid'ah
secara langsung untuk setiap perkara atau amalan yang mereka tuduh sebagai bid'ah
itu. Tetapi dalam hal ini mereka justeru menggunakan segelintir "dalil
umum".
Padahal, para ulama ushul (ahli dalam bidang dasar-dasar hukum
agama) telah bersepakat bahwa setiap lafaz yang umum di dalam suatu dalil,
secara bahasa akan mencakup segala hal yang terkandung oleh keumuman lafaz
tersebut. Begitu pula bahwa lafaz yang umum pada suatu dalil itu tidak dapat
diarahkan untuk menunjukkan satuan-satuan perkara tertentu, kecuali bila ada
lafaz dalil yang mengkhususkannya (lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR.
Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 111. Lihat juga Ushul
al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, Daar el-Fikr, Damaskus, 2006, hal.
244). Contohnya, kata kullu bid'atin dhalalah (setiap bid'ah/perkara
baru adalah kesesatan) di dalam sebuah hadis adalah merupakan lafaz umum yang
secara bahasa mencakup keseluruhan "perkara baru", sehingga tidak sah
bila kata bid'ah itu diarahkan kepada perkara-perkara tertentu saja seperti
tradisi peringatan Maulid Nabi Muhamamad Saw. atau acara tahlilan, kecuali bila
ada dalil lain yang mengkhususkannya atau menunjukkan secara pasti bahwa yang
dimaksud dalil umum itu adalah peringatan Maulid atau tahlilan.
Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh
kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid'ah,
tentunya karena pola pikir "kasuistik" atau terlalu tekstual
(harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka
tentang bid'ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum
yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah
disebutkan secara khusus di dalam al-Qur'an atau hadis.
Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid'ah yang
dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang
kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah
ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara
berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku
"Ensiklopedia Bid'ah" karya Hammud bin Abdullah al-Mathar
diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum
lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara
serampangan dan bukan pada tempatnya.
Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul,
mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama,
sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul
/pokok) dan yang tidak prinsip (furu'/cabang). Luar biasanya,
dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di
seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat
diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya
(misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar
argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari'at atau
menetapkan syari'at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari
dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan
baik oleh umat Islam.
Kaum Salafi & Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama
berupa ta'wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini
menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah
terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang
untuk menetapkan syari'at, seperti halnya Nabi Saw. atau para Shahabat beliau.
Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur'an
& hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja
yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di
dalam al-Qur'an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai
sebuah penyimpangan atau kesesatan.
Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafi & Wahabi selalu
mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang
disalahkan itu hanyalah masalah furu' (cabang/tidak prinsip). Ini adalah
akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa
adanya, sehingga semua urusan dan amalan "berbau agama" dipandang
oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip)
yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.
Padahal, untuk menentukan hukum sesat, syirik, atau kufur, mereka harus
mendatangkan dalil-dalil yang pasti dan secara jelas menyebut demikian.
Nyatanya, mereka malah menggunakan dalil-dalil umum. Dalil-dalil larangan bid'ah
yang sangat diandalkan oleh kaum Salafi & Wahabi itulah yang akan kita
bahas secara tuntas dalam buku/film dakwah ini, agar setiap orang dapat
menilainya secara obyektif. Dan bila diklasifikasikan, maka dalil-dalil
tersebut dapat kita kategorikan menjadi:
- Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw.
dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur Rasyidin)
- Dalil perintah & larangan
- Dalil sesatnya setiap bid'ah (perkara baru
yang diada-adakan di dalam agama)
1. Dalil kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah Saw.
dan para Shahabat beliau (Khulafa'ur Rasyidin)
Kaum Salafi & Wahabi sering mengajukan dalil tentang perintah mengikuti
Sunnah Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau dalam rangka mengharamkan bid'ah
yang mereka tuduhkan. Dalil yang paling jelas adalah hadis Rasulullah Saw.
berikut ini:
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً شَدِيْدًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ
عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ
فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه)
"Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat
(kepada pemimpin) meskipun ia seorang budak hitam. Dan kalian akan melihat
perselisihan yang sangat setelah aku (tiada nanti), maka hendaklah kalian
mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa' rasyidin mahdiyyin (pemimpin yang
lurus dan mendapat petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham (berpegang
teguhlah padanya), dan jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal baru dalam
agama), sesungguhnya setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Ibnu Majah. Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu
Dawud, dan Ahmad).
Di dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Saw. menyebutkan:
... وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ
عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً
وَاحِدَةً، قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِيْ (رواه الترمذي)
"… dan akan terpecah umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka
kecuali satu golongan." Mereka (shahabat) bertanya, "siapakah itu ya
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu yang aku dan para shahabatku
berada di atasnya" (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red) (HR. Tirmidzi).
Perintah mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para Khulafa'ur-Rasyidin itu
tidak disangsikan kebenaran dan keutamaannya. Hanya dengan cara itulah kita
dapat menjalani kehidupan dengan selamat di dunia dan di akhirat. Hal itu bukan
saja karena Rasulullah Saw. dan para shahabat merupakan figur-figur teladan di
dalam ketaatan terhadap agama, tetapi juga karena Allah sendiri telah
memberikan mereka keutamaan secara khusus di dalam al-Qur'an.
Kaum Salafi & Wahabi lantas menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai
batasan bagi definisi bid'ah, sekaligus sebagai pembatasan sumber
rujukan umat dalam memahami agama. Artinya, apa yang tidak pernah dikerjakan
atau dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat dalam urusan agama,
baik prinsip maupun formatnya, langsung mereka golongkan ke dalam kategori
bukan "sunnah/jalan Rasulullah Saw. dan para shahabatnya" alias bid'ah
dan kesesatan. Ini tampak jelas dalam definisibid'ah yang mereka buat
dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang
menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah
ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71).
Padahal, definisi ini pun sebentuk bid'ah, karena tidak pernah
disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.
Pada perkembangannya, mereka memberikan ruang lebih luas bagi umat Islam
untuk mengikuti juga orang-orang yang hidup di masa setelah shahabat, yaitu
para tabi'in yang kemudian disebut dengan generasi salaf. Hal
ini disimpulkan dari sabda Rasulullah Saw:
خَيْرُ أُمَّتِيْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه البخاري)
"Sebaik-baik umatku adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang
sesudah mereka, kemudian masa orang-orang sesudah mereka" (HR. Bukhari)
Pada hadis di atas disebutkan 3 masa terbaik (sejak masa Rasulullah sampai
+ masa 300 H. atau masa tabi'in) dari kehidupan umat Rasulullah Saw.
yang kemudian disebut dengan generasi salaf (terdahulu), dan kaum Salafi
& Wahabi menjadikan generasi salaf tersebut sebagai sumber rujukan
yang mutlak dalam beragama. Itulah mengapa mereka merasa lebih utama dari selain
golongan mereka dan dengan bangga menamakan diri dengan "Salafi"
(pengikut generasi salaf).
Tidak ada yang salah dengan tekad mereka mengikuti generasi salaf,
sepanjang mereka tidak menganggap bahwa setelah masa generasi salaf itu tidak
ada lagi kebaikan yang pantas dijadikan teladan atau rujukan bagi umat dalam
urusan agama. Permasalahannya bermula saat kaum Salafi & Wahabi seperti membatasi
kebenaran dan kebaikan hanya ada pada generasi salaf tersebut (generasi umat
Islam yang hidup antara masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in) dan tidak ada
lagi setelahnya, lalu mengobarkan semangat kembali kepada ajaran salaf
bulat-bulat tanpa melihat mata rantai ulama pewaris mereka yang juga telah
menghasilkan kebaikan-kebaikan untuk umat.
Mari kita kembali kepada permasalahan dalil. Pada dalil-dalil tersebut di
atas, terdapat isyarat-isyarat yang sepertinya tidak dipahami dengan jelas oleh
kaum Salafi & Wahabi, dan hal ini sekaligus menunjukkan
kekeliruan-kekeliruan mereka dalam mengambil kesimpulan, yaitu:
1. Khulafa'ur-Rasyidin al-Mahdiyyin (pemimpin
yang lurus dan mendapat petunjuk) sering dimengertikan sebatas 4 khalifah
setelah Rasulullah Saw., yaitu: Abu Bakar ash-Shiddiq Ra., Umar bin Khattab
Ra., Utsman bin 'Affan Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra. padahal Rasulullah Saw.
tidak menyebutkan demikian kecuali hanya isyarat-isyarat saja. Di dalam riwayat
Abu Dawud, Sufyan ats-Tsauri (ulama salaf) menambahkan Umar bin Abdul
Aziz ke dalam lingkup khulafa' tersebut sehingga jumlahnya menjadi 5. Ini menunjukkan
bahwa pengertian Khulafa'ur-Rasyidin memang tidak ada kepastiannya
kecuali hanya merupakan ijtihad dari para ulama karena melihat isyarat dari
dalil-dalil yang ada serta karena memperhatikan keutamaan-keutamaan yang ada
pada pribadi mereka. Dan itu tidak menutup kemungkinan adanya pengertian lain
tentangnya.
Salah satunya adalah seperti yang disebutkan oleh as-Sindi ketika
menjelaskan hadis tersebut di dalam Sunan Ibnu Majah,
قيل هم الأربعة وقيل بل هم ومن سار سيرتهم من أئمة
الإسلام المجتهدين في الأحكام فإنهم خلفاء الرسول عليه الصلاة والسلام في إعلاء
الحق وإحياء الدين وإرشاد الخلق إلى الصراط المستقيم
"Dikatakan mereka itu (khulafa'ur-Rasyidin)
adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali), dan dikatakan bahkan
mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja yang menempuh jejak mereka
dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad (mujtahidin) dalam hal hukum,
maka sesungguhnya mereka itu adalah khulafa'ur-Rasul (pengganti Rasulullah
Saw.) yang meninggikan kebenaran, menghidupkan agama, dan membimbing umat
kepada jalan yang lurus."
Secara obyektif, kita memang tidak melihat pembatasan makna khulafaur-Rasyidin
pada dalil-dalil yang ada, dan bahwa kata khalifah (jamak: khulafa')
tidak selalu diartikan sebagai pemimpin atau penguasa, tetapi ia secara
mendasar dapat diartikan "pengganti" bila dilihat dari asal katanya.
Maka, khulafa'ur-Rasyidin al-Mahdiyyin itu tidak hanya 4 khalifah
tersebut atau tidak terbatas hanya di tingkat shahabat saja, melainkan dapat
berlaku bagi generasi selanjutnya sampai hari kiamat bagi siapa yang memenuhi
kriteria rasyidin (lurus) dan mahdiyyin (mendapat petunjuk)
sehingga pantas disebut sebagai khalifah (pengganti/penerus) bagi
panutan yang sebelumnya.
2. Pengertian kata Sunnah pada
hadis-hadis di atas sangat umum , artinya bukan saja menyangkut format/bentuk tertentu dari perkataan,
perbuatan, ketetapan, atau sifat yang dikaitkan kepada Rasulullah Saw. dan para
shahabat beliau, tetapi juga termasukisyarat, prinsip dasar baik-buruk yang
mereka pertimbangkan, dan cara memandang atau menyelesaikan masalah, yang
semua itu dapat terus digunakan rumusannya sebagai acuan untuk menetapkan hukum
pada perkara-perkara masa depan yang tidak ada format/bentuknya di masa para
shahabat tersebut.
Di sinilah terdapat hikmah pada penyebutan sunnatil-khulafa' ar-Rasyidin
(sunnah/jalannya para khalifah yang lurus). Sebagaimana disebut di dalam Tuhfatul-Ahwadzi
bi Syarhi Jami' at-Tirmidzi, Imam asy-Syaukani menjelaskan:
إذا كان ما عملوا فيه بالرأي هو من سنته لم يبق لقوله
"وسنة الخلفاء الراشدين" ثمرة.
Jika apa yang mereka (Khulafa'ur-Rasyidin/para
shahabat) lakukan dengan pendapat akalnya (dianggap) itu termasuk sunnah
Rasulullah Saw., maka tidak akan tersisa tsamrah (buah/faidah) pada ucapan
beliau "sunnah khulafa'ur-Rasyidin" .
Ya, jika para shahabat itu hanya mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah
Saw., cukuplah itu disebut juga sebagai sunnah Rasulullah Saw. Tentunya
penyebutan sunnahkhulafa'ur-Rasyidin secara khusus menunjukkan kondisi
mandiri di saat para shahabat tidak menemukan contoh atau dalil dari al-Qur'an
dan sunnah Rasulullah Saw., maka mereka berijtihad untuk menentukan hukum
sendiri dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar atau isyarat dari al-Qur'an
dan sunnah Rasulullah Saw. tersebut. Hasil ijtihad inilah yang secara mandiri
disebut sebagai sunnah khulafa'ur-Rasyidin atau sunnah shahabat,
dan cara berijtihad yang mereka jalani itu sah dan dapat ditiru oleh
orang-orang setelah mereka di saat tidak menemukan contoh atau dalil dari sunnah
(hasil ijtihad) para shahabat tersebut.
Otoritas terciptanya sunnah (hasil ijtihad) semacam itu ditunjukkan
oleh riwayat hadis Rasulullah Saw. saat melepas kepergian Mu'adz bin Jabal Ra.
ke Yaman, di mana beliau bertanya, "Dengan apa engkau menetapkan
hukum?" Mu'adz menjawab, "Dengan Kitab Allah
(al-Qur'an)." Rasulullah Saw. bertanya, "Bila tidak engkau
temukan (di Kitab Allah)?" Mu'adz menjawab, "Dengan Sunnah
Rasulullah." Rasulullah Saw. bertanya, "Jika tidak engkau
temukan (di Sunnah Rasulullah)?" Mu'adz menjawab, "Aku
berijtihad dengan pendapatku." Maka Rasulullah Saw. berkata, "Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasul-Nya."
Penyebutan suatu amalan atau ketetapan sebagai suatu sunnah juga
ditunjukkan oleh hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi "Man sanna
fil-Islam sunnatan hasanatan…"(siapa yang menetapkan di dalam Islam
suatu sunnah/ketetapan/kebiasaan yang baik …), dan penyebutan sunnah
ini tidak terbatas hanya pada amalan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau
saja. Terbukti bahwa hadis tersebut juga menyebut adanya sunnah sayyi'ah
(sunnah/ketetapan/kebiasaan yang buruk) yang tidak mungkin dialamatkan kepada
Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau. Lengkapnya hadis Rasulullah Saw.
tersebut berbunyi:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ
مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ
عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)
"Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam
suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya
dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala
mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di
dalam Islam suatu sunnah sayyi'ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas
dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi
dosa-dosa mereka sedikitpun" (HR. Muslim)
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ
آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ِلأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ (رواه مسلم)
"Tidaklah dibunuh satu orang secara zhalim, melainkan anak Adam yang
pertama (Qabil) mendapat dosa dari (penumpahan) darah orang itu, karena ia
adalah orang yang pertama mensunnahkan (membuat/menetapkan) pembunuhan"
(HR. Muslim)
Bila kaum Salafi & Wahabi menafsirkan kata "sanna sunnatan
hasanatan" di atas dengan makna "menghidupkan sunnah yang
baik" dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. yang telah ditinggalkan
orang karena melihat asbab wurud (latar belakang dikeluarkannya hadis
tersebut) yaitu berkenaan dengan sedekah, maka tafsiran itu sungguh keliru dan
sangat menyimpang. Sebab kata "sanna" artinya "membuat,
meletakkan, menetapkan", dan untuk makna "menghidupkan" ada kata
"ahyaa" yang jelas disebut di dalam riwayat hadis lain.
Kejanggalan tafsiran mereka akan lebih terlihat lagi bila dihubungkan
dengan ungkapan "sanna sunnatan sayyi'atan" pada lanjutan
hadis tersebut, yang bila diartikan menurut pemahaman mereka "menghidupkan
sunnah yang buruk" dari sunnah atau ajaran Rasulullah Saw. Dengan
begitu kita akan bertanya, apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau
mengajarkan keburukan yang juga harus ditiru oleh umatnya??!
3. Bila lingkup rujukan agama hanya dibatasi
pada generasi salaf saja (dari masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in +
300 H.), lalu para ulama setelah mereka dianggap tidak memiliki otoritas untuk
menjelaskan agama atau untuk mengijtihadkan hukum, terutama tentang
perkara-perkara yang tidak ada di masa salaf tersebut, maka hal ini berarti pengingkaran
dan pendustaan terhadap hadis Rasulullah Saw. tentang akan datangnya ulama mujaddid
(pembaharu) yang akan diutus oleh Allah pada setiap akhir masa satu abad (100
tahun). Perhatikanlah hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ
اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ
يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa
seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus
tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka.
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk
mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw.
yang bukan hanya dari kalangan shahabat beliau saja atau para ulama salaf saja,
tetapi juga para ulama pada tiap-tiap masa yang diakui keluasan ilmunya. Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui
pemahaman dan penjelasan para ulama tersebut adalah tindakan yang bukan saja
tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat
terjerumus ke dalam kesesatan. Itulah rahasia kenapa Rasulullah Saw. bersabda
demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang
sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau dan sangat berbeda kualitas
keimanannya dibandingkan para shahabat atau para tabi'in. Dan kita yakin, hadis
itu pasti dilatarbelakangi oleh wahyu Allah, dan ini bisa dikatakan sebagai
salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
Otoritas penjelasan ulama di setiap generasi dalam berijtihad (di antaranya
ijtihad tentang pembagian bid'ah menjadi dua: Hasanah & sayyi'ah)
legalitasnya tidak hanya ditunjukkan oleh dalil di atas, bahkan Rasulullah Saw.
secara umum menyebut mereka sebagai "Pewaris Para Nabi" sebagaimana
sabdanya:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إِنَّ
اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا
الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي وأبو داود
وابن ماجه وأحمد وغيرهم)
"Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi,
sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah
mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (mengupayakan)nya, berarti ia
telah mengambil bagian yang sangat banyak" (HR. Tirmidzi, Abu Dawud,
Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Bila ditanyakan, ulama yang manakah yang termasuk kategori mujaddid atau
yang pantas mendapat label "pewaris para nabi" itu? Nama-nama para mujaddid dan para ulama yang terkenal seperti
berikut ini dapat dikategorikan ke dalam golongan "pewaris para nabi"
sebagaimana pengakuan umat terhadap keutamaan mereka, yaitu : Khalifah Umar bin
Abdul Aziz (mujaddid abad ke-I), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi'I (mujaddid abad ke-II), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abul Hasan
Asy'ari, Imam Isfarayini, Imam Rafi'I, Imam abul-'Abbas bin Suraij (Mujaddid
abad ke-III), Imam Sahl ash-Sha'luki (mujaddid abad ke-IV), Imam
Ghazali (mujaddid abad ke-V), Imam Fakhruddin ar-Razi (mujaddid abad
ke-VI), Imam Nawawi (mujaddid abad ke-VII), dan para ulama lain yang
mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa mengikuti Rasulullah
Saw. dan para shahabat beliau secara umum tidak terbatas pada format/bentuk
amalan yang mereka lakukan di masa itu saja (kecuali ibadah mahdhah
seperti: shalat, puasa, zakat, atau lainnya), tetapi juga pada cara-cara mereka
berijtihad, berinovasi, dan berkreasi untuk menetapkan atau menciptakan "sunnah
hasanah" (ketetapan/kebiasaan yang baik) yang secara jelas telah
diketahui kebaikan dan maslahatnya di dalam pandangan agama.
Berinovasi dan berkreasi dalam kebaikan adalah suatu kebutuhan, terlebih
lagi di zaman-zaman belakangan di mana umat Islam sudah semakin rendah kualitas
keberagamaannya dan kurang perhatian terhadap ajaran agama. Tentu landasannya
bukan karena ingin membikin-bikin syari'at baru, bukan pula untuk
menambah-nambah agama, karena batasan-batasan antara perkara pokok atau ibadah
di dalam agama dengan amalan kebajikan yang universal adalah jelas, tidak
mungkin hal itu diabaikan oleh para ulama. Lagi pula, dalam
hal ini mereka tetap mendasarinya dengan dalil-dalil yang secara implisit atau
eksplisit mengisyaratkan kebolehannya, bukan dengan dorongan hawa nafsu
sebagaimana dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi. Keprihatinan mereka
terhadap keadaan umat lah yang membuat mereka perlu melakukan inovasi itu.
Fenomena menganggap baik dan mengamalkan bahkan menganjurkan
kegiatan-kegiatan berbau agama seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.,
zikir berjamaah, tahlilan, ziarah kubur orang shalih, dan lain sebagainya
adalah gambaran jelas dari upaya para ulama dalam memelihara kebaikan hidup
umat Islam, sekaligus dalam rangka membuka peluang-peluang mendapat rahmat dan
hidayah untuk mereka. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, entah
sengaja atau tidak sengaja, umat terhitung melakukan kebaikan berupa: Zikir
kepada Allah, bershalawat kepada Rasulullah Saw., silaturrahmi, mendengarkan
nasihat dari ulama, dan berbagi rezeki antar sesama, dan kebaikan-kebaikan ini
jelas ada dalilnya di dalam agama.
Luar biasanya, para ulama yang tawadhu' itu hanya menyebut
kegiatan-kegiatan tersebut sebagai bid'ah hasanah, padahal Rasulullah
Saw. jelas-jelas menyebut kebiasaan baik yang semacam itu sebagai sunnah
hasanah. Mengapa demikian? Kemungkinan alasannya adalah agar tidak terjadi
kesimpang-siuran dalam pengertian sunnah; satu sisi (sebagaimana telah
ditetapkan definisi khususnya oleh para ulama hadis) sunnah sebagai
peninggalan Rasulullah Saw. berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat;
sisi lain (sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama Fiqh) sunnah sebagai
hukum amalan ibadah yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan
tidak mendapat dosa; satu sisi lagi (sebagaimana pengertian hadis di atas) sunnah
sebagai ketetapan atau jalan yang menjadi contoh atau kebiasaan yang ditiru
orang lain.
Jadi, apa saja yang oleh para ulama dikategorikan sebagai bid'ah hasanah
sebenarnya adalah sunnah hasanah. Menolak adanya kategori bid'ah
hasanah berarti juga secara tidak langsung menolak adanya kategori sunnah
hasanah. Pada poin ini, kaum salafi & wahabi (dengan pandangan mereka
membatasi kebaikan & kebenaran agama hanya ada pada generasi ulama salaf,
dan dengan sikap penolakan mereka terhadap adanya bid'ah hasanah) bisa
dianggap telah mencampakkan dua hadis Rasulullah Saw. (entah karena tidak
mengerti atau karena tidak sengaja), yaitu: Hadis mengenai akan datangnya ulama
mujaddid pada akhir setiap masa seratus tahun, dan hadis tentang adanya
sunnah hasanah yang tidak terbatas pada Rasulullah Saw. dan para
shahabat saja.
KEJANGGALAN
KAUM SALAFI & WAHABI DALAM BERDALIL
2. DALIL PERINTAH & LARANGAN
Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama hanya ada di
antara dua kategori, yaitu:
1. Yang diperintah atau dicontohkan,
yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam
al-Qur'an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh
Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau.
2. Yang dilarang , yaitu setiap
amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.
Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah:
"… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr: 7)
Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang fai'
(harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran
asalnya adalah "apa yang diberikan Rasul (dari harta fai') kepadamu
maka terimalah dia" (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para
mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan "apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia" dengan makna "apa
yang diperintahkan Rasul …" berhubung setelahnya ada perintah untuk
meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya
riwayat-riwayat hadis yang mendukung makna tersebut.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya
berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga untuk
mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti membutuhkan
perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus.
Dalil lain yang mereka ajukan adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda,
"Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian,
sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan
dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang
kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu
perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian" (HR. Bukhari).
Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil lain
yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau yang
diperintahkan secara pasti.
Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah &
larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah mengikuti
sunnah & larangan melakukan bid'ah. Pengarahan konteks tersebut
sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian
tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh
perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula --terutama
mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid'ah
seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan &
minuman yang diharamkan.
Kategori Ketiga
Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah
& kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari
perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu "yang tidak diperintah juga
tidak dilarang" sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan
ungkapan "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan
bagi kalian". Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam
kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah "Biarkan/tinggalkanlah
aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan
kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan
sesuatu."
Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan
latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan
perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, "Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka
berhajilah", ada seorang yang bertanya, "apakah setiap tahun
ya Rasulullah?". Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu
mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, "Bila aku
jawab ' ya' maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan
mampu". Kemudian beliau bersabda ,"Biarkan/tinggalkanlah
aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian".
Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori
ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan
larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada "yang
diperintah" atau kepada "yang dilarang" tanpa dalil yang jelas
penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara
itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan
kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil
yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.
Tetapi sayangnya, kategori ini
mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu "yang
dilarang". Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang
tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil:
"… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. " (QS. An-Nuur: 63)
Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat "menyalahi" atau menyelisihi
perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah "melakukan apa
yang tidak diperintahkan".
Bila melakukan "yang tidak diperintahkan" adalah terlarang semata-mata
karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga
mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan pelanggaran yang
sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi,
karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid,
menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya yang
nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw.
Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ (رواه البخاري)
"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami
atasnya maka amalan itu tertolak" (HR. Bukhari).
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi &
Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak
mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi
amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami
atasnya". Kata "amr" memiliki banyak arti, dan ia
diambil dari kata "amara - ya'muru" yang berarti
"memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa
huruf "'alaa" (atas), maka artinya adalah
"menguasai". Jadi, bila kalimat "amara 'alaa" berarti
"menguasai", maka kalimat "amarnaa 'alaihi" berarti
"kami menguasainya", maka kalimat "amrunaa 'alaihi" atau
"'alaihi amrunaa" amat janggal bila diartikan "perintah kami
atasnya". Karena untuk arti "perintah", kata "amara"
lebih tepat diiringi huruf "bi" (dengan), seperti
firman Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya
Allah memerintahkan untuk berbuat adil).
Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang
karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah
segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid'ah, seperti:
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat
berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan,
dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak
didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau
ketertolakannya.
Kata amr pada "amrunaa" di dalam hadis
tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama) kami".
Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa
yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan
ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya pun kata
"amrunaa" diartikan sebagai "perintah kami" dengan
susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama,
yaitu "amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami", bukan
" yang tidak ada perintah kami atasnya ". Makna ini tergambar
di dalam hadis lain yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama)
kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)
"Tidak sesuai perintah" mengandung
pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang
diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada
uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian
pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud
hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi
prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan.
Sedangkan "tidak tidak ada perintah kami atasnya " mengandung
pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang
membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan apa yang tidak diperintahkan
agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala". Yang seharusnya mereka
teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid'ah itu tidak pernah
diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai "amalan
yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga bersifat umum, tidak
menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada
amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang
menyebutkannya secara khusus.
Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori
perkara "yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang) , sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. "Biarkan/tinggalkanlah
aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian" sangat jelas
menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai "rahmat" dari
Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ
تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ
فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ
فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)
"Sesungguhnya Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban
maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan
maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka
jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa
ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa
maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba'in
an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan "Ia telah
mendiamkan beberapa hal" tentunya sangat berhubungan dengan
kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan", "menetapkan
batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya, saat Rasulullah
Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala ”mendiamkan
beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak memasukkan
beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau
entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok
yang Ia haramkan". Paling tidak, itu artinya Allah
tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak
menentukan hukumnya.
Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan
perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan
Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai "rahmat" ??!
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka jangan
kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus
pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari'atan,
karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti
kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika
Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan
semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak
berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan
hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di
masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan
bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang
"rahmat" sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang
sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum "boleh"
atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama
yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut.
Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka
benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam
sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan
kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil
meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam
sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah
yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang
dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap dianggap
"rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini
pulalah terlihat jelas perbedaan antara "perkara baru di dalam ajaran
agama" dan "perkara baru yang berbau agama".
Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka
akibatnya adalah mereka menganggap sama "perkara baru di dalam ajaran
agama" dengan "perkara baru yang berbau agama", dan
untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid'ah sesat dan terlarang.
Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang ada
pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul
bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt.,
mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta
memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana "rahmat" yang ada
pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta
dan pemuliaan terhadap beliau.
Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap "rahmat" yang
Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan
hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu
banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara
tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah
kubur, tentang membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk,
tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut pada shalat
shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak ada
dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau
para shahabatnya".
Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau
tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil
dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut:
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ
اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا
"Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah
Saw. maka janganlah kalian lakukan" (Prof. TM Hasbi
Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria
Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu
Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang
lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah
karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).
Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan
adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan
ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami
pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau
tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah
ushul yang mengatakan:
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ
"Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)"
atau dalam kaidah lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali
bila ada
dalil yang menyuruhnya."
Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah
yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah
tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi &
Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang
punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat,
puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni),
dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do'a,
zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau
istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang
boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan
junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan
ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin.
Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis
tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh,
maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan
zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan kalimat yang
ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah
jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam
hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal
panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan
begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang
belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam
dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman
makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya?
Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di
Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi
& Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab
segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan,
tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah.
Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka
Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri
(dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat
dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin
menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid'ah
yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan.
Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk
acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah, rombongan
ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain
sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat
manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin
bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in.
Hasilnya, syi'ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara keimanannya
dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di mana mereka
dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang
lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka.
3. Dalil sesatnya setiap bid'ah
Menyangkut bid'ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafi &
Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadis
Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)
"Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah
Kitab Allah (al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw.,
dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan),
dan setiap bid'ah itu kesesatan" (HR. Muslim).
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
(رواه النسائي)
"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang
dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang
dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab
Allah (al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan
seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan
setiap yang baru diada-adakan adalah bid'ah, setiap bid'ah itu kesesatan, dan
setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka" (HR. Nasa'i)
Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling
buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid'ah.
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. Sedangkan bid'ah adalah
perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada sebelumnya. Ulama
mendefinisikan bid'ah dengan ungkapan:
كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
"Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya"
Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah
ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang
berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun
pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid'ah secara
bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti: Resleting,
sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian dikhususkan
hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar hadis Rasulullah
Saw.:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami
ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)
Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid'ah
di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal "berbau agama" atau
"berbau ibadah" yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah
Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang
diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan
contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi
sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan
harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama
secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari
apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti
perkara baru, dan itu berarti bid'ah. Analoginya, selama ini dipahami
bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat
namanya. Berarti, saat Dunkin' Donut membuat donat yang tidak bolong
tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid'ah.
Yang demikian karena mereka mendefinisikan bid'ah dengan pengertian:
”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang
ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal" (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun
sebentuk bid'ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw.
atau para Shahabat beliau.
Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap
amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika
menyebutkan "setiap bid'ah adalah kesesatan", Rasulullah Saw.
telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan diada-adakan orang
setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau tidak peduli meski ada
maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang
diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa yang beliau ajarkan
atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa yang diada-adakan
orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya. Benarkah begitu?
Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa
hal yang perlu kita cermati, yaitu:
1. Hadis tentang muhdatsat dan bid'ah
tersebut bersifat umum , artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu
yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap
perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw.
wafat, karena banyak perkara baru "berbau agama" yang tidak mungkin
dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur'an dalam satu mushaf lalu mencetak
dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi
khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain
sebagainya.
Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya,
apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah
beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah
Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman,
sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan
di masa hidupnya lalu menyatakan, "inilah agama. Apa saja dan bagaimana
saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama
dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak". Bagaimana
mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena
seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga
sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di
masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat
menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya:
... لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ
زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ
...(رواه البخاري
)
"Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya
lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …" (HR. Bukhari)
2. Hadis tentang muhdatsat dan bid'ah
tersebutbukanlah hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam
beliau sampaikan, melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah
Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan
diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat
memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud "sesatnya" muhdatsat
dan bid'ah yang sesungguhnya.
Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do'a I'tidal
dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah
yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat
tentang cara membaca al-Qur'an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar
dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan 'Ammar dengan mencampur ayat
pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang
dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya
dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah
membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang lebih
gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah
Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur'an dalam satu mushaf, juga
riwayat tentang pelaksanaan bid'ah shalat tarawih di masa Umar bin
Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya mengisyaratkan adanya
pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama.
Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat
dan bid'ah tersebut, tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw.
ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid'ah yang
sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid'ah sebagai kesesatan
tanpa kecuali.
Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi bid'ah menjadi
dua, bid'ah dhalalah/sayyi'ah (bid'ah yang sesat/buruk) dan bid'ah
hasanah/mahmudah (bid'ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para
ulama yang mengkategorikan bid'ah secara hukum menjadi lima (wajibah,
mandubah, makruhah, mubahah, muharramah).
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid'ah menjadi dua,
yaitu: bid'ah diniyyah/syar'iyyah (bid'ah agama/syari'at) dan bid'ah
duniawiyah (bid'ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid'ah diniyyah menjadi
bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid'ah
I'tiqadiyah (bid'ah aqidah) dan bid'ah 'amaliyah (bid'ah amalan),
ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid'ah mukaffirah (bid'ah
yang menyebabkan kafir) dan bid'ah ghairu mukaffirah (bid'ah yang tidak
menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid'ah
mukaffirah, bid'ah muharramah, bid'ah makruhah tahrim, dan bid'ah
makruhah tanzih (lihat Ensiklopedia Bid'ah, Hammud Abdullah
al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid'ah-bid'ah yang Dianggap Sunnah,
Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4).
3. Perkara baru yang ada setelah
Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau,
termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun. Ini menunjukkan bahwa
Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena
prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan
secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan
prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan
sebatas formatnya saja (kecuali format ibadah mahdhoh). Sebab format
kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup
manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak
mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal
itu baik.
Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun'ah fii tahqiq ma'na
al-Bid'ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi'I berkata:
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به
السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو
لعله لم يبلغ جميعهم علم به
"Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara' maka
bukan termasuk bid'ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap
mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat
itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan
atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal
formatnya-red) " (lihat buku Membongkar
Kebohongan Buku "Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir
Syirik" (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).
4. Definisi bid'ah yang
dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Sebab,
Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi
tentang bid'ah seperti yang mereka buat, yaitu: "”Sesuatu yang
diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi
Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal". Dalam
pengertian lain definisi itu berbunyi, "Perkara baru di dalam agama
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau." Mereka
juga mengklasifikasi bid'ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau
(lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid'ah, tapi mereka sendiri
melakukan bid'ah. Aneh, kan?!
Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak mau menerima
pendapat tentang pengklasifikasian bid'ah (syar'iyyah &
duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena
ingin konsisten berpegang pada hadis "Setiap bid'ah adalah
kesesatan", atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan
karena di satu sisi menolak pembagian bid'ah kepada hasanah &
sayyi'ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar'iyyah &
duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus
yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga
dianggap bid'ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan
mushaf al-Qur'an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa
perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid'ah, melainkan termasuk
dalam mashlahat mursalah (kemaslahatan umum).
Mereka juga berdalih bahwa apa saja yang dapat menjadi sarana untuk
melaksanakan perintah hukumnya juga diperintah, bukanlah bid'ah,
meskipun sarana itu tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw., karena "sarana
dihukumi menurut tujuannya" (lilwasaa'il hukmu al-maqashid),
sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Jadi,
membangun sekolah, menyusun kitab atau karya ilmu pengetahuan, dan lain
sebagainya termasuk diperintahkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan menuntut
ilmu atau mengajarkan ilmu syari'at yang diperintahkan di dalam agama
(lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 29-30).
Kalau begitu, kenapa mereka tidak bisa melihat bahwa acara Peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw. atau kegiatan tahlilan dan istighatsah
yang tidak ada formatnya di zaman Rasulullah Saw. itu sebagai maslahat umum (maslahat
mursalah) sekaligus sarana untuk melaksanakan perintah di dalam agama
seperti: Silaturrahmi, berzikir, membaca al-Qur'an, bershalawat kepada
Rasulullah Saw., mendengarkan nasihat, berdo'a, berbagi rezeki atau sedekah,
dan berkumpul dengan orang-orang alim dan shaleh. Bukankah semua amalan itu
jelas-jelas diperintahkan? Bukankah sarana untuk mewujudkan pelaksanaan
perintah itu juga diperintahkan? Bukankah sarana yang diperintahkan itu boleh
berbeda-beda menurut tempat dan zaman? Bukankah kegiatan keagamaan seperti itu
mengandung maslahat dalam menjaga kualitas keimanan dan ketaatan,
lebih-lebih bagi umat yang hidupnya jauh dari masa Rasulullah Saw.?
5. Bila segala sesuatu mengenai agama
harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw. serta
riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan
diutusnya mujaddid (pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada
setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ
كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم
والبيهقي والطبراني)
"Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa
seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka" (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam 'Aunul-Ma'bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
"Sesungguhnya Allah ta'ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus
tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka."
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk
mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw.
Artinya, memahami al-Qur'an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui
penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga
merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan.
Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul
keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup
beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah
tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
Dari sekian nama ulama pembaharu (mujaddid) dari setiap masa seratus
tahun pertama sampai masa seratus tahun kedelapan (sebagaimana disebut oleh
as-Suyuthi di dalam Tuhfatul-Muhtadiin fii Akhbaaril-Mujaddidiin), dan
sampai masa seratus tahun ke-13 (sebagaimana disebutkan oleh Abu ath-Thoyyib di
dalam 'Aunul-Ma'buud), tidak terdapat nama Ibnu taimiyah atau Muhammad
bin Abdul Wahab (perintis paham Salafi & Wahabi). Bagaimana mungkin mereka
dianggap mujaddid (pembaharu) sedangkan paham mereka banyak yang
bertentangan dengan ijma' mayoritas ulama.
Kemungkinan ada orang belakangan yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai
pembaharu, tetapi pengakuan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab paham yang di bawa
Ibnu Taimiyah adalah paham baru yang tidak pernah dianut oleh para ulama
sebelumnya bahkan para ulama mujaddid sekalipun. Bagaimana
mungkin penobatan Ibnu Taimiyah sebagai mujaddid bisa dibenarkan,
sementara ia hanya mengambil rujukan agama hanya kepada para ulama salaf
(mereka yang hidup antara rentang masa Rasulullah Saw. sampai masa tabi'in
sekitar 300 H.). Berarti, status mujaddidnya Ibnu Taimiyah (yang muncul
di abad ke-8) terputus dan tidak sah, karena seperti ada kekosongan mujaddid
dari sejak abad ke-4 sampai abad ke-7. Bagaimana itu bisa dibenarkan sedangkan
Rasulullah Saw. menyebut bahwa mujaddid itu akan ada di setiap akhir
masa satu abad. Bila Ibnu Taimiyah tidak pernah dianggap mujaddid oleh
para ulama karena tidak pantas, maka Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di
abad ke-12 lebih tidak pantas lagi.
Menolak adanya pembagian bid'ah menjadi dua, yaitu bid'ah
dhalalah/madzmumah dan bid'ah hasanah/mahmudah, maka secara tidak
langsung, berarti menolak penjelasan hadis yang disampaikan oleh mujaddid,
sebab yang menyampaikannya pertama kali adalah Imam Syafi'I yang diakui oleh
para ulama sebagai mujaddid pada akhir masa abad ke-2 (sebelumnya di
abad ke-1 adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz) dan disetujui penjelasannya itu
oleh para ulama setelahnya.