Pemahaman Aswaja
1. Tiga Sendi Utama Ajaran Islam
Islam adalah agama
Allah yang diturunkan untuk seluruh manusia. Di dalamnya terdapat pedoman dan aturan demi
kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Ada tiga hal yang
menjadi sendi utama dalam agama Islam. Yakni Iman, Islam dan Ihsan. Dalam sebuah
hadits
diceritakan:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
رضي الله عنه قَالَ، بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلمذَاتَ يَوْمٍ اِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ
بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَيُرَى عَلَيْهِ اَثَرُ السَّفَرِ
وَلاَيَعْرِفُهُ مِنَّا اَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ اِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ اِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ اَخْبِرْنِى عَنِ اْلإِسْلاَمِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:
اَلإِسْلاَمُ اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ اِنِ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَعَجَبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ ؟
قَالَ:
اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
اْلآخِرَ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ ؟ قَالَ: اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
وَاِنْ لَمْ تَكُنْ
تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ
مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ لِى يَا عُمَرُ اَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ ؟ قُلْتُ اَللهُ
وَرَسُوْلُهُ اَعْلَمُ، قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ اَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ
(رواه
مسلم: 9)
“Dari Umar bin
al-Khaththab RA, berkata: “Pada suatu hari kami
berkumpul bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba
datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan
perjalanan jauh, dan tak seorangpun dari
kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian
duduk di hadapan Nabi SAW sambil
menempelkan kedua lututnya
pada lutut Nabi SAW.
Sedangkan kedua tangannya diletakkan di atas paha Nabi SAW. Laki-laki itu bertanya, “Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang
Islam”. Rasulullah SAW menjawab, “Islam adalah kamu
bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT,
mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan ramadhan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu telah mampu
melaksanakannya”. Laki-laki itu
menjawab, “Kamu benar”. Umar berkata, “Kami heran kepada laki-laki tersebut, ia
bertanya tapi ia sendiri yang
membenarkannya”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku tentang Iman”. Nabi SAW menjawab “Iman adalah engkau beriman
kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para rasul-Nya, hari kiamat dan qadar (ketentuan) Allah yang baik
dan yang buruk”. Laki-laki itu
menjawab, “Kamu benar”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Beritahukanlah aku
tentang Ihsan.” Nabi SAW menjawab, “Ihsan adalah kamu menyembah
Allah SWT seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat. Kemudian
Rasulullah SAW bertanya
kepadaku, “Wahai Umar siapakah
orang yang datang tadi?” Aku
menjawab, “Allah SWT dan Rasul-Nya
lebih mengetahui”. Lalu Nabi SAW
bersabda, “Sesungguhnya laki-laki itu adalah Malaikat Jibril AS. Ia datang
kepadamu untuk mengajarkan agamamu”. (HR. Muslim: 9).
Dari sisi keilmuan
semula ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun dalam
perkembangan selanjutnya para ulama
mengadakan pemisahan, sehingga menjadi bagian ilmu tersendiri. Bagian-bagian itu mereka elaborasi sehingga
menjadi bagian ilmu yang berbeda. Perhatian
terhadap Iman memunculkan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Perhatian khusus pada aspek Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan ilmu fiqh atau ilmu hukum Islam dan penelitian terhadap dimensi Ihsan melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu
akhlaq. (Pemikiran KH. Achmad Siddiq, hal. 1-2).
Namun demikian, meskipun telah menjadi ilmu
tersendiri, dalam tataran pengamalan
kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa
melakukan pembedaan. Tidak terlalu
mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan
Islam, atau sebaliknya. Misalnya
orang yang sedang shalat, dia harus
mengesakan Allah disertai keyakinan bahwa hanya Dia yang wajib disembah (iman), harus memenuhi syarat dan rukun shalat (Islam), dan shalat harus dilakukan dengan khusyu’ dan penuh penghayatan (ihsan). Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. (البقرة: 208)
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang
nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208).
2. Pengertian Aswaja
Dalam istilah masyarakat Indonesia, Aswaja
adalah singkatan dari Ahlussunnah
Wal-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut.
1. Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut.
2. Al-Sunnah, yaitu segala sesuatu
yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maksudnya, semua yang datang
dari Nabi SAW, berupa perbuatan, ucapan dan
pengakuan Nabi SAW. (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245).
3. Al-Jama’ah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur
Rasyidin (Khalifah Abu
Bakr RA, Umar bin al-Khaththab RA, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib
RA). Kata al-Jama’ah ini diambil dari sabda Rasulullah SAW:
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَة
َ(رواه الترمذي
209 والحاكم 1 /
77-78 وصححه ووافقه الحافظ الذهبي).
“Barangsiapa yang ingin mendapatkan
kehidupan yang damai di surga, maka hendaklah ia mengikuti al-jama’ah (kelompok yang menjaga kebersamaan)”. (HR.
al-Tirmidzi (2091), dan al-Hakim
(1/77-78) yang menilainya shahih dan
disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi).
Syaikh Abdul Qadir
al-Jilani (471-561 H/1077-1166 M) menjelaskan:
فَالسُّنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالْجَمَاعَةُ مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي خِلاَفَةِ الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ. (الغنية لطالبي طريق الحق، ج 1 ص 80).
“Al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau).
Sedangkan al-Jama‘ah adalah
segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat,
yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah memberi rahmat
kepada mereka semua)”. (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal. 80).[1]
Lebih jelas lagi, Hadlratusysyaikh
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336 H/1871-1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat
Ta’liqat (hal. 23-24) sebagai berikut:
أَمَّا أَهْلُ السُّنَةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُمْ الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيْ صلى الله عليه وسلم والْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُمْ الطَّائِفَةُ النَّاجِيَةُ قَالُوْا وَقَدْ اجْتَمَعَتْ الْيَوْمَ فِي مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الحَنَفِيُّوْنَ
وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْحَنْبَلِيُّوْنَ .
“Adapun Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah
kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan
berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah
Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah).
Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab
yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali.”
Dari definisi ini,
dapat dipahami bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran baru
yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang
hakiki. Tetapi Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah Islam
yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW dan
sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan oleh
para sahabatnya.
Kaitannya dengan
pengamalan tiga sendi utama ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama salaf. Yakni:
1. Dalam bidang teologi (akidah/tauhid)
tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam
al-Maturidi.
2. Dalam masalah fiqh terwujud
dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi`i,
dan Madzhab al-Hanbali.
3. Karakter Tawassuth,
Tawazun dan I’tidal
Sebagai pembeda dengan
yang lain, ada tiga ciri aswaja, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan
oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Yaitu:
1. Al-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun
ekstrim kanan). Disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ اُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنُ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْداً (البقرة: 143)
“Dan demikianlah kami
jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan
(adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian)
atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT
menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan)
kamu sekalian.” (QS. al-Baqarah: 143).
2. Al-Tawazun, (seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil
‘aqli dan dalil naqli). Firman Allah SWT:
لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِاْلقِسْطِ (الحديد: 25)
“Sungguh kami telah
mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang
nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan
neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan.” (QS. al-Hadid: 25).
3. Al-I’tidal (tegak lurus). Dalam al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ، وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى اَنْ لاَتَعْدِلُوْا، اِعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوْا اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة: 8)
“Wahai orang-orang
yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela
(kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan
janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil.
Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.” (QS. al-Maidah: 8).
Selain ketiga prinsip
ini, golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga mengamalkan
sikap tasamuh (toleransi). Yakni menghargai perbedaan
serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun
bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam
meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طه :44)
“Maka
berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun
AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia
ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44).
Ayat ini
berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar
berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774
H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah
Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun, adalah menggunakan perkataan
yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal
itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih
berfaedah”. (Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim, juz III, hal. 206).
Dalam tataran praktis,
sebagaimana dijelaskan KH. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal
sebagai berikut:
1.
Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli
dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan
vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2.
Syari'ah
a. Berpegang teguh pada
al-Qur'an dan Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung-jawabkan secara
ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang
yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qoth'i).
c. Dapat menerima
perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki
dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3.
Tashawwuf/Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha
memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap
berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c.
Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara
penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir
dan boros).
4.
Pergaulan Antar golongan
a. Mengakui watak manusia
yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan
toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar
saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada
pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5.
Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen
bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah
dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan
pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi
penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya
dengan cara yang baik.
6.
Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan
yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik
dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhah
‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
7.
Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk
menghukum atau memberikan vonis
bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran
yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik
dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan
sasaran dakwah. (Lihat Khitthah Nahdliyyah, hal. 40-44,)
4. Perumus Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam
Bidang Akidah
Sebagaimana penjelasan yang telah lalu,
bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah
merupakan Islam murni yang langsung dari Rasulullah T kemudian diteruskan
oleh para sahabatnya. Oleh karena
itu, tidak ada seorang pun yang
menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Yang ada hanyalah ulama yang telah merumuskan kembali
ajaran Islam tersebut setelah lahirnya beberapa faham dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan ajaran
Rasulullah T dan para sahabatnya yang
murni itu.
Dalam hal ini, ulama
yang merumuskan gerakan kembali kepada ajaran Ahlussunnah
Wal-Jama’ah adalah Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Mengutip dari Imam Thasy Kubri Zadah (901-968
H/1491-1560 M), Dr. Fathullah Khulayf dalam pengantar Kitab al-Tauhid karangan
Imam al-Maturidi mengatakan, “Bahwa pelopor gerakan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, khususnya dalam ilmu
kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab al-Hanafi, sedang yang lain dari golongan Madzhab
al-Syafi’i. Seorang yang bermadzhab al-Hanafi itu adalah Abu Manshur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan
yang dari golongan Madzhab al-Syafi’i
adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin
masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi T dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu
al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri.” (Kitab al-Tauhid, hal. 7).
Nama lengkap Imam
al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada
tahun 260 H/874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu
keturunan sahabat Nabi T yang bernama Abu Musa al-Asy’ari.
Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan salah
seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w. 304 H/916 M).
Awalnya Imam al-Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah.
Namun setelah beliau mendalami ajaran Mu’tazilah,
terungkaplah bahwa ada banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran
tersebut. Karena itu beliau meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan kembali kepada
ajaran Islam yang murni, sesuai dengan tuntunan Rasul T dan teladan para
sahabatnya.
Pengikut beliau berasal dari berbagai kalangan. Para muhadditsin (ahli hadits),
fuqaha’ (ahli fiqh) serta para ulama dari berbagai
disiplin ilmu ikut mendukung serta menjadi pengikut Imam al-Asy’ari.
Di antara para ulama yang mengikuti ajaran beliau dalam bidang akidah adalah
al-Hafizh al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M) pengarang al-Sunan
al-Kubra dan lain-lain, al-Hafizh Abu Nu’aim (336-430 H/948-1038 M)
pengarang Hilyah al-Auliya’, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M) pengarang Tarikh
Baghdad, al-Hafizh al-Khaththabi
(319-388 H/932-998 M) pengarang Ma’alim
al-Sunan, al-Hafizh Ibnu al-Sam’ani (506-562 H/1112-1167 M), al-Hafizh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (499-571 H/1102-1176 M) pengarang Tarikh
Dimasyq dan Tabyin Kidzb al-Muftari, Imam al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M) pengarang
Riyadh al- Shalihin, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (793-852 H/1391-1448 M) penulis kitab Fath al-Bari
Syarh Shahih al-Bukhari serta kitab Bulugh al-Maram, Imam
al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) pengarang Tafsir al-Qurthubi, Imam Ibn Hajar al-Haitami (909-974 H/1504-1566 M)
pengarang kitab al-Zawajir, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari (826-925 H/1423-1520 M) pengarang
kitab Fath al-Wahhab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya.
Sedangkan dari kalangan ahli tashawwuf terkenal yang menjadi pengikut
akidah al-Asy’ari adalah Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi
(376-465 H/987-1075 M) pengarang al-Risalah al-Qusyairiyyah, dan Hujjatul Islam Abi Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M). (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tabyin
Kidzb al-Muftari, hal. 291).
Bahkan para habib yang merupakan keturunan
Rasulullah T sejak dahulu sampai sekarang
juga mengikuti akidah Imam
al-Asy’ari. Sebagaimana diakui oleh seorang sufi kenamaan yang bergelar lisan
al-‘alawiyyin, yakni penyambung lidah habaib,
al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad
(1044-1132 H/1635-1720 M). (Uqud al-Almas, hal. 89)
Imam al-Asy’ari tidak hanya meninggalkan
ajaran melalui murid-murid beliau yang sampai kepada kita. Tetapi beliau juga meninggalkan sekian banyak
karangan. Di antara karangan beliau
yang sampai kepada kita adalah kitab al-Luma’
fi al-Raddi ‘ala Ahl al-Zayghi wa al-Bida’, Risalah Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm
al-Kalam dan lain-lain.
Tokoh Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama beliau adalah Abu
Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud
al-Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid, dan wafat di Samarkand pada tahun
333 H/944 M.
Beliau adalah seorang yang menganut madzhab Imam Abu Hanifah. Maka
wajar, jika kebanyakan ajaran yang beliau usung masih merupakan bagian dari
madzhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar menyimpulkan
bahwa yang menjadi landasan pijakan Imam al-Maturidi adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Muhammad
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, juz I, hal. 173).
Murid-murid beliau yang terkenal ada empat orang, yakni Abu al-Qasim
Ishaq bin Muhammad bin Ismail (w. 340 H/951 M) yang terkenal sebagai Hakim
Samarkand. Lalu Imam Abu al-Hasan Ali bin Sa’id al-Rastaghfani. Kemudian Imam Abu
Muhammad Abdul Karim bin Musa al-Bazdawi (w. 390 H//1004 M). Dan yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits
al-Bukhari (w. 373 H/983 M). Di antara tulisan Imam
al-Maturidi yang sampai kepada kita adalah kitab al-Tauhid yang di-tahqiq
(diedit) oleh Dr Fathullah Khulayf dan kitab Ta’wilat Ahlussunnah. [3]
Usaha serta
perjuangan dua imam ini dan para muridnya telah berhasil mengokohkan keimanan
kita dan membuktikannya secara rasional
tentang adanya Tuhan, kenabian, mukjizat, hari akhir, kehujjahan al-Qur’an dan as-Sunnah, dan lain-lain dari golongan
yang mengingkarinya. Sehingga ulama
lain seperti para fuqaha (ahli fiqh) dan muhadditsin tidak perlu
bersusah payah melakukan hal yang sama. (
Imam al-Ghazali al-Mustashfa, hal. 10-12)
5. Wali Songo Penyebar Aswaja di Indonesia
Sebuah realitas yang
tidak terbantahkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia sejak dulu hingga
sekarang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dengan mengikuti madzhab al-Syafi’i dalam
bidang fiqh. Sudah barang tentu mereka mendapatkan faham
tersebut dari ulama dan para dai yang mengajak dan mengajarkan tentang agama
Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika orang yang menyebarkan agama
Islam tidak menganut faham Aswaja sementara yang diajak adalah penganut setia
faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Di sisi lain, semua
sepakat bahwa dai yang menyebarkan agama Islam ke Nusantara
khususnya di pulau Jawa adalah Wali Songo. Karena itu dapat dikatakan bahwa Wali Songo adalah penganut
ASWAJA, kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk
ke Indonesia dan merubah faham keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu.
Mengenai para sunan
itu, Prof. KH. Abdullah bin Nuh mengatakan bahwa kata sunan adalah
sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh dai Islam di
Jawa. Nasab mereka bersambung sampai kepada Imam Ahmad al-Muhajir.[4]
Dan berdasarkan apa yang diajarkan oleh mereka, dapat dipahami bahwa mereka semua adalah ulama
pengikut madzhab al-Syafi’i dan sunni dalam dasar dan akidah
keagamaannya. Mereka kemudian lebih terkenal dengan sebutan “Wali Songo.” (Al-Imam al-Muhajir, hal.
174).
Ada beberapa bukti
bahwa Wali Songo termasuk golongan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah. Selanjutnya, Prof. KH. Abdullah bin Nuh menjelaskan:
“Jika kita mempelajari perimbon, yakni
kumpulan ilmu dan rahasia kehidupan yang di dalamnya terdapat materi ajaran Ibrahim (Sunan
Bonang), maka di sana kita akan mendapatkan banyak
nama dan kitab yang menjadi referensi utama para dai
sembilan, berupa pendapat dan keyakinan, sebagaimana juga
memuat masalah akidah dan fiqh dengan susunan yang bagus
sesuai dengan akidah Ahlussunnah Wa-Jama’ah dan madzhab Imam al-Syafi’i Z … Dari sini,
menjadi jelas bahwa para dai yang sangat terkenal dalam sejarah masyarakat Jawa
dengan gelar Wali Songo itu termasuk tokoh utama dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah
Wal-Jama’ah.” (Al-Imam al-Muhajir, hal. 182).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Prof.
KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986 M). Ia
menjelaskan beberapa tokoh yang menyebarkan madzhab al-Syafi’i di
Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Yakni Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Giri dan lainnya. Bahkan Sunan Giri merupakan lambang pemersatu bangsa
Indonesia yang dirintis sejak abad 15 Masehi. Jika Gajah Mada dipandang sebagai
pemersatu Nusantara melalui kekuatan politik dan militernya, maka Sunan Giri menjadi pemersatu melalui ilmu dan
pengembangan pendidikannya. (Sejarah
Kebangkitan Islam, hal. 286-287).
Bukti lain yang
menegaskan bahwa Wali Songo penganut faham Aswaja adalah
ritual keagamaan yang dilaksanakan secara turun temurun, tanpa ada perubahan,
di masjid-masjid besar yang didirikan oleh Wali Songo, semisal Masjid Sunan Ampel Surabaya,
Masjid Demak dan sebagainya. Semua
merupakan cerminan dari ritual ibadah yang dilaksanakan
oleh golongan Aswaja. Misalnya adzan Jum’at dikumandangkan dua kali. Pada
bulan Ramadhan dilaksanakan shalat
tarawih secara berjamaah dua puluh rakaat sebulan penuh, kemudian antara setiap dua rakaat diselingi
pembacaan taradhdhi kepada khalifah yang empat. Selanjutnya sebelum shubuh dibacakan tarhim sebagai persiapan
melaksanakan shalat subuh. Tarhim adalah bacaan yang di dalamnya berisi doa-doa kepada semua umat Islam termasuk
juga taradhdhi kepada khalifah yang empat.
Sudah tentu hanya
orang-orang yang memiliki faham Aswaja yang
melaksanakan hal tersebut. Sehingga semakin menegaskan bahwa Wali
Songo adalah penganut faham Aswaja.
6. Hadits tentang
Perpecahan Umat Islam (Hadits al-Iftiraq)
Yang dimaksud hadits
al-iftiraq adalah sabda Nabi SAW yang menjelaskan tentang perpecahan
umatnya menjadi tujuh puluh tiga golongan. Yakni sabda Nabi SAW:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ T إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِيْ
عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. (رواه الترمذي: 2565)
“Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah
SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah menjadi
tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat
bertanya, “Siapakah satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW
menjawab: “Dia adalah golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.”
(HR. al-Tirmidzi [2565])
Mayoritas ulama
menyatakan bahwa hadits ini dapat dijadikan pegangan, karena diriwayatkan
oleh banyak sahabat Nabi SAW. Seorang ahli
hadits, Syaikh Muhammad bin Ja’far al-Hasani al-Kattani menegaskan bahwa sabda nabi yang menjelaskan tentang umatnya yang
akan menjadi tujuh puluh tiga
golongan, satu di surga dan tujuh puluh dua
masuk neraka, diriwayatkan melalui jalur Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib RA,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Umar, Abi
al-Darda’, Mu’awiyah, Ibn Abbas,
Jabir, Abi Umamah, Watsilah, Awf bin Malik dan Amr bin Awf al-Muzani –radhiyallahu
‘anhum. Mereka semua meriwayatkan bahwa satu golongan yang akan
masuk surga, yakni al-Jama’ah (yang
menjaga kebersamaan dan persatuan). (Al-Kattani, Nazhm al-Mutanatsir min
al-Hadits al-Mutawatir, hal. 58).
Lebih lanjut, al-Hafizh al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir, mengutip dari
pendapat beberapa ulama, menyatakan bahwa menurut
al-Hafizh Zainuddin al-‘Iraqi (725-806 H/1325-1403 M), sanad-sanad hadits ini
sangat bagus. Imam al-Hakim juga meriwayatkannya dari berbagai sumber, kemudian berkomentar,
bahwa sanad-sanad yang ada dalam hadits ini dapat
dijadikan sebagai hujjah (pegangan dalil). Bahkan al-Hafizh
Jalaluddin al-Suyuthi menyatakan bahwa hadits ini termasuk
hadits mutawatir”. (Al-Hafizh al-Manawi, Faidh al-Qadir, Juz
II, hal. 21).
Dengan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits
al-iftiraq dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah. Dan dari
hadits inilah istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah (aswaja) dimunculkan
[1] Dengan demikian, mereka yang
mengamalkan ajaran Nabi J dan sahabat d itulah yang
disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Sedangkan yang menolak terhadap ajaran
sahabat, tentu tidak bisa dikatakan pengikut Aswaja.
[2] Salah satu alasan dipilihnya ulama-ulama tersebut oleh Salafuna al-Shalih, sebagai panutan adalah karena mereka telah
terbukti mampu membawa
ajaran yang sesuai dengan intisari agama Islam yang telah digariskan
oleh Rasulullah J dan para
sahabatnya.
[3] Intisari rumusan kedua imam
tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang
diajarkan di pesantren seperti ‘Aqidah al-‘Awam, Kifayah
al-‘Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah, Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang
belajar di pesantren.
[4] Nasab Maulana Malik Ibrahim, selaku
sesepuh Wali Songo adalah sebagai berikut: Malik Ibrahim bin Barakat Zain
al-Alam, bin Jamaluddin al-Husain, bin Ahmad Syah Jalal bin Abdillah bin Abdul
Malik bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi (di
sinilah asal nasab para ‘alawiyyin) bin Abdillah (Ubaidillah) bin Ahmad
al-Muhajir bin Isa (al-Naqib) bin Muhammad bin Ali al-’Uraydhi, bin Imam Ja’far
al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-’Abidin bin al-Husain al-Sibth bin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah
al-Zahra’ putri Rasulullah T.