NAHI (LARANGAN)
(وَالنَّهْيُ إِسْتِدْعَاءٌ أَىْ طَلَبُ التَّرْكِ بِالْقَوْلِ
مِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ عَلَى سَبِيْلِ الْوُجُوْبِ) عَلَى وِزَانِ مَا تَقَدَّمَ
فِى حَدِّ الْأَمْرِ
|
|
Nahi adalah tuntutan ditinggalkannya sebuah
perbuatan dengan ucapan dari orang sebawahnya secara wajib. Sebanding dengan
definisi amr yang telah lewat.
|
Penjelasan :
Nahi adalah tuntutan yang harus dilakukan dan
berbentuk ucapan agar sebuah perbuatan ditinggalkan yang datang dari orang yang
lebih tinggi kepada orang sebawahnya.
Perbedaan ulama mengenai persyaratan عُلُوٌّ (lebih tingginya derajat
penuntut) dan اِسْتِعْلاَءٌ (bernada tinggi) dalam nahi sama dengan bab amr. Namun yang
membedakan dengan amr, nahi mutlak menetapkan اَلفَوْرُ (disegerakan) dan الدَّوَامُ (dijauhi selamanya)[1][29].
Pertanyaan :
Mengapa nahi ketika dimutlakkan menetapkan الدَّوَامُ (dijauhi selamanya)?
Jawab :
Karena dalam nahi mutlak terdapat kemutlakkan
larangan yang memuat larangan melakukan satu persatu dari perbuatan yang
dilarang. Atau karena mematuhi larangan tidak mungkin diwujudkan tanpa menjauhi
selamanya.
Referensi :
وَإِنَّمَا اقْتَضَى الدَّوَامَ عِنْدَ الإِطْلاَقِ لِإِطْلاَقِ المَنْعِ
فِيْهِ الشَّامِلِ لِلْمَنْعِ عَنْ كُلِّ فَرْدٍ أَوْ لِتَوَقُّفِ الاِمْتِثاَلِ
عَلَيْهِ فَيَكُوْنُ المَنْعُ وَالاِمْتِثَالُ بِحَسَبِ زَمَانِ النَّهْيِ فَإِنْ
كَانَ مُطْلَقاً اقْتَضَى المَنْعَ عَلىَ الدَّوَامِ وَالاِمْتِثَالِ كَذَلِكَ
كَقَوْلِهِ تَعَالىَ "وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا" أَوْ مَخْصُوْصًا
اِقْتَضَى ذَلِكَ عَلىَ وَجْهِ الخُصُوْصِ لاَ عَلىَ وَجْهِ الدَّوَامِ كَقَوْلِهِ
تَعَالىَ "لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ" فَإِنَّهُ
مُقَيَّدٌ بِحَالَةِ الإِحْرَامِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ65)
“Sesungguhnya nahi menetapkan dawam (dijauhi selamanya), karena dalam
nahi mutlak terdapat kemutlakkan larangan yang memuat larangan melakukan satu
persatu dari perbuatan yang dilarang. Atau karena mematuhi larangan tidak
mungkin diwujudkan tanpa menjauhi selamanya. Sehingga larangan dan mematuhinya
tergantung dengan masa berlakunya nahi. Apabila nahi berbentuk mutlak (tidak
dibatasi waktu), maka akan menetapkan larangan yang bersifat dawam (dijauhi
selamanya) dan harus dipatuhi terus menerus. Seperti firman Allah swt QS.
Al-Isra’:32: “Dan janganlah kamu mendekati zina”. Dan apabila nahi berbentuk
khusus, maka akan menetapkan larangan dan kepatuhan yang juga bersifat khusus,
tidak bersifat selamanya. Seperti firman Allah QS. Al-Maidah:95: “Janganlah
kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram”. Di sini haramnya
membunuh hewan buruan, dibatasi dalam keadaan ihram”. (An-Nafahat hal 65)
(وَيَدُلُّ
النَّهْيُ) الْمُطْلَقُ شَرْعًا (عَلَى فَسَادِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ) فِى
الْعِبَادَاتِ سَوَاءٌ أَنُهِيَ عَنْهَا لِعَيْنِهَا كَصَلاَةِ الْحَائِضِ
وَصَوْمِهَا أَوْ لِأَمْرٍ لاَزِمٍ لَهَا كَصَوْمِ يَوْمِ النَّحْرِ
وَالصَّلاَةِ فِى الْأَوْقَاتِ الْمَكْرُوْهَةِ. وَفِى الْمُعَامَلاَتِ اِنْ
رَجَعَ اِلَى نَفْسِ الْعَقْدِ كَمَا فِى بَيْعِ الْحَصَاةِ أَوْ لِأَمْرٍ
دَاخِلٍ فِيْهَا كَمَا فِى بَيْعِ الْمَلاَقِيْحِ أَوْ لِأَمْرٍ خَارِجٍ عَنْهُ
لاَزِمٍ لَهُ كَمَا فِى بَيْعِ دِرْهَمٍ بِدِرْهَمَيْنِ فَاِنْ كاَنَ غَيْرَ
لاَزِمٍ لَهُ كَالْوُضُوْءِ بِالْمَاءِ الْمَغْصُوْبِ مَثَلاً وَكَالْبَيْعِ
وَقْتَ نِدَاءِ الْجُمْعَةِ لَمْ يَدُلَّ عَلَى الْفَسَادِ خِلاَفًا لِمَا
يُفْهِمُهُ كَلاَمُ الْمُصَنِّفِ
|
|
Nahi mutlak secara syara’ menunjukkan fasad
(rusaknya) perbuatan yang dilarang dalam persoalan ibadah. Baik dilarang
karena faktor ‘ain-nya (internal ibadah), seperti larangan shalat dan
puasa bagi wanita yang sedang mengalami haid, atau karena faktor yang menetap
dari ibadah tersebut, seperti larangan puasa hari nahar (10
dzulhijjah) dan larangan shalat di waktu-waktu makruh.
Juga dalam persoalan muamalah manakala larangan
tersebut diarahkan pada bentuk akad itu sendiri, seperti jual beli hashat
(kerikil), atau muamalah tersebut dilarang karena faktor internal dari sebuah
muamalah, seperti jual beli janin dalam perut induknya. Atau dilarang karena
faktor eksternal yang tidak terpisah dari sebuah muamalah, seperti menjual
satu dirham, dibeli dengan dua dirham. Namun apabila mungkin terpisah, seperti
berwudlu menggunakan air hasil ghashab dan jual beli yang dilakukan tepat
saat adzan Jum’at, maka larangan ini tidak menunjukkan rusaknya perbuatan
yang dilarang. Berbeda dengan kesimpulan yang dipahami dari pernyataan
pengarang.
|
Penjelasan :
Nahi mutlak menunjukkan fasad (rusaknya)
perbuatan yang dilarang. Kaidah ini berlaku dalam beberapa bidang fiqh.
1. Bidang Ibadah, apabila sasaran nahi diarahkan
pada aspek sebagai berikut;
a. عَيْنُ الْعِباَدَةِ yakni dzatiah
(bentuk) atau faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ). Contoh dzatiah
adalah larangan shalat dan puasa bagi wanita yang sedang mengalami haid. Dengan
dalil HR. Bukhari:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah jika sedang
mengalami haid maka ia
tidak dapat melaksanakan
salat dan puasa?”
Dalil ini menunjukkan shalat dan puasa dilarang dari segi dzatiah
(bentuknya) sebagai shalat dan puasa.
Contoh faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ) adalah larangan-larangan
merusak salah satu rukun dari beberapa rukunnya shalat.
b. أَمْرٍ خَارِجٍ لاَزِمٍ (faktor eksternal yang tidak terpisah). Contoh larangan puasa di
hari raya Idul Adha dalam HR. Bukhari:
يُنْهَى عَنْ صِيَامَيْنِ وَبَيْعَتَيْنِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ
وَالْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
“Dilarang melakukan dua macam
puasa dan dua macam jual beli. Yaitu, puasa pada hari raya Fitri dan hari raya
kurban, jual beli mulamasah dan munabadzah[2][30]”
Larangan di sini bukan dari segi bentuk puasanya, namun dari sisi
penolakan atas suguhan Allah swt berupa daging kurban. Hal ini bukan dzatiah
ataupun juz dari puasa, namun berbentuk faktor di luar puasa (eksternal) yang
tidak terpisahkan (lazim). Penolakan ini terwujud dengan cara melakukan hal
yang bertentangan, yakni puasa. Karena maksud dari menerima suguhan adalah bersedia
memakan daging kurban pada hari itu, meskipun tidak benar-benar memakannya,
selama tidak melakukan hal yang bertentangan, seperti puasa.
Contoh kedua, melakukan shalat sunnah mutlak[3][31] di waktu-waktu makruh[4][32]. Hukumnya adalah makruh tahrim menurut pendapat shahih.
2. Bidang Muamalah, apabila sasaran nahi diarahkan
pada aspek sebagai berikut;
a. نَفْسُ العَقْدِ (bentuk akad). Contoh jual beli hashat (kerikil)[5][33]. Namun hal ini ditanggapi, bahwa semua bentuk jual beli hashat pada dasarnya dilarang karena
tidak adanya shighat dalam transaksi. Dan shighat termasuk rukun akad yang
tergolong faktor internal (أَمْرٌ دَاخِلٌ), bukan نَفْسُ العَقْدِ.
b. أَمْرٍ دَاخِلٍ (faktor internal). Contoh jual beli janin dalam perut induknya.
Karena janin tersebut tidak memenuhi sifat berupa terlihat dan mampu
diserahterimakan saat akad. Sehingga nahi terarah pada barang yang
diperjualbelikan yang termasuk rukun akad dan merupakan faktor internal (di
dalam akad).
c. أَمْرٍ خَارِجٍ لاَزِمٍ (faktor eksternal yang tidak terpisah). Contoh menjual satu dirham, dibeli dengan dua
dirham. Dilarang karena faktor tambahan dalam salah satu alat tukarnya. Faktor
ini termasuk di luar struktur akad, karena barang yang ditransaksikan dilihat
dari bentuknya berupa dirham sebenarnya sah diperjualbelikan. Tambah atau
kurang termasuk sifat yang menetap (tidak terpisah) dari barang tersebut.
Sehingga sasaran nahi adalah sifat yang
menetap, bukan bentuk akadnya.
Namun apabila sasaran nahi diarahkan pada أَمْرٍ خَارِجٍ غَيْرِ لاَزِمٍ (faktor eksternal yang terpisah), maka tidak menunjukkan fasad
(rusaknya) perbuatan yang dilarang. Contoh;
1. Bidang Ibadah. Contoh, berwudlu menggunakan air
hasil ghashab, shalat di atas tanah ghashab. Sasaran larangan di sini bukan
dzatiah wudhu dan shalatnya, namun pada faktor eksternal yang membarengi
keduanya, berupa ghashab yang diharamkan. Sehingga shalatnya sah, namun
ghashabnya tetap haram.
2. Bidang Muamalah. Contoh, jual beli yang dilakukan
tepat saat adzan Jum’at. Nahi dalam hal ini mengarah pada faktor eksternal
berupa khawatir kehilangan shalat jum’at, tidak mengarah pada dzatiah jual
belinya. Karena yang diharamkan bukan hanya jual beli, namun segala tindakan
yang mengakibatkan hilangnya shalat jum’at. Hilangnya shalat merupakan unsur
yang berbarengan dengan jual beli. Dan hal ini tidak menetap (mungkin
terpisah), karena terkadang bisa terjadi akibat jual beli, bisa juga akibat
selain jual beli.
Pertanyaan :
Apa yang dimaksud dengan fasad (rusaknya)
perbuatan yang dilarang?
Jawab :
Maksudnya, apabila perbuatan tersebut dilakukan,
maka dianggap tidak memenuhi kriteria syara’.
Referensi :
(قَوْلُهُ عَلىَ فَسَادِ) وَالمُرَادُ بِهِ عَدَمُ
الاِعْتِدَادِ بِهِ إِذاَ وَقَعَ لِأَنَّ الفَاسِدَ هُوَ مُخَالَفَةُ الفِعْلِ
ذِيْ الوَجْهَيْنِ الشَّرْعَ وَهَذَا المَنْهِي مُخَالِفٌ لِلشَّرْعِ فَهُوَ
غَيْرُ مُعْتَدٍ بِهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ66)
“(Ucapan pengarang : menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang) yang
dikehendaki dengan rusak adalah perbuatan tersebut dilakukan, maka dianggap
tidak memenuhi kriteria syara’. Karena pengertian fasid adalah menyalahi syara’
dari perbuatan yang memiliki dua aspek (mungkin sesuai syara’ dan mungkin tidak
sesuai). Hal yang dilarang ini menyalahi syara’ sehingga tidak dianggap
memenuhi kriteria syara’”. (An-Nafahat hal 66)
Pertanyaan :
Apa yang dimaksud dengan amr lazim dalam kaidah
di atas?
Jawab :
Amr lazim yang dimaksud adalah faktor yang tidak
terpisah dan berada di luar sebuah ibadah. Karena pengertian luzum (tidak
terpisah) adalah tidak mungkin terlepasnya satu perkara dari perkara yang lain,
atau tidak ditemukannya sesuatu tersebut bersama dengan perkara lain.
Lazim ada dua macam, مُسَاوِ (menyamai) dan أَعَمُّ (lebih umum). Lazim مُسَاوِ adalah keadaan dimana wujudnya salah satu dari
dua hal yang saling terkait menetapkan wujudnya perkara yang lain. Seperti
kemampuan berfikir yang menjadi kelaziman manusia. Sedangkan lazim أَعَمُّ adalah keadaan dimana wujudnya مَلْزُوْمٌ (perkara yang ditetapi) tidak menetapkan wujudnya لاَزِمٌ (yang menetapi). Seperti
kehewanan yang menjadi kelaziman dari manusia. Dalam hal ini wujudnya hewan
tidak selalu menetapkan wujudnya manusia, karena kehewanan bisa dijumpai pada
kuda, meskipun tanpa adanya manusia. Lazim model yang pertama adalah yang
dikehendaki pengarang dalam pembahasan ini.
Referensi :
(قَوْلُهُ لِأَمْرٍ لَازِمٍ لَهَا) أَيْ لاَزِمٍ خاَرِجٍ
عَنِ العِبَادَاتِ.......وَالمُرَادُ بِاللُّزُوْمِ هُنَا كَمَا يُعْلَمُ مِنْ
أَمْثِلَتِهِ عَدَمُ انْفِكاَكِ شَيْءٍ عَنْ شَيْءٍ آخَرَ أَيْ عَدَمُ وُجُوْدِهِ
مَعَ غَيْرِهِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ66)
“(Ucapan pensyarah : karena amr lazim dari ibadah tersebut) artinya amr
lazim di luar ibadah…….yang dimaksud dengan kelaziman di sini, seperti yang
difahami dari contoh-contohnya adalah tidak mungkin terlepasnya satu perkara
dari perkara yang lain, atau tidak ditemukannya sesuatu tersebut bersama dengan
perkara lain. (An-Nafahat hal 66)
لِأَنَّ اللاَّزِمَ يَنْقَسِمُ إِلىَ قِسْمَيْنِ مُسَاوٍ وَأَعَمَّ
فَالأَوَّلُ مَا لَزِمَ مِنْ وُجُوْدِ أَحَدِ المُتَلاَزِمَيْنِ وُجُوْدُ الآخَرِ
كاَلنُّطْقِ اَللاَّزِمِ لِلإِنْسَانِ وَالثاَّنيِ ماَ لاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ
المَلْزُوْمِ وُجُوْدُ اللاَّزِمِ كَلُزُوْمِ الحَيَوَانِيَّةِ لِلإِنْسَانِ
فَإِنَّهُ لاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِ الحَيَوَانِ وُجُوْدُ الإِنْسَانِ إِذْ قَدْ
تُوْجَدُ الحَيَوَانِيَّةُ فيِ الفَرَسِ بِدُوْنِ الإِنْسَانِ.......وَالمُرَادُ
هُنَا الأَوَّلُ وَإِنْ كاَنَ كُلٌّ مِنْهُماَ لاَزِماً (اَلنَّفَحَاتُ صـ66)
“Karena lazim terbagi dua, musawi (menyamai) dan a’am (lebih umum). Yang
pertama, lazim musawi adalah keadaan dimana wujudnya salah satu dari dua hal
yang saling terkait menetapkan wujudnya perkara yang lain. Seperti kemampuan
berfikir yang menjadi kelaziman manusia. Sedangkan yang kedua, lazim a’am
adalah keadaan dimana wujudnya malzum (perkara yang ditetap)i tidak menetapkan
wujudnya lazim (yang menetapi). Seperti kehewanan yang menjadi kelaziman dari
manusia. Dalam hal ini wujudnya hewan tidak selalu menetapkan wujudnya manusia,
karena kehewanan bisa dijumpai pada kuda, meskipun tanpa adanya
manusia…….sedangkan yang dikehendaki pengarang dalam pembahasan ini adalah
lazim model pertama, meskipun keduanya sama-sama lazim”. (An-Nafahat hal 66)
Pertanyaan :
Alasan apa yang membedakan hukum shalat di waktu
makruh dan shalat di tempat makruh?
Jawab :
Perbedaannya adalah waktu makruh merupakan
perkara yang tidak terlepas, dimana ketika shalat mulai dilaksanakan pada waktu
tersebut, maka waktu tidak mungkin dilepaskan dan diganti dengan sifat lain.
Sedangkan dalam tempat makruh memungkinkan dilepaskan dengan cara merubahnya
menjadi sifat lain, seperti merubah pemandian hangat menjadi masjid dan lain
sebagainya.
Referensi :
وَالفَرْقُ بَيْنَ الزَّمَانِ وَالمَكاَنِ حَيْثُ كاَنَ النَّهْيُ لِأَمْرٍ
لاَزِمٍ فيِ الأَوَّلِ دُوْنَ الثاَّنيِ أَنَّ الفِعْلَ حاَلَ إِيْجَادٍ فيِ
الزَّماَنِ المَخْصُوْصِ لاَ يُمْكِنُ اِنْفِكَاكُهُ عَنْهُ بِخِلاَفِ الفِعْلِ
حَالَ إِيْجَادِهِ فيِ المَكَانِ المَخْصُوْصِ فَإِنَّهُ يُمْكِنُ اِنْفِكَاكُهُ
عَنْهُ بِتَغْيِيْرِ ذَلِكَ المَكَانِ بِصِفَةٍ أُخْرَى كَجَعْلِهِ مَسْجِدًا فيِ
مَسْئَلَةِ الحَمَامِ وَشِرَاءِ المَغْصُوْبِ (اَلنَّفَحَاتُ صـ67)
“Perbedaan antara waktu dan tempat (sekira hal
pertama sasaran nahi pada amr lazim, tidak pada hal kedua) adalah bahwa
perbuatan saat diwujudkan pada waktu tertentu, maka waktu tidak mungkin dilepaskan.
Berbeda dengan perbuatan saat diwujudkan di tempat tertentu, maka mungkin
dilepaskan dengan cara merubahnya menjadi sifat lain, seperti merubah pemandian
hangat menjadi masjid dan membeli bumi yang dighashab”. (An-Nafahat hal 67)
(وَتَرِدُ) أَىْ تُوْجَدُ (صِيْغَةُ الْأَمْرِ وَاْلمُرَادُ
بِهِ) أَى بِالْأَمْرِ (الْإِبَاحَةُ) كَمَا تَقَدَّمَ (أَوِالتَّهْدِيْدُ)
نَحْوُ إِعْمَلُوْا مَاشِئْتُمْ (أَوِالتَّسْوِيَةُ) نَحْوُ اِصْبِرُوْا أَوْ
لاَ تَصْبِرُوْا
(اَوِالتَّكْوِيْنُ) نَحْوُ كُوْنُوْا قِرَدَةً
|
|
Shighat amr (pada keadaan tertentu) ditemukan,
sedangkan maksud yang dikehendaki adalah mubah, seperti contoh yang
disebutkan di awal bab amr. Ada pula maksud yang dikehendaki menakut-nakuti,
seperti contoh; “lakukanlah apapun yang kalian kehendaki.!”, atau
menyamakan dua keadaan, seperti contoh; “kalian bersabar atau tidak
bersabar”, dan atau menjadikan, seperti contoh; “Jadilah kamu
kera yang hina..!”.
|
Penjelasan :
Shighat amr diberlakukan memiliki beragam makna.
Imam Ibn As-Subki menyebutkan ada 26 makna;
No
|
Makna
|
Contoh
|
1.
|
الْإِيجَابُ
(wajib)
|
أَقِيمُوا الصَّلَاةَ
“Dirikanlah shalat”
|
2.
|
النَّدْبُ
(sunnah)
|
فَكَاتِبُوهُمْ إنْ
عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“Dan buatlah kontrak kitabah pada hamba-hamba itu,
jika kalian meyakini mereka mampu dan dapat dipercaya”
|
3.
|
التَّأْدِيبُ
(mendidik adab)
|
وَلَا تَنْسَوْا
الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”.
|
4.
|
الْإِرْشَاد
(memberi petunjuk)
|
وَأَشْهِدُوا إذَا
تَبَايَعْتُمْ
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
|
5.
|
الإِذْنُ
(mengijinkan)
|
أُدْخُلْ
“Masuklah!” (saat ada orang mengetuk pintu).
|
6.
|
الْإِبَاحَةُ
(membolehkan)
|
كُلُوا مِنْ
الطَّيِّبَاتِ
“Makanlah dari makanan yang baik-baik”.
|
7.
|
إرَادَةُ
الِامْتِثَالِ
(ingin dijalankan)
|
اِسْقِنِيْ ماَءً
“Berilah aku air minum!”. (saat orang haus meminta
minum pada orang lain).
|
8.
|
الْإِكْرَامُ
(memulyakan)
|
اُدْخُلُوهَا
بِسَلَامٍ آمِنِينَ
"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman".
|
9.
|
الِامْتِنَانُ
(memberi anugrah)
|
فَكُلُوا مِمَّا
رَزَقَكُمْ اللَّهُ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki
yang telah diberikan Allah kepadamu”.
|
10.
|
التَّهْدِيدُ
(menakut-nakuti)
|
اعْمَلُوا مَا
شِئْتُمْ
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki”.
|
11.
|
الْإِنْذَارُ
(memberi peringatan)
|
قُلْ تَمَتَّعُوا
فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ
“Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu,
karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka".
|
12.
|
الْإِهَانَةُ
(menghinakan)
|
ذُقْ إنَّكَ أَنْتَ
الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa
lagi mulia”.
|
13.
|
الِاحْتِقَارُ
(meremehkan)
|
أَلْقُوا مَا
أَنْتُمْ مُلْقُونَ
"Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan".
|
14.
|
التَّسْخِيرُ
(merubah wujud)
|
كُونُوا قِرَدَةً
خَاسِئِينَ
"Jadilah kamu kera yang hina”
|
15.
|
التَّكْوِينُ
(menjadikan)
|
كُنْ فَيَكُونُ
"Kun (jadilah)", maka jadilah ia”.
|
16.
|
التَّعْجِيزُ
(melemahkan)
|
فَأْتُوا بِسُورَةٍ
مِنْ مِثْلِهِ
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an
itu”.
|
17.
|
التَّسْوِيَةُ
(menyamakan)
|
فَاصْبِرُوا أَوْ لَا
تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ
“Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja
bagimu”.
|
18.
|
الدُّعَاءُ
(doa)
|
اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي
“Ya Allah ampunilah aku”
|
19.
|
التَّمَنِّي
(berkhayal)
|
أَلَا أَيُّهَا
اللَّيْلُ الطَّوِيلُ أَلَا انْجَلِي
“Ingatlah wahai malam yang panjang, hendaklah
menjadi terang”[6][34]
|
20.
|
الْخَبَرُ
(mengabari)
|
فَلْيَضْحَكُوا
قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا
“Maka mereka akan tertawa sedikit dan menangis
banyak”.
|
21.
|
الْإِنْعَامَ
(memberi nikmat)
|
كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Makanlah di antara rezki yang baik yang telah
Kami berikan kepadamu”.
|
22.
|
التَّفْوِيضُ
(menyerahkan)
|
فَاقْضِ مَا أَنْتَ
قَاضٍ
“Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan”.
|
23.
|
التَّعَجُّب
(terheran-heran)
|
اُنْظُرْ كَيْفَ
ضَرَبُوا لَك الْأَمْثَالَ
“Lihatlah bagaimana mereka membuat
perumpamaan-perumpamaan terhadapmu”
|
24.
|
التَّكْذِيبِ
(mendustakan)
|
قُلْ فَأْتُوا
بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika
kamu orang-orang yang benar".
|
25.
|
الْمَشُورَةُ
(musyawarah)
|
فَانْظُرْ مَاذَا
تَرَى
“Maka fikirkanlah apa pendapatmu”.
|
26.
|
الِاعْتِبَارُ
(mengambil teladan)
|
اُنْظُرُوا إلَى
ثَمَرِهِ إذَا أَثْمَرَ
“Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah”.
|
Pertanyaan :
Apa perbedaan ;
1.
Antara النَّدْبُ, التَّأْدِيبُ, danالْإِرْشَاد?
2.
Antara الْإِبَاحَةُ, الِامْتِنَانُ, danالْإِنْعَامَ?
3.
Antara التَّهْدِيدُ dan الْإِنْذَارُ?
4.
Antara الْإِهَانَةُ danالِاحْتِقَارُ?
5.
Antara التَّسْخِيرُ dan التَّكْوِينُ?
Jawab :
1.
النَّدْبُ untuk tujuan pahala akhirat,
التَّأْدِيبُ bertujuan membersihkan
akhlak dan memperbaiki adat kebiasaan, dan الْإِرْشَاد tujuannya
adalah kemashlahatan dunia, seperti memperkuat kepercayaan dalam muamalah,
tanggung jawab harta, dan segala macam hak.
2.
الْإِبَاحَةُ berbentuk murni izin, الِامْتِنَانُ izin yang disertai
penyebutan kebutuhan atau ketidakmampuan kita, dan الْإِنْعَامَ disertai
penyebutan kebutuhan paling pokok.
3.
التَّهْدِيدُ adalah menakut-nakuti dan الْإِنْذَارُ adalah menyampaikan
dibarengi dengan menakut-nakuti.
4.
الْإِهَانَةُ dilakukan dengan ucapan,
perbuatan, meninggalkan ucapan atau meninggalkan perbuatan tertentu, tidak
hanya sekedar keyakinan. Dan الِاحْتِقَارُ berupa keyakinan saja atau
minimal berawal dari keyakinan.
5.
التَّسْخِيرُ adalah berpindah dari
keadaan satu menuju keadaan lainnya yang direndahkan dan التَّكْوِينُ wujud dengan cepat dari
keadaan tidak ada, tanpa ada perpindahan dari keadaan satu menuju yang lain.
Referensi :
(قَوْلُهُ التَّأْدِيبُ) هُوَ قَرِيبٌ مِنْ النَّدْبِ
إلَّا أَنَّ النَّدْبَ لِثَوَابِ الْآخِرَةِ وَالتَّأْدِيبَ لِتَهْذِيبِ
الْأَخْلَاقِ وَإِصْلَاحِ الْعَادَاتِ وَكَذَا الْإِرْشَادُ قَرِيبٌ مِنْهُ إلَّا
أَنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِالْمَصَالِحِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالتَّهْدِيدُ هُوَ
التَّخْوِيفُ وَيَقْرُبُ مِنْهُ الْإِنْذَارُ فَإِنَّهُ إبْلَاغٌ مَعَ تَخْوِيفٍ (شَرْحُ
التَّلْوِيْحِ عَلىَ التَّوْضِيْخِ اَلجُزْءُ الأَوَّلُ صـ 287)
“(Ucapan pengarang : التَّأْدِيب) istilah ini maknanya dekat dengan النَّدْبُ. Hanya
saja النَّدْبُ untuk tujuan pahala akhirat, التَّأْدِيبُ bertujuan membersihkan akhlak dan memperbaiki adat kebiasaan. Dan juga الْإِرْشَاد maknanya dekat dengan التَّأْدِيبُ. Hanya
saja tujuannya adalah kemashlahatan dunia. Sedangkan التَّهْدِيدُ adalah menakut-nakuti dan الْإِنْذَارُ dekat maknanya, yakni
menyampaikan sesuatu dibarengi dengan menakut-nakuti”.
الثَّامِنُ الِامْتِنَانُ-إِلىَ أَنْ قَالَ-وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْإِبَاحَةِ أَنَّ الْإِبَاحَةَ مُجَرَّدُ إذْنٍ وَأَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ
اقْتِرَانِ الِامْتِنَانِ بِذِكْرِ احْتِيَاجِ الْخَلْقِ إلَيْهِ وَعَدَمِ
قُدْرَتِهِمْ عليه (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ اَلجُزْءُ الثَّانيِ صـ 93)
“Kedelapan: الِامْتِنَان….perbedaan antara الِامْتِنَان dan الْإِبَاحَةُ adalah الْإِبَاحَةُ berbentuk murni izin, dan الِامْتِنَانُ (selain izin) harus disertai penyebutan kebutuhan
makhluk atau ketidakmampuan atas hal tersebut”.
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الإِنْعَامِ وَالِامْتِنَانُ إِنَّ الِامْتِنَانَ يُذْكَرُ
مَعَهُ احْتِيَاجُنَا إِلَيْهِ وَالإَنْعَامَ مُخْتَصٌّ بِذِكْرِ أَعْلَى مَا
يَحْتَاجُ إِلَيْهِ اهـ (اَلوَجِيْزُ صـ 137)
“Perbedaan antaraالإِنْعَامِ dan الِامْتِنَان adalah bahwa الِامْتِنَان disebutkan kebutuhan kita pada hal tersebut, dan الإِنْعَامِ tertentu hanya menyebutkan kebutuhan paling
pokok” (Al-Wajiz hal 137)
أَنَّ الْإِهَانَةَ إنَّمَا تَكُونُ بِالْقَوْلِ أو بِالْفِعْلِ أو
تَرْكِهِمَا دُونَ مُجَرَّدِ الِاعْتِقَادِ وَالِاحْتِقَارُ إمَّا مُخْتَصٌّ بِهِ
أو وَإِنْ لم يَكُنْ كَذَلِكَ لَكِنَّهُ لَا مَحَالَةَ يَحْصُلُ بِمُجَرَّدِ
الِاعْتِقَادِ بِدَلِيلِ أَنَّ من اعْتَقَدَ في شَيْءٍ أَنَّهُ لَا يَعْبَأُ بِهِ
وَلَا يَلْتَفِتُ إلَيْهِ يُقَالُ إنَّهُ احْتَقَرَهُ وَلَا يُقَالُ إنَّهُ
أَهَانَهُ ما لم يَصْدُرْ منه قَوْلٌ أو فِعْلٌ يُنْبِئُ عنه (اَلبَحْرُ
المُحِيْطُ اَلجُزْءُ الثَّانيِ صـ 98)
“Bahwa sesungguhnya الْإِهَانَةُ hanya dilakukan dengan ucapan, perbuatan,
meninggalkan ucapan atau meninggalkan perbuatan tertentu, tidak hanya sekedar
keyakinan. Dan الِاحْتِقَارُ berupa keyakinan saja atau jika tidak demikian,
minimal dihasilkan dari murni keyakinan. Dengan dalil, seseorang yang meyakini
sesuatu tidak dipedulikan dan diacuhkan, maka dia dikatakan telah meremehkannya
(ihtiqar) dan tidak disebut telah menghinanya (ihanah) selama tidak ada
perkataan atau perbuatan keluar mengekspresikannya”
وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ (أَيْ التَّكْوِينَ) وَبَيْنَ السُّخْرِيَةِ أَنَّ
التَّكْوِينَ سُرْعَةُ الْوُجُودِ عن الْعَدَمِ وَلَيْسَ فيه انْتِقَالٌ إلَى
حَالٍ مُمْتَهَنَةٍ بِخِلَافِ السُّخْرِيَةِ (اَلبَحْرُ المُحِيْطُ اَلجُزْءُ
الثَّانيِ صـ 95)
“Perbedaan antara التَّكْوِينُ dan التَّسْخِيرُadalah bahwa التَّكْوِينُ wujud dengan cepat dari
keadaan tidak ada, tanpa ada perpindahan dari keadaan satu menuju yang lain
yang direndahkan. Berbeda dengan التَّسْخِير”.