AQIDAH - KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN
KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG
Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor
yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan
menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki
pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk
muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi
tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan
kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan
mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi
munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik (bi
al-Hikmah wa al-Mau’idzoh al–Hasanah).
Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka
hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkan
dalam QS. an-Nahl:125: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ
Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang
baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk menggapai hasil yang
diharapkan. Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf nahi
munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.
Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah taat
mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah,
menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid,
dan menegakkan syi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar
sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu
berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu
lalu kamu menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh
kamu telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk
melakukannya dan menyuruhmu untuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata
yang baik.
Al-'Allamah al-Imam as-Sayyid Ahmad Masyhur bin Thoha
al-Haddad mengatakan, “Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur
ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur
meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin
ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang
harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (ma ‘ulima min ad-din bi
adh-dharurat), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah
mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang
bulu.
Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua
ummat Islam seperti masalah ke-Esaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan
dengan Nabi Muhammad saw, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal),
balasan, surga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang
mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun umat Islam yang tidak
mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi
sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok
perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari
sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :
1. Aspek isnad seperti hadits : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ "Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah
tempatnya di neraka" (HR. Muslim)
2. Aspek tingkatan kelompok perawi. Seperti
kemutawatiran al-Qur’an yang kemutawatirannya terjadi di muka bumi ini dari
wilayah barat hingga timur dari aspek kajian, pembacaan, dan penghafalan serta
ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai
tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.
Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir
dari aspek praktikal dan turun-temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin) seperti
praktik atas sesuatu hal sejak zaman nabi sampai sekarang, atau mutawatir dari
aspek informasi (tawaturu ‘ilmin) seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat.
Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang
dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut
mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim. Memvonis kufur seorang muslim
di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits
disebutkan : إِذَا
قَالَ الرجلُ لأَخِيه : يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
"Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya; Hai kafir, maka
vonis kufur telah jatuh pada salah satu dari keduanya." ( HR.Bukhari)
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang
yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan
batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at
Islam. Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan
vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan
informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau
dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal
segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis
kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan
terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas ra. Rasulullah
saw. bersabda : ثَلَاثٌ
مِنْ أَصْلِ
الْإِيمَانِ :
الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ ،
وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ
بَعَثَنِي اللَّهُ
إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ
بِالْأَقْدَارِ
“Tiga hal merupakan pokok iman; menahan diri dari
orang yang menyatakan tiada Tuhan kecuali Allah, tidak memvonis kafir akibat
dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa. Jihad
berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir umatku memerangi
Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan
orang yang adil dan meyakini kebenaran takdir”. (HR. Abu Daud)
Al-Imam al-Haramain pernah berkata: “Jika ditanyakan
kepadaku: Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan
kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang
bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan
argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid.
Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih
bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk
menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar poin-poin yang telah
dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.
Hanya Allah swt. yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya
lah tempat kembali.
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab rahimahullah memiliki
sikap mulia dalam hal pentakfiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka
yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara serampangan
terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka. Padahal
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri menolak semua pandangan-pandangan tak
berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah risalah yang dikirimkannya
kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sebagai
berikut : Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku
berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan
bahwa sebagian ulama di daerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah
tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama saya
ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama
sekali di hatiku.
Di antaranya: Ucapan Sulaiman bahwa saya menganggap
sesat semua kitab madzhab empat. Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam
tidak menganut agama yang benar.Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari
taqlid. Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang
melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam
al-Bushiri karena ucapannya: Wahai makhluk paling mulia. Seandainya saya mampu
meruntuhkan kubah Rasulullah saw. maka saya akan melakukannya dan jika mampu
mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya
dengan talang kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi saw, mengingkari
ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang
yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby,
dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudhat ar-Rayahin
yang kemudian saya namakan Raudhat asy-Syayathin. Jawaban saya atas tuduhan
telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah firman Allah: "Maha
suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar." ( QS.
an-Nur:16)
Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip
pernah dialami Nabi saw. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan
orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama
persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah swt. berfirman:
"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang
tidak beriman kepada ayat-ayat Allah." (Q.S. an-Nahl:105) Kafir Qurays
melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi saw. mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan
‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firmanNya :"Bahwasanya
orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami. Mereka
itu dijauhkan dari neraka." (QS. al-Anbiya`:101)
Risalah ini dikirimkan kepada as-Suwaidi, seorang
ulama Iraq. Sebelumnya as-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakan mengenai apa
yang diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab
menjawab dalam risalahnya : "Tersebarnya kebohongan adalah hal yang
membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk
membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian
katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang
mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang
yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan
demikian?
Dan apa yang kalian katakan: Seandainya saya mampu
meruntuhkan kubah Nabi saw. niscaya saya akan merealisasikannya, membakar
dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi dengan
ungkapan sholawat apapun. Perkataan-perkataan ini dikategorikan kebohongan.
Dalam hati seorang muslim tidak terbesit dalam hatinya sesuatu yang lebih agung
melebihi al-Qur’an.
Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh Muhammad
ibn Abdul Wahhab berkata: "Apa yang kalian katakan bahwa saya telah
mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih,
mengkafirkan Bushoiri karena ungkapannya: Wahai makhluk paling mulia,
mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi saw, kuburan kedua orang tua dan
kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan
nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah Firman
Allah: "Maha suci Engkau ( ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang
besar." (QS. an-Nur:16)
Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberangan
dengan kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan
memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah halal.
Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya ketika menuju Bani Jadzimah
untuk mengajak mereka masuk Islam cukup digunakan untuk menolak pemahaman
harfiah (literal) dari judul di atas. Saat Khalid tiba di tempat mereka, mereka
menyambutnya. Lalu Khalid mengeluarkan instruksi, “Peluklah agama Islam!”.
“Kami adalah kaum muslimin.” Jawab mereka. “Letakkan senjata kalian dan
turunlah.” lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan
pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa mempercayai kamu dan orang-orang yang
bersama kamu.” jawab mereka kembali. “Tidak ada perlindungan buat kalian
kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid. Akhirnya sebagian kaum menuruti
perintah Khalid dan sisanya tercerai berai.
Dalam riwayat lain redaksinya sebagai berikut: Ketika
Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid bertanya,
“Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”. “Kami adalah kaum
muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di
tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di dalamnya.” Jawab mereka. Dalam
lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamna, akhirnya mereka
mengatakan Shoba’na Shoba’na. “Untuk apa senjata yang kalian bawa?, tanya
Khalid. “Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami
khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab mereka.
“Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti perintah
Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai tawanan!”
Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk mengikat
sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.
Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid
berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu
Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak
perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini
sampai kepada Nabi saw., beliau berkata, “Ya Allah, saya tidak bertanggung
jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali. Ada pendapat
yang menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan shoba’na shoba’na dengan
angkuh dan menolak tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah
saw. adalah ketergesa-gesaan dan ketidakhati-hatiannya dalam menangani kasus
ini sebelum mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan shoba’na
shoba’na. Nabi saw. sendiri pernah mengatakan: “Sebaik-baik hamba Allah adalah
saudara kabilah Qurays; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus
untuk menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.
Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah
peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah
saw. berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abi Dzibyan. Abi
Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah saw.
mengirim kami ke desa al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi
dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar
seorang laki-laki Bani Dzibyan.
Ketika kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia
berkata, “La Ilaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshar
mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan diapun mati.
Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi saw. telah mendengar informasi
tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau saw. pun berkata, “Wahai
Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan La Ilaha illallah?”.
“Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya
berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw.
berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu
apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. “Saya tidak akan pernah lagi
membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata
Usamah.
Sayyidina Ali ra. pernah ditanya mengenai
kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir?”. “Tidak,” jawab
Ali, “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran”. “Apakah mereka kaum
munafik?”. “Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang
mereka banyak mengingat Allah”. “Terus siapakah mereka?” Ali kembali ditanya.
“Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta dan
tuli”, jawab Ali.
Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah. Di antaranya pada ayat: وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
"Dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka
(karenanya)". (QS. al-Anfal:2)
Penyandaran kalimat ziyadah ke kalimat ayat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat
adalah penyebab bertambah sedang yang menambah sesungguhnya adalah Allah swt. يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا
"Hari yang menjadikan anak-anak beruban." (QS. al-Muzzammil:17)
Penyandaran kata ja’ala pada pada al-Yaum adalah majaz ‘aqli. Karena
al-Yaum adalah tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada
al-Yaum sedang yang menjadikan sesungguhnya adalah Allah swt. "Dan jangan
pula suwwa`, yaghuts, ya`uq dan nasr. وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ
إِلَّا
ضَلَالًا "Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan
(manusia)." (QS. Nuh:23-24)
Penyandaran idhlal pada ashnam adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab
terjadinya idhlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya
Allah swt. semata. Firman Allah swt. mengisahkan Fir’aun: "Hai Haman,
buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi." (QS. al-Mu`min:36)
Penyandaran al-Binaa kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman hanya penyebab. Ia
hanya pemberi perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah para
pekerja. Adapun keberadaaan majaz
‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui
oleh orang yang mau mengkajinya.
Para ulama berkata: "Terlontarnya penyandaran di
atas dari orang yang mengesakan Allah swt. cukup menjadikannya dikategorikan
sebagai penyandaran majazi karena keyakinan yang benar adalah bahwa Pencipta
para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata. Allah swt. adalah
Pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada yang bisa
memberikan pengaruh kecuali Allah swt. Orang hidup atau orang mati tidak bisa
memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni.
Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam
kemusyrikan.
Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan
tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak
menggunakan titik temu yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang
ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk dengan
menggunakan argumentasi firman Allah swt.: إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا "Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam
bahasa Arab." (QS. az-Zukhruf:3)
Kelompok Qadariyyah (free will) yang menggunakan ayat:
فَبِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِيكُمْ
"Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri." (QS.
asy-Syura:30)
بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ "Apa yang telah kamu kerjakan." (QS.
Yunus:23)
Kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat: وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ
وَمَا
تَعْمَلُونَ "Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu." (QS. ash-Shaffat:96)
وَمَا
رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ
وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
"Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang
melempar." (QS. al-Anfaal:17)
Untuk menyingkap maksud dari firman Allah swt. di muka
bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam di luar kelompok Qadariyyah
meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah swt.
berdasarkan ayat: وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ
وَمَا تَعْمَلُون dan ayat وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
Meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba
dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja) seperti dalam
firman Allah swt.: لَهَا
مَا
كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا
مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. al-Baqarah:286)
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran kerja
kepada hamba. Keterkaitan qudrat dengan al-Maqdur (obyek dari sifat qudrat)
tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrat Allah pada masa 'azali
berkaitan dengan alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrat Allah ketika
menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan lain.
Berangkat dari keterkaitan qudrat di atas jelaslah
bahwa keterkaitan qudrat tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat
ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan
bukan penciptaan. Karena Allah swt. yang menciptakan, mentakdirkan dan
menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah swt. menghendaki apa
yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah
swt. menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah swt. tidak menghendaki
semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah swt.: وَمَا أَكْثَرُ
النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat
menginginkannya." (QS. Yusuf:103) Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk
kategori penisbatan musabbab (obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab
(penyebab) atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi
karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah Pencipta washithah yang
menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah swt. tidak
memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak
layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah swt.
seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti
malaikat, manusia, atau jin.
Barangkali Anda berkata: Tidaklah rasional menisbatkan
satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu
memberikan pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar
pandangan kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian
dalam penggunaannya”. Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat
tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya.
Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk
kedua-duanya sebagaimana telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki
lebih dari satu pengertian (musytarak/ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan: Pemimpin membunuh
si fulan dan ungkapan: Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang
dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang
sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita: Allah swt. adalah
pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada
dan ungkapan kita: Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa
makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan
padanya kehendak dan pengetahuan.
Berarti hubungan qudrat dengan iradat serta gerakan
dengan qudrat adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan yang
menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal.
Namun jika tidak berakal ia termasuk kategori mengaitkan yang disebabi atas
yang menjadi penyebab.
Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki
kaitan dengan qudrat sebagai fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk kaitannya.
Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan memandang dari sudut
masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan
dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun masing-masing algojo dan penguasa
bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat
dengan dua qudrat.
Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menisbatkan
hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah swt. sendiri kadang
menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan
terkadang menisbatkannya kepada diriNya sendiri. Allah swt. berfirman: قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ
مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي
وُكِّلَ بِكُمْ "Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi
untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu." (QS. as-Sajdah:11)
اللَّهُ
يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ
حِينَ مَوْتِهَا
"Allah memegang jiwa (seseorang) ketika matinya." (QS. az-Zumar:42)
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ
"Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam." (QS.
al-Waqi`ah:63). Dengan dinisbatkan kepada mereka.
أَنَّا
صَبَبْنَا الْمَاءَ
صَبًّا ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا
"Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit).
Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian
di bumi itu." (QS.`Abasa:25-27)
فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا "Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia
menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna." (QS.
Maryam:17)
فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آَيَةً
لِلْعَالَمِينَ
"Lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia
dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam." (QS.
al-Anbiya`:91).
Nafkh (tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang
meniup sesungguhnya adalah Jibril as. Allah swt. berfirman: فَإِذَا قَرَأْنَاهُ
فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ
"Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu." (QS. al-Qiyamah:18) padahal pembaca al-Qur’an yang didengar
bacaannya oleh Nabi Muhammad saw. adalah Jibril.
Allah swt. berfirman: فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ
وَمَا رَمَيْتَ
إِذْ رَمَيْتَ
وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi
Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allahlah yang melempar." (QS. al-Anfal:17)
Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan
menetapkan tindakan itu kepada diriNya dan menafikan tindakan pelemparan
darinya lalu menyandarkannya kepada diriNya.
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat
mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi
melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak
membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar
yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna
yang memiliki arti berbeda.
Kadangkala Allah swt. menisbatkan tindakan kepada
diriNya dan Nabi Muhammad saw. secara bersamaan sebagaimana firman Allah swt.: وَلَوْ أَنَّهُمْ
رَضُوا مَا آَتَاهُمُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ
وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ "Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa
yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah
Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karuniaNya dan demikian
(pula) RasulNya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada
Allah" (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)." (QS.
at-Taubah:59)
Sayyidah ‘Aisyah rha. meriwayatkan bahwa Allah swt.
jika berkehendak menciptakan janin maka Allah swt. mengutus malaikat. Lalu
malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan tangannya kemudian
membentuknya sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku, laki-laki atau
perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat ?”. Lalu
Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendakNya dan malaikat pun membentuknya.
Dalam versi lain: Malaikat membentuk janin dan meniupkan nyawa padanya sebagai
janin yang mendapat bahagia atau celaka. Jika Anda memahami keterangan di atas
maka jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak
kontradiktif. Karena itu tindakan adakalanya disandarkan kepada benda mati
seperti dalam firman Allah swt.: تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا "Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizin Tuhannya."(QS. Ibrahim:25) padahal pohon tidak bisa
memberikan buah dengan sendirinya.
Sebagaimana halnya sabda Nabi saw. kepada orang yang
memberikan beliau sebuah kurma: خذها لو
لم تأتها لأتتك "Ambillah kurma itu. Jika engkau tidak
mendatanginya maka kurma itu akan datang kepadamu " (HR. Thabrani dan Ibnu
Hibban).
Penyandaran kata ityan (datang) berbeda pengertian
antara yang disandarkan kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari
datangnya kurma berbeda dengan datangnya laki-laki.
Pengertian datang dari keduanya adalah dua majaz yang berbeda sudut
pandangnya. Kemajazan penyebutan kedatangan kepada laki-laki bermakna bahwa
Allah menciptakan padanya kemampuan dan kehendak untuk datang pada kurma.
Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa Allah swt. akan membuat seseorang
sebagai penyebab datangnya kurma.
Yang sesungguhnya adalah menyandarkan mendatangkan
kepada Allah pada keduanya. Karena perbedaan sudut pandang dalam perantara maka
memandang perantara dalam tindakan terkadang bisa mengakibatkan kekufuran
sebagaimana jawaban Qarun terhadap Nabi Musa as. Qarun berkata: قَالَ إِنَّمَا
أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.
" (QS. al-Qashash:78)
Dan sebagaimana dalam hadits : أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى
مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ ،
فَأَمَّا مَنْ قَالَ
مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ
مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا
وَكَذَا فَذَلِكَ
كَافِرٌ بِى وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
"Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir”.
Adapun yang berkata: "Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah
maka ia beriman kepadaKu dan kufur kepada bintang". Sebaliknya orang yang
berkata: "Kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir
kepadaKu dan beriman kepada bintang".
Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara
sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan. Imam an-Nawawi berkata:
pendapat para ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang
mengatakan: "Kami disirami hujan berkat bintang ini."
Pendapat pertama: menyatakan bahwa perkataan ini
adalah kekufuran kepada Allah swt. dan mencabut dasar keimanan serta dapat
mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa terjadi
atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa bintang
adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaimana anggapan sebagian kaum
jahiliyyah. Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka tidak disangsikan
lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama di antaranya Imam
asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena itu, dalam
pandangan mereka seandainya mengatakan: "Kami disirami hujan berkat
bintang ini." dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan berkat rahmat
Allah swt. sedang bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri berdasarkan
kebiasaan maka seolah-olah ia mengatakan: "Kami disirami hujan pada waktu
bintang ini", berarti ia tidak kufur. Para ulama berbeda pendapat
menyangkut kemakruhan perkataan: "Kami disirami hujan berkat bintang
ini". Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi
dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur
dan tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia
adalah lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
Pendapat kedua: Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi
saw. menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah swt. sebab membatasi
terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi orang yang
tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat terakhir
pada bab ini, "Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada
yang kufur". Dalam riwayat lain, Allah tidak menurunkan berkah dari langit
kecuali sebagian manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata biha (terhadap
berkah itu) menunjukkan kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu
a’lam.
Anda bisa melihat bahwa Imam an-Nawawi menyatakan
adanya konsensus ulama bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan kepada
perantara tidak berdampak kufur kecuali disertai keyakinan bahwa perantara itu
yang bertindak sebagai pelaku, pengatur dan pencipta. Namun jika perantara
tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah ciri atau tempat
terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak jatuh.
Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda Nabi
saw.: من أسدى إليكم معروفا
فكافئوه
فان لم تستطيعوا فادعوا
له حتى تعلموا أنكم قد كافأتموه
"Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda
tidak mampu membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah
membalas kebaikannya."
Dan sabda Nabi yang lain: مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ "Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia
tidak akan bersyukur kepada Allah."
Ajakan syara’ ini berdasarkan pertimbangan bahwa
memandang perantara dari sudut pandang demikian tidak berarti meniadakan
anugerah dari Allah swt. Banyak ayat di mana Allah swt. memberikan pujian atas
perbuatan baik para hambaNya dan malah memberi mereka pahala atas perbuatan
tersebut. Allah swt. adalah Dzat yuang mendorong mereka berbuat baik dan
menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah swt. berfirman: نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ
أَوَّابٌ "Dia adalah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shaad:30)
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya." (QS. Yunus:26)
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ
زَكَّاهَا "Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu" (Q.S. asy-Syams:9)
Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan
(al-fi’lu) dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makna tersebut
tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih. Makna-makna yang terkandung
dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan hati lebih luas dari
buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz dalam arti hakiki tanpa
memandang majaz maka
kita tidak akan mampu mengkompromikan antara teks-teks atau membedakannya.
Silahkan Anda perhatikan informasi yang disampaikan Allah swt. tentang Nabi
Ibrahim as. dalam: رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ Apakah Anda menilai Nabi Ibrahim as. menyekutukan
Allah swt. dengan benda mati? Padahal beliaulah yang bertanya: أَتَعْبُدُونَ مَا
تَنْحِتُونَ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun
yang menyekutukan Allah swt. dengan yang lain dalam segi penciptaan dan
memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati atau
manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa yang meyakini adanya penyebab
dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak kemudian
menjadikan Allah swt. sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan bahwa
pelakunya (al-fa’il) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia
adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab
dianggap sebagai sebab. Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang
menciptakan sebab yang notabene adalah Sang Pencipta dan Pengatur swt.
Banyak orang keliru dalam memahami substansi
pengagungan dan ibadah. Mereka mencampur kedua substansi ini dan menganggap
bahwa apapun bentuk pengagungan berarti ibadah kepada yang diagungkan. Berdiri,
mencium tangan, mengagungkan Nabi saw. dengan kata Sayyidina dan Maulana, dan
berdiri di depan beliau saat berziarah dengan sopan santun; semua ini tindakan
berlebihan di mata mereka yang bisa mengarah kepada penyembahan selain Allah
swt.
Pandangan ini sesungguhnya adalah pandangan bodoh dan
membingungkan yang tidak diridloi Allah swt. dan Rasulullah saw. serta
menyusahkan diri sendiri yang tidak sesuai dengan spirit Syari’at Islamiyyah.
Nabi Adam as. manusia pertama dan hamba Allah swt. yang shalih yang pertama
dari jenis manusia, oleh Allah malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya
sebagai bentuk penghargaan dan pengagungan atas ilmu pengetahuan yang diberikan
Allah swt. kepada Nabi Adam as. dan sebagai proklamasi kepada para malaikat
atas dipilihnya Nabi Adam as. bukan para makhluk lain.
Allah swt. berfirman: وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ
فَسَجَدُوا
إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ
أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا قَالَ أَرَأَيْتَكَ هَذَا الَّذِي كَرَّمْتَ عَلَيَّ لَئِنْ أَخَّرْتَنِ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
لَأَحْتَنِكَنَّ
ذُرِّيَّتَهُ إِلَّا قَلِيلًا
"Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali Iblis.
Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari
tanah?" Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah kepadaku inikah orangnya
yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh
kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan
keturunannya, kecuali sebahagian kecil" (QS. al-Isra':61-62)
Dalam ayat lain Allah swt. berfirman: قَالَ أَنَا خَيْرٌ
مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ
وَخَلَقْتَهُ مِنْ
طِينٍ "Menjawab iblis: "Saya
lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah." (QS. al-A`raf:12) فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ إِلَّا
إِبْلِيسَ أَبَى أَنْ
يَكُونَ مَعَ
السَّاجِدِينَ
"Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali iblis.
ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu." (QS. al-Hijr:30-31)
Para malaikat mengagungkan makhluk yang diagungkan
Allah swt. dan iblis menolak untuk sujud kepada makhluk yang tercipta dari
tanah. Iblis adalah yang pertama kali menggunakan analogi dengan akalnya dan
berkata: "Saya lebih baik dari Adam", dengan alasan karena ia
tercipta dari api sedang Adam dari tanah. Ia enggan menghormati Adam dan
menolak bersujud kepadanya.
Iblis adalah makhluk angkuh pertama dan menolak
mengagungkan makhluk yang diagungkan Allah swt. akhirnya ia dijauhkan dari
rahmat Allah swt. karena keangkuhannya pada Adam yang shalih. Sikap iblis pada
dasarnya adalah keangkuhan kepada Allah swt. karena sujud kepada Adam
semata-mata atas perintah Allah swt. Sujud kepada Adam hanyalah sebagai bentuk
penghormatan kepadanya atas para malaikat. Iblis adalah makhluk yang mengesakan
Allah swt. namun ketauhidannya tidak berguna sama sekali akibat menolak
bersujud kepada Adam.
Salah satu firman Allah swt. yang menjelaskan
pengagungan terhadap orang-orang sholih adalah firman Allah swt. menyangkut
Nabi Yusuf as.: وَرَفَعَ
أَبَوَيْهِ عَلَى
الْعَرْشِ وَخَرُّوا
لَهُ سُجَّدًا
"Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka
(semuanya) merebahkan diri seraya sujud. " (QS. Yusuf:100)
Sujud ini adalah sujud sebagai ungkapan penghargaan
dan pemuliaan terhadap Yusuf atas saudara-saudaranya. Sujud menyentuh tanah
yang dilakukan saudara-saudara Yusuf ditunjukkan oleh kalimat " وَخَرُّوا" barangkali dalam syari’at saudara-saudara Yusuf
sujud dalam bentuk seperti ini diperbolehkan atau seperti sujud para malaikat
kepada Adam untuk memuliakan, mengagungkan, dan mematuhi perintah Allah swt.
sebagai penafsiran terhadap mimpi Yusuf di mana mimpi para Nabi berstatus
wahyu.
Adapun Nabi Muhammad saw. maka Allah swt. telah
berfirman: "Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan,9. Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang." يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَ سُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
لَا تَرْفَعُوا
أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ
أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ
لَا تَشْعُرُونَ إِنَّ
الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ
وَأَجْرٌ عَظِيمٌ إِنَّ
الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
RasulNya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan
suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara
yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang
lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah
orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka
ampunan dan pahala yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu
dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti." (QS.
al-Hujurat:1-4)
لَا
تَجْعَلُوا دُعَاءَ
الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ
لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
" Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan
sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya Allah swt. telah
mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan
berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS.
an-Nur:63)
Ketika berhadapan dengan Rasulullah saw. Allah swt. melarang
berbicara mendahului beliau dan bersikap tidak sopan dengan mendahului
berbicara. Sahl ibn Abdillah berkata, "Janganlah kamu berkata sebelum
Rasulullah saw. berkata, dan jika beliau berkata maka dengarkanlah dan
perhatikanlah." Para sahabat dilarang untuk mendahului dan tergesa-gesa
memenuhi keinginannya sebelum keinginan Rasulullah saw. terpenuhi dan dilarang
mengeluarkan fatwa apapun baik perang atau urusan lain yang menyangkut agama
tanpa perintah Nabi saw. dan juga tidak boleh mendahului beliau.
Kemudian Allah swt. memperingatkan mereka untuk tidak
melanggar larangan di atas : وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ "Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Hujurat:1) Berkata
as-Silmi: "Takutlah kepada Allah, jangan sampai menelantarkan hak Allah
dan menyia-nyiakan hal-hal yang diharamkanNya karena Dia mendengar ucapan
kalian dan mengetahui tindakan kalian."
Selanjutnya Allah melarang mengeraskan suara melebihi
suara beliau dan berbicara keras kepada beliau sebagaimana mereka berbicara
kepada sesamanya. Versi lain mengatakan, sebagaimana kalian saling memanggil
dengan menggunakan nama.
Abu Muhammad Makki mengatakan: "Janganlah kalian
berkata sebelum beliau, mengeraskan ucapan dan memanggi beliau dengan namanya
sebagaimana panggilan kalian dengan sesamanya." Tapi agungkanlah dan
hormatilah dan panggillah beliau dengan panggilan paling mulia yang beliau
senang dengan panggilan tersebut yaitu wahai Rasulullah dan wahai Nabiyyallah.
Pandangan Abu Muhammad Makki ini sebagaimana firman Allah swt. QS. an-Nur:63 di
atas.
Ulama lain menafsirkan: "Jangan berkata kepada
beliau kecuali bertanya. Selanjutnya Allah swt. memperingatkan bahwa amal
perbuatan mereka akan hangus jika melanggar larangan di muka. Ayat di atas
turun dilatarbelakangi oleh peristiwa ketika sekelompok orang datang kepada
Nabi saw. dan memanggil beliau dengan: "Wahai Muhammad, keluarlah untuk
menemui kami". Lalu Allah swt. pun mengecam tindakan mereka sebagai
kebodohan dan menggambarkan bahwa kebanyakan mereka tidak berakal.
Amr ibn Ash berkata: "Tidak ada orang yang lebih
kucintai melebihi Rasulullah saw. dan di mataku tidak ada yang lebih agung
melebihi beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar
semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya untuk mensifati beliau
saya tidak akan mampu menjawab sebab saya tidak mampu memandang beliau dengan
mata terbuka lebar. (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman, bab Kaun al-Islam Yahdimu
ma Qablahu).
Turmudzi meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw.
keluar menemui sahabat Muhajirin dan Anshor yang sedang duduk. Di antara mereka
terdapat Abu Bakar dan Umar. Tidak ada yang berani memandang beliau dengan
wajah terangkat kecuali Abu Bakar dan Umar. Keduanya memandang beliau dan
beliau memandang keduanya dan mereka berdua tersenyum kepada beliau dan beliau
juga tersenyum kepada mereka. Usamah ibn Syuraik meriwayatkan : "Saya
datang kepada Nabi saw. yang dikelilingi para sahabat yang seolah-olah di atas
kepala mereka dihinggapi burung".
Dalam mensifati beliau : "Jika berbicara
para pendengar yang duduk di sekeliling beliau akan menundukkan kepala
seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung."
Saat Urwah ibn Mas’ud menjadi duta Qurays waktu
mengadakan perjanjian datang kepada Rasulullah saw. dan melihat penghormatan
para sahabat kepada beliau saw. Ia melihat jika beliau saw. berwudhu maka
mereka akan segera berebutan mengambil air wudlu. Bila beliau saw. meludah atau
membuang dahak maka mereka akan meraihnya dengan telapak tangan mereka lalu
digosokkan pada wajah dan badan mereka. Kalau ada sehelai rambut beliau saw.
yang jatuh mereka segera mengambilnya. Jika beliau saw. memberi instruksi
mereka segera mengerjakanya. Bila beliau saw. berbicara mereka merendahkan suara
mereka. Mereka tidak berani memandang tajam beliau saw., karena menghormatinya.
Ketika Usamah bin Syuraik kembali kepada kaum quraisy
ia berkata: “Wahai orang-orang Quraisy saya pernah mendatangi Kisra dan kaisar
di istana mereka, Demi Allah saya belum pernah sekalipun melihat raja bersama
kaumnya sebagaimana Muhammad bersama para sahabatnya". Dalam riwayat lain
disebutkan: "Saya belum pernah sekalipun melihat raja yang dihormati
pengikutnya sebagaimana para sahabat menghormati Nabi saw.. Sungguh saya telah
melihat kaum yang tidak akan membiarkan beliau saw. dalam bahaya
selamanya". Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya
meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik bahwasanya ia berkata; “Kami sedang
duduk-duduk di samping Nabi saw. seolah-seolah di atas kepala kami hinggap
burung “.
Tidak ada seorangpun di antara kami yang berbicara
tiba-tiba datang beberapa orang pada Nabi saw. lalu mereka bertanya; “ Siapakah
hamba Allah yang paling dicintainya? “Yang paling baik budi pekertinya “Jawab
Nabi saw.. Demikian tercantum dalam at-Targhib:2/187. Imam al-Mundziri berkata:
Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam ash-Shahih dengan para perawi
yang bisa dijadikan argumentasi. Abu Ya’la meriwayatkan dari al-Barra’ ibn
‘Azib dan menilainya shahih bahwa al-Barra’ mengatakan: “Sungguh aku ingin
sekali menanyakan sesuatu kepada Rasulullah saw. namun aku menundanya selama
dua tahun semata-mata karena segan”.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari az-Zuhri bahwa ia
berkata: “Mengkhabarkan kepada saya seorang Anshor yang tidak saya ragukan
bahwa Rasulullah saw. jika berwudhu atau mengeluarkan dahak maka para sahabat
berebutan mengambil dahak beliau kemudian diusapkan pada wajah dan kulit
mereka. “Mengapa kalian berbuat demikian,? Tanya Rasulullah saw.? “Kami mencari
berkah darinya.” “Barangsiapa yang ingin dicintai Allah swt. dan RasulNya maka
berkatalah jujur, menyampaikan amanah dan tidak menyakiti tetangganya.”
Demikian keterangan dalam al-Kanzu:8228. Walhasil, dalam hal ini ada dua
persoalan besar yang harus dimengerti. Pertama; kewajiban menghargai Nabi saw.
dan meninggikan derajat beliau di atas semua makhluk. Kedua; mengesakan Tuhan
dan menyakini bahwa Allah swt. berbeda dari semua makhlukNya dalam aspek dzat,
sifat dan tindakan.
Barang siapa yang meyakini adanya kesamaan makhluk
dengan Allah swt. dalam aspek ini maka ia telah menyekutukan Allah swt.
sebagaimana kaum musyrikin yang meyakini ketuhanan dan penyembahan terhadap
berhala. Dan siapapun yang merendahkan Nabi saw. dari kedudukan semestinya maka
ia berdosa atau kafir.
Adapun orang menghormati Nabi saw. dengan beragam
penghormatan yang berlebihan namun tidak mensifati beliau dengan sifat-sifat
Allah swt. apapun maka ia telah berada di jalan yang benar dan secara bersamaan
telah menjaga aspek ketuhanan dan kerasulan. Sikap semacam ini adalah sikap
yang ideal. Apabila ditemukan dalam ucapan kaum mukminin penyandaran sesuatu
kepada selain Allah maka wajib dipahami sebagai majaz ‘aqli. Tidak ada alasan untuk
mengkafirkannya karena majaz
‘aqli digunakan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara
(wasithah). Mereka memvonis dengan gegabah bahwa perantara adalah tindakan
musyrik dan menganggap bahwa siapapun yang menggunakan perantara dengan cara
apapun telah menyekutukan Allah swt. dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang
musyrik yang mengatakan: مَا
نَعْبُدُهُمْ
إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا
إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. az-Zumar:3) Kesimpulan ini
jelas salah dan berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya.
Karena ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang musyrik
menyangkut penyembahan mereka terhadap berhala dan menjadikannya sebagai tuhan
selain Allah swt. serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan
dengan anggapan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala mendekatkan mereka
kepada Allah swt.
Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum mussyrikin adalah
dari aspek penyembahan mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka
bahwa berhala adalah tuhan-tuhan di luar Allah swt.
Di sini ada masalah yang urgen untuk dijelaskan, yaitu
bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai yang digambarkan
Allah swt., tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang membenarkan
penyembahan berhala: (Kami tidak menyembah mereka kecuali semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah). Jika ucapan kaum musyrikin tersebut
sungguh-sungguh niscaya Allah swt. lebih agung daripada berhala dan mereka
tidak akan menyembah selainNya.
Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki
berhala-berhala kaum musyrikin, lewat firmanNya: وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
فَيَسُبُّوا
اللَّهَ عَدْوًا
بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ
بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. al-An`am:108)
Abdurrazaq, Abd ibn Hamid, Ibn Jarir, Ibnu al-Mundzir,
Ibnu Abi Hatim dan Abu asy-Syaikh meriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasulullah
saw. Berkata: “Awalnya Kaum muslimin memaki berhala-berhala orang kafir.
Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat 108 surat al-An'am di atas. Peristiwa
inilah yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Berarti ayat
tersebut melarang dengan keras kaum mu’minin untuk melontarkan kalimat yang
bernada merendahkan terhadap batu-batu yang disembah oleh kaum paganis di
Makkah.
Karena melontarkan kalimat seperti itu mengakibatkan
kemurkaan kaum paganis karena membela bebatuan yang mereka yakini dari lubuk
hati paling dalam sebagai tuhan yang memberi manfaat dan menolak bahaya. Jika
mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin, Allah swt. dan
melecehkanNya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari segala
kekurangan. Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembahan kepada
berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. niscaya mereka tidak
akan berani memaki Allah swt. untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuhan
mereka.
Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaaan
Allah swt. dalam hati mereka jauh lebih sedikit dari pada keberadaaan bebatuan
yang disembah. Ayat lain yang menunjukkan ketidakjujuran orang kafir adalah وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
مَنْ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab:
"Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Luqman:25)
Bila orang-orang kafir meyakini dengan jujur bahwa
hanya Allah swt. Sang Pencipta dan bahwa berhala-berhala itu tidak mampu
menciptakan apa-apa niscaya mereka akan menyembah Allah swt. semata, tidak
menyembah berhala atau minimal penghormatan mereka terhadap Allah swt. melebihi
penghormatan kepada patung-patung dari batu tersebut. Apakah jawaban mereka
dalam ayat ini relevan dengan makian mereka terhadap Allah swt. sebagai bentuk
pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan pelampiasan dendam terhadap Allah
swt? Secara spontan kita akan menjawab sampai kapanpun hal ini tidak relevan.
Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat yang menunjukkan bahwa di mata mereka
Allah swt. lebih rendah dari patung-patung yang mereka sembah.
Banyak ayat senada seperti : وَجَعَلُوا لِلَّهِ
مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ
وَالْأَنْعَامِ
نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا
يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا
كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ
يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
"Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak
yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan
mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka
saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada
Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai
kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu." (QS.
al-An`am:136)
Seandainya di mata mereka Allah swt. tidak lebih
rendah dibanding patung-patung tersebut maka mereka tidak akan mengunggulkannya
dalam bentuk seperti yang diceritakan ayat ini dan tidak layak mendapat vonis
" سَاءَ
مَا يَحْكُمُونَ
" . Salah satu ungkapan yang masuk kategori di atas adalah perkataan Abu
Sufyan sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau wahai Hubal!” sebagaimana riwayat
al-Bukhari. Pujian ini dialamatkan kepada berhala mereka yang bernama Hubal
agar dalam kondisi kritis mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta
agar ia dan pasukannya mampu mengalahkan tentara mukmin yang hendak
menghancurkan berhala-berhala mereka. Ini adalah gambaran dari sikap orang
musyrik menyangkut berhala dan Allah swt.
Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti
penyembahan terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena
banyak orang tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi
yang sesuai dengan pemahamannya.
Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah swt.
menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah
menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek
penyembahan. Mencium Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah swt. dan
mengikuti Nabi saw. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah
dan Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah
berhala. Perantara (mediator/ wasithah) adalah sesuatu yang harus ada.
Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk kemusyrikan.
Tidak semua orang yang menggunakan mediator antara dirinya dan Allah swt.
dipandang musyrik. Jika semua dianggap musyrik niscaya semua orang
dikategorikan musyrik karena segala urusan mereka didasarkan atas eksistensi
mediator. Nabi Muhammad saw. menerima al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah
mediator beliau.
Sedang Nabi saw. adalah mediator besar bagi para
sahabat. Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukannya
kepada beliau dan menjadikannya sebagai mediator menuju Allah swt. Mereka
memohon doa kepada beliau dan beliau tidak menjawab, “Kalian telah musyrik dan
kafir karena tidak boleh mengadu dan memohon kepada saya. Kalian harus datang,
berdoa dan memohon sendiri karena Allah lebih dekat dengan kalian dari pada
saya”. Nabi saw. tidak pernah berkata demikian. Beliau malah berdiam dan dan
memohon pada saat di mana mereka mengatahui bahwa Pemberi Sejati adalah Allah
swt. dan yang mencegah, melimpahkan dan pemberi rizqi juga Allah swt. Mereka
juga tahu bahwa beliau saw. memberi atas izin dan karunia Allah swt.
Beliaulah yang mengatakan, ”Saya adalah pembagi dan
Allah adalah pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan bukan
berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperbolehkan
menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan
mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut. Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka
bagaimana dengan Nabi Muhammad saw. yang notabene junjungan mulia, Nabi Agung,
makhluk termulia dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah
swt. paling utama secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda:
"Barangsiapa membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min
di dunia, maka Allah akan melepaskannya kesusahan pada hari kiamat." (HR.
Bukhari dan Muslim).
Maka orang mu’min adalah orang yang mengatasi segala
kesulitan. Bukankah beliau juga bersabda: "Barangsiapa membantu kebutuhan
saudaranya maka saya akan berdiri di dekat timbangan amalnya. Jika timbangan
amal baik itu lebih berat maka akubiarkan, jika tidak maka aku akan memberinya
syafaat? Maka orang mu’min adalah orang yang mencukupi segala kebutuhan." مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا
سَتَرَهُ
اللَّهُ لهُ "Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka
Allah akan menutupi aibnya." "Sesungguhnya Allah memiliki para
makhluk yang didatangi banyak orang untuk memenuhi kebutuhan mereka."
وَاللَّهُ
فِي عَوْنِ الْعَبْدِ
مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"Allah senantiasa membantu hamba-Nya sepanjang ia membantu
saudaranya."
مَنْ
أَغَاثَ مَلْهُوفًا
كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثَلاَثَةً وَسَبْعِينَ حَسَنَةً
"Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan menulis baginya 73
kebaikan." (HR. Abu Ya’la, al-Bazzar dan al-Baihaqi)
Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi,
membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun
sesungguhnya pelaku sejatinya adalah Allah swt. Namun berhubung ia adalah
mediator dalam menangani masalah-masalah tersebut maka sah menisbatkan
tindakan-tindakan tersebut kepadanya.
Dalam koleksi hadits-hadits Rasulullah saw. terdapat
banyak hadits yang menjelaskan bahwa Allah swt. menghindarkan siksaan dari
penduduk bumi berkat orang-orang yang beristighfar dan mereka yang rajin
menghidupkan masjid dan Dia juga memberi rizqi, menolong dan menjauhkan musibah
dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka. Ath-Thabrani dalam al-Kabir dan
al-Baihaqi dalam as-Sunan meriwayatkan dari Mani’ ad-Dailami ra. bahwa ia
berkata : Rasulullah saw. bersabda: “Jikalau tiada para hamba Allah yang
sholat, para bayi yang menyusui dan binatang yang merumput niscaya adzab akan
diturunkan dan orang-orang yang terkena adzab itu akan dihancurkan”.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn Abi Waqqash ra.
bahwa Rasulullah saw. bersabda: هَلْ
تُنْصَرُونَ
وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ ؟
”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki hanya karena orang-orang lemah
kalian”.
At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang
dikategorikan shahih oleh al-Hakim dari Anas ra. bahwa Nabi saw. bersabda: لَعَلَّكَ تُرْزَقُ
بِهِ ”Barangkali kamu mendapat rizqi berkat saudaramu”.
Dari Abdullah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabda: ”Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang Dia ciptakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Orang-orang datang kepada mereka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Mereka dalah orang-orang yang aman dari adzab
Allah”.(HR. Thabrani dalam al-Kabiir, Abu Nu’aim dan al-Qudlo’i dengan status
Hasan) Dari Abdillah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
”Sesungguhnya Allah swt, sebab keshalihan seorang laki-laki muslim akan membuat
anak, cucu, warga desanya dan desa-desa sekitarnya menjadi shalih dan mereka
senantiasa berada dalam lindungan Allah sepanjang laki-laki shalih itu tinggal
bersama mereka”.
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam tafsirnya:2341 dan
an-Nasa’i dalam al-Mawa’idz dari as-Sunan al-Kubra sebagaimana keterangan dalam
at-Tuhfah:13/380. Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
Shahih al-Bukhari dan al-Muslim selain guru an-Nasa’i yang dikategorikan tsiqah
dan wa fihi kalamun.
Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:
”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki shalih,
seratus keluarga dari tetangganya,”.
Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah swt.:
"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan
sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia
(yang dicurahkan) atas semesta alam." (HR. Thabrani). Dari Tsauban seraya
memarfu’kan hadits berkata: ”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang wali di
mana berkat mereka kalian diberi pertolongan, hujan dan rizki sampai tiba hari
kiamat”.
Dari ‘Ubadah ibn Shamit ra. berkata: Rasulullah saw.
bersabda: الأبدال
فى أمتى ثلاثون
بهم تقوم الأرض وبهم
يُمطرون وبهم يُنصرون
”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian diberi hujan
dan mendapat pertolongan”.
Qatadah berkata: إِنِّي لأَرْجُو أَنْ يَكُونَ الْحَسَنِ مِنْهُمْ ”Sungguh saya berharap Hasan al-Bashri termasuk
mereka”. (HR. Thabrani).
Empat hadits di atas disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu
Katsir ketika menafsirkan ayat: "Seandainya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah
bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta
alam." (QS. al-Baqarah:251). Ayat ini layak dijadikan argumen dan dari
keempatnya status hadits menjadi shahih.
Dari Anas ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Bumi
tidak akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman Ibrahim as. Berkat
mereka kalian disirami hujan dan diberi pertolongan. Jika salah seorang
meninggal maka Allah akan menggantinya dengan orang lain.” (HR. Thabrani dalam
al-Ausath dan isnad-isnad hadits ini hasan. Majma’ az-Zawaid:2/62)
Dalam hari mahsyar yang notabene hari tauhid, hari
iman dan hari di mana ‘Arsy dimunculkan, akan tampak keutamaan mediator paling
agung, pemilik panji (al-Liwa’ al-Ma’qud), kedudukan terpuji, telaga yang
didatangi, pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan tidak sia-sia
jaminannya untuk orang yang Allah swt. telah berjanji kepada beliau bahwa Allah
swt. tidak akan mengecewakan anggapan beliau, tidak akan menghina beliau
selamanya, tidak membuat beliau susah serta malu saat para makhluk datang
kepada beliau memohon syafaat. Lalu beliau berdiri kemudian tidak kembali
kecuali mendapat baju kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar dalam
perintah Allah swt. kepada beliau: يَا مُحَمَّدُ ، ارْفَعْ رَأْسَكَ وَاشْفَعْ
تُشَفَّعْ وَسَلْ تُعْطَ
“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berilah syafaat maka syafaatmu akan
diterima dan mohonlah maka kamu akan diberi ”.
Mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan
dan kekanak-kanakkan banyak jumlahnya. Namun sesungguhnya mereka tidak tahu
apa-apa dan tidak layak dianggap memahaminya. Semua mengaku punya hubungan
kasih dengan Laila Tapi Laila menampik pengakuan mereka. Fakta menyedihkan ini
ditambah lagi dengan sikap mereka yang mencoreng diri sendiri dan merusak
reputasi. Sikap mereka tepat dengan apa yang digambarkan secara detail dalam
sebuah hadits: الْمُتَشَبِّعُ
بِمَا لَمْ يُعْطَ
كَلَابِسِ ثَوْبِي
زُورٍ "Orang yang berpura-pura
kenyang dengan sesuatu yang tidak bisa membuat kenyang laksana orang yang
mengenakan dua baju kebohongan".
Kita, umat Islam mendapat cobaan dengan banyaknya
orang-orang seperti di atas. Mereka mengeruhkan kedamaian umat, memecah belah
antar kelompok dan menbangkitkan konflik antar sesama saudara dan anak dengan
ayahnya. Mereka berusaha meluruskan persepsi-persepsi Islam lewat pintu
pendurhakaan terhadap ulama, dan berpegang teguh dengan ajaran-ajaran salaf
dengan jalan pengingkaran, dan mengganti kebajikan, tutur kata yang baik dan
belas kasih dengan sikap keras, membatu, etika yang buruk dan minimnya simpati.
Di antara para pengklaim adalah mereka yang menganggap
mengikuti jalan tasawwuf padahal mereka adalah orang yang paling jauh dari
substansi dan essensi tasawwuf. Mereka menodai tasawwuf, mengotori
kemuliaannya, merusak ajarannya dan melontarkan kritik pedas terhadap tasawwuf
dan para imamnya dari para ahli ma’rifat dan para guru pembimbing. Kami tidak
mengenal tahayyul, kebatilan, kebohongan dan tipuan dalam tasawwuf. Kami juga
tidak mengenal teori-teori filsafat, ide-ide luar atau aqidah-aqidah musyrik
baik sinkretisme atau manunggaling kawula gusti. Kami lepas tangan kepada Allah
swt. dari muatan-muatan sesat tasawwuf dan mengkategorikan semua pandangan yang
berlawanan dengan al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak bisa dita’wil adalah
kebohongan yang menyusup dan ditambahkan oleh tangan-tangan jahil dan jiwa-jiwa
yang lemah.
Dengan perilaku yang baik dan budi pekerti yang bersih
tampaklah kepahlawanan generasi awal, para tokoh, para imam dan para
pahlawannya. Dan tampak di hadapan kita sosok Islam yang paling cemerlang, sempurna,
dan contoh paling luhur dan suci. Sejarah telah menginformasikan kepada kita
cerita kemuliaan, kebanggaan, kehormatan, keagungan, jihad, perjuangan, dan
pelajaran-pelajaran tentang peradaban Islam.
Berangkat dari fakta di muka kami meyakini bahwa kebangkitan-kebangkitan
besar tidak akan terbangun kecuali di atas risalah-risalah spiritual dan
inspirasi-inspirasi iman dan tidak akan berdiri kecuali di atas etika-etika
luhur yang kokoh yang model-modelnya digali dari akidah-akidah suci.
Sesungguhnya sifat-sifat etik, psikologis dan
spiritual adalah modal dasar bangsa. Ketiga faktor ini adalah aset-aset besar
yang membentuk umat dan mengantarkan umat manusia menuju cita-cita luhur. Orang
yang mengkaji sejarah hidup generasi salaf shalih dan tokoh-tokoh sufi di
tengah masyarakat, akan melihat bagaimana contoh-contoh ideal dan
prinsip-prinsip ini bisa menjadi faktor langsung terjadinya revolusi-revolusi
yang nyata, tercatat dan populer dalam sejarah Islam.
Mereka tidak memiliki pengaruh dan kekuatan kecuali iman
dalam tatarannya yang paling tinggi. Iman yang panas, berkobar-kobar, dan hidup
yang berlandaskan kerinduan dan kecintaan kepada Allah swt. Sebuah keimanan
yang mampu menyalakan api yang menyala-nyala dan menatap selamanya kepada Allah
swt. dalam hati para pengikutnya.
Orang yang mengkaji juga akan melihat bagaimana di
tengah mereka seorang laki-laki bisa hidup dalam maqam al-Ihsan (kondisi di
mana seseorang merasakan kehadiran Allah swt.), ia melihat Allah swt. dalam
segala sesuatu, dan merasa takut kepadaNya dalam segala aktivitasnya. Ia
senantiasa merasa takut kepada Allah swt. dalam setiap tarikan nafasnya tanpa
meyakini adanya penitisan, bersatunya Tuhan dengannya, dan peniadaan eksistensi
Tuhan. Iman ini adalah iman yang membangunkan kesadaran holistik dalam
kehidupan, menyentak rasa yang dalam akan ketuhanan yang berjalan dalam alam
semesta, dan yang hidup dalam sudut-sudut paling dasar dari alam semesta, yang
mengetahui apa-apa yang terlintas di hati, bisikan-bisikan rahasia, mata yang
mencuri pandang dan apa yang disembunyikan dalam hati.
Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi
permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih.
Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan tolol,
fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan
tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap
kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua
bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syariah Islam
mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa:
"Sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk".
Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang
dan pandangan yang dalam. Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam
para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin seperti al-Imam
al-‘Izz ibn Abdissalam, an-Nawawi, as-Suyuthi, al-Mahalli dan Ibnu Hajar.
Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi. Maka
diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta harus
menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang telah
mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam
penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang
relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari samudera syariah, yang bisa
memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan
kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks al-Qur’an
dan hadits yang mengikat. Salah satu contoh dari hadits-hadits di muka adalah
hadits: كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Setiap bid’ah itu sesat." Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan
sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan
dalil syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain
seperti: لاَ
صَلاَةَ لِجَارِ
الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى
الْمَسْجِدِ
"Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali
dilakukan di masjid."
Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan
tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman
hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah,
di samping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.
Seperti hadits: لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
"Tidak ada sholat di hadapan makanan".
Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak
sempurna. لَا
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى يُحِبَّ
لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya
apa yang ia cintai untuk dirinya." واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن
يا رسول الله؟ قال:مَنْ
لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ
بَوَائِقَهُ
"Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak
beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang
tetangganya merasa terganggu dengannya”.
Para ulama menafsirkan dengan tidak adanya iman yang
sempurna. لاَ
يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ
قَتَّاتٌ....., لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ وعاق لوالديه "Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu
domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat dan yang
durhaka kepada kedua orang tuanya."
Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan
masuk surga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk surga jika
menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan. Walhasil, para ulama tidak
memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan
bermacam-macam penafsiran yang sesuai.
Hadits di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam
kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi
kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada
dalam naungan prinsip umum. Dalam sebuah hadits dijelaskan: مَنْ سَنَّ سُنَّةً
حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ
أَجْرُهَا وَ أَجْر
مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala
darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat."
"Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah
para khulafaurrasyidin sesudah wafatku." Umar ibn Khaththab berkomentar
mengenai sholat tarawih: "Sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih
berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam)".
Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah
dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang
berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat
disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi saw. yang jelas: "Setiap bid’ah
itu sesat". Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan
bid’ah sebagai sesat.
Karena itu Anda akan melihat ia berkata: Setelah sabda
penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah
ungkapan: Akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia
berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah
itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini
banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta
memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan
tidak merasakan spirit agama Islam.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan
untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang
mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain.
Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam.
Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan
dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya. Perantara ini ialah
ungkapan yang dilontarkan dengan jelas: Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi
dua ; 1) Bid’ah Diniyah (keagamaan) 2) Bid’ah Duniawiyyah (keduniaan).
Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan
klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju
bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah
dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang
kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini
datang?
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik
dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa
pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah
yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya.
Rasulullah saw. sebagai Syari’ bersabda: “Setiap bid’ah itu sesat".
Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak,
tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian;
diniyyah yang sesat dan duniawiyyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa.
Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya
banyak keganjilan akan menjadi jelas, insya Allah.
Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang
bijak. Lisan Syari’ adalah lisan Syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus
menggunakan standar Syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa
bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada
contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan
pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar
tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu
mengambil bentuk syari’ah. Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi
yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat
ancaman dari Nabi saw.: مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ "Barangsiapa menciptakan
dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak."
Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “فِى أَمْرِنَا هَذَا”. Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi
bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian
bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru.
Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah
sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang
menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi
mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu
jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang
mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya
mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi
bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa
pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.
Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan
sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari
aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at
adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak
diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti
perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial Hanya saja saya melihat
bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah
dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah
tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan
ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, –ini adalah pendapat
yang benar– dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah
keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua
bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa
menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak
untuk dijelaskan secara mendetail.
Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada
yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak
diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus
dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunakan
pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari
aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian
inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar
terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi
menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati.
Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum
syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum muslimin untuk
menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai
dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya,
betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan
kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat
pertimbangan dari para aimmatul ushul.
Semoga Allah swt. meridloi para a'immatul ushul dan
meridhoi kajian mereka terhadap lafadz-lafadz yang shahih dan mencukupi yang
mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan
atau interpretasi.
Tasawwuf, obyek yang teraniaya dan senantiasa
dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru
sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya
dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan
lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya
dan informasinya ditolak.” Mengapa? Karena ia seorang sufi. Anehnya, saya
melihat sebagian mereka yang menghina tasawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal
tasawwuf bertindak dan berbicara tentang tasawwuf, kemudian tanpa sungkan
mengutip ungkapan para imam tasawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas
mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya diri ia
mengatakan, “Berkata Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl
at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi.” Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid,
al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi adalah
tokoh-tokoh tasawwuf yang kitab-kitab tasawwuf penuh dengan ucapan, informasi,
kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia
bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta? Saya ingin mengutip
pandangan para tokoh tasawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui
sikap mereka sesungguhnya.
Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang
lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara
mengenai pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang
dirahasiakan. Al-Imam Junaid ra. berkata : “Semua jalan telah tertutup bagi
makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia pada
jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan
mereka yang mengikuti jejak beliau."
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid
al-Basthomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “Bangunlah bersamaku untuk
melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali.” Lalu Abu Yazid dan
murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali
tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun
berbalik pulang dan tidak memberi salam. “Orang ini tidak dapat dipercaya atas
satu etika dari beberapa etika Rasulullah saw., maka bagaimana mungkin ia dapat
dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiqin?“ kata Abu
Yazid.
Dzunnun al-Mishri berkata, "Poros dari segala
ungkapan (madar al- Kalam) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci
kepada yang sedikit, mengikuti al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang
celaka. Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti
kekasih Allah saw. dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya."
As-Sirri as-Siqthi berkata, “Tasawwuf adalah identitas
untuk tiga makna; Shufi (pengamal tasawwuf) adalah orang yang cahaya
ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara menggunakan
bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial al-Kitab
dan as-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabir
keharaman Allah swt."
Abu Nashr Bisyr ibn al-Harits al-Hafi berkata, “Saya
bermimpi bertemu Nabi saw.: “Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan
derajatmu mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau.“Tidak tahu, Wahai
Rasulullah,” Jawabku. “Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang
salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat
dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang
baik (Abror).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur al-Bashthomi berkata,
“Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah swt. agar mencukupi
biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya
memohon ini kepada Allah swt. padahal Rasulullah saw. tidak pernah memohon
demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah swt. Kemudian Allah
swt. mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan
menghadapku atau tembok."
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang
seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara,
maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya
menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang digariskan
Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah ad-Darani berkata,
“Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa
noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya kecuali dengan dua
saksi adil ; al-Qur’an dan as-Sunnah.
Abul Hasan Ahmad ibn Abi al-Hawari berkata, “Siapapun
yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah saw. maka
perbuatan itu sia-sia.” Abu Hafsh Umar ibn Salamah al-Haddaad berkata,
“Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap saat dengan al-Kitab
dan as-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas dalam
hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar (diwan
ar-Rijal).
Abul Qasim al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun
yang tidak memperhatikan al-Qur’an dan tidak mencatat al-Hadits, ia tidak bisa
dijadikan panutan dalam bidang ini (tasawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan
al-Kitab dan as-Sunnah.” Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan
prinsip-prinsip al-Kitab dan as-Sunnah dan ilmuku ini dibangun di atas fondasi
hadits Rasulullah saw.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail al-Hairi berkata, “Saat
sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang
melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai
Anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi
kesempurnaan batin.”
Ia juga berkata, “Bersahabat dengan Allah swt. itu
dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut kepadaNya. Bersahabat
dengan Rasulullah saw. itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa
mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan
mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik.
Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang
bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan
dan rasa belas kasih."
Ia juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan
as-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara
dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya
dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah. Allah swt.
berfirman: وَإِنْ
تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
"Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk." (QS.
an-Nur:54)
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad an-Nawawi mengatakan,
“Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah swt. yang
membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau
mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ al-Karmani berkata,
“Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan
nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa merasakan
kehadiran Allah swt. (muraqabat) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan
mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya
tidak akan meleset.”
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn Atha’
mengatakan, “Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at
maka Allah swt. akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi
kedudukan mengikuti al-Habib Rasulullah saw. dalam segala perintah, larangan dan
budi pekerti beliau saw.”
Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku
carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukannya, carilah di
medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak
menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah
setan.”
Abu Hamzah al-Baghdadi al-Bazzar mengatakan, “Siapapun
yang mengetahui jalan Allah swt. maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya.
Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah swt. kecuali mengikuti Rasulullah
saw. dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.” Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud
ar-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah swt. adalah memprioritaskan
ketaatan kepada Allah swt. dan mengikuti NabiNya saw.”
Mamsyad ad-Dinawari berkata, “Etika murid adalah
selalu dalam menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari
faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada
seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardhuan Allah swt. kecuali Allah
swt. akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah swt. tidak
menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak
diberi musibah dengan bid’ah.”
Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab
al-Asya’irah (kelompok ulama penganut madzhab Imam Asy’ari) dan tidak
mengetahui siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Sebagian
kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar dari
Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifat Allah swt. Ketidaktahuan
terhadap madzhab al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan kelompok
Ahlussunnah dan terpecah-pecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian kalangan
yang bodoh memasukkan al-Asya’irah dalam daftar kelompok sesat. Saya tidak
habis pikir, mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan? Dan
mengapa Ahlussunnah dan kelompok ekstrim Mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan?
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
"Maka apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang kafir)." (QS. Al-Qalam:35) Al-Asya’irah
adalah para imam simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka
memenuhi bagian timur dan barat dunia dan semua orang sepakat atas keutamaan,
keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama
Ahlussunnah yang menentang kesewenang-wenangan Mu’tazilah.
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah al-Asya’irah
digambarkan dalam kitab al-Fataawaa, volume 4 sebagai berikut: "Para ulama
adalah pembela ilmu agama dan al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama
(ushuluddin)." Al-Asya’irah (penganut madzhab al-Asy’ari) terdiri dari
kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti :
§ Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi
sebagai gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathu al-Bari ‘ala Syarhi
al-Bukhaari.
§ Syaikhu Ulamai Ahlissunnah, al-Imam an-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih
Muslim, dan penyusun banyak kitab populer.
§ Syaikhul Mufassirin al-Imam al-Qurthubi penyusun tafsir al-Jami’ li Ahkami
al-Qur’an.
§ Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami, penyusun kitab az-Zawajir ‘an Iqtiraf
al-Kaba’ir.
§ Syaikhul Fiqh, al-Hujjah (argumentasi) dan ats-Tsabat (tokoh ulama yang
dipercaya) Zakariya al-Anshari.
§ Al-Imam Abu Bakar al-Baaqilani
§ Al-Imam al-Qashthalani.
§ Al-Imam an-Nasafi
§ Al-Imam asy-Syarbini
§ Abu Hayyan an-Nahwi, penyusun tafsir al-Bahru al-Muhith.
§ Al-Imam Ibnu Juza, penyusun at-Tafshil fi ‘Uluumi at-Tanzil.
§ Dan sebagainya.
Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari
ahli hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan al-Asya’irah, maka keadaan tidak
akan memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai nama
para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah
salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada orang-orang yang telah
berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu dan memiliki kelebihan
yakni para tokoh ulama, yang telah mengabdi kepada syari’at junjungan para
rasul Muhammad saw.
Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika kita menuding
para ulama besar dan generasi salaf shalih telah menyimpang dan sesat?
Bagaimana Allah swt. akan membukakan mata hati kita untuk mengambil manfaat
dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah menyimpang dan tersesat dari
jalan Islam?
Saya ingin bertanya, “Adakah dari para ulama sekarang
dari kalangan doktor dan orang-orang jenius, yang telah mengabdi kepada hadits
Nabi saw. sebagaimana dua imam besar ; Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan al-Imam
an-Nawawi? semoga Allah swt. melimpahkan rahmat dan keridhoan kepada mereka
berdua.”
Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua dan
ulama al-Asya’irah yang lain, padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu mereka?
Mengapa kita mengambil ilmu dari mereka jika mereka memang sesat? Padahal
al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah berkata: "Ilmu hadits ini adalah
agama maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian." Apakah
tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam di atas, untuk
mengatakan, “Mereka rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah dalam
menafsirkan sifat-sifat Allah swt." Maka yang lebih baik adalah tidak
mengikuti metode mereka. Sebagai ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah
menyimpang dan sesat dan kami marah atas orang yang mengkategorikan mereka
sebagai Ahlussunnah. Bila al-Imam an-Nawawi, al-‘Asqalani, al-Qurthubi,
al-Fakhrurrazi, al-Haitami dan Zakariya al-Anshari dan ulama besar lain tidak
dikategorikan sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, lalu siapakah mereka yang
termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah?.
Sungguh, dengan tulus kami mengajak semua pendakwah
dan mereka yang beraktivitas di medan dakwah Islam untuk takut kepada Allah
swt. dalam menilai umat Muhammad, khususnya menyangkut tokoh-tokoh besar ulama
dan fuqaha’. Karena, umat Muhammad tetap dalam kondisi baik hingga tiba hari
kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak mengakui kedudukan dan
keutamaan para ulama kita sendiri.
Polemik berkembang di antara ulama menyangkut banyak
substansi persoalan dalam bidang aqidah, yang Allah swt. tidak membebani kita
untuk mengkajinya. Dalam pandangan saya polemik ini telah menghilangkan
keindahan dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro kontra para ulama
menyangkut melihatnya Nabi saw. kepada Allah swt. dan bagaimana cara
melihatNya, dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan ini.
Sebagian berpendapat Nabi saw. melihat Allah swt. dengan hatinya, dan sebagian
berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan
membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak berguna.
Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak berguna sama
sekali. Justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat
yang didapat. Apalagi jika masyarakat awam mendengar polemik yang pasti
menimbulkan keragu-raguan di hati mereka ini. Jika kita mau mengesampingkan
polemik ini dan menganggap cukup dengan menyajikan sunstansi persoalan ini apa
adanya maka niscaya persoalan ini tetap dimuliakan dan dihargai dalam sanubari
kaum muslimin, dengan cara kita mengatakan bahwa Rasulullah saw. melihat
Tuhannya. Cukup kita berkata demikian sedangkan menyangkut cara melihat dan
lain sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi saw.
Dalam firman Allah swt: وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيماً "Dan Allah telah berfirman terhadap Musa"
Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik
yang berkembang di antara para ulama menyangkut substansi firman Allah swt. dan
perbedaan luas dalam masalah ini. sebagian berpendapat bahwa firman Allah swt.
adalah suara hati (kalam nafsi) dan sebagian lagi berpendapat bahwa kalam Allah
swt. berhuruf dan bersuara. Saya sendiri berpendapat kedua pihak ini sama-sama
mencari substansi mensucikan Allah swt. dan menjauhi syirik dalam berbagai
bentuknya.
Persoalan kalam (firman Allah) adalah kebenaran yang
tidak bisa diingkari, karena tidak meniadakan kesempurnaan Ilahi. Ini adalah
pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari aspek lain, sifat-sifat Allah swt.
yang terdapat dalam al-Qur’an wajib dipercayai dan ditetapkan, karena tidak ada
yang mengetahui Allah swt. kecuali Allah swt. sendiri. Apa yang saya yakini dan
saya ajak adalah menetapkan kebenaran ini tanpa perlu membicarakan bagaimana
cara dan bentuknya. Kita tetapkan bahwa Allah swt. memiliki sifat kalam dan
berkata: "Ini adalah kalam Allah swt. dan Allah swt. adalah Dzat yang
berbicara." Kita cukup berbicara seperti ini dan menjauhi mengkaji apakah
kalam itu kalam nafsi atau kalam yang bukan nafsi yang berhuruf dan bersuara
atau tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Karena pembahasan seperti ini berlebihan, yang Nabi
Muhammad saw. sebagai pembawa tauhid tidak pernah membicarakannya. Lalu mengapa
kita menambahkan apa yang datang dibawa oleh Nabi saw.? Bukankah hal semacam
ini adalah salah satu bid’ah terburuk? Subhanaka Hadza Buhtanun ‘Adzim.
Rasulullah Saw. mengabarkan kepada kita tentang kalam pada saat kita berkumpul
dengan beliau di sisi Allah swt. Kami mengajak agar pembicaraan kita selamanya
menyangkut substansi kalam dan masalah sejenis terlepas dari pembahasan
mengenai cara dan bentuknya.
Dalam sabda Rasulullah saw.: إِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ خَلْفِي
"Saya mampu melihatmu dari belakang."
Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik
yang terjadi di antara ulama menyangkut substansi sabda Nabi saw, “Sesungguhnya
saya bisa melihat kalian dari belakang sebagaimana dari arah depan.” Sebagian
ulama berpendapat bahwa Allah swt. menciptakan dua mata di arah belakang.
Sebagian berpendapat bahwa Allah swt. menjadikan kedua mata beliau yang di
depan memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian belakang. Sebagian lagi
berpendapat bahwa Allah swt. membalik obyek yang ada di belakang Nabi saw.
sehingga berada di depan beliau. Semua ini adalah interpretasi berlebihan yang
membuat persoalan ini kehilangan keindahan dan keelokannya sekaligus meredupkan
kewibawaan dan keagungannya di hati manusia. Adapun keberadaan Nabi saw. mampu
melihat orang yang berada di belakang sebagaimana melihat orang yang ada di depan
maka ini adalah fakta yang telah disampaikan beliau sendiri dalam hadits
shahih.
Maka tidak ada ruang sama sekali untuk membantahnya.
Namun apa yang saya ajak dan menjadi pendapat saya adalah menetapkan fakta ini
apa adanya tanpa perlu mengkaji cara dan bentuknya. Kita wajib meyakini
kemungkinan terjadinya dan dampaknya, dengan cara menyaksikan salah satu hal
yang di luar kebiasaan yang meminggirkan faktor penyebab untuk menampakkan
kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa serta kedudukan Rasulullah saw.
جبريل
يتمثل رجلا "Jibril menyamar sebagai seorang lelaki"
Para ulama bersilang sengketa menyangkut penyamaran
Jibril as. saat datang membawa wahyu dalam bentuk seorang lelaki padahal fisik
Jibril as. sangat luar biasa besar. Sebagian berpendapat bahwa Allah swt.
membuang kelebihan dari fisiknya. Sebagian lain menyatakan sebagian fisiknya
menyatu dengan yang lain sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut hemat saya
interpretasi ini tidak berguna. Saya meyakini Allah mampu membuat Jibril
menyamar dalam bentuk seorang laki-laki dan ini merupakan fakta yang telah
disaksikan oleh banyak sahabat.
Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara penyamaran
Jibril dalam bentuk seorang laki-laki dan saya mengajak saudara-saudara kita
sesama pelajar untuk menyampaikan fakta ini tanpa perlu menyinggung
perbedaan-perbedaan yang menyertainya agar fakta ini tetap besar dan agung
dalam hati.
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi
tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam
pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut:
§ Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari
pintu-pintu untuk menghadap Allah swt. Maksud sesungguhnya adalah Allah swt.
Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah
musyrik.
§ Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut
kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah swt.
mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang
yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
§ Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk
bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan derita dengan
sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia musyrik.
§ Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya doa tidaklah ditentukan
dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah swt. secara mutlak,
sebagaimana firman Allah swt.:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي
عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran." (QS. al-Baqarah:186)
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ
ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ
بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ
ذَلِكَ سَبِيلًا "Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah
ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma' al-Husna
(nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu
dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua
itu." (QS. al-Isra`:110)
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak
keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat,
membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa,
sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya
untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.
Dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih
adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa.
Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain
dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka
lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan
menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan
yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan
dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam
kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi
at-Tawassul wa al-Wasilah”.
Titik Perbedaan Sumber perbedaan dalam masalah
tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti
tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan: "Ya Allah, aku
bertawassul dengan NabiMu Muhammad saw, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn
Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra." Tawassul model inilah yang dilarang oleh
sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul
sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya
adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati
merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul yang
keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi
jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian
memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul
dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya
sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul
dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul
tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai
bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang
dijadikan tawassul itu mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah swt.
Atau karena ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan tawassul,
sebagaimana firman Allah swt.: "يحبّونهم ويحبّونه"
atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek
tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan
menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang
yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya,
yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan
mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya
Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiMu. Ia orang
yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya
dan Engkau ridha terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa
cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti
ini dan itu."
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan
ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya
hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang
berkhianat dan isi hati yang tersimpan. Orang yang berkata : “Ya Allah,
saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu," itu sama dengan orang yang
mengatakan: "Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku
kepada NabiMu."
Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian
kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta
dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan
Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali. Berangkat
dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya
hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan
menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan
mereka dari lingkaran Islam. سُبْحَانك هَذَا بُهْتَان عَظِيم
Allah swt. berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَابْتَغُوا
إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah
swt. sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah swt. dan sebagai media untuk
mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan
wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan. Lafadz
al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini
mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin
baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih
sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah
amal ini dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat
keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan
seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi saw. sebelum wujudnya
beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah
dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
ý Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. Di
dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassul dengan
Nabi Muhammad saw. Dalam al-Mustadrok, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr
ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak
Ibnu Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu
Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam
menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda:”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya
Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.”
Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum
menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatanMu
dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan
kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa
Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan namaMu
kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “Benar kamu wahai
Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepadaKu
dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku
tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab
Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al
Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan
mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya dalam
kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana
telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam
Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62.
As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits shahih.
Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al
Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.”
Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas
dengan redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam,
surga dan neraka.”
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang
menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai
hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al
Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol.
1 hlm. 180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits
tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits
palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya
sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar.
Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam
menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra
berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari
aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita
simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits
seraya berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi
meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya,
“Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi
dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan
‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis ) ‘arsy “Muhammad Rasulullah
Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan
Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu
kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia
memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa
Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’
terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku
kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu
al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku
Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku
Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani
dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab,
ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia
mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau
ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan
siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku
mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan
“Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad
adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai
namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah
mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku
tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya
seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan
penguat dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan
penguat di mata para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu
Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran.